Minggu, 19 Juni 2005

ihwal darah bagi wanita yang mewajibkan mandi

majalah hidayah edisi 47 juni 2005

Dalam edisi sebelumnya telah dibahas tentang mandi wajib, namun penjelasan yang diberikan masih bersifat umum. Oleh karena itu, dalam rubrik fiqh kali ini akan dikupas lebih lanjut masalah mandi wajib yang itu “khusus bagi kaum wanita” dikarenakan hal ihwal darah.

Seorang wanita tidak bisa mengelak dari kodrat yang ditakdirkan Allah dan takdir itu bersifat kodrati hanya bagi kaum wanita dan bukan bagi kaum laki-laki. Karena itulah, mandi wajib ini hanya dikhususkan bagi kaum wanita dan tidak berlaku bagi kaum lelaki. Adapun kodrat itu berkaitan dengan hal ihwal darah, seperti haid dan nifas.

Darah Haid
Darah haid ini sudah “lazim” dijumpai setiap wanita normal. Darah haid ini sering pula disebut dengan darah bulanan, karena darah haid ini biasanya datang setiap bulan sekali. Selain itu, keluarnya darah haid itu berarti menunjukkan bahwa seorang wanita berada dalam keadaan sehat dan juga menunjukkan bahwa yang bersangkutan sudah mulai memasuki usia akil baligh. Dengan datangnya darah haid itu, berarti menjadi “tanda” bahwa seorang wanita sudah dikenai kewajiban menjalankan ibadah yang diperintahkan Allah, seperti menunaikan shalat, puasa dan ibadah lainnya. Jika ditinggalkan, maka yang bersangkutan akan berdosa.

Kalangan ulama fiqh berbeda pendapat mengenai berapa lama masa haid. Tak salah, jika ada ulama berkata bahwa panjang masa haid itu sepuluh hari. Ada juga yang berpendapat lima belas hari dan bahkan ada yang mengatakan sampai mencapai tujuh belas hari.

Sebagaimana tidak ada kesepakatan di antara ulama fiqh dalam masalah panjang masa haid, hal serupa juga berlaku soal batas minimum masa haid. Sebab tidak ada satu pun bukti yang menerangkan soal itu. Dari silang pendapat itu, sangat wajar pula jika ada yang berkata batas minimum haid cuma sehari semalam. Ada pula yang mengatakan sampai dua hari. Ada juga yang mengatakan tiga hari. Tetapi yang jelas, jika ada darah keluar dengan ciri-ciri darah haid dan pada waktunya, maka itu sebenarnya sudah bisa dijadikan petunjuk meskipun hanya berlangsung cuma sehari. Malah Ibn `Arabi dalam buku al-Futuhat al-Makkiyah pada bab Asrar Taharah (edisi bahasa Indonesia telah diterjemahkan Penerbit Mizan, Bandung dengan judul Menghampiri Sang Mahakudus) menulis, darah haid bisa berlangsung dalam sekejab.

Adapun mengenai tanda-tanda berakhirnya masa haid seperti dijelaskan oleh Syaikh Hasan Ayyub dalam buku Fiqh Ibadah adalah cairan warna putih. Tak salah jika menurutnya, jika cairan warna-warna yang lain sudah hilang, seperti warna merah, kuning dan keruh lalu muncul cairan berwarna putih, maka itu “pertanda” bahwa haid itu sudah mampat. Pada saat itu, seorang wanita diwajibkan untuk mandi lalu melaksanakan shalat, sebagaimana ia wajib menjalankan puasa. Semisal, darah haid itu sudah mampat sebelum shalat shubuh pada bulan Ramadhan, maka wanita yang bersangkutan wajib menjalankan shalat subuh dan juga wajib berpuasa pada hari itu, tentunya setelah ia melakukan mandi wajib. Tapi kalau mampatnya darah haid itu sesudah shalat shubuh, maka puasanya pada hari itu tidak sah. Tetapi ia wajib segera mandi untuk menjalankan shalat shubuh, karena waktunya memang masih ada. Oleh karena itu, jika ditangguhkan maka ia akan berdosa.

Hal di atas didasarkan pada firman Allah dalam al-Qur`an, “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: ‘Haid itu adalah kotoran’. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. (al-Baqarah: 222). Adapun suci di sini adalah setelah wanita itu mandi.

Adapun soal atau masalah masa suci antara satu haid dengan haid yang lainnya, juga tidak ada pula kesepakatan di antara para ulama ahli fiqh. Sebagian dari mereka mengatakan, batas waktunya tidak lebih dari tiga belas hari. Ada pula yang mengatakan lima belas hari. Sedangkan mengenai waktu maksimal suci, hal itu juga tidak ada batasannya sama sekali.

Darah Nifas
Darah nifas itu merupakan darah yang keluar dari seorang wanita karena melahirkan, (meskipun anak yang dilahirkan itu mengalami keguguran). Dalam Ensiklopedi Hukum Islam, dijelaskan bahwa nifas juga berarti “persalinan” atau “hal melahirkan”. Karena itulah, dalam bahasa Arab, wanita yang melahirkan disebut dengan nufasa` (bentuk tunggal) dan nifas, nufus atau nawafis (bentuk jamak).

Soal masa maksimal darah nifas itu, tak ada batasnya. Tak pelak, jika ulama fiqh lalu berbeda pendapat. Sebab, sebagaimana dijelaskan Syaikh Hasan Ayyub dalam Fiqh Ibadah, terkadang darah hanya keluar pada saat melahirkan lalu setelah itu langsung mampat. Jika ini yang terjadi, maka wanita yang bersangkutan wajib mandi, shalat dan puasa. Adapun tanda-tanda memapatnya darah nifas itu sama seperti juga tanda-tanda mampatnya darah haid. Adapun masa maksimal nifas itu adalah empat puluh hari. Lebih dari itu, tidak disebut darah nifas melainkan darah istihadah.

Darah Istihadhah
Darah istihadah tidak lain adalah darah yang masih terus mengalir di luar masa haid dan juga nifas. Karena itu, ulama fiqh menganggap bahwa darah ini adalah suatu penyakit.

Berbeda dengan darah haid dan nifas, menurut Syaikh Hasan Ayyub, darah istihadah ini memiliki beberapa hukum tersendiri. Jika seorang wanita mengetahui bahwa masa haidnya adalah lima hari misalnya, maka darah yang keluar selama lima hari setiap bulan adalah darah haid dan yang lebih dari masa itu adalah darah istihadah. Tak salah lagi, jika masa haid sudah berakhir, maka ia wajib mandi, lalu shalat dan berpuasa. Dengan kata lain, apa yang semula diharamkan kepadanya karena alasan haid, sudah menjadi halal kembali.

Tapi jika dia memang tidak mengetahui masa haidnya, karena alasan mungkin ia tidak pernah memperhatikan atau ketika mengalami haid pertama kali memasuki usia akil baligh darahnya terus keluar, maka sedapat mungkin ia harus bisa membedakan antara darah haid yang berwarna hitam dan darah istihadah yang berwarna lain, karena hal itu akan membantu untuk menentukan masa haid sehingga selebihnya adalah darah istihadah. Tetapi jika ia tidak bisa membedakan, dia harus menggunkaan kebiasaan yang biasa dialami oleh keluarganya yang wanita, seperti ibunya atau kakaknya dan tantenya.

Adapun untuk hukum-hukum darah istihadah, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Hasan Ayyub adalah sebagai berikut. Pertama, wajib mandi begitu haidnya itu mampat dan setelah itu ia tidak diwajibkan mandi. Kedua, setiap kali mau melakukan shalat, maka ia harus berwudhu, sehingg dia harus shalat dengan menggunakan wudhu tersebut kapan saja ia mau.

Yang Diharamkan bagi Wanita yang Haid dan Nifas
Hal-hal yang diharamkan bagi wanita yang sedang haid atau nifas sama seperti hal-hal yang diharamkan bagi orang junub (lihat edisi sebelumnya). Tetapi, menurut Syaikh Hasan Ayyub, ada tambahannya yang antara lain.

Pertama, berpuasa. Sebab seorang wanita yang sedang haid dan nifas pada dasarnya adalah dalam keadaan kotor, sementara ibadah puasa adalah suatu ibadah yang hanya untuk Allah. Tak pelak, jika ia tetap melakukan puasa, maka ia durhaka kepada Allah dan puasanya batal. Sebagiamana yang kita ketahui, bagi wanita yang haid atau nifas, dia berkewajiban membayar puasanya dan bukan shalatnya. Hal ini didasarkan sebuah hadits dari Aisyah binti Abu Bakar, “Dahulu pada zaman rasulullah saw jika kami haid diperintahkan untuk mengkada puasa”. (HR. Jamaah [mayoritas ahli hadits]).

Kedua, melakukan hubungan intim. Ini hukumnya haram berdasarkan kesepakatan kaum muslimin. Juga haram mencumbu pada sekitar tempat haid dan nifas. Tapi, tidak apa-apa hukumnya seorang suami tidur di samping istrinya yang sedang haid atau nifas atau mencumbu pada bagian tubuh di luar pusar dan lututnya.

Alasan akan larangan itu didasarkan pada firman Allah, “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: ‘Haid itu adalah kotoran’. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka bersuci….” (al-Baqarah: 222). Juga, ada sebuah hadits, Abdullah bin Sa`d bertanya kepada rasulullah saw, “Apa saja yang dihalalkan kepada saya ketika istri saya sedang haid?” Rasulullah saw menjawab, “Daerah di atas pusar”. (HR. Abu Dawud). Hadits senada juga diriwayatkan Bukhari dan Imam Muslim dari Aisyah.

Tata Cara Mandi bagi Wanita yang haid dan Nifas
Tata cara mandi bagi wanita yang sedang haid atau nifas sebenarnya sama seperti cara mandi jinabat. Hanya saja, menurut sebagian ulama, ia harus melepaskan pintalan rambutnya. Sementara menurut sebagian ulama yang lain, ia tak perlu melepaskannya berdasarkan hadits Ummu Salamah. Tamat! (Nur Mursidi)

Tidak ada komentar: