
Bagaimanakah Islam memandang film? Apakah film itu hukumnya halal ataukah haram?
Di era komunikasi dan digital seperti sekarang ini, film tidak lagi sebagai satu bentuk hiburan yang elit. Apalagi setelah terjadinya perkembangan pesat di dunia teknologi sehingga pembuatan film tidak lagi dirasa sesulit seperti saat awal kali film diciptakan. Sebab, kini film bisa dikemas dalam bentuk kaset video, kepingan CD dan DVD. Tak salah jika sekarang film seolah-olah merupakan satu hiburan yang sudah populis sebab bisa ditemui kapan saja dalam setiap saat, tidak harus lewat layar lebar seperti di gedung bioskop semata.
Dari fenomena itu pula, tak bisa dipungkiri, ketika menjamur stasiun televisi swasta di negeri ini yang tak kurang dari lima belas chanel, pada akhirnya acara pemutaran film menjadi satu menu unggulan yang dihidangkan pada pemirsa. Setidaknya, lewat telivisi, kini kita juga bisa mencari chanel sesuka hati dan memilih film mana yang sekiranya kita senangi.
Pada sisi lain, di negeri kita juga sedang terjadi kebangkitan dunia perfilman nasional yang dulu sempat vakum selama satu dasawarsa. Kebangkitan perfilman nasional itu, terjadi setelah dilecut beredarnya film Ada Apa dengan Cinta. Apalagi, setelah itu film-film serupa yang bertemakan cinta remaja pun bermunculan, seperti Eiffel... I'm in Love, Cinta 24 Karat, 30 Hari Mencari Cinta, dan Mengejar Matahari. Tentunya, semua itu membuat dunia perfilman kita marak kembali.
Seiring dengan terjadinya kebangkitan perfilman nasional, animo masyarakat pun --terutama penonton remaja—ternyata juga cukup tinggi. Tidak salah, kalau gedung bioskop-bioskop di hampir sebagian kota besar, kini terlihat ramai kembali didatangi penonton yang haus hiburan. Belum lagi, di bioskop-bioskop juga diputar film-film asing dari Hollywood yang juga menarik minat penonton. Dari situ, bisa dikata jika film adalah satu hiburan yang memang digandrungi. Apalagi, bagi masyarakat kota yang butuh hiburan sehabis bekerja atau di saat libur. Pendeknya, film sudah menjadi teman atau kawan dalam menemani kita untuk tidak kesepian.
Tapi di balik semua itu juga tidak bisa dinafikan kalau film sebagai satu hiburan tidak selamanya memberi sajian yang layak dan baik. Tak jarang, malah ada suguhan pornografi, seks dan juga kekerasan, yang tentunya membuat orangtua pada khususnya dan umat Islam pada umumnya, menjadi ketar-ketir menanggapi fenomena tersebut. Dari situlah, kemudian bisa dipahami jika tidak sedikit dari orangtua kita yang kemudian melarang anak-anaknya menonton film.
Alasan yang kerapkali dikemukan, selain menonton film itu sesuatu yang tidak ada manfaatnya, sia-sia belaka, buang-buang waktu saja, juga ditengarai bisa melupakan kewajiban, terutama sekali bagi pelajar. Bahkan, untuk film-film Hollywood dianggap merusak citra Islam dengan opini massa penyebaran ideologi sesat lewat misi tertentu; zionisme, seks bebas dan kekerasan.
Dapat dipahami, kalau film kemudian dipandang miring oleh sebagian besar umat Islam. Bahkan ada juga yang mengharamkan. Soalnya, keabsahan film jika dilihat dari hukum Islam dinilai lebih banyak madharatnya daripada manfaatnya. Juga, terutama soal hukumnya dari segi fiqh. Tak pelak, jika dari fenomena itu kita kemudian layak bertanya; bagaimanakah Islam sendiri memandang film? Apakah film itu hukumnya halal ataukah haram?
Film itu pada hakekatnya adalah karya cipta manusia yang dimaksudkan untuk tujuan menghibur. Film dapat pula diartikan sebagai "arsip sosial" yang coba merekam pernyataan hidup satu masyarakat tertentu sesuai dengan waktu dan tempatnya. Salah seorang ulama besar seperti Yusuf Qardhawi pun melihat film sebagai karya cipta seni dan budaya sebagai alat komunikasi yang sangat vital untuk mengarahkan dan memberikan hiburan.
Tak salah, jika dengan pengertian seperti itu Yusuf Qardhawi kemudian menilai film itu kedudukannya netral. Pendeknya, film itu tidak ubahnya seperti "alat atau pisau" sehingga status film itu lebih tergantung pembuat dan penggunanya. Apakah akan menggunakannya untuk jalan kebaikan atau untuk tujuan kemaksiatan. Jadi film itu –menurut Yusuf Qardhawi-hukumnya halal dan baik. Karena status hukum film itu tergantung pada penggunanya --dalam hal ini dari tujuan dibuatnya film itu sendiri atau tujuan kita menontonnya, jadi, yang jadi persoalan kemudian adalah bukan masalah perkara hukum Islam atau fiqhnya dalam memandang soal film itu halal atau haram, tetapi dampak yang ditimbulkannya.
Justru sebaliknya, karena film itu sebenarnya bersifat memberi hiburan dan manusia hidup di dunia butuh kesenangan, maka hal itu sudah menjadi fitrah manusia. Artinya, sah-sah saja dan tidak ada yang salah. Apalagi, kalau film itu merupakan sarana dakwah, semisal dalam film itu diketengahkan "nilai buruk" narkoba dan perbuatan zina, maka itu merupakan amar ma'ruf nahi munkar. Film dengan tema seperti ini, juga tak sedikit. Salah satunya adalah film Sunan Kalijaga. Bahkan, contoh film yang mengusung tema agama di tengah kehidupan kota besar seperti yang dibuat Dedi Mizwar dengan judul Kiamat Sudah Dekat, sebuah film yang memang dimaksudkan untuk tujuan dakwah.
Karena itu, bukanlah langkah "bijak" dengan melarang nonton tanpa sebelumnya kita sendiri tahu dan melihat film tersebut terlebih dahulu. Sebab, tidak jarang kita belum melihat atau menonton filmnya, tapi sudah berkomentar yang bukan-bukan. Alangkah baiknya, jika kita --menurut Ekky Al- Maliky dalam buku Remaja Doyan Nonton—menonton film selain untuk tujuan mencari hiburan, juga untuk mengapresiasikannya jika dalam film itu ada pesan baik yang bisa “dipetik”. Sebab, di balik tayangan film, tidak bisa diingkari, pasti ada yang bisa direngkuh dari pesan yang disampaikan si pembuat film.
Atas dasar itu pula, Dian Sastro, seorang bintang film yang tenar lewat film Ada Apa dengan Cinta sempat berkomentar perihal film. Bagi artis cantik ini, menonton film selain tujuan sebenarnya yang menghibur, juga ada nilai yang bisa diambil, diteladani dan dijadikan pelajaran untuk hidup. Sebab, film dapat membuka pikiran dan memberikan sebuah inspirasi. (Nur Mursidi)
Dari fenomena itu pula, tak bisa dipungkiri, ketika menjamur stasiun televisi swasta di negeri ini yang tak kurang dari lima belas chanel, pada akhirnya acara pemutaran film menjadi satu menu unggulan yang dihidangkan pada pemirsa. Setidaknya, lewat telivisi, kini kita juga bisa mencari chanel sesuka hati dan memilih film mana yang sekiranya kita senangi.
Pada sisi lain, di negeri kita juga sedang terjadi kebangkitan dunia perfilman nasional yang dulu sempat vakum selama satu dasawarsa. Kebangkitan perfilman nasional itu, terjadi setelah dilecut beredarnya film Ada Apa dengan Cinta. Apalagi, setelah itu film-film serupa yang bertemakan cinta remaja pun bermunculan, seperti Eiffel... I'm in Love, Cinta 24 Karat, 30 Hari Mencari Cinta, dan Mengejar Matahari. Tentunya, semua itu membuat dunia perfilman kita marak kembali.
Seiring dengan terjadinya kebangkitan perfilman nasional, animo masyarakat pun --terutama penonton remaja—ternyata juga cukup tinggi. Tidak salah, kalau gedung bioskop-bioskop di hampir sebagian kota besar, kini terlihat ramai kembali didatangi penonton yang haus hiburan. Belum lagi, di bioskop-bioskop juga diputar film-film asing dari Hollywood yang juga menarik minat penonton. Dari situ, bisa dikata jika film adalah satu hiburan yang memang digandrungi. Apalagi, bagi masyarakat kota yang butuh hiburan sehabis bekerja atau di saat libur. Pendeknya, film sudah menjadi teman atau kawan dalam menemani kita untuk tidak kesepian.
Tapi di balik semua itu juga tidak bisa dinafikan kalau film sebagai satu hiburan tidak selamanya memberi sajian yang layak dan baik. Tak jarang, malah ada suguhan pornografi, seks dan juga kekerasan, yang tentunya membuat orangtua pada khususnya dan umat Islam pada umumnya, menjadi ketar-ketir menanggapi fenomena tersebut. Dari situlah, kemudian bisa dipahami jika tidak sedikit dari orangtua kita yang kemudian melarang anak-anaknya menonton film.
Alasan yang kerapkali dikemukan, selain menonton film itu sesuatu yang tidak ada manfaatnya, sia-sia belaka, buang-buang waktu saja, juga ditengarai bisa melupakan kewajiban, terutama sekali bagi pelajar. Bahkan, untuk film-film Hollywood dianggap merusak citra Islam dengan opini massa penyebaran ideologi sesat lewat misi tertentu; zionisme, seks bebas dan kekerasan.
Dapat dipahami, kalau film kemudian dipandang miring oleh sebagian besar umat Islam. Bahkan ada juga yang mengharamkan. Soalnya, keabsahan film jika dilihat dari hukum Islam dinilai lebih banyak madharatnya daripada manfaatnya. Juga, terutama soal hukumnya dari segi fiqh. Tak pelak, jika dari fenomena itu kita kemudian layak bertanya; bagaimanakah Islam sendiri memandang film? Apakah film itu hukumnya halal ataukah haram?
Film itu pada hakekatnya adalah karya cipta manusia yang dimaksudkan untuk tujuan menghibur. Film dapat pula diartikan sebagai "arsip sosial" yang coba merekam pernyataan hidup satu masyarakat tertentu sesuai dengan waktu dan tempatnya. Salah seorang ulama besar seperti Yusuf Qardhawi pun melihat film sebagai karya cipta seni dan budaya sebagai alat komunikasi yang sangat vital untuk mengarahkan dan memberikan hiburan.
Tak salah, jika dengan pengertian seperti itu Yusuf Qardhawi kemudian menilai film itu kedudukannya netral. Pendeknya, film itu tidak ubahnya seperti "alat atau pisau" sehingga status film itu lebih tergantung pembuat dan penggunanya. Apakah akan menggunakannya untuk jalan kebaikan atau untuk tujuan kemaksiatan. Jadi film itu –menurut Yusuf Qardhawi-hukumnya halal dan baik. Karena status hukum film itu tergantung pada penggunanya --dalam hal ini dari tujuan dibuatnya film itu sendiri atau tujuan kita menontonnya, jadi, yang jadi persoalan kemudian adalah bukan masalah perkara hukum Islam atau fiqhnya dalam memandang soal film itu halal atau haram, tetapi dampak yang ditimbulkannya.
Justru sebaliknya, karena film itu sebenarnya bersifat memberi hiburan dan manusia hidup di dunia butuh kesenangan, maka hal itu sudah menjadi fitrah manusia. Artinya, sah-sah saja dan tidak ada yang salah. Apalagi, kalau film itu merupakan sarana dakwah, semisal dalam film itu diketengahkan "nilai buruk" narkoba dan perbuatan zina, maka itu merupakan amar ma'ruf nahi munkar. Film dengan tema seperti ini, juga tak sedikit. Salah satunya adalah film Sunan Kalijaga. Bahkan, contoh film yang mengusung tema agama di tengah kehidupan kota besar seperti yang dibuat Dedi Mizwar dengan judul Kiamat Sudah Dekat, sebuah film yang memang dimaksudkan untuk tujuan dakwah.
Karena itu, bukanlah langkah "bijak" dengan melarang nonton tanpa sebelumnya kita sendiri tahu dan melihat film tersebut terlebih dahulu. Sebab, tidak jarang kita belum melihat atau menonton filmnya, tapi sudah berkomentar yang bukan-bukan. Alangkah baiknya, jika kita --menurut Ekky Al- Maliky dalam buku Remaja Doyan Nonton—menonton film selain untuk tujuan mencari hiburan, juga untuk mengapresiasikannya jika dalam film itu ada pesan baik yang bisa “dipetik”. Sebab, di balik tayangan film, tidak bisa diingkari, pasti ada yang bisa direngkuh dari pesan yang disampaikan si pembuat film.
Atas dasar itu pula, Dian Sastro, seorang bintang film yang tenar lewat film Ada Apa dengan Cinta sempat berkomentar perihal film. Bagi artis cantik ini, menonton film selain tujuan sebenarnya yang menghibur, juga ada nilai yang bisa diambil, diteladani dan dijadikan pelajaran untuk hidup. Sebab, film dapat membuka pikiran dan memberikan sebuah inspirasi. (Nur Mursidi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar