Minggu, 18 September 2005

berhubungan baik dengan tetangga

majalah hidayah edisi 50 september 2005

Siapa yang bisa hidup dalam kesendirian? Sudah barang tentu, tidak ada satu manusia pun di dunia ini yang dapat. Sebab, pada dasarnya manusia adalah makhluk ijtima`i (makhluk sosial) yang membutuhkan kehadiran dan bantuan orang lain. Contoh sepele, adalah ketika manusia lahir, dia membutuhkan dekapan dan asuhan seorang ibu. Kemudian, saat beranjak jadi bocah, dia membutuhkan teman bermain. Setelah tumbuh dewasa, dia juga butuh teman hidup untuk membangun mahligai perkawinan (kehidupan rumah tangga).

Apakah kehadiran orang lain berhenti sampai di situ? Ternyata tidak! Sebab, ketika manusia sudah tua, dia tak bisa mengelak dari bantuan orang yang mau merawat. Apalagi saat meninggal, manusia membutuhkan orang lain untuk memandikan, menshalatkan dan bahkan menguburkan, selain tentunya kerendahan hati orang lain yang mau mendoakannya. Karena itu sangat lucu jika kemudian kita menjadi orang yang mau menang sendiri, egois dan sama sekali tidak membutuhkan orang lain. Sebab sejak lahir sampai meninggal, kita tak bisa hidup tanpa kehadiran dan bantuan orang lain, termasuk kehadiran tetangga.

Ketika kita membangun sebuah rumah baru, misalnya. Kita jelas tidak mungkin akan membangun rumah di sebuah hutan atau tengah sawah. Kita biasanya akan memilih lokasi di sebuah perkampungan atau perumahan yang sudah dihuni banyak warga. Sebab keberadaan tetangga di sebelah rumah kita, tentunya akan banyak membantu. Tidak saja, ketika kita membutuhkan bantuan saja, melainkan juga saat kita berkemauan untuk membantu mereka dan bersosialisasi sebagai makhluk sosial yang tak bisa hidup sendiri.

Tidak salah, jika dalam beberapa hadits Nabi sering berpesan kepada kita untuk selalu berbuat baik dan menghormati tetangga. Sebab, tetangga memang orang yang dekat dengan kita dan tidak jarang tatkala kita sedang dirundung duka atau kesusahan, tetangga-lah orang pertama yang memberikan uluran tangan. Karena pentingnya menghormati tetangga itu, nabi pernah mengatakan bahwa kualitas keimanan seseorang, bisa dilihat sejauh mana dia mampu berbuat baik terhadap tetangganya.

Dalam hadits lain, nabi bersabda, "Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman”. Ditanya: “Siapa ya Rasulullah?” Jawab nabi, "Ialah orang yang tak aman tetangganya dari gangguannya" (H.R. Bukhari, Muslim). Masih senada dengan kualitas keimanan seseorang berkaitan dengan memuliakan tetanga, nabi pernah bersabda, "Siapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir hendaklah ia memuliakan tetangganya. (H.R. Bukhari dan Muslim).

Etika Bertetangga
Sejatinya, tetangga itu bukan hanya sebatas orang yang rumahnya dekat dengan kita. Memang, ada satu pendapat yang mengatakan bahwa tetangga adalah orang yang rumahnya kira-kira berjarak 40 rumah dengan keberadaan rumah kita. Tapi di tengah kemajuan zaman dan kesibukan manusia, yang terpenting adalah sejauh tetangga yang bisa dijangkau. Sebab di zaman sekarang ini, apalagi hidup di kota besar tampaknya sulit sekali untuk mengenal orang yang berjarak 40 rumah dari tempat tinggal kita. Karena itu persoalannya, bukanlah terletak jaraknya melainkan sejauhmana kita membangun hubungan baik dengan tetangga, terutama tetangga yang dekat dengan kita.

Ada sebuah kisah unik dan menarik yang bisa kita petik dari sifat yang diajarkan oleh Abdullah bin Mas'ud. Suatu hari, Abdullah bin Mas'ud meminum segelas teh manis. Tapi, beliau tampaknya tidak mau membuang begitu saja sisa tehnya itu, lalu dituang ke tanah. Ada yang aneh dengan tindakannya itu? Ternyata tidak. Sebab saat ditanya kenapa dia membuang sisa tehnya itu, Abdullah bin Mas'ud dengan jujur menjawab, ''Saya hanya ingin berbuat baik dengan tetangga dekat saya.'' Siapa tetangga yang dimaksud itu? Ternyata tetangga itu adalah “sekumpulan semut kecil” yang ada di bawah tempat duduknya.

Berbicara soal hidup bertetangga, tentu saja kita tidak bisa melepaskannya dari etika. Adapun yang dimaksud etika di sini adalah bagaimana kita bersikap baik, jujur, luhur dan memuliakan tetangga kita. Dengan cara apa? Tentu kita tidak bisa menuntut tetangga kita berbuat baik dahulu kepada kita. Sebaliknya kitalah yang seharusnya melakukan atau memulai berbuat baik terhadap tetangga kita.

Dalam masalah etika di atas, setidaknya ada empat hal yang bisa dijadikan pegangan. Pertama, bersikap positif thingking (berpikiran positif terhadap yang dilakukan tetangga kita). Pendeknya, kita tak boleh berprasangka negatif, apalagi iri hati. Sebab, dengan menunjukkan sikap berpikir positif terhadap tetangga kita juga akan mendapatkan hal yang sama. Tetangga kita akan berpikir positif terhadap kita.

Kedua, menganggap tetangga sebagai saudara. Kita tentu turut berbahagia bilamana tetangga sedang mendapatkan karunia. Sebaliknya, ikut bersedih (berempati) apabila tetangga mendapatkan musibah. Dengan menebar empati seperti itu, akan lahir sikap ingin membantu sesama tetangga.

Ketiga, jika ada kelebihan rezeki, sudah selayaknya kita ingat tetangga dan berbagi. Sebab Rasulullah SAW menganjurkan kita saling memberi hadiah, karena itu bisa melahirkan kecintaan di antara sesama. Bahkan sekali pun tetangga kita menjahili kita, bukan lantas kita membalasnya dengan hal serupa. Nabi menganjurkan untuk berbuat baik sekali pun orang lain berbuat buruk kepada kita.

Keempat, selalu menjaga kerukunan dan keutuhan dalam bertetangga. Kalau saja, ada di antara tetangga kita yang sedang berselisih, maka kita jangan ikut-ikutan. Kita harus bersikap adil, tidak memihak salah satu dan dianjurkan jadi penengah untuk mendamaikan tetangga yang saling berselisih. Sebab Allah menganjurkan kita untuk berbuat baik dengan siapa pun, “… Dan berbuatlah baik kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh… (QS. An-Nisa`: 36). Semoga kita termasuk orang yang dimuliakan Allah karena telah memuliakan tetangga kita. (n. mursidi).


Tidak ada komentar: