Minggu, 18 September 2005

islam di autria: mengangkat citra islam yang sejuk

majalah hidayah edisi 50 september 2005

Kehidupan kaum muslim di negara-negara Barat, kerap menyisakan “denting” miring yang kurang sedap ketika didengar telinga. Kisah-kisah tidak menyenangkan, seperti tentang pelarangan memakai jilbab (bagi wanita muslim), kebijakan pemerintah yang “kurang adil”, tuduhan terhadap umat Islam yang dinilai ekstrim dan anti-Yahudi sudah bukan lagi berita baru.

Selain itu, kendala seputar fasilitas ibadah seperti masjid dan pemakaman (muslim) juga kerap menjadi persoalan tersendiri. Pendek kata, semua itu merupakan kerumitan hidup di sebagian negara Eropa yang membuat warga muslim seperti hidup dalam tempurung.

Tetapi, berbeda dengan warga muslim di negara Eropa (Barat) lain, tampaknya warga muslim Austria boleh dikatakan lebih beruntung dan “bernasib baik”. Sebab, di negara yang terletak di Eropa Tengah ini, kaum muslim di sana bisa menikmati kebebasan beragama dan menjalankan ajaran agama dengan aman. Jilbab yang kerap menjadi masalah di negara Eropa lain, ternyata tak menjadi batu ganjalan bagi wanita muslim Austria.

Kendati demikian, bukan berarti muslim Austria tidak terganjal masalah. Meski boleh dikata hal itu hanya buih-buih kecil namun tetaplah menuntut kaum muslim Austria berjuang keras, terutama dalam masalah mengangkat dan menjelaskan citra miring tentang Islam yang selama ini didistorsi Barat apalagi sejak peristiwa 11 September yang mengakibatkan runyam hubungan Islam-Barat.

Islam Masuk Austria
Bagaimanakah awal mula Islam masuk Austria? Sebenarnya di benua Eropa, agama Islam sudah lama sekali dikenal dan tumbuh. Hal ini dimulai tatkala terjadi ekspedisi tentara Islam tahun 732. Setelah itu, bangsa Arab sempat “menduduki” Spanyol (Andalusia) sampai tahun 1492. Dari pendudukan itu, bangsa Arab kemudian meninggalkan dan bahkan turut mewarnai perjalanan sejarah Eropa, dengan beberapa warisan ilmu pengetahuan di antaranya semisal ilmu astronomi, matematika, arsitektur dan lain sebagainya. Cerdasnya, bangsa Eropa kemudian lewat para ilmuwan yang dimiliki mengembangkan lebih jauh dan mendalam lagi --sehingga di kemudian hari membawa Barat maju dalam hal peradaban dan ilmu pengetahuan.

Sementara, komunitas muslim Eropa mulai muncul kembali sekitar Perang Dunia II. Jumlahnya terus naik dari tahun ke tahun bahkan sampai di penghujung 1999, di Eropa Barat sudah tercatat 12 juta hingga 15 juta, di antaranya menetap di Austria. Adapun keberadaan umat muslim di negara Austria bermula pada tahun 1878, ketika Kongres Berlin menyetujui aneksasi wilayah Bosnia-Herzegovina dan Sanjak (Novi Bazar) oleh Kekaisaran Austro-Hungaria. Sejak itu, agama Islam boleh dibilang bertumbuh kembang hingga sekarang.

Tapi agama Islam mulai diakui di Austria pada tahun 1908, dan menjadi agama kedua terbesar setelah Kristen Katolik. Jumlah komunitas muslim Austria saat ini mencapai sekitar 500 ribu orang atau enam persen dari total populasi penduduk Austria yang berjumlah sekitar 8 juta jiwa. Jika mau dilihat dari segi jumlahnya, pemeluk Islam Austria merupakan besar dibanding dengan agama lain. Tidak menutup kemungkinan jumlah itu akan dan masih terus bertambah. Terlebih sepanjang abad 20 lalu ketika arus imigran dari negara-negara pecahan Yugoslavia, Asia Barat dan Afrika Barat berdatangan ke Eropa dalam jumlah yang cukup besar atau tidak sedikit.

Umat muslim Austria sebagian besar adalah para imigran yang hadir sekitar tahun 60-an. Di antara mereka terdapat pula para pengungsi politik --terutama dari Turki dan negara pecahan Yugoslavia. Dipilihnya Austria sebagai salah satu tujuan utama para pengungsi asal Yugoslavia, disamping karena letak negara tersebut yang mudah dijangkau –tentunya-- juga karena faktor sejarah --sebagaimana telah dijelaskan di atas. Sedangkan sebagian kecil lainnya, adalah para imigran yang berasal dari Iran, Mesir, Suriah dan Tunisia.

Pertambahan angka imigran, utamanya yang berasal dari negara-negara Islam itu pada akhirnya mendorong pemerintah untuk membuat peraturan khusus bagi hubungan antara minoritas muslim dan warga asli di Austria. Aturan itu sendiri sudah ada sejak tahun 1912 melalui Akta Islam (Islamgesetz) yang mengakui Islam sebagai salah satu agama resmi.

Jelas saja, dengan dikeluarkannya aturan itu tidak lain merupakan “senjata ampuh” di atas kertas untuk dijadikan sebagai tempat berlindung dari segi hukum. Karenanya, berpijak dari aturan itu pula maka dibentuk organisasi Muslim Faith Union (1979). Selain itu juga didirikan Otoritas Agama Islam yang berfungsi sebagai perwakilan agama dan spiritiual dari warga muslim Austria. Dari keberadaan perwakilan itulah, saat ini terdapat sekitar 76 masjid dan mushola di Austria, 53 masjid di antaranya terdapat di kota Vienna. Selebihnya, warga muslim di sana kini sedang mengupayakan izin untuk membangun pemakaman muslim.

Selain itu, di sana anak-anak muslim juga bisa memperoleh pelajaran agama Islam di sekolah-sekolah dengan guru-guru agama yang digaji oleh pemerintah. Tentunya hal ini bisa dicatat sebagai nilai lebih bagi kaum muslim Austria dibandingkan dengan warga muslim di negara-negara Eropa lain, selain adanya kebebasan bagi wanita muslim untuk memakai jilbab.

Meskipun tercatat sudah sejak 1912 Islam diakui eksistensinya (keberadaannya) di Austria sebagai komunitas masyarakat lewat pemberian hak-hak yang sama, namun saat itu anehnya justru hanya penganut mazhab Hanafi saja yang mendapat pengakuan dari negara. Baru setelah dikeluarkannya Undang-undang pada 1984, pembatasan tersebut pada akhirnya dihapuskan, karena dianggap bertentangan dengan ajaran Islam yang universal. Makanya, saat ini Islam dengan segala tradisinya, telah diakui secara penuh di Austria. Komunitas muslim di sana juga bisa dengan bebas menjalankan ibadah dan ajaran agama yang dipeluk dengan erat tanpa ada unsur pelarangan.

Tuduhan tak Sedap
Lantas, apakah dengan kebebasan itu menjadikan warga muslim Austria tidak lepas dari tuduhan dan sasaran empuk dari sinisme SARA bagi mereka yang anti-Islam? Ternyata tidak! Sebab, setelah peristiwa 11 September boleh dikata telah menggeser kembali tatanan di atas. Sama seperti umat muslim lain di negara-negara Eropa, mereka kini kerap menjadi sasaran empuk bagi orang yang anti-Islam dengan tuduhan umat Islam sebagai fundamentalis dan tuduhan yang tak sedap lainnya.

Apalagi, keberadaan komunitas muslim Austria kebanyakan adalah para imigran yang dulunya “datang sebagai tamu” yang menetap ke Austria lebih sebagai orang untuk mencari kerja. Tentu saja, dari fakta itu menjadi senjata ampuh bagi mereka untuk menuduh bahwa kaum muslim Austria sebagai komunitas yang “hidup dalam kekurangan dan kemiskinan” dan kedatangannya ke Austria hanyalah sebagai imigran.

Selain itu, gencarnya pers Barat yang menuduh Islam dengan sejumlah embel-embel miring seperti extrimis, fanatis dan fundamentalis yang menghalalkan kekerasan sudah cukup kuat menghegemoni media internasional. Tak salah jika warga muslim Austria pun kemudian mengalami tuduhan yang sama. Apalagi sejak peristiwa 11 September, Islam di dunia Barat lebih dikenal sebagai teroris daripada sebagai sebuah ajaran yang mencintai damai, kesejukan dan menghormati keberadaan agama lain (pluralisme). Akibatnya, warga muslim Austria kini ditikam dalam tuduhan yang tak sedap.

Berjuang Keras Mengangkat Citra Islam
Dari semua tuduhan di atas, warga muslim Austria sudah sewajarnya jika tidak mau mati dalam tuduhan yang tak benar itu. Karenanya, warga muslim Austria kemudian berjuang keras membersihkan (tepatnya: meluruskan) stigma miring sebagaimana dituduhkan. Lantas, yang jadi pertanyaan adalah; dengan cara apa warga muslim Austria berjuang mengangkat citra Islam?

Setidaknya ada tiga hal perlu dicatat dari perjuangan warga muslim Austria untuk menepis tudingan miring di atas. Pertama, lewat sebuah konferensi yang dimaksudkan guna menyatukan umat Islam di negara Austria untuk membahas berbagai tuduhan media Barat tentang Islam yang dicap miring. Dalam sebuah konferensi beberapa bulan lalu, tak kurang dari 150 imam sempat berkumpul di Vienna dengan sebuah agenda membahas masalah-masalah penting yang dihadapi muslim Austria pada khususnya dan Eropa pada umumnya..

"Konferensi ini ditujukan untuk mempersatukan orang Islam dari Austria di tengah gelombang kampanye media massa yang anti-Islam sesudah kasus pembunuhan sutradara Belanda Theo Van Gogh bulan November lalu," ujar Omar Al-Rawi, seorang pengurus the Islamic Religious Authority (IRA), seperti dikutip IslamOnline.net.

Lebih lanjut Omar mengatakan, konferensi itu akan membuktikan berbagai tuduhan gencar media massa di luar Austria yang menyebarkan isu klise dan berbagai kesalahpahaman tentang Islam, terutama mengenai hak-hak kaum wanita.

Kedua, mendirikan wadah atau organisasi guna melindungi hak dan untuk mewadahi aspirasi yang perlu disampaikan kepada pemerintah. Salah satu dari wadah itu adalah FMFO, sebuah forum muslimah Austria yang berafiliasi ke IGG (semacam departmen khusus agama Islam). "Para muslimah Austria telah melakukan langkah-langkah politik dan bahkan sosial yang mengesankan baik secara perorangan maupun melalui IGG," kata Amina Baghajati, juru bicara forum yang baru lahir itu sekaligus menjabat sebagai salah seorang anggota dewan pendiri.

Tujuannya untuk apa? Tak lain, adalah untuk mengangkat citra baik Islam agar tidak berwarna muram. Karena tidak bisa ditepis Islam harus diakui sebagai ajaran yang mencintai damai dan juga menebarkan kesejukan. Dalam kaitannya dengan itulah, Amina lebih lanjut berucap, "Kami berusaha sebaik mungkin untuk membela citra Islam melalui Eropa, sambil menuntut dan menegaskan bahwa kemerdekaan dan persamaan adalah hak-hak yang tak dapat dicabut dan diabadikan oleh Islam untuk para wanita."

Ketiga, lewat jalur pendidikan. Selain lewat jalur konferensi dan pendirian organisasi, cara ampuh lain yang ditempuh adalah lewat jalur pendidikan. Sebab, dengan semakin banyak warga muslim yang berpendidikan, menjadi sarjana dan berhasil menyelesaikan pendidikan tingginya, tidak mustahil jika konteks itu akan mengangkat keberadaan muslim Austria yang selama ini dikenal sebagai kaum pinggiran, miskin dan imigran yang datang mencari kerja. Sebab tak diingkari dengan meningkatnya jumlah pelajar akan menepis anggapan masyarakat Austria bahwa kedatangan warga muslim ke Eropa bukan sekedar untuk mencari kerja, tapi ada juga yang belajar demi menunut ilmu pengetahuan.

Dalam konteks perjualan lewat jalur pendidikan, salah seorang warga muslim asli Syria yang sudah lama tinggal di Austria selama delapan tahun, Al-Husari mengungkapkan, warga Muslim yang berpendidikan lebih mudah untuk berintegrasi dalam masyarakat Barat tanpa harus melepaskan identitas ke-Islamannya. Al-Husari sendiri, baru saja menyelesaikan pendidikannya dari Fakultas Studi Islam di Prancis jurusan Shariah dan Studi Yurisprudensi.

Hal senada juga diungkapkan Waleed Ali Abdul Rahman, warga muslim asal Sudan yang sedang menimba ilmu kedokteran. "Dibutuhkan pemuda Islam untuk mempertahankan identitas Islam di tengah masyarakat Barat, khususnya mereka yang lahir dan mendapatkan pendidikan di negara-negara Barat," ujar Abdul Rahman.

Saat ini, diperkirakan ada sekitar 2.472 mahasiswa keturunan Arab dan muslim yang belajar di universitas-universitas di negara Austria, termasuk ada sekitar 249 mahasiswa yang belajar di Univerisitas Vienna. Pada tahun 2004, tercatat ada 2891 mahasiswa muslim yang mengambil gelar kesarjanaan untuk tingkat Master dan PHD.

Apalagi Omar Al-Rawi, orang yang bertanggung jawab untuk masalah integritas di Islamic Religious Authority (IRA) mengatakan, warga muslim Austria membutuhkan banyak tenaga-tenaga spesialis. "Kami masih banyak membutuhkan tenaga-tenaga guru, insinyur, dokter dan politisi, untuk memenuhi kebutuhan muslim Austria yang makin meningkat," ujar Al-Rawi.

Seorang peneliti asal Mesir, Ali Suleiman tidak menepis kalau warga muslim yang pendidikannya tinggi dikatakan lebih mampu memikul tanggung jawab yang besar terhadap masyarakat dan agamanya. "Dengan gelar kesarjanaannya dan kerja keras, generasi muda muslim di negara-negara Barat membuktikan bahwa agama Islam adalah agama yang penuh toleransi, mendorong para penganutnya untuk menimba ilmu setinggi mungkin agar bisa mewakili negara dan agamanya dengan baik," tutur Suleiman.

Dengan tiga pilar perjuangan yang dilakukan warga muslim Austria itu, satu harapan besar yang ingin diperoleh adalah dikenalnya Islam sebagai ajaran yang baik di Eropa Barat. Islam sebagaimana mestinya, rahmatan lil alamin. Islam yang damai, sejuk dan indah bagi siapa pun. Apalagi saat ini, diperkirakan jumlah warga muslim Austria telah mencapai 500 ribu orang atau sekitar 6 persen dari total jumlah penduduk negara itu --yang mau tidak mau-membutuhkan rasa aman dan ingin diakui keberadaannya dan tidak ada alasan untuk dituduh yang macam-macam. (nur mursidi/dari berbagai sumber)

In Box
Sekilas Mengenai Austria :
Terletak di bagian tengah Eropa Selatan, Austria merupakan negeri yang banyak daerah pegunungan yang diselimuti dengan salju. Luas wilayah negara Austria sebanding luas wilayah Provinsi Sulawesi Selatan. Negara-negara tetangganya antara adalah: Switzerland dan Liechtenstein di barat, Ceko, Slowakia dan Jerman di utara serta Hongaria di timur dan Italia di sebelah selatan.

Nama Asli : Republic Osterreich
Luas Wilayah : 83.851 KM2
Bentuk Negara : Republik
Kepala Negara : Presiden
Ibukota : Vienna
Agama : Katolik 85% lain-lain 15 %
Bahasa Nasional : Jerman
Mata Uang : Scalling
Lagu Kebangsaan : Osterreichische Bundes Hymne
Hasil Tani : Bahan pangan, produk hutan, padi-padian, gula dll
Sumber Alam : Biji besi, kimia, mesin-mesin, kertas dll
Industri : Besi, baja, aluminium, batubara, semen, tembaga dll
(sumber: Wikipedia—Ensiklopedia bebas)

Tidak ada komentar: