Minggu, 18 September 2005

jenazah melompat ke atas

majalah hidayah edisi 50 september 2005

Lelaki tua itu, yang oleh penduduk kampung dikenal dengan nama Mbah Sujad (55 tahun, bukan nama sebenarnya) pada akhir hayatnya harus menerima kenyataan hidup yang menyedihkan. Sebab, limpahan harta kekayaan yang dimilikinya, ternyata tidak bisa menolong derita dan penyakit yang ditanggungnya. Sekitar dua minggu sebelum meninggal, lelaki tua itu hanya bisa meregang dan mengeluh kesakitan.

Tubuh lelaki tua itu, hanya tergolek lemas tak berdaya di atas ranjang. Sepasang bola matanya terlihat nanar, tak berkedip sedikit pun. Selebihnya, tatapan matanya terlihat kosong menerawang jauh. Sebuah sorot mata yang berusaha menembus langit-langit kamar, dengan tatapan mata yang tajam seakan berusaha mengenang sejarah di masa lalu.

Tapi tidak ada sepatah kata yang keluar dari mulutnya kecuali erangan kesakitan. Juga jeritan yang tidak jelas, akibat menanggung derita yang tidak terperikan setelah kelaminnya bengkak dan membesar. “Aghhh.... Aduuuuh....”, keluhnya setiap kali gesekan kedua pahanya menyentuh kelaminnya.

Menderita Penyakit Aneh
Entah penyakit apa yang diderita Mbah Sujad di usia senjanya. Dokter yang sempat diundang ke rumahnya, setelah memeriksanya tak bisa memastikan penyakit apa yang sedang dideritanya. Sang dokter hanya memberikan keterangan bahwa penyakit itu bukanlah hernia. “Kemaluannya membesar tanpa sebab. Bukan karena hernia. Tapi memang besar sehingga membuat dia sulit berjalan,“ cerita Laela Sundari kepada Hidayah.

Kondisi memprihatinkan itulah yang dirasa Mbah Sujad benar-benar menyiksa hari-hari tuanya. Sejak dia menderita sakit, praktis mengalami istirahat total di atas tempat tidur. Ia tak bisa lagi pergi ke sawah, pergi ke penggilingan padi miliknya dan mengontrol para buruh yang dia pekerjakan. Jangankan pergi ke tempat yang jauh! Pergi ke kamar mandi saja atau ke ruang tengah rumahnya, sudah membuatnya meregang kesakitan. Nyeri. Bahkan beranjak dari pembaringan pun –jika dipaksakan-- bisa menimbulkan ketidaknyaman. Ada rasa pedih dan perih jika gesekan kedua pahanya menyentuh kelaminnya.

Lelaki tua itu pun kemudian hanya berdiam diri di atas ranjang. Matanya selalu tajam menatap langit-langit, mengharap anugerah kesembuhan. Tapi kian hari kondisi Mbah Sujad tidak kian membaik. Kemaluannya tidak juga kembali normal meski sudah diperiksa dokter berkali-kali.

Semua usaha medis telah ditempuh. Ternyata tidak mengubah keadaan yang dialami lelaki tua itu. Selain tetap sulit berjalan, dia juga terpaksa harus terbujur kaku, menerima nasib tragis. Hanya balutan sarung yang selalu membalut tubuhnya. Untuk bergerak pun dia harus hati-hati. Tak salah jika dia melewatkan hari-harinya dengan terbaring di atas kasur. Padahal, selain diperiksa dokter, juga telah ditangani seorang tukang urut dan orang pintar. Tapi entah kenapa, bangkak di kemaluannya tak juga kunjung normal. Tetap membuatnya sulit berjalan!

Setiap siang dan malam, sedikit-sedikit selalu saja keluar suara erangan yang membuat Sripah (47 thn, bukan nama sebenarnya) dan Juminem (40 tahun, bukan nama sebenarnya) yang menjadi pembantu di rumahnya itu harus repot mengurus. Sebab tidak jarang di tengah malam gulita, Mbah Sujad mengerang kesakitan. Juga, meminta ditemani oleh istrinya karena ia tidak ingin ditinggalkan sendirian di dalam kamarnya yang sempit dan pengap.

“Sripah! Sripahhhhhh!!!!” suaranya keras memecah keheningan malam.

“Ada apa pak-ne?” tanya Sripah setelah Mbah Sujad memanggil-manggilnya.

“Kenapa kamu meninggalkan aku sendirian di kamar ini? Apa kamu tidak tahu kalau aku sedang sakit?”

Sripah hanya diam. Tidak menjawab. Ia tak tahu harus menjawab apa. Tapi sepasang tangannya segera bergerak cepat memijiti kedua kaki suaminya. Selanjutnya, terdengar suara erangan yang cukup pelan dari mulut suaminya, namun hal itu tidak dihiraukan. Sripah terus memijiti kedua kaki suaminya dan setelah merasa nyaman, biasanya Mbah Sujad bisa tidur...

Hari terus berlalu dan malam juga terus berganti. Mbah Sujad, entah kenapa tak juga dikaruniai kesembuhan. Berbagai usaha telah dilakukan. Bahkan tak sedikit uang yang sudah dikeluarkan, karena yang diharapkannya supaya cepat sembuh. Namun, bukan kesembuhan yang didapat, malah kian hari tubuhnya kian sakit parah.

Malahan seminggu kemudian, Mbah Sujad mununjukkan gejala mengidap penyakit aneh. Ia merasakan kalau perutnya dirasa mual. Lebih mengiris, setelah rasa mual itu muncul, Mbah Sujad pun muntah-muntah. Parahnya, muntahan itu bukanlah sisa-sisa dari makanan yang ditelannya, melainkan berupa darah. Lebih menjijikkan, muntahan itu ternyata diiringi dengan adanya binatang menakutkan berupa kalajengking.

“Pas sakitnya sedang parah-parahnya, muntahannya itu selain berupa darah juga ada binatang kalajengkingnya. Saya memang tidak tahu secara persis tapi yang bercerita semua ini adalah pembantunya sendiri,” cerita Laela Sundari lebih lanjut.

Takdir Tuhan memang tidak bisa ditolak. Obat-obatan yang sudah diminumnya tidak memberikan pengaruh sedikit pun. Mbah Sujad masih muntah terus dan dari hari ke hari, muntahan darah itu membuat keluarga dibuat jijik, terutama Juminem, pembantunya. Sebab, darah muntahan Mbah Sujad kerapkali mengotori lantai dan Juminem harus membersihkan dengan telaten.

Mbah Sujad tak habis pikir kenapa di akhir hayatnya cukup menyedihkan. Selain tidak bisa berjalan, masih ditambah dengan sakit aneh berupa muntah darah yang kerapkali diiringi binatang kalajengking. Sungguh berat perjuangan Mbah Sujad dalam melawan sakit di ujung usianya. Hingga dua minggu sejak Mbah Sujad didera sakit, sekitar 1999, ia menghembuskan nafas terakhir --selepas subuh.

Berita meninggalnya Mbah Sujad itu membuat warga bertanya-tanya, apalagi karena sebelumnya didahului penyakit yang aneh. Tak salah, jika ada warga yang menganggap bahwa kematian Mbah Sujad itu tak lebih dijadikan sebagai tumbal. Sebab, ada kabar miring kalau Sripah, istrinya telah mengambil pesugihan dan dia dijadikan tumbal untuk dikorbankan.

Jenazah Melompat ke Atas
Sesuai rencana yang disepakati keluarga, jenazah dimakamkan selepas shalat dhuhur. Setelah prosesi perawatan jenazah usai, jenazah lalu diusung ke pembaringan terakhir. Meski siang itu udara dan terik mentari terasa panas, tetapi warga yang mengantar jenazah tak mau menunda-nunda lagi. Apalagi jarak rumah almarhum dengan tempat pemakaman tidak jauh, hanya terletak di belakang rumah. Maka dalam beberapa langkah saja, para pengantar jenazah sudah sampai di pemakaman.

Tiga warga kampung Sekarwangi (bukan nama sebenarnya) lalu membuka keranda. Dua orang yang lain, turun ke liang kubur. Angin sepoi-sepoi berhembus dengan pelan. Saat itulah, jenazah dimasukkan ke dalam liang lahat.

Selanjutnya seorang yang berada di liang kubur membuka tali bagian kepala jenazah. Namun, tanpa disangka- sangka oleh warga yang hadir di situ, tiba-tiba jenazah meloncat ke atas. Jenazah itu melompat dan melampai kerumunan warga yang khitmad mengikuti prosesi pemakaman.

Warga yang mengantar jenazah dibuat kaget. Terkejut dan juga panik. Lebih dari itu, justru kejadian melompatnya jenazah ke atas itu dikira warga tidak lebih gurauan dari seorang yang berada di liang kubur. Pendeknya, kejadian itu dianggap disengaja. Wajar saja jika salah seorang dari mereka ada yang sempat berucap;

"Eh, jangan bercanda, kang! Ini prosesi pemakaman jenazah, bukan mainan."

"Siapa yang sedang bercanda, kang? Jenazah itu melompat dengan sendirinya!”

Seketika itu, sebagian warga dihinggapi rasa takut. Bahkan ada juga yang lari tunggang langgang. Selebihnya, mereka benar-benar dibuat tak berkutik. Heran dan tak percaya dengan kejadian janggal yang barusan dilihat. Sementara itu, jenazah sudah tergolek di dekat keranda seolah-olah tanah kuburan tidak mau menerima kehadirannya.

Tapi namanya jenazah, mau tidak mau harus diurus. Dikubur. Karena itulah, Mbah Bukhori yang menjabat sebagai modin kampung memerintahkan warga untuk mengambil jenazah Mbah Sujad. Jenazah itu pun kemudian dimasukkan ke dalam liang kubur kembali. Anehnya, kejadian serupa terjadi kembali.

Warga dibuat bingung setengah mati. Melihat kejadian itu terulang lagi, semua mata hanya nanar menatap jenazah yang melompat lalu tergolek di samping keranda.

Namun, modin kampung (yang biasa mengurus jenazah di kampung) tak diam seribu bahasa. Dia kemudian berujar, ”Semua yang hadir di sini, kita tidak berburuk sangka dengan almarhum. Tapi kejadian ini benar-benar membuat kita harus berbuat sesuatu. Untuk itu, jika memang di antara kalian ada yang menyimpan dendam dengan almarhum, saya minta untuk memaafkannya. Sebab, kita di sini tahu siapa sebenarnya Mbah Sujad. Selain itu, marilah kita semua berdoa, minta kepada Allah untuk kemudahan pemakaman ini.”

Warga hanya diam, menundukkan kepala dan sang modin kemudian melafalkan doa. Sesaat terik mentari dirasa membakar hati sebagian warga yang masih menyimpan dendam.

Setelah doa selesai dilafalkan, jenazah diambil kembagi. Untuk prosesi pemakaman yang ketiga itulah, jenazah tidak melompat lagi. Namun, warga tetap dihantui rasa takut kalau peristiwa sebelumnya terulang lagi. Dengan segera warga menimbun liang kubur itu dengan tanah….


Suka Mengambil Milik Orang
Mbah Sujad bukanlah tergolong orang yang miskin di kampung Sekarwangi. Bahkan sebagaimana diceritakan Laela Sundari, narasumber Hidayah, dia termasuk orang yang bisa dimasukkan sebagai orang kaya di kampung itu. Kendati demikian, hal itu tidak membuatnya bersyukur atau merasa cukup. Dia masih selalu merasa kurang sehingga kerap berbuat kurang baik dengan jalan mengambil milik orang lain.

Bahkan untuk urusan sepele sekali pun, ia tidak mau mengeluarkan uang. Contohnya soal aliran listrik. Untuk penerangan di sekitar rumah miliknya, dia mencuri aliran listrik dari tiang di persimpangan dekat rumahnya. Tentu saja, perbuatan itu membuat warga kampung heran dan tidak mengerti dengan apa yang dilakukannya. Namun, ketika hal itu diperingatkan seorang warga, dia hanya diam seribu bahasa. Cuek.

Selain itu, kebetulan di belakang rumahnya adalah tanah kuburan kampung. Setelah dipikir-pikir dan menimang-nimang bahwa tanah kuburan itu sudah lama, maka ia berinisiatif untuk mendirikan bangunan demi pelabaran rumah. Ia ingin memanfaatkan tanah kuburan itu daripada tak berguna. Lalu, disuruhnya beberapa orang untuk melakukan penggalian di tanah kuburan itu untuk dijadikan pondasi awal.

Sialnya, karena tanah itu bekas kuburan, maka tidak mustahil lagi setelah dilakukan penggalian ditemukan tulang mayat dan malah ditemukan juga mayat yang masih utuh, tidak busuk dan kain kafannya masih bersih. Beberapa warga kampung ada yang tahu keberadaan mayat itu, sehingga menyarankan untuk menggagalkan niat pelebaran bangunan rumah di atas tanah kuburan itu.

Namun ia ngenyel –dalam bahasa Jawa; tak mau mengalah-- dan tidak mempedulikan saran beberapa warga. Dia tetap saja bersikeras meneruskan bangunan rumah sehingga warga terpaksa memindahkan mayat utuh itu ke tanah kuburan yang lain.

Sifat keras kepala dan selalu bertindak semaunya sendiri itu, memang sudah dikenal semua warga. Tetapi, itu belumlah seberapa. Sebab, ada lagi perilaku buruk lain yang sungguh dikecam banyak warga, namun dia tetap tidak mempedulikannya. Sifat kurang baik itu adalah kesukaannya yang selalu mengambil beras milik warga yang menggilingkan padi di tempat penggilingannya.

Menurut nara sumber Hidayah, dia itu memiliki penggilingan padi dan tidak sedikit orang yang menggilingkan padi kepadanya. Tapi setelah padi itu digiling, ia menguranginya. Padahal, umumnya orang yang menggilingkan padi ke tempat penggilingannya itu adalah orang miskin. Dia tetap tega juga mengurangi beras orang lain sehabis digiling.

Hal itu dilakukan selama bertahun-tahun, hingga usianya kemudian mencapai senja. Dan di saat usianya sudah memasuki akhir hanya itulah, dia didera sakit berupa kemaluannya membesar dan bahkan muntah darah. Selama dua minggu, dia terbujur kaku di atas ranjang dan kekayaan yang dimilikinya ternyata tak bisa menolongnya.

Lebih dari itu, setelah ia meninggal ternyata dalam prosesi pemakamannya ditemukan kejanggalan. Sebab, jenazahnya dua kali melompat dari liang lahat. Wallahu’alam bil shawab

In Box
Laela Sundari, 32 tahun, tetangga
"Mengurangi Beras Orang"
Kebetulan rumah saya itu dekat dengan tempat pemakaman umum (TPU), sehingga saya sering ikut melayat jika ada salah seorang tetangga yang meninggal atau sekedar melihat prosesi pemakaman dari rumah. Karena itu, setiap ada kejadian aneh berhubungan dengan pemakaman seseorang, saya kerap tahu.

Salah satu kejadian janggal itu adalah peristiwa prosesi pemakaman jenazah yang bisa melompat ke atas. Seolah, tanah kuburan tidak mau menerima jenazahnya. Saat dikuburkan, tepatnya ketika mau dibuka tali bagian kepala, tiba-tiba jenazah itu meloncat ke atas. Kontan, warga lari tunggang langgang. Namun jenazah harus dikubur. Karena itu, diambil lagi untuk dikebumikan. Anehnya, peristiwa serupa kembali terjadi sehingga modin kampung meminta warga untuk memaafkan jika almarhum punya salah, selain tentu memanjatkan doa kepada Allah demi kemudahan pemakaman. Setelah itu, baru pada pemakaman ketiga, jenazah bisa dikubur dan tak melompat lagi ke atas.

Tentu saja, peristiwa itu mengundang heran warga. Tapi kejadian itu bisa dimengerti mengingat almarhum semasa hidup telah banyak berbuat kurang baik; memanfaatkan tanah kuburan untuk bangunan rumahnya dan mengurangi beras orang yang menggilingkan padi ke tempat penggilingannya. (NM).


Tidak ada komentar: