Sikap jujur, berbudi agung, teguh memegang suatu amanah dan sebongkah rasa takut kepada Allah semata-mata tidak dapat diukur dari “status yang melekat” pada diri seseorang. Karena itu, biar pun seseorang itu hanya budak India namun jika memiliki tingkat ketaqwaan dan keteguhan hati dalam menjaga amanah layak untuk dihormati. Bahkan kedudukan budak itu lebih terhormat daripada pemimpin yang korup atau orang kaya raya namun harta itu dari hasil yang tidak halal.
Kualitas keimanan dan keluhuran budi manusia, pada dasarnya terpancar dari lubuk hati (jiwa) yang bersih. Dengan itu, tolok ukurnya bukanlah dari tingginya jabatan, keturunan atau status sosial, melainkan dari kejernihan hati. Dengan kata lain, hati seorang hamba yang benar-benar mengenal Sang Khalik, lalu mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari tanpa adanya sifat kepura-puraan.
Juga di hadapan Allah nanti, tingkat keimanan itu jauh lebih penting daripada sekedar jabatan empuk sebagai pemimpin, hidup dengan limpahan harta (kekayaan) atau dilahirkan dari keturunan ningrat. Sebab, apa artinya jadi pewagai jika hati kotor dan hidup bergelimang dengan dosa? Di sinilah, jaminan status sosial dan keturunan tak menjamin seorang hamba ketika dihadapkan di hari pengadilan kelak. Hal ini sebagaimana dinyatakan al-Qur`an bahwa Allah akan melihat seseorang bukan berdasarkan apa-apa tapi berdasarkan tingkat keimanan yang bersemayam di hati.
Berpijak dari pemahaman di atas, tidak salah kalau orang tua yang mau menikahkan putri kesayangannya haruslah mempertimbangkan agama dan akhlak (yang luhur) daripada melihat status sosial, kekayaan dan keturunan. Karena itulah, kisah di bawah ini menegaskan dengan jelas bahwa pentingnya agama sebenarnya jauh lebih tinggi tingkatnya dibandingkan dengan faktor lain yang bersifat duniawi dan materi. Sebab, faktor duniawi itu hanya sesaat dan tidak akan berumur panjang.
***
Di wilayah Maru (kota di Turkeministan), nama Nuh bin Maryam adalah sebuah nama yang cukup terkenal dan dihormati di seluruh kota. Sebab, dia adalah seorang penguasa dan qadhi yang memiliki kharisma sehingga cukup disegani. Apalagi dia hidup dalam gelimang harta kekayaan sehingga tak ada kebutuhan keluarga dan dirinya sendiri yang tak tercukupi. Pendek kata, dia hidup cukup sejahtera dan makmur.
Tahun berlalu dan dia punya putri cantik jelita yang telah melewati masa pernikahan sehingga sejumlah petinggi dan orang-orang kaya di kota Maru bermaksud melamar untuk menjadikan istri maupun menantu bagi putra mereka. Selain cantik, putri Nuh itu ternyata juga berpendidikan tinggi. Alkisah, tidak sedikit yang berminat. Sejumlah mas kawin (mahar) pun diajukan untuk menarik simpati Nuh dan juga putrinya untuk mau menerima lamaran.
Tapi tak ada satu pun dari para pelamar itu yang mampu menarik hati dan memenuhi keinginannya. Akibatnya, sang ayah jadi bingung. Tak tahu dengan siapa ia akan menikahkan putri kesayangannya yang cantik dan menawan itu. Sebab, jika dia harus nekat dan memilih salah satu dari orang-orang yang melamar itu, dikhawatirkan bisa menyakiti pelamar-pelamar yang lain.
Bingung ditikam siapa pelamar yang mau dipilih, sampai dua bulan pun hal itu masih menggelayuti pikiran Nuh. Karena itulah, saat dia menengok kebun anggur yang dimilikinya hal itu masih menjadi beban pikirannya. Apalagi, Nuh teringat kalau dia mempunyai seorang budak India yang taat beragama dan bertaqwa. Namanya Mubarak. Ia oleh Nuh telah diberi kepercayaan penuh untuk menjaga kebun yang lebat dengan pepohonan dan buah-buahan yang berlimpah.
Setelah bertemu dengan Mubarak di kebun anggur, Nuh ingin mencicipi buah anggur miliknya dan berkata kepada Nuh, “Tolong ambilkan untukku setangkai anggur!”
Mubarak dengan langkah tunduk, memenuhi perintah sang majikan untuk memetik setangkai anggur. Dia memetik setangkai anggur yang menurutnya masak lalu diberikannya setangkai anggur itu kepada majikannnya dan tak lama kemudian Nuh memakannya.
Namun tatkala sang majikan itu mencicipi anggur tersebut, ternyata dirasakan masam sekali. Dia kemudian meminta kepada budaknya itu untuk mengambilkan kembali setangkai anggur. Sang budak pun melangkah, memenuhi perintah sang majikan. Memetik buah anggur yang menurutnya manis dan kemudian memberikannya kepada sang majikan. Namun, Nuh benar-benar dibuat kecewa karena ia mendapati angur itu pun terasa masam.
Setelah beberapa tangkai anggur hasil petikan sang budak terasa masam, ia minta lagi dan lagi. Anehnya, rasanya selalu saja masam. Heran dengan keanehan itu, dia pun bertanya kepada budaknya, “Mengapa engkau hanya memetik dari kebun seluas ini setangkai anggur yang selalu rasanya masam?”
Sang budak pun dengan jujur menjawab, “Hamba tidak tahu Tuan, mana yang manis dan mana pula yang masak.”
Saat mendengar jawaban dari budaknya itu, sang majikan mengelus dada dan seketika mengucapkan kalimat “Subhanallah! Sudah lama engkau kerja di sini kenapa masih juga belum tahu anggur mana yang manis dan anggur mana pula yang rasanya masam?”
Lagi-lagi dengan jujur dan polosnya, budak itu menjawab, “Ini semua adalah hak dan milik Tuan, sementara saya hanya hamba sehingga tiada hak apa pun. Karena itu, hamba belum pernah merasakan setangkai anggur pun dari kebun ini sehingga tidak tahu mana yang masam dan mana pula yang manis.”
Dengan rasa heran, si majikan bertanya, “Lalu, mengapa engkau tidak memakan anggur-anggur di kebun ini?”
Sang budak masih dengan sikap jujur menjawab, “Karena Tuan hanya memerintahkan kepada hamba agar menjaganya semata, tidak memberi perintah untuk memakannya. Tidak sepatutnya jika hamba kemudian harus mengkhianati apa yang telah tuan perintahkan, sementara hamba hanyalah seorang budak!”
Tatkala mendengar pengakuan dari budaknya itu, sang pejabat tuannya itu dibuat terkagum. Ia menaruh hormat karena perilaku, akhlak dan juga keteguhan sang budak dalam menjaga amanah. Dari rasa kagum itulah, kemudian tuannya mendoakan, “Semoga Allah selalu memeliharamu atas sikap amanahmu.”
Kini, sang tuan tidak ragu lagi dan yakin sepenuhnya bahwa budak yang dimilikinya itu bukan hanya laki-laki yang berkepribadian baik, namun juga jujur dan bahkan teguh dalam menjaga amanah yang telah diamanatkan kepadanya. Tidak ada salahnya, jika Nuh kemudian memuji budak tersebut, “Aku kagum kepadamu atas kejujuran dan ketaatanmu dalam menjaga amanah yang telah kuberikan. Maka aku percaya engkau akan menuruti perintahku.”
Sang budak menjawab, “Hamba akan patuh dan juga taat selalu pada Tuan, tentunya setelah taat kepada Allah.”
Setelah itu, sang majikan kemudian ingin mengungkapkan apa yang ada di dalam hati yang selama ini menjadi beban dalam pikiran, “Ketahuilah, aku ini mempunyai seorang putri dan banyak orang yang melamarnya, tetapi aku tidak tahu siapa di antara mereka itu yang akan aku terima lamarannya. Tolong beri aku pendapatmu.”
Si budak lalu menjawab santun, “Kita tahu bahwa orang pada masa Jahiliyah mendahulukan kedudukan dan ketampanan. Sedangkan orang Yahudi dan Nasrani akan mendahulukan kecantikan dan ketampanan. Sedangkan pada zaman rasulullah, mereka mencari ketakwaan dan kesalehan agama. Pada masa kita sekarang, mereka mengutamakan harta dan kedudukan. Maka tuan memilih mana dari keempat hal ini yang Tuan inginkan?’
Tanpa ragu lagi, tuannya menjawab pendapat budaknya yang berujung bertanyaan itu dengan jawaban, “Aku akan memilih ketaqwaan dan kesalehan agama dan aku tidak ragu lagi ingin menikahkanmu dengan putri kesayanganku karena aku telah menemukan pada dirimu ketaqwaan dan kesalehan agama. Aku telah menyaksikan ketaqwaan dan sikap amanahmu itu di depan mataku!”
Jelas, si budak itu dibuat terkejut dan tak habis mengerti setelah mendengar kata-kata tuannya. Ia lalu bertanya, “Tuanku, hamba hanyalah seorang budak India. Tuan telah membeli hamba dengan uang tuan, lantas bagaimana mungkin tuan sekarang akan menikahkan hamba dengan putri tuan? Bagaimana mungkin pula tuan akan memilih hamba? Bagaimana mungkin pula putri tuan akan bersedia menerima hamba untuk menjadi suaminya?”
Tapi alasan sang petinggi itu untuk menikahkan putrinya dengan sang budak tak bisa ditolak. Lalu, diajaklah sang budak itu berjalan untuk pulang ke rumah guna mengatur segala sesuatu dan persiapan pernikahan.
Saat keduanya tiba di rumah, sang tuan menyampaikan apa yang ada dalam benaknya kepada sang istri. Ia menjelaskan tentang kesan yang ia dapatkan tentang budaknya sehingga kini ia tak ragu lagi untuk memilih sang budak untuk dinikahkan dengan putrinya.
Saat mendengar penjelasan dan keterangan dari sang suami, istri Nuh pun juga tidak keberatan. Sang istri menyetujui dan menyerahkan sepenuhnya keputusan itu pada suaminya. Tapi, sebelumnya ia mengusulkan kepada suaminya, “Sebaiknya putrimu diminta jawabannya lebih dahulu.”
Sang putri kemudian dimintai jawaban dan putri mereka ternyata tidak menolak. Ia menurut, meskipun harus menikah dengan seorang budak. Tidak ada rasa canggung padahal pelamar-pelamarnya selama ini justru telah menawarkan mas kawin berlimpah.
Lalu keduanya dinikahkan dan kedua orangtuanya membekali mereka dengan harta yang cukup melimpah.
Tahun berganti tahun dan dari buah pernikahan itu lalu lahir putra mereka, Abdullah Ibnu Mubarak. Kelak di kemudian hari, Abdullah bin Mubarak ini ternyata menjadi orang penting dalam sejarah Islam. Abdullah selain dikenal sebagai seorang ulama, juga ahli zuhud dan perawi hadits yang cukup ternama.
***
Pilihan Nuh dengan menikahkan putrinya dengan budak India itu, rupanya tindakan yang bukan tanpa dasar. Sebab dalam sebuah hadits, nabi bersabda “Perempuan dinikahi karena 4 hal: karena kekayaannya, karena kemuliaannya, karena kecantikannya dan karena agamanya. Maka pilihlah yang beragama, niscaya kamu akan beruntung.” (HR. Bukhari Muslim).
Ada hikmah di balik anjuran untuk memilih yang beragama bagi pasangan yang mau menikah. Pertama, agama bersifat abadi dan menjadi bekal di akherat nanti. Kedua, kekayaan, kedudukan dan kecantikan hanyalah aksesoris saja yang jika tidak dikelola dengan baik malah bisa menjebloskan kita pada nasib buruk karena itu hanya bersifat duniawi (sesaat) sementara agama adalah pelita yang memancarkan cahaya sehingga bisa menerangi hidup. (n. mursidi/ dinukil dari kisah “Pernikahan Ayah Abdullah Ibnu Mubarak” dalam 1001 Kisah Teladan, Hani Al-Haj [Pustaka Al-Kautsar, Jakarta 2004])
Kualitas keimanan dan keluhuran budi manusia, pada dasarnya terpancar dari lubuk hati (jiwa) yang bersih. Dengan itu, tolok ukurnya bukanlah dari tingginya jabatan, keturunan atau status sosial, melainkan dari kejernihan hati. Dengan kata lain, hati seorang hamba yang benar-benar mengenal Sang Khalik, lalu mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari tanpa adanya sifat kepura-puraan.
Juga di hadapan Allah nanti, tingkat keimanan itu jauh lebih penting daripada sekedar jabatan empuk sebagai pemimpin, hidup dengan limpahan harta (kekayaan) atau dilahirkan dari keturunan ningrat. Sebab, apa artinya jadi pewagai jika hati kotor dan hidup bergelimang dengan dosa? Di sinilah, jaminan status sosial dan keturunan tak menjamin seorang hamba ketika dihadapkan di hari pengadilan kelak. Hal ini sebagaimana dinyatakan al-Qur`an bahwa Allah akan melihat seseorang bukan berdasarkan apa-apa tapi berdasarkan tingkat keimanan yang bersemayam di hati.
Berpijak dari pemahaman di atas, tidak salah kalau orang tua yang mau menikahkan putri kesayangannya haruslah mempertimbangkan agama dan akhlak (yang luhur) daripada melihat status sosial, kekayaan dan keturunan. Karena itulah, kisah di bawah ini menegaskan dengan jelas bahwa pentingnya agama sebenarnya jauh lebih tinggi tingkatnya dibandingkan dengan faktor lain yang bersifat duniawi dan materi. Sebab, faktor duniawi itu hanya sesaat dan tidak akan berumur panjang.
***
Di wilayah Maru (kota di Turkeministan), nama Nuh bin Maryam adalah sebuah nama yang cukup terkenal dan dihormati di seluruh kota. Sebab, dia adalah seorang penguasa dan qadhi yang memiliki kharisma sehingga cukup disegani. Apalagi dia hidup dalam gelimang harta kekayaan sehingga tak ada kebutuhan keluarga dan dirinya sendiri yang tak tercukupi. Pendek kata, dia hidup cukup sejahtera dan makmur.
Tahun berlalu dan dia punya putri cantik jelita yang telah melewati masa pernikahan sehingga sejumlah petinggi dan orang-orang kaya di kota Maru bermaksud melamar untuk menjadikan istri maupun menantu bagi putra mereka. Selain cantik, putri Nuh itu ternyata juga berpendidikan tinggi. Alkisah, tidak sedikit yang berminat. Sejumlah mas kawin (mahar) pun diajukan untuk menarik simpati Nuh dan juga putrinya untuk mau menerima lamaran.
Tapi tak ada satu pun dari para pelamar itu yang mampu menarik hati dan memenuhi keinginannya. Akibatnya, sang ayah jadi bingung. Tak tahu dengan siapa ia akan menikahkan putri kesayangannya yang cantik dan menawan itu. Sebab, jika dia harus nekat dan memilih salah satu dari orang-orang yang melamar itu, dikhawatirkan bisa menyakiti pelamar-pelamar yang lain.
Bingung ditikam siapa pelamar yang mau dipilih, sampai dua bulan pun hal itu masih menggelayuti pikiran Nuh. Karena itulah, saat dia menengok kebun anggur yang dimilikinya hal itu masih menjadi beban pikirannya. Apalagi, Nuh teringat kalau dia mempunyai seorang budak India yang taat beragama dan bertaqwa. Namanya Mubarak. Ia oleh Nuh telah diberi kepercayaan penuh untuk menjaga kebun yang lebat dengan pepohonan dan buah-buahan yang berlimpah.
Setelah bertemu dengan Mubarak di kebun anggur, Nuh ingin mencicipi buah anggur miliknya dan berkata kepada Nuh, “Tolong ambilkan untukku setangkai anggur!”
Mubarak dengan langkah tunduk, memenuhi perintah sang majikan untuk memetik setangkai anggur. Dia memetik setangkai anggur yang menurutnya masak lalu diberikannya setangkai anggur itu kepada majikannnya dan tak lama kemudian Nuh memakannya.
Namun tatkala sang majikan itu mencicipi anggur tersebut, ternyata dirasakan masam sekali. Dia kemudian meminta kepada budaknya itu untuk mengambilkan kembali setangkai anggur. Sang budak pun melangkah, memenuhi perintah sang majikan. Memetik buah anggur yang menurutnya manis dan kemudian memberikannya kepada sang majikan. Namun, Nuh benar-benar dibuat kecewa karena ia mendapati angur itu pun terasa masam.
Setelah beberapa tangkai anggur hasil petikan sang budak terasa masam, ia minta lagi dan lagi. Anehnya, rasanya selalu saja masam. Heran dengan keanehan itu, dia pun bertanya kepada budaknya, “Mengapa engkau hanya memetik dari kebun seluas ini setangkai anggur yang selalu rasanya masam?”
Sang budak pun dengan jujur menjawab, “Hamba tidak tahu Tuan, mana yang manis dan mana pula yang masak.”
Saat mendengar jawaban dari budaknya itu, sang majikan mengelus dada dan seketika mengucapkan kalimat “Subhanallah! Sudah lama engkau kerja di sini kenapa masih juga belum tahu anggur mana yang manis dan anggur mana pula yang rasanya masam?”
Lagi-lagi dengan jujur dan polosnya, budak itu menjawab, “Ini semua adalah hak dan milik Tuan, sementara saya hanya hamba sehingga tiada hak apa pun. Karena itu, hamba belum pernah merasakan setangkai anggur pun dari kebun ini sehingga tidak tahu mana yang masam dan mana pula yang manis.”
Dengan rasa heran, si majikan bertanya, “Lalu, mengapa engkau tidak memakan anggur-anggur di kebun ini?”
Sang budak masih dengan sikap jujur menjawab, “Karena Tuan hanya memerintahkan kepada hamba agar menjaganya semata, tidak memberi perintah untuk memakannya. Tidak sepatutnya jika hamba kemudian harus mengkhianati apa yang telah tuan perintahkan, sementara hamba hanyalah seorang budak!”
Tatkala mendengar pengakuan dari budaknya itu, sang pejabat tuannya itu dibuat terkagum. Ia menaruh hormat karena perilaku, akhlak dan juga keteguhan sang budak dalam menjaga amanah. Dari rasa kagum itulah, kemudian tuannya mendoakan, “Semoga Allah selalu memeliharamu atas sikap amanahmu.”
Kini, sang tuan tidak ragu lagi dan yakin sepenuhnya bahwa budak yang dimilikinya itu bukan hanya laki-laki yang berkepribadian baik, namun juga jujur dan bahkan teguh dalam menjaga amanah yang telah diamanatkan kepadanya. Tidak ada salahnya, jika Nuh kemudian memuji budak tersebut, “Aku kagum kepadamu atas kejujuran dan ketaatanmu dalam menjaga amanah yang telah kuberikan. Maka aku percaya engkau akan menuruti perintahku.”
Sang budak menjawab, “Hamba akan patuh dan juga taat selalu pada Tuan, tentunya setelah taat kepada Allah.”
Setelah itu, sang majikan kemudian ingin mengungkapkan apa yang ada di dalam hati yang selama ini menjadi beban dalam pikiran, “Ketahuilah, aku ini mempunyai seorang putri dan banyak orang yang melamarnya, tetapi aku tidak tahu siapa di antara mereka itu yang akan aku terima lamarannya. Tolong beri aku pendapatmu.”
Si budak lalu menjawab santun, “Kita tahu bahwa orang pada masa Jahiliyah mendahulukan kedudukan dan ketampanan. Sedangkan orang Yahudi dan Nasrani akan mendahulukan kecantikan dan ketampanan. Sedangkan pada zaman rasulullah, mereka mencari ketakwaan dan kesalehan agama. Pada masa kita sekarang, mereka mengutamakan harta dan kedudukan. Maka tuan memilih mana dari keempat hal ini yang Tuan inginkan?’
Tanpa ragu lagi, tuannya menjawab pendapat budaknya yang berujung bertanyaan itu dengan jawaban, “Aku akan memilih ketaqwaan dan kesalehan agama dan aku tidak ragu lagi ingin menikahkanmu dengan putri kesayanganku karena aku telah menemukan pada dirimu ketaqwaan dan kesalehan agama. Aku telah menyaksikan ketaqwaan dan sikap amanahmu itu di depan mataku!”
Jelas, si budak itu dibuat terkejut dan tak habis mengerti setelah mendengar kata-kata tuannya. Ia lalu bertanya, “Tuanku, hamba hanyalah seorang budak India. Tuan telah membeli hamba dengan uang tuan, lantas bagaimana mungkin tuan sekarang akan menikahkan hamba dengan putri tuan? Bagaimana mungkin pula tuan akan memilih hamba? Bagaimana mungkin pula putri tuan akan bersedia menerima hamba untuk menjadi suaminya?”
Tapi alasan sang petinggi itu untuk menikahkan putrinya dengan sang budak tak bisa ditolak. Lalu, diajaklah sang budak itu berjalan untuk pulang ke rumah guna mengatur segala sesuatu dan persiapan pernikahan.
Saat keduanya tiba di rumah, sang tuan menyampaikan apa yang ada dalam benaknya kepada sang istri. Ia menjelaskan tentang kesan yang ia dapatkan tentang budaknya sehingga kini ia tak ragu lagi untuk memilih sang budak untuk dinikahkan dengan putrinya.
Saat mendengar penjelasan dan keterangan dari sang suami, istri Nuh pun juga tidak keberatan. Sang istri menyetujui dan menyerahkan sepenuhnya keputusan itu pada suaminya. Tapi, sebelumnya ia mengusulkan kepada suaminya, “Sebaiknya putrimu diminta jawabannya lebih dahulu.”
Sang putri kemudian dimintai jawaban dan putri mereka ternyata tidak menolak. Ia menurut, meskipun harus menikah dengan seorang budak. Tidak ada rasa canggung padahal pelamar-pelamarnya selama ini justru telah menawarkan mas kawin berlimpah.
Lalu keduanya dinikahkan dan kedua orangtuanya membekali mereka dengan harta yang cukup melimpah.
Tahun berganti tahun dan dari buah pernikahan itu lalu lahir putra mereka, Abdullah Ibnu Mubarak. Kelak di kemudian hari, Abdullah bin Mubarak ini ternyata menjadi orang penting dalam sejarah Islam. Abdullah selain dikenal sebagai seorang ulama, juga ahli zuhud dan perawi hadits yang cukup ternama.
***
Pilihan Nuh dengan menikahkan putrinya dengan budak India itu, rupanya tindakan yang bukan tanpa dasar. Sebab dalam sebuah hadits, nabi bersabda “Perempuan dinikahi karena 4 hal: karena kekayaannya, karena kemuliaannya, karena kecantikannya dan karena agamanya. Maka pilihlah yang beragama, niscaya kamu akan beruntung.” (HR. Bukhari Muslim).
Ada hikmah di balik anjuran untuk memilih yang beragama bagi pasangan yang mau menikah. Pertama, agama bersifat abadi dan menjadi bekal di akherat nanti. Kedua, kekayaan, kedudukan dan kecantikan hanyalah aksesoris saja yang jika tidak dikelola dengan baik malah bisa menjebloskan kita pada nasib buruk karena itu hanya bersifat duniawi (sesaat) sementara agama adalah pelita yang memancarkan cahaya sehingga bisa menerangi hidup. (n. mursidi/ dinukil dari kisah “Pernikahan Ayah Abdullah Ibnu Mubarak” dalam 1001 Kisah Teladan, Hani Al-Haj [Pustaka Al-Kautsar, Jakarta 2004])
Tidak ada komentar:
Posting Komentar