Moment lebaran selalu identik dengan suasana bahagia, senang dan ceria. Hal itu tidak bisa ditepis, sebab di hari raya idul fitri itu umat Islam (terutama masyarakat Indonesia) bisa mudik (pulang kampung), bertemu segenap keluarga, bersilaturrahmi, meminta maaf dari kesalahan dan kekhilafan. Pendeknya, di hari lebaran itu seakan beban hidup terlupakan dan yang ada hanya rasa senang, suka dan gembira, tak peduli meski setiap hari hidup dalam keprihatinan.
Memang, berbahagia di hari raya itu tak ada salahnya. Apalagi, di hari raya idul fitri itu umat Islam meraih kemenangan setelah satu bulan penuh berpuasa. Tetapi, ada substansi dari moment idul fitri yang kadang terlupakan, sehingga yang tinggal adalah kebahagiaan semata, sementara makna (tujuan) idul fitri itu sendiri terlupakan. Dalam kesempatan ini majalah Hidayah berkesepatan mewawancarai Ahmad Tohari berkaitan dengan makna idul fitri yang kerap dilupakan orang tersebut.
Di mata budayawan yang telah banyak melahirkan novel ini, di antaranya yang cukup terkenang Ronggeng Dukuh Paruk, idul fitri itu tak semata-mata dimaknai kembali ke asal (fitrah) kita sebagai pribadi. Tetapi, lebih jauh dari itu, apalagi tatkala Indonesia dalam kondisi seperti sekarang ini (politik sedang ruwet dan bangsa diliputi masalah pelik), lebaran seharusnya membawa ke khittah dengan merenungkan untuk apa dulu kita membuat (baca: membangun) negara Indonesia ini?
Tidak dimungkiri, kalau kita dahulu membangun negeri ini untuk kemakmuran (makmur gemah ripah loh jinawe) seluruh masyarakat Indonesia. Tapi, ternyata sekarang ini kita melupakan tujuan itu sehingga keadaan negara bisa “terpuruk” dalam duka. Hal inilah yang seharusnya perlu diingat kembali. Sebab, lebaran bukan sekadar pelepasan hidup sehari-hari, kembali ke kampung dengan hura-hura.
Padahal, jika kita mau menengok sejarah Islam, nabi dahulu merayakan idul fitri dengan perasaan sedih. Jadi, tidak seperti sekarang ini. Pendek kata, amat berbeda jauh dengan kondisi sekarang, yang penuh dengan hura-hura.
Kenapa bisa sedih? Sebab di hari idul fitri itu, menurut budayawan yang lahir di Banyumas 13 Juni 1948 ini, sekali pun kita telah “lulus ujian” sebulan penuh melawan nafsu, toh secara substansial kita ditinggalkan hari-hari baik. Karena itu, ada kesedihan. Apalagi, bulan puasa adalah bulan istimewa dan penuh hikmah. Tidak salah, sahabat kerap “menangis” tatkala idul fitri tiba, sebab di hari idul fitri itu mereka ditinggal oleh bulan puasa, bulan yang istemewa serta penuh dengan ampunan.
Lantas bagaimana aplikasi perasaan sedih itu biar tidak terjebak dalam tangis yang tak berkesudahan? Tentu, dengan menjadikan shalat dan ibadah di bulan Syawwal lebih berkualitas dan berkuantitas dari bulan-bulan sebelumnya. Karena itulah, di bulan Syawwal itu, harus ada peningkatan ibadah. Sebab di mata sastrawan yang mendapat penghargaan Southeast Asian Writers Award dan Fellowship International Writers Program di Iowa ini, itulah makna dari sebuah kemenangan. (n. mursidi)
Memang, berbahagia di hari raya itu tak ada salahnya. Apalagi, di hari raya idul fitri itu umat Islam meraih kemenangan setelah satu bulan penuh berpuasa. Tetapi, ada substansi dari moment idul fitri yang kadang terlupakan, sehingga yang tinggal adalah kebahagiaan semata, sementara makna (tujuan) idul fitri itu sendiri terlupakan. Dalam kesempatan ini majalah Hidayah berkesepatan mewawancarai Ahmad Tohari berkaitan dengan makna idul fitri yang kerap dilupakan orang tersebut.
Di mata budayawan yang telah banyak melahirkan novel ini, di antaranya yang cukup terkenang Ronggeng Dukuh Paruk, idul fitri itu tak semata-mata dimaknai kembali ke asal (fitrah) kita sebagai pribadi. Tetapi, lebih jauh dari itu, apalagi tatkala Indonesia dalam kondisi seperti sekarang ini (politik sedang ruwet dan bangsa diliputi masalah pelik), lebaran seharusnya membawa ke khittah dengan merenungkan untuk apa dulu kita membuat (baca: membangun) negara Indonesia ini?
Tidak dimungkiri, kalau kita dahulu membangun negeri ini untuk kemakmuran (makmur gemah ripah loh jinawe) seluruh masyarakat Indonesia. Tapi, ternyata sekarang ini kita melupakan tujuan itu sehingga keadaan negara bisa “terpuruk” dalam duka. Hal inilah yang seharusnya perlu diingat kembali. Sebab, lebaran bukan sekadar pelepasan hidup sehari-hari, kembali ke kampung dengan hura-hura.
Padahal, jika kita mau menengok sejarah Islam, nabi dahulu merayakan idul fitri dengan perasaan sedih. Jadi, tidak seperti sekarang ini. Pendek kata, amat berbeda jauh dengan kondisi sekarang, yang penuh dengan hura-hura.
Kenapa bisa sedih? Sebab di hari idul fitri itu, menurut budayawan yang lahir di Banyumas 13 Juni 1948 ini, sekali pun kita telah “lulus ujian” sebulan penuh melawan nafsu, toh secara substansial kita ditinggalkan hari-hari baik. Karena itu, ada kesedihan. Apalagi, bulan puasa adalah bulan istimewa dan penuh hikmah. Tidak salah, sahabat kerap “menangis” tatkala idul fitri tiba, sebab di hari idul fitri itu mereka ditinggal oleh bulan puasa, bulan yang istemewa serta penuh dengan ampunan.
Lantas bagaimana aplikasi perasaan sedih itu biar tidak terjebak dalam tangis yang tak berkesudahan? Tentu, dengan menjadikan shalat dan ibadah di bulan Syawwal lebih berkualitas dan berkuantitas dari bulan-bulan sebelumnya. Karena itulah, di bulan Syawwal itu, harus ada peningkatan ibadah. Sebab di mata sastrawan yang mendapat penghargaan Southeast Asian Writers Award dan Fellowship International Writers Program di Iowa ini, itulah makna dari sebuah kemenangan. (n. mursidi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar