Mudik memang bukan ritual agama, tetapi tak bisa diingkari mudik sudah jadi tradisi yang sulit ditinggalkan, terutama bagi orang-orang urban yang bekerja di kota-kota besar, seperti Jakarta. Padahal, saat lebaran tiba hampir semua orang urban mudik sehingga jalanan menjadi macet, beli tiket pun harus antre dan tempat duduk pun harus berhimpitan. Toh, itu tak menyurutkan hasrat orang untuk tetap pulang kampung.
Memang, idul fitri adalah moment penting yang terjadi setahun sekali sehingga moment itu jadi satu kesepatan bagi orang urban untuk bertemu keluarga. Sebab, kapan lagi dapat bertemu dengan keluarga kalau kesibukan dan jarak kerap menjadi kendala? Karena itu, bisa mudik di hari raya boleh dikata ibarat mendapat sebuah anugrah.
Sebab, kita semua tahu bahwa tidak semua orang urban ternyata bisa melakukan ritual mudik. Apalagi di tengah tuntutan dan himpitan hidup, kini banyak orang yang merantau ke negeri jauh sampai ke luar negeri. Tak salah, jika urusan mudik pun seperti jauh panggang dari api bagi perantau ke negeri seberang. Saat lebaran tiba, mereka pun tidak sedikit yang sedih karena jauh dari sanak famili dan keluarga.
Sebagai salah satu kaum urban yang merantau ke Jakarta, mungkin Siti Rohiyah tidak sempat merasakan "kegetiran" saat lebaran tiba. Sebab, selama bekerja di Jakarta sebagai pembantu rumah, hampir setiap tahun perempuan asal Ciamis ini bisa pulang ke kampung dan bertemu dengan kelurga di hari raya idul fitri.
Selain itu, ia bisa sungkem dengan orangtua, meminta maaf atas segala kesalahan secara langsung. Demikian juga dengan kelurga Siti di kampung, tidak lagi memendam rasa kangen karena bisa bertatap muka. Bahkan, Siti bisa berkeliling ke rumah tetangga dan kelurga untuk bersilaturrahmi. Pendek kata, meski ritual mudik merepotkan karena jalanan macet dan biaya transportasi naik, toh itu tak membuat Siti menyerngitkan dahi, apalagi saat tiba di rumah bisa bertemu dengan keluaga sehingga rasa capek dan letih bisa terobati. Juga, jarak yang tidak jauh itu rupanya yang membuat pembantu rumah tangga ini tidak merasa direpotkan dengan urusan mudik.
Berbeda dengan Siti Rohiyah yang merantau ke Jakarta dan bisa dengan mudah mudik setiap tahun, ternyata "kebahagiaan" itu tidak bisa dirasakan seorang TKW yang bernama Saliyah. Sebagai seorang TKW yang sudah meninggalkan rumah sejak 5 tahun lalu, tampaknya kata mudik sudah sengaja dibuang jauh-jauh. Sebab liburan yang cuma sehari di hari raya, jelas tidak memungkinkan baginya untuk mudik. Selain itu, tentunya juga dikarenakan "ongkos" yang tidak sedikit jika harus pulang ke kampung.
TKW asal Cilacap Jawa Tengah, ini semula bekerja di Taiwan. Selama tiga tahun kontrak, dia harus melewatkan lebaran jauh dari keluarga, "Rasa sedih selalu saja hadir saat lebaran tiba... tapi mau bagaimana lagi? Sewaktu saya bekerja di Taiwan, tiga kali lebaran di sana, saya cuma mengirimi kartu lebaran dan menelpon ibu," kenang Saliyah yang melewatkan tiga kali lebaran di Taiwan.
Pulang dari Taiwan, Saliyah kemudian merantau lagi ke Hong Kong. Kesedihan melewatkan lebaran pun harus dia rasakan kembali. Tetapi, berbeda dengan di Taiwan, ketika idul fitri di Hong Kong, ia masih mendengar suara takbir, "Alhamdulillah waktu Idul Fitri tiba tahun kemarin saya mendengar takbiran dari rumah majikan saya. Karena waktu itu saya tak libur, ada perasaan sedih yang saya rasakan. Tapi ini masih mending sebab saya masih mendengar suara takbir dan saya bisa takbiran di rumah sendirian, meski sambil menangis... karena ingat keluarga."
Selain masih sempat mendengar gema takbir, ternyata saat di Hong Kong ia bisa bertemu dengan teman TKW lain. Saat kumpul itulah, biasanya mereka membuat acara sederhana untuk mengobati rindu kepada kelurga dan tanah kelahiran, "Saya bersama temen-temen membuat acara sederhana, masak ketupat sayur, juga ada keripik dan manisan. Pokoknya yang khas lebaran deh…. sekadar pengobat rindu pada kampung. Saya bersyukur sekali karena masih bisa menikmati lebaran bersama teman-teman, walau rasa sedih kadang hadir karena jauh dari kampung dan keluarga.."
Kesedihan akibat tidak bisa mudik dan jauh dari keluarga juga dialami R. Mini, seorang TKW asal Lampung Utara yang kini bekerja di Hong Kong. Selama 8 tahun jadi TKW, tak sekalipun R Mini sempat pulang ke kampung. Karena sudah 8 tahun menjadi TKW, perempuan satu ini harus memendam rindu pada kampung halaman. Malah, di awal dia bekerja sebagai TKW, majikan R Mini yang non-musli (orang China) tidak memberi kesempatan untuk menjalankan puasa. Untuk menjalankan ibadah shalat dan puasa, R Mini terpaksa melakukan dengan sembunyi-sembunyi.
Karena selalu memperpanjang kontrak, R Mini yang berangkat ke Hong Kong sejak 1997 itu, tentu merasakan kegetiran dan kesedihan kala lebaran tiba. Bahkan untuk pergi shalat `id-pun, dia pernah harus berbohong kepada majikan. Apalagi di tahun-tahun awal, dia tidak sempat pergi shalat `id bersama "Di tahun kelima, saya mencari alasan agar bisa mengikuti sholat `id. Aku minta izin majikanku, berbohong kalau ada teman dari Indonesia datang dan mau ketemu pagi itu. Aku gembira karena dikasih waktu 3 jam, padahal waktunya buat sholat `id di konsulat KJRI di Caswabayy. Aku juga sangat gembira sekali, walau jauh dari keluarga karena tetap masih berkumpul bersama teman, sholat `id di lapangan rumput Vektory Park. Meski sehabis sholat, saya langsung ngacir seperti orang dikejar anjing. Sebab, takut dapat cacian dari majikan."
Sejak tahun itu, rupanya R. Mini dapat menjalankan shalat `id bareng dan bisa berkumpul dengan teman TKW asal Indonesia, "Sebab, kini sudah banyak TKW asal Indonesia, tak seperti dulu sewaktu saya pertama kali ke Hong Kong."
Cerita kegetiran saat lebaran tiba yang dialami oleh dua TKW ini, seperti telah memberi “satu gambaran” bahwa mudik dan bisa bertemu dengan keluarga adalah satu anugrah. Sebab, mereka sadar bahwa keluarga adalah harta berharga yang tak ternilai, sehingga tatkala jauh dari keluarga mereka pun harus bersedih. (n. mursidi)
Memang, idul fitri adalah moment penting yang terjadi setahun sekali sehingga moment itu jadi satu kesepatan bagi orang urban untuk bertemu keluarga. Sebab, kapan lagi dapat bertemu dengan keluarga kalau kesibukan dan jarak kerap menjadi kendala? Karena itu, bisa mudik di hari raya boleh dikata ibarat mendapat sebuah anugrah.
Sebab, kita semua tahu bahwa tidak semua orang urban ternyata bisa melakukan ritual mudik. Apalagi di tengah tuntutan dan himpitan hidup, kini banyak orang yang merantau ke negeri jauh sampai ke luar negeri. Tak salah, jika urusan mudik pun seperti jauh panggang dari api bagi perantau ke negeri seberang. Saat lebaran tiba, mereka pun tidak sedikit yang sedih karena jauh dari sanak famili dan keluarga.
Sebagai salah satu kaum urban yang merantau ke Jakarta, mungkin Siti Rohiyah tidak sempat merasakan "kegetiran" saat lebaran tiba. Sebab, selama bekerja di Jakarta sebagai pembantu rumah, hampir setiap tahun perempuan asal Ciamis ini bisa pulang ke kampung dan bertemu dengan kelurga di hari raya idul fitri.
Selain itu, ia bisa sungkem dengan orangtua, meminta maaf atas segala kesalahan secara langsung. Demikian juga dengan kelurga Siti di kampung, tidak lagi memendam rasa kangen karena bisa bertatap muka. Bahkan, Siti bisa berkeliling ke rumah tetangga dan kelurga untuk bersilaturrahmi. Pendek kata, meski ritual mudik merepotkan karena jalanan macet dan biaya transportasi naik, toh itu tak membuat Siti menyerngitkan dahi, apalagi saat tiba di rumah bisa bertemu dengan keluaga sehingga rasa capek dan letih bisa terobati. Juga, jarak yang tidak jauh itu rupanya yang membuat pembantu rumah tangga ini tidak merasa direpotkan dengan urusan mudik.
Berbeda dengan Siti Rohiyah yang merantau ke Jakarta dan bisa dengan mudah mudik setiap tahun, ternyata "kebahagiaan" itu tidak bisa dirasakan seorang TKW yang bernama Saliyah. Sebagai seorang TKW yang sudah meninggalkan rumah sejak 5 tahun lalu, tampaknya kata mudik sudah sengaja dibuang jauh-jauh. Sebab liburan yang cuma sehari di hari raya, jelas tidak memungkinkan baginya untuk mudik. Selain itu, tentunya juga dikarenakan "ongkos" yang tidak sedikit jika harus pulang ke kampung.
TKW asal Cilacap Jawa Tengah, ini semula bekerja di Taiwan. Selama tiga tahun kontrak, dia harus melewatkan lebaran jauh dari keluarga, "Rasa sedih selalu saja hadir saat lebaran tiba... tapi mau bagaimana lagi? Sewaktu saya bekerja di Taiwan, tiga kali lebaran di sana, saya cuma mengirimi kartu lebaran dan menelpon ibu," kenang Saliyah yang melewatkan tiga kali lebaran di Taiwan.
Pulang dari Taiwan, Saliyah kemudian merantau lagi ke Hong Kong. Kesedihan melewatkan lebaran pun harus dia rasakan kembali. Tetapi, berbeda dengan di Taiwan, ketika idul fitri di Hong Kong, ia masih mendengar suara takbir, "Alhamdulillah waktu Idul Fitri tiba tahun kemarin saya mendengar takbiran dari rumah majikan saya. Karena waktu itu saya tak libur, ada perasaan sedih yang saya rasakan. Tapi ini masih mending sebab saya masih mendengar suara takbir dan saya bisa takbiran di rumah sendirian, meski sambil menangis... karena ingat keluarga."
Selain masih sempat mendengar gema takbir, ternyata saat di Hong Kong ia bisa bertemu dengan teman TKW lain. Saat kumpul itulah, biasanya mereka membuat acara sederhana untuk mengobati rindu kepada kelurga dan tanah kelahiran, "Saya bersama temen-temen membuat acara sederhana, masak ketupat sayur, juga ada keripik dan manisan. Pokoknya yang khas lebaran deh…. sekadar pengobat rindu pada kampung. Saya bersyukur sekali karena masih bisa menikmati lebaran bersama teman-teman, walau rasa sedih kadang hadir karena jauh dari kampung dan keluarga.."
Kesedihan akibat tidak bisa mudik dan jauh dari keluarga juga dialami R. Mini, seorang TKW asal Lampung Utara yang kini bekerja di Hong Kong. Selama 8 tahun jadi TKW, tak sekalipun R Mini sempat pulang ke kampung. Karena sudah 8 tahun menjadi TKW, perempuan satu ini harus memendam rindu pada kampung halaman. Malah, di awal dia bekerja sebagai TKW, majikan R Mini yang non-musli (orang China) tidak memberi kesempatan untuk menjalankan puasa. Untuk menjalankan ibadah shalat dan puasa, R Mini terpaksa melakukan dengan sembunyi-sembunyi.
Karena selalu memperpanjang kontrak, R Mini yang berangkat ke Hong Kong sejak 1997 itu, tentu merasakan kegetiran dan kesedihan kala lebaran tiba. Bahkan untuk pergi shalat `id-pun, dia pernah harus berbohong kepada majikan. Apalagi di tahun-tahun awal, dia tidak sempat pergi shalat `id bersama "Di tahun kelima, saya mencari alasan agar bisa mengikuti sholat `id. Aku minta izin majikanku, berbohong kalau ada teman dari Indonesia datang dan mau ketemu pagi itu. Aku gembira karena dikasih waktu 3 jam, padahal waktunya buat sholat `id di konsulat KJRI di Caswabayy. Aku juga sangat gembira sekali, walau jauh dari keluarga karena tetap masih berkumpul bersama teman, sholat `id di lapangan rumput Vektory Park. Meski sehabis sholat, saya langsung ngacir seperti orang dikejar anjing. Sebab, takut dapat cacian dari majikan."
Sejak tahun itu, rupanya R. Mini dapat menjalankan shalat `id bareng dan bisa berkumpul dengan teman TKW asal Indonesia, "Sebab, kini sudah banyak TKW asal Indonesia, tak seperti dulu sewaktu saya pertama kali ke Hong Kong."
Cerita kegetiran saat lebaran tiba yang dialami oleh dua TKW ini, seperti telah memberi “satu gambaran” bahwa mudik dan bisa bertemu dengan keluarga adalah satu anugrah. Sebab, mereka sadar bahwa keluarga adalah harta berharga yang tak ternilai, sehingga tatkala jauh dari keluarga mereka pun harus bersedih. (n. mursidi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar