Kamis, 01 Juni 2006

kehilangan

tulisan ini dimuat di rubrik renungan majalah hidayah edisi 59, juni 2006

Suatu malam, saat aku lagi asyik membaca buku, telpon selulerku tiba-tiba berdering. Aku yang lagi khusuk memeloti deretan huruf, jadi tak konsentrasi. Lalu aku mengambil hp-ku yang tergeletak di atas meja dan menjawab suara dari seberang. Rupanya, telpon itu datang dari seorang yang selama ini sudah aku kenal tapi anehnya tidak pernah aku ketahui wajahnya. Aku nyaris hanya mengenalnya sebatas apa yang dia ceritakan tentang dirinya.

Tetapi dalam pembicaraan lewat telpon kali itu, aku dibuat kaget saat dia mengajakku untuk bertemu. Aku memutuskan besok paginya. Ia agak keberatan. Alasan yang dikemukakan karena dia paginya harus ke tempat ibadah yang beda dengan tempat ibadahku. Ia mengaku telah pindah agama. Aku terperanjak. Kendati demikian, aku menyadari pilihannya. Apalagi setelah aku hidup di kota dan punya banyak teman yang beda agama. “Tapi, besok kau tunggu aja telpon dariku dulu tentang kepastian itu”, pesannya sebelum menutup telpon.

Esoknya, saat aku menunggu telponnya, aku justru dibuat celingukan. Di saat jam yang telah ditentukan itu tiba, aku bingung. Hp-ku yang sejak tadi pagi aku taruh di atas televisi, ternyata aku cari-cari tidak ada. Aku masih ingat dan tak lupa dengan hpku yang aku taruh di atas televisi. Makanya, saat hp-ku sudah tak ada di tempat, aku sadar bahwa hp-ku itu hilang.

Aku jadi sedih. Setidaknya, ada dua hal yang membuatku sedih. Pertama, benda yang selama ini aku gunakan kerja dan menjalin relasi itu telah hilang. Kedua, nomor-nomor orang penting yang ada di dalamnya juga ikut raib. Kedua kesedihan itu yang membuat aku merasa lemas dan tak bertenaga.

Akibatnya, hari itu aku juga telat ke kantor. Aku seakan-akan merasa telah dirundung duka. Jadwal yang sudah kususun rapi tentang apa yang akan kukerjakan di hari itu, ujungnya menjadi kacau balau. Lama, aku hanya “terpekur” dalam ketidakberdayaan dan merasa tidak bersemangat. Padahal, aku hanya kehilangan hp yang tidak seberapa harganya. Bahkan jika dilihat dari bentuknya, hp-ku itu tergolong kuno. Untuk apa aku sedih? Toh, besok aku masih bisa membeli hp yang baru lagi. Saat aku berpikir seperti itulah, aku menjadi sadar dan rasa sedihku tinggal memikirkan nomor-nomor orang penting yang ikut hilang.

Waktu berlalu dan adzan dhuhur yang menggema dari sebuah masjid di sebelah kiri kontrakan membuatku segera teringat Tuhan. Segera aku ambil air wudhu untuk mengerjakan shalat. Sehabis shalat, aku diliputi kedamaian. Di saat perasaan “tenang” itu muncul, aku tiba-tiba teringat kakek tua di kampungku yang pernah memberiku ujaran pendek namun masih kuingat sampai sekarang. “Jika kamu kehilangan sesuatu, janganlah hal itu membuatmu sedih. Kamu patut sedih justru jika kamu kehilangan Tuhan.”

Kala itu, aku masih belum paham apa yang dimaksud dengan “kehilangan Tuhan”. Kata-katanya hanya aku ingat di kepalaku sampai aku besar dan kini bekerja di kota. Rupanya, yang dikatakan kakek itu kini baru aku sadari. Kehilangan Tuhan yang kakek tua maksudkan itu mungkin adalah hilangnya iman. Sehabis shalat dhuhur itu, aku langsung ingat dengan temanku yang semalam menelpon. Aku tak lagi sedih tentang hpku yang hilang sebab di lain waktu, aku masih bisa membeli lagi. Aku justru sedih, memikirkan nasib temanku.

Dalam hati aku bertanya-tanya; apa temanku itu telah kehilangan Tuhan? (n. mursidi)




Tidak ada komentar: