Jumat, 01 September 2006

sang fajar di komplek pelacuran dolly

tulisan ini dimuat di rubrik potret di majalah hidayah edisi 62 september 2006

Menjalani hidup sebagai ustadz, juru dakwah dan takmir masjid yang mengajak kebaikan di tengah-tengah masyarakat umum, mungkin bukan hal yang istemewa. Meski tak bisa ditepis, kiprah itu tetap patut diteladani.

Tetapi akan menjadi cerita istimewa dan mengundang kekaguman jika ada seseorang yang memiliki nyali dan keberanian untuk menceburkan diri sebagai juru dakwah di tengah-tengah komplek pelacuran. Apalagi, jika komplek pelacuran itu adalah lokalisasi Gang Dolly, yang --sudah hampir tiga dasawarsa ini-- dikenal sebagai tempat esek-esek terbesar di Indonesia dan bahkan konon se-Asia Tenggara. Tentu saja, akan ada "sujuta kisah" yang lebih patut untuk diteladani dan diacungi jempol!

Memang, saat mendengar nama Gang Dolly --yang terletak di wilayah kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Pesawahan, Surabaya-- disebut, asumsi orang seketika akan menyerngitkan dahi. Ada rasa bergidik dan segera mencibir jika tempat itu tak ubahnya sampah. Bagaimana tidak? Gang Dolly –yang konon dirintis mama Dolly sekitar tahun 1965 itu-- memang bukan tempat yang asing bagi orang Surabaya sebagai tempat maksiat. Di komplek itu, hidup para germo dan pelacur yang mengundang siapa saja untuk meneteskan air liur jika tak kuat iman.

Tapi, kenyinyiran itu akan menjadi surut dan kemudian kita berdecak kagum ketika mengenal sosok ustadz Ngadimin Wahab. Sebab di tengah para pelacur, germo dan preman di komplek Gang Dolly itu, ustadz Ngadimin menceburkan diri di jalan Allah untuk menjadi takmir masjid dan berupaya keras mengajak mereka ke "jalan kebaikan ". Dari kiprah itulah, tidak sedikit pengalaman duka yang dialami lelaki yang sempat menimba ilmu di tiga pesantren ini. Tak sedikit pula tantangan dan perlakuan buruk yang diterima atas pilihan itu.

Pernah Dilempar dengan Batu
Membincangkan masalah kebutuhan spiritual masyarakat Gang Dolly, memang sosok ustadz Ngadimin Wahab -yang akrab disapa pak Petruk- tak dapat di dipisahkan, khususnya untuk pembinaan moral dan spiritual bagi pekerja seks komersil (PKS). Lelaki kelahiran Pare, Kediri, 46 tahun silam yang mengaku memiliki pekerjaan sampingan menyewakan mobil dan kerap diminta untuk bantu-bantu di sebuah persewaan shooting video milik sahabatnya ini, sudah puluhan tahun hidup di kota Pahlawan dan bertekat bulat berdakwah di lokalisasi Gang Dolly. Berbekal pendidikan agama dari tiga pesantren di Jawa Timur, ia siap mengabdikan diri di tengah masyarakat yang dikenal hidup dalam dunia kemaksiatan itu.

Semula, bapak tiga anak dan kakek satu cucu ini memang tak mengira akan tinggal dan bergelut dengan lingkungan seperti itu. Makanya, ketika ustadz Ngadimin hidup di tengah-tengah para pekerja seks, germo dan juga preman, beliau menerapkan "jurus dan pendekatan dakwah" yang ramah. Karena menurutnya, berdakwah kepada pekerja seks, jelas tidak bisa disamakan dengan orang biasa. "Hidup berdampingan dengan para pekerja seks komersial (PKS), germo dan preman di lokalisasi yang tergolong high class seperti di Dolly itu jelas menawarkan tantangan tersendiri, apalagi jika niat kita itu benar-benar berdakwah. Jika kita tidak bisa pandai-pandai menempatkan diri (mencari celah), jangan harap kita akan mampu mengetuk hati mereka," jelasnya kepada Hidayah.

Memang, awal kiprah lelaki yang cukup ramah dan sopan kepada siapa saja ini sebagai juru dakwah di tengah-tengah pelacuran Dolly ini, tidak bisa ditepis dari dukungan keluarga, terutama istri. Dari dukungan itu, ia mampu bertahan di tempat seperti itu. “Alhamdulillah, dari dulu saya selalu berprinsip cukup satu (baca: isteri). Saya tak mau neko-neko. Karena kalau mau menuruti nafsu, di sini memang tempatnya,” kelakarnya.

Keterlibatan ustadz Ngadimin berdakwah secara intens di Gang Dolly, boleh dikata bermula sejak menjabat sebagai ketua takmir masjid at-Taubah yang didirikan di tengah gemerlap lampu dan detak musik (diskotek) pada tahun 1995. Sejak dipilih sebagai takmir masjid itulah, ia dituntun untuk berdakwah secara ekstra hati-hati. Sebab, siapa pun tahu akan resiko dan "tantangan" yang akan dihadapi. Tidak ayal, jika di awal menghidupkan syiar agama di situ, ia sempat mengalami satu tragedi. “Pernah suatu hari, saat saya menjadi imam shalat shubuh, ada orang melempar punggung saya dengan batu. Tapi alhamdulillah, lemparan batu itu tak menimbulkan luka serius atau melukai jama`ah. Ya, begitulah resiko kalau masih mbabat alas. Tetapi kini, masyarakat sudah bisa menerima kehadiran masjid at-Taubah ini.”

Keberadaan masjid at-Taubah itu sendiri merupakan pengembangan dari musholla al-Huda. Karena animo masyarakat yang lumayan tinggi terhadap kehadiran sarana dakwah pada waktu itu, maka pada 17 Februari 1989 nama musholla al-Huda itu resmi "berganti nama" masjid at-Taubah. Semula, bangunan masjid itu berlantai satu dan baru tahun 1991 berlantai dua dan didirikan pula TPA at-Taubah. Seiring berjalannya waktu, masjid at-Taubah lambat laun berbenah dan kini berlantai tiga. Bahkan kini telah memiliki Taman Kanak-Kanak Darul Taubah yang mampu menampung sekitar 100-110 siswa karena keterbatasan ruang dan lokasi di Dolly sendiri yang padat oleh rumah penduduk dan komplek lokalisasi.

Tapi, di mata pak Petruk, keadaan yang serba terbatas itu tak menyurutkan langkah berdakwah. Ia merangkul kalangan muda sebagai staf pengajar dan berupaya memanfaatkan sebidang bangunan di samping rumah untuk ruang TK. Tak berlebihan, dari kiprah dakwah pak Petruk itu, kini sejumlah siswa tetap bertahan untuk menimba ilmu meski berada di tengah-tengah tempat maksiat. Apalagi, perjalanan panjang keberadaan masjid at-Taubah di tengah lokalisasi Dolly itu direspon positif oleh masyarakat, tak terkecuali pula para pekerja malam. Bahkan beberapa kupu-kupu malam dan mucikari yang punya anak pun tak segan menitipkan putra-putri mereka untuk menimba ilmu agama dan mengaji di TPA at-Taubah.

Tidak Menghakimi
Jurus dakwah yang diterapkan kakek dari Glen Fabiano ini memang tak frontal, lebih menerapkan dakwah dengan pendekatan lembut. “Saya kira untuk menyentuh hati mereka, penggunaan model dakwah yang terlalu keras (frontal) hanya akan membuat hati mereka kian menjauhi agama. Kenapa kita harus memakai cara dakwah kasar kalau cara halus masih bisa dicari? Kenapa kita tak mengikuti jejak rasulullah yang berdakwah dari hati ke hati, atau meneladani dakwah walisongo seperti Sunan Kalijaga, misalnya?” ujar ustadz Ngadimin saat ditanya trik dakwah yang dipakai di lokalisasi Gang Dolly.

Suami dari Tatik ini memang tahu sepenuhnya dengan lokalisasi Gang Dolly dan orang-orang yang hidup di sana. Karena itu, dalam berdakwah dia lebih bersifat lunak sebagaimana filosofi dakwah yang menjadi prinsipnya, "Berdakwah di tempat seperti itu bisa diibaratkan seperti mengail ikan di sungai. Jangan mengubek-ubek air hanya karena kita ingin mendapat ikan, tetapi cobalah dapatkan ikan dengan cara mengail. Dengan cara seperti itu, Anda akan mendapatkan ikan, tapi airnya tetap terjaga jernih.”

Lebih dari itu, keberhasilan dakwah memang tidak dapat dilihat secara sempit. Dalam hal ini, pak Petruk memiliki konsep sendiri. "Berdakwah itu bukanlah untuk menghakimi orang yang dianggap menyimpang atau menakut-nakuti, tapi sesungguhnya dakwah adalah mengajak orang menuju jalan yang benar dengan cara menunjukkan mana yang haq dan yang batil. Toh semua orang --termasuk pelacur-- itu juga memiliki akal pikiran yang bisa digunakan untuk mengambil segala keputusan", selorohnya kalem.

Jurus seperti itu juga dipraktekkan dalam perhelatan-perhelatan tertentu, seperti berkaitan dengan Peringatan Hari Besar Islam (PHBI). Tak jarang ia harus berkeliling untuk mencari sosok penceramah untuk mengisi pengajian. Ia mengaku harus selektif untuk memilih penceramah, bukan untuk menganaktirikan penceramah lain. Dengan memandang masyarakat yang berada di Gang Dolly, yang mudah sensitif, tentunya pak Petruk harus mencari sosok penceramah yang benar-benar mahir membaca situasi. “Jika dapat penceramah yang keras dan tegas, tentu saya yang kena. Ya, secara tidak langsung ada beberapa oknum masyarakat yang keberatan. Saya hanya ingin semua berjalan baik-baik. Kita yang tahu, tugasnya hanya menyampaikan. Soal mereka mau menerima atau tidak adalah urusan Allah SWT. Kita tidak perlu memaksa,” katanya.

Kini, hampir setiap hari, rumah ustadz Ngadimin dikunjungi orang, baik dari dalam dan luar kota --termasuk para PSK yang meminta bantuan. Umumnya, mereka itu datang untuk berkonsultasi dan berobat tentang berbagai keluhan. Kendati demikian, pak Petruk enggan disebut sebagai tabib. Kisah itu bermula saat ia mengobati seorang warga yang sedang sakit. Itu terjadi saat pak Petruk masih tinggal di kampung Bayu sekitar 1975 yang berdekatan dengan Dolly. Lambat laun, berita itu pun tersiar dari mulut ke mulut. Hingga saat ini, sudah puluhan bahkan ratusan pasien yang sembuh (atas kekuasaan Allah) setelah berkonsultasi dan di tengah-tengah proses penyembuhan itu, pak Petruk memanfaatkan kesempatan tersebut untuk menyisipkan dakwah dengan mengajak ke jalan kebaikan.

Tidak dapat diingkari, meski para pekerja seks di Dolly itu menikmati keberlimpahan materi tetapi tetap tak sepenuhnya lupa dengan kebutuhan spiritual. Di sisi lain, juga mereka menyadari akan profesi itu yang memiliki kerentanan terhadap penyakit kelamin, ditentang oleh agama dan norma-norma masyarakat yang ada, namun kerinduan akan siraman rohani tetap tidak bisa ditepis begitu saja oleh sebagian PSK di Gang Dolly itu. Hal ini tentu menjadi sisi unik sekaligus paradoksal tentang kehidupan pelacur dan germo yang sudah hidup di Gang Dolly bertahun-tahun. Kiprah ustadz Ngadimin, tentu mengundang decak kagum kita semua! Selamat berjuang ustadz! (m. fahmi amrulloh dan n. mursidi)

BIODATA:
Nama : Ngadimin Wahab
ttl : Kediri, 26 Agustus 1964
Isteri : Tatik
Anak : 1. Lidya Fatmasari + Iwan (menantu)
2. Faizal Afandi
3 . Rizki Asfarina
Cucu : Glen Fabiano
Pendidikan : 1. PP. Al-Ihsan – Jampes – Pare – Kediri
2. PP. Al-Hikmah – Nganjuk
3. PP. Sidoresmo – Surabaya
Pekerjaan : 1. Ketua Takmir Masjid At-Taubah, komplek Dolly, (1995 – sekarang)
2. Wiraswasta

Tidak ada komentar: