Minggu, 01 Oktober 2006

masjid syuhada: mengenang perjuangan pahlawan bangsa

tulisan ini dimuat di rubrik masjid majalah hidayah edisi 63 oktober 2006

Tak ada yang menyangkal, jika keberadaan masjid di bumi mana pun dibangun sebagai tempat sujud, mendirikan shalat, memupuk keimanan dan sebagai rumah Allah yang didirikan atas dasar taqwa. Tetapi, masjid yang terletak di jalan Dewa Nyoman Oka di Wilayah Kota Baru ini ternyata lebih dari sekadar itu. Masjid ini, selain dibangun untuk dijadikan sebagai pusat aktivitas umat Islam dan tempat sujud juga dimaksudkan sebagi suatu monumen untuk mengenang para syuhada yang telah gugur melawan penjajah. Tak salah jika kemudian masjid ini dinamai dengan nama Masjid Syuhada.

Mungkin terdengar aneh, bangunan masjid disebut sebagai monumen! Apalagi, selama ini orang kerap menyaksikan kenyataan bahwa untuk mengenang perjuangan para pahlawan yang telah gugur dalam memperjuangkan keadilan, kemerdekaan dan membela bangsa biasa diabadikan dalam bentuk patung, museum atau tugu. Tapi, para pendiri masjid ini rupanya tak ingin monumen yang dibangun itu sia-sia dan tak bisa dimanfaatkan. Karena itu, dibangunlah masjid yang dimaksudkan sebagai monumen untuk mengenang perjuangan para syuhada yang telah gugur di medan perang sekaligus bisa dimanfaatkan untuk perjuangan umat Islam.

Sejarah Masjid Syuhada
Sebelum Indonesia merdeka, konon Kota Baru dikenal sebagai wilayah masyarakat elit yang dihuni oleh orang-orang Belanda berkulit putih, orang-orang Thionghoa, dan orang-orang Indonesia kelas atas. Maka, bukan satu hal yang mustahil kalau di Kota Baru itu belum terdapat sebuah bangunan masjid, bahkan mushalla sekalipun. Tapi keadaan berubah setelah Belanda jatuh dan Indonesia kemudian dijajah Jepang. Orang-orang Belanda hengkang dari Kota Baru dan penghuni berikutnya adalah orang-orang Jepang dan sebagian besar lagi adalah orang-orang Islam. Keadaan itulah yang membuat penduduk (Islam) Kota Baru merasa haus dan benar-benar butuh tempat ibadah. Apalagi untuk mendirikan shalat Jum`at, orang Islam di sekitar Kota Baru sering berpindah-pindah tempat, bahkan pernah menggunakan bangunan gereja untuk dijadikan sebagai tempat shalat Jum`at.

Setelah Indonesia merdeka, kebutuhan akan masjid sebagai tempat ibadah itu dirasa perlu dan tak bisa ditunda. Maka, dibentuklah suatu panitia pembangunan masjid pada tanggal 14 Oktober 1949 yang diketuai oleh Mr. Assaat. Tapi dua kali pembentukan panitia digagas, belum juga harapan itu menjadi kenyataan. Harapan akan berdirinya masjid itu baru menjadi kenyataan terjadi pada tahun 1952 (setelah memakan waktu tiga tahun).

Selain dimaksudkan sebagai tempat ibadah (yang memang pada waktu itu Kota Baru belum memiliki bangunan tempat ibadah), masjid Syuhada ini juga dibangun untuk dijadikan sebagai monumen sejarah untuk mengenang perjuangan serta jasa para syuhada` (pahlawan) yang telah gugur dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan bangsa ini dari penjajah asing. Adapun para syuhada itu tak lain adalah para pahlawan kota Yogyakarta yang telah gugur dalam pertempuran Kota Baru ketika melawan penjajah Jepang pada 6-7 Oktober 1945, pertempuran Yogyakarta saat Belanda melancarkan agresi pada 19 Desember 1948 dan pertempuran Sonosewu melawan penjajah Belanda pada 14 Januari 1949.

Tak salah, jika masjid ini kemudian diberi nama masjid Syuhada. Syuhada artinya adalah para pahlawan. Adapun pemberian nama Syuhadaitu sendiri adalah usulan dari salah seorang anggota dari panitia pembangunan masjid yang bernama Haji Benjamin. Dia adalah seorang pemuda Islam yang militan sekaligus juga seorang muballigh tangguh di Yogyakarta. Sayangnya, sebelum masjid Syuhada itu diresmikan dan digunakan, dia keburu dipanggil Allah pada tanggal 4 Juli 1950. Jadi, dia belum sempat melihat masjid yang dia beri nama dan ikut susah payah mendirikan. Dengan konteks latar belakang pendirian masjid itu, maka masjid Syuhada bisa dikata sebagai simbol akan pengorbanan yang ikhlas dalam memperjuangkan kemerdekaan dan kemenangan keadilan atas kelaliman penjajah asing.

Setelah pembangunan masjid ini selesai dan bisa dimanfaatkan, maka diresmikan pada tanggal 20 September 1952 (bertepatan pada tanggal 1 Muharam –tahun baru Islam—1272). Adalah suatu kebahagiaan tersendiri, karena waktu itu presiden Soekarno bersedia hadir. Juga hadir pula Menteri Agama, Menteri Sosial, Menteri Pertanian, Menteri Urusan Pegawai, Menteri Penerangan, Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Tenaga Kerja serta tokoh-tokoh penting lain.

Pada waktu itu, masjid Syuhada merupakan sebuah bangunan masjid yang memiliki fasilitas cukup modern. Tak salah, jika Ir. Soekarno (presiden Republik Indonesia) tatkala meresmikan masjid itu sempat berkata, “Walau masjid ini tidaklah besar, tetapi mempunyai bentuk modern dan molek”. Apalagi masjid Syuhada ini memiliki keunikan dan kekhasan jika mau dibandingkan dengan bentuk masjid-masjid yang lain.

Karena salah satu dari tujuan dibangunnya masjid ini adalah sebagai monumen (hidup), maka secara simbolik masjid Syuhada ini memiliki makna untuk membangkitkan semangat nasionalisme dan menumbuhkan jiwa patriotisme. Tidak salah, jika kemudian masjid ini dalam pengelolaan lebih lanjut diharapkan menjadi semacam tempat untuk menumbuhkan semangat kaum muda guna melanjutkan perjuangan para pahlawan yang telah gugur di medan perang.

Bentuk Masjid
Kini, jika Anda melancong ke Yogyakarta dan sempat mengunjungi masjid Syuhada untuk melaksanakan shalat, maka Anda akan menemukan semacam jejak sejarah yang terkait dengan peristiwa kemerdekaan bangsa Indonesia. Saat Anda memasuki masjid, Anda akan menjumpai 17 (tujuh belas) anak tangga yang mengantarkan Anda memasuki masjid. Juga saat Anda mengamati seksama sekeliling masjid, maka akan melihat 8 (depalan) segi tiang gapura, 4 (empat) kupel bawah dan 5 kupel atas (berbentuk besar) yang merupakan lambang tanggal, bulan dan tahun peristiwa penting dari detik-detik proklamasi kemerdekaan Indonesia yang terjadi pada 17-8-’45.

Selain itu, secara geografis masjid Syuhada ini berada dalam posisi yang unik. Masjid ini diapait oleh dua jembatan, yakni jembatan Gondolayu (yang membentang di atas kali Code sebelah utara daerah Gondolayu) dan jembatan Sultansburg atau yang lebih dikenal dengan jembatan Kretek Kewek dan diapit pula dua jalan, yakni jalan Jendral Sudirman (dulu jalan Gondokusuman) di sebelah utara dan jalan Abu Bakar Ali di sebelah selatan. Selain itu, di sekitar bangunan masjid juga dikelilingi oleh bangunan-bangunan kuno peninggalan Belanda.

Masjid Syuhada terdiri dari tiga lantai (tingkat). Di lantai dasar (basement) dipakai untuk ruang kuliah --dulunya ruangan bawah ini sempat dipakai untuk ruang kuliah Universitas Islam Indonesia). Ada 20 (dua puluh) jendela sebagai ventilasi, dengan tujuan agar mahasiswa tak merasa kepanasan dalam proses belajar mengajar. Jendela berjumlah 20 (dua puluh) ini sengaja dipilih untuk mengingatkan pada sifat Allah yang berjumlah 20 (dua puluh).

Sedangkan di lantai tengah digunakan sebagai ruangan shalat (mushalla) bagi jama`ah wanita. Pada bagian ini terdapat 2 (dua) tiang dan tiang itulah yang menjunjung bangunan masjid, yang mengesankan dua iktikat hidup manusia. Di samping ruang tengah ini terdapat ruang perpustakaan yang diperuntukkan bagi mahasiswa, jama`ah dan orang-orang di sekitar masjid yang haus akan ilmu pengetahuan. Adapun tingkat (lantai) tiga dipakai untuk ruangan shalat Jum`at. Tepat pada mihrab masjid, terdapat 5 (lima) lubang angin yang mengingatkan tentang bilangan rukun Islam yang berjumlah 5 (lima).

Jika selasai melakukan shalat, Anda keluar dari masjid untuk melangkahkan kaki di tengah-tengah halaman (muka masjid), maka akan menjumpai pemandangan yang kontras dan sungguh unik. Saat melepas pandang ke segala jurusan, akan menjumpai dua bangunan Gereja Protestan dan Katolik. Keunikan itu akan terasa lengkap, ketika Anda mengitarkan pandangan sehingga menjumpai sejumlah bangunan tua peninggalan Belanda yang berarsitektur antik. Tak pelak, jika Anda lama berada di halaman masjid akan merasa seolah-olah berada dalam suasana masa lalu yang mengingatkan perjuangan para syuhada yang gugur melawan penjajah.

Pengelola Masjid
Untuk mengelola masjid Syuhada ini agar sesuai dengan harapan dan cita-cita para pejuang bangsa, maka dibentuklah sebuah Yayasan Asrama dan Masjid (YASMA). Yayasan ini dibentuk untuk mengemban suatu amanat guna mengurus dan mengelola bangunan masjid agar berfungsi secara maksimal. Selain itu, yayasan yang didirikan pada 18 September 1952 di hadapan notaris RM. Wiranto dengan ketua BPH. Praboningrat hingga kini mengelola asrama mahasiswa putra dan asrama mahasiswa putri yang memiliki tujuan membimbing pertumbuhan rohani dan jasmani bagi pemuda Indonesia menuju pembangunan angkatan baru yang berjiwa Islam.

Bertolak dari tujuan itu, maka YASMA mendirikan lembaga-lembaga pendidikan, baik secara formal maupun nonformal. Untuk lembaga formalnya, YASMA mengelola Taman Kanak-kanan Masjid Syuhada (TKMS), Sekolah Dasar Masjid Syuhada (SDMS), Sekolah Menengah Pertama Islam Terpadu Masjid Syuhada (SMP-IT MS), dan juga Sekolah Tinggi Agama Islam Masjid Syuhada (STAIMS).

Adapun untuk lembaga non-formal yang dibawahi YASMA antara lain adalah lembaga pendidikan Al-Qur`an Masjid Syuhada (LPQMS), Pendidikan Anak-anak Masjid Syuhada (PAMS), Pendidikan Kader Masjid Syuhada (PKMS), Corp Dakwah Masjid Syuhada (CDMS), Kelompok Pengajian PPY, Kelompok pengajian Al-Hijrah dan Pengajian Nurrusyuhada.

Melanjutkan Cita-Cita Syuhada
Sekarang, masjid Syuhada sudah berusia setengah abad lebih. Sejak diresmikan dan dikelola YASMA, masjid ini sudah memberikan sumbangsih yang besar dan tidak ternilai bagi pertumbuhan dan perkembangan peradaban umat Islam Yogyakarta, khususnya di sekitar Kota Baru. Mungkin, pertanyaan yang dapat diajukan adalah; apakah cita-cita dan perjuangan dari para pejuang (syuhada) yang gugur di medan perang benar-benar sudah dilanjutkan oleh generasi muda para penerus bangsa?

Jawabnya, jelas tidak mudah! Tapi yang jelas, sejak masjid Syuhada ini diresmikan dan dikelola oleh YASMA dan berdiri lembaga-lembaga pendidikan, maka telah menghasilkan alumni (lulusan) yang tidak terhitung jumlahnya. Mereka telah tersebar ke seluruh pelosok negeri (tanah air) dan di berbagai instansi pemerintah maupun lembaga swasta. Mereka juga telah menjadi pionir-pionir pembangun bangsa dalam segala aspeks kehidupan dan sekaligus sebagai mujahid-mujahid penegak kebenaran Ilahi di Persada Pertiwi ini, tentunya sebagai pewaris syuhada yang telah gugur di medan bakti. Semoga! (n. mursidi)



Tidak ada komentar: