Jumat, 01 Desember 2006

kisah pernikahan musa as

tulisan kisah Qur`an ini dimuat di majalah hidayah edisi 65 desember 2006

Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, “Ya, bapakku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita); karena sesungguhnya orang yang paling baik untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya. (QS. al-Qashash: 26)

Setiap manusia tidak dapat mengetahui apa yang akan terjadi pada hari esok. Karena itulah, rahasia di balik “hari yang akan datang” itu kerap memberi peluang bagi manusia untuk berbuat baik agar hidup yang dijalani nanti jadi bermakna. Dengan rahasia itu pula, seseorang kemudian berdoa kepada Allah agar mendapat petunjuk. Dan pertolongan Allah pun datang kerap tak disangka, semisal, bertemu dengan pasangan hidup secara tak sengaja. Setidaknya, itulah yang dialami Musa as tatkala pergi ke Madyan dan bertemu dengan Shafura.

Suatu hari, Musa pergi ke Memphis (ibu kota Mesir). Istana Fir`aun, rupanya tidak mampu membuat Musa tertarik kemewahan dan dia lebih berpihak kepada rakyat, terutama Bani Israel yang tertindas. Musa pergi sendirian, tanpa sepengetahuan penduduk dan tiba di kota tengah hari. Lengang, seakan Musa memasuki kota mati. Tak ada keramaian, tak ada lalu lalang orang.

Tapi di tengah kelengangan itu, ia tiba-tiba melihat dua orang yang sedang berselisih. Seorang dari golongan Bani Israil dan satunya orang dari keluarga penguasa Mesir. Orang Bani Israil itu melihat kedatangan Musa, segera minta pertolongan. Musa berjalan mendekat. Tetapi orang dari keluarga penguasa Mesir justru berkata sengit, “Engkau tak ada urusan dengan hal ini, maka pergilah! Jika tidak, aku bisa memukulmu!”

Mendengar ucapan itu, Musa marah dan meninju orang tersebut. Dan Musuh itu mati. Sadar atas apa yang terjadi, Musa merasa bersalah. Meski tak bermaksud membunuh, hanya ingin menolong kaumnya tapi Musa merasa menyesal. Musa berkata, “Ini adalah perbuatan setan, sesungguhnya setan itu adalah musuh yang menyesatkan lagi nyata (permusuhannya) (QS. al-Qashash: 15). Musa juga meminta ampunan, “Ya, Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri, karena itu ampunilah aku. (QS. al-Qashash: 16). Allah mengampuni perbuatan Musa.

Usai peristiwa itu, esok harinya Musa merasa diliputi takut. Karena Musa khawatir jika Fir`aun mengetahui hal itu, maka sudah dapat dipastikan Fir`aun akan berang dan bisa membunuh Musa. Karena itu, Musa cemas. Hingga peristiwa lain terjadi. Musa bertemu lagi dengan orang keturunan Bani Israil tersebut yang juga sedang berselisih. Melihat kehadiran Musa, orang itu pun segera berteriak, “Hai Musa, tolonglah aku.”

Bukan Musa tak mau menolong, tetapi kematian orang Mesir itu telah membuat Musa tidak mau menolong lagi orang yang berdosa. Karena itu, Musa marah. Ia membentak orang dari Bani Israil, “Sesungguhnya kamu benar-benar orang sesat yang nyata (kesesatannya).” (QS. al-Qashash: 18). Musa mendekat. Anehnya, orang keturunan Bani Israil itu ketakutan, “Hai Musa, apakah engkau bermaksud membunuhku sebagaimana engkau kemarin telah membunuh seorang manusia? Kamu tidak bermaksud melainkan hendak menjadi orang yang berbuat sewenang-wenang di negeri (ini), dan tidaklah kamu hendak menjadi salah seorang dari orang-orang yang mengadakan perdamaian.” (QS. al-Qashash: 19).

Orang-orang mendengar ucapan itu dan tahu jika Musa adalah orang yang membunuh lelaki golongan Fir`aun. Musa lari. Berita bahwa Musa membunuh seorang dari mereka pun kemudian sampai ke telinga Fir`aun dan segera mengerahkan tentara untuk mencari Musa.

Untunglah, sebelum tentara Fir`aun menemukan Musa, ada orang baik yang berhasil menemui Musa, menjelaskan keadaan yang terjadi dan meminta Musa segara meninggalkan Mesir, “Hai Musa, sesungguhnya pembesar negeri sedang berunding tentang kamu untuk membunuhmu, sebab itu keluarlah (dari kota ini) sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang memberi nasehat kepadamu.” (QS. al-Qashash: 20).

***

Dalam keadaan takut, Musa melangkah meninggalkan Mesir. Musa tak tahu, ke mana harus pergi. Ia juga bingung karena salama ini belum pernah keluar dari Mesir dan khawatir tentara Fir`aun akan menangkapnya. Karena itu, Musa memilih meninggalkan Mesir saat gelap seraya berdoa, “Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dari orang-orang yang zhalim itu.” (QS. al-Qashash: 21). Musa lalu menghadapkan arah ke Madyan dan meminta perlindungan, “Mudah-mudahan Tuhanku memimpinku ke jalan yang benar. (QS. al-Qashash: 22)

Musa lalu melangkah melewati banyak gurun, juga padang pasir. Musa berjalan di atas muka bumi berhari-hari hingga akhirnya sampai di Madyan. Ada rasa aman menjalari tubuh Musa karena sudah jauh dari Mesir –letak Madyan itu pertengahan jalan antara Hijaz (Arab Saudi) dan Mesir yang tidak berada di bawah kekuasaan Fir`aun, di dekat pantai timur teluk `Aqaba. Matahari hampir tenggelam saat Musa tiba. Merasa capek, Musa duduk di sebelah sumber air, tempat orang-orang mengambil air untuk memberi minum ternak-ternak mereka.

Tapi di antara kerumunan orang yang sibuk berdesakan untuk berebut air itu, justru Musa melihat dua orang wanita yang menunggu kerumunan orang-orang itu. Tetapi, keadaan tak kunjung sepi. Musa mendekati kedua wanita itu, yakni Lana dan Shafura seraya berkata, “Apa maksudmu (dengan berbuat begitu)?” ((QS. al-Qashash: 23).

Kedua gadis itu menjawab, “Kami tidak mampu bersaing dengan kaum lelaki dan para pengembala yang lain. Karena itu, kami menunda memberi minum kambing-kambing kami.”

Musa lalu bertanya lagi, “Kenapa engkau berdua mengembala kambing?”

“Ayah kami sudah tua, jadi ia tak lagi sanggup menggembalakan kambing dan memberi minum kepadanya. Ia sudah lemah dan tua.”

”Jika engkau berdua mau, aku akan memberi minum kambing-kambingmu berdua.”

Musa lalu bangkit menuju kerumunan. Dengan mudah, Musa mengambil air dari sumber air karena ia berbadan kuat sehingga tidak kesulitan, lalu memberi minum ternak kedua gadis tersebut. Setelah itu, ia kembali ke tempat teduh dan berdoa, “Ya, Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.” (QS. al-Qashash: 24).

Setelah ternak-ternak kedua gadis itu tak lagi dahaga, kembalilah kedua gadis itu ke rumah. Tetapi betapa heran sang ayah saat melihat kedua anak gadisnya kembali lebih cepat padahal biasanya lama. Jelas, hal itu membuat sang ayah bertanya. Kedua gadis itu kemudian menceritakan tentang adanya seorang laki-laki yang telah menolong mereka.

Ayah kedua gadis itu penasaran. Lelaki yang sudah tua itupun tak sabar ingin bertemu dengan Musa, dan ia menyuruh salah seorang putrinya, Shafura, untuk memanggil Musa agar datang ke rumah, sebagaimana firman Allah, “Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu dengan agak malu-malu, ia berkata, ‘Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar dia memberikan balasan terhadap kebaikan-(mu) memberi minum (ternak) kami’.” (QS. al-Qashash: 25). Tak dapat dimungkiri, bahwa datangnya permintaan gadis itu adalah satu bukti bahwa Allah telah mengabulkan doa Musa. Allah berkenan mempertemukan Musa dengan orang yang menjamu juga memenuhi kebutuhan dan bahkan menikahkan Musa.

Musa segera berdiri, berjalan di belakang gadis itu. Angin bertiup semampai sehingga mempermainkan pakaian yang dipakai gadis itu. Musa merasa tak enak, berucap, “Berjalanlah engkau di belakangku dan pandulah aku dalam perjalanan.”

Sesaat kemudian, Musa tiba di rumah gadis tersebut dan bertemu dengan lelaki saleh itu. Musa mengucapkan salam, menjelaskan tentang asal-usul dirinya dan bercerita tentang apa yang dialaminya di Mesir, seperti dikisahkan Allah dalam al-Qur`an, “Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya dan menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya), bapak tersebut berkata, ‘Janganlah engkau takut, engkau telah selamat dari orang-orang yang dhalim itu.” (QS. Al-Qashash: 25). Bisa dimaklumi, jika orang saleh itu berkata demikian, sebab Madyan berada di bawah kekuasaan orang-orang Kan`an yang kuat dan juga suka menolong.

Tanpa diduga, Shafura berkata kepada ayahnya, “Ya, bapakku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya,“ (QS. al-Qashash: 26).

Sang ayahnya sedikit kaget, karena itu bertanya, “Sesungguhnya engkau mengetahui kekuatannya tatkala dia memberi minum ternakmu dan ternak saudara perempuanmu, tetapi bagaimana engkau tahu kejujurannya?”

Shafura, menceritakan apa yang terjadi atas diri Musa ketika dengan malu-malu dia mengundangnya. Dari kisah putrinya itu, sang ayah merasa senang bahwa Musa memang layak bekerja padanya dan sekaligus sebagai menantu. Maka berkatalah orangtua itu kepada Musa, “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku selama delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun, maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik.” (QS. al-Qashash: 27).

Musa menyetujui tawaran itu. “Itulah (perjanjian) antara aku dan kamu. Mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, maka tidak ada tuntutan tambahan atas diriku (lagi). Dan Allah adalah saksi atas apa yang kita ucapkan” (QS al-Qashash: 28).

***

Hari berlalu dan sudah sepuluh tahun Musa bekerja. Musa telah menyempurnakan apa yang dijanjikan olehnya untuk tinggal dan berkerja. Selama itu pula, Musa menunjukkan sikap jujur yang luar biasa dan Musa memilih bekerja selama sepuluh tahun, meski dalam perjanjian itu sebenarnya boleh bekerja delapan tahun. Dan setelah bekerja sepuluh tahun, orangtua itu pun menepati janji; menikahkan Musa dengan salah satu putrinya, Shafura.

Sudah lama Musa meninggalkan Mesir. Setelah menetap di Madyan, rupanya Musa tak bisa melupakan kota kelahirannya itu. Apalagi, di Mesir masih ada saudara dan ibu tercinta Musa dan orang-orang keturunan Bani Israil yang ditindas fir`aun. Karena itu, Musa merasa sudah waktunya meninggalkan negeri Madyan. “Aku rindu kepada ibuku, saudara perempuanku dan saudaraku, Harun. Aku ingin engkau siap-siap pergi ke Mesir, karena keluargaku dan para pendukungku ada di sana,” ucap Musa kepada istrinya.

Pagi yang cerah, Musa dan keluarganya berangkat. Saat itu, Shafura dalam keadaan hamil. Sebelum itu, ia juga telah melahirkan dua anak untuk Musa. Tetapi jarak yang jauh tak menghalangi niat itu.

Awalnya, Musa bermaksud meninggalkan Madyan, berjalan menuju Sinai, tapi salah mengambil jalan ke arah gunung Tur. Padahal saat tiba di gunung Tur, hari sudah gelap. Udara dingin. Angin bertiup kencang. Gelap pun menutupi mata. Hujan turun deras. Juga diselingi gelegar petir. Keadaan genting itu membuat Musa memutuskan menghentikan perjalanan, mendirikan tenda agar keluarga Musa bisa berteduh dan berlindung.

Karena dingin, Musa keluar dari tenda, dengan harapan bisa menemukan api sebagai penghangat. Tapi tak juga dapat. Musa memandang ke kanan-kiri hingga melihat api di lereng gunung. Musa segera kembali pada Shafura, “Tunggulah (di sini), sesungguhnya aku melihat api, mudah-mudahan aku dapat membawa suatu berita kepadamu dari (tempat) api itu atau (membawa) suluh api, agar kamu dapat menghangatkan badan.” (QS. al-Qashash: 29).

Shafura menuruti perintah Musa, menunggu di tenda. Apalagi ia sangat membutuhkan api untuk melawan rasa dingin yang menusuk tulang. Selanjutnya, Musa pergi ke arah api itu, berjalan ke Lembah Thuwa meski keringat bercucuran. Tapi, setelah Musa berjalan beberapa langkah, dia merasakan tak ada lagi guntur, tak ada kilat dan juga tidak ada angin yang betiup kencang. Hening. Dia merasa takjub, diliputi suasana khusuk yang mendalam.

Tetapi, sebelum mencapai titik api, Musa menggigil dan ketakutan. Karena itu, Musa nyaris lari. Tapi ia memutuskan bertahan sekalipun dicekam rasa takut. Dan saat itulah, Musa tiba-tiba mendengarkan suara yang tak ia ketahui. Musa segera mengambil secercah api dan ia tahu tempat itu penuh dengan cahaya. Di tempat itu, di samping mendapatkan secercah api, Musa diangkat pula menjadi rasul sebagaimana firman Allah, “Maka, tatkala Musa sampai ke (tempat) api itu, diserulah ia dari (arah) pinggir lembah yang sebelah kanan(nya) pada tempat yang diberkati dari sebatang pohon kayu, ‘Ya Musa, sesungguhnya Aku adalah Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. al-Qashash: 30).

Setelah mendapatkan wahyu, Musa kembali menemui istrinya. Musa membawa berita gembira berupa risalah kenabian. Selanjutnya, Musa bersama keluarganya melanjutkan lagi perjalanan ke Medir. Dan Shafura setia mendampingi perjalanan hidup Musa. Karena ia adalah seorang istri dan termsuk pendukung terbaik bagi Musa dalam menyebarkan risalah kenabian Allah. Ia adalah seorang wanita teladan yang pantas untuk dimuliakan! (n. mursidi)

-----------------
Referensi:
1. Jabir asy-Syal, Profil di Balik Cadar; Kisah Wanita dalam Al-Qur`an, terj. Alwi AM, Penerbit Grafiti Pers, Jakarta; 1986
2. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Penerbit Lentera Hati, Jakarta; 2000
3. Ahmad Khalil Jam`ah Syaikh Muhammad bin Yusuf Ad-Dimasyqi, Istri-istri Para Nabi, terj. Fadhli Bahri, Lc., Darul Falah, Jakarta 2001
4. Kamal as-Sayyid, Kisah-kisah Terbaik Al-Qur`an, terj. Selma Anis, Penerbit Pustaka Zahra, Jakarta 2004

Tidak ada komentar: