Minggu, 01 April 2007

sepenggal cerita haji berkat tahajud

kisah ini dimuat di majalah hidayah edisi 69 april 2007

Siang itu, bulan Muharram 1424 H, hati Maman serasa diiris sembilu. Mata lelaki --yang sudah lama bekerja di bandara Soekarno Hatta-- itu pun menitikkan air mata saat menatap rombongan jamaah haji datang dari tanah suci. Meski sedih, ia tetap bahagia karena ada salah satu keluarganya yang pergi haji dan ia dimintai bantuan mengurus barang-barang bawaan.

Dengan perasaan pedih sekaligus senang itu, Maman menatap tumpukan koper yang barusan dibongkar dari pesawat. Tapi, setiap ia menatap koper berwarna biru tua, bertuliskan nama, nomer kloter dan kota asal jamaah haji, ia diliputi kepedihan. Maklum, sudah lama ia berharap bisa naik haji, tapi belum kesampaian. Maka saat menatap tumpukan koper, ia pun meminta sepenuh harapan, “Ya Allah, kapan saya bisa pergi ke tanah suci dan memiliki koper berwarna biru tua seperti ini?”

Empat bulan kemudian, setelah dia terpilih sebagai pegawai berprestasi, Allah mengabulkan doanya. Dia mendapat kejutan diberangkatkan ke tanah suci atas biaya kantor bersama 16 pegawai lain. Kontan ia bahagia. Tapi, di balik kebahagian itu justru ia tak bisa mengelak dari rasa sedih karena selama ini Maman dan Ida, istrinya tak henti-hentinya berdoa pada Allah agar bisa naik haji bareng. Maka saat pulang dari kantor, ia bingung. Di depan istrinya, ia pun ragu berterus terang, “Ida, sebelumnya saya minta maaf jika berita ini membuatmu sedih! Tapi jangan marah, apalagi sedih!”

“Ada berita sedih apa? tanya Ida, penasaran.

“Pihak perusahaan akan memberangkatkan saya naik haji.”

“Alhamdulillah!!!” Ida berteriak, girang. Dia langsung memeluk suaminya dengan erat. “Ida kira berita duka! Berita bagus naik haji, kok dibilang sedih!”

“Tapi saya tetap sedih! Kamu kan tahu sendiri, saya cuma pegawai kecil, seperti yang kamu tahu, dan saya tak bisa membiayai keberangkatanmu ikut haji bareng!”

“Tidak apa-apa. Saya ikhlas tapi sesampai di sana jangan lupa mendoakan saya agar nanti bisa menyusul pergi ke tanah suci.”

Hari terasa cepat berlalu, dan jadwal keberangkatan Maman pun akhirnya tiba. Dengan diiringi keluarga, ia diantar dengan kebahagian juga isak tangis. Dan sebelum berpisah, istrinya kembali berpesan, “Di Baitullah, nanti panggil nama Ida, ya, agar bisa menyusul..!”

Maman tak kuasa membendung air matanya. Dia peluk istri dan anaknya.

Ketika kendaraan rombongan haji merangsek, dia pun menghapus air matanya dan berusaha berkonsentrasi menjalani ibadah haji. Akhirnya, empat puluh hari berlalu. Maman kembali ke tanah air dengan selamat. Ia disambut haru dan bahagia oleh istri dan keluarga. Saat tiba di bandara, ia juga tak lagi sedih karena cita-cita yang dulu membuat air matanya menitik, kini sudah terwujud. Ia sudah haji dan dia pun sekarang dipanggil haji.

Kira-kira enam bulan setelah Maman kembali dari tanah suci, istrinya kelepasan bicara bahwa sebenarnya ia ingin berangkat haji. Keinginan itu jelas mengguncang hati Maman. Dia gundah dan bingung; bagaimana menghibur istrinya. “Ida, kamu memang berhak naik haji seperti orang lain, tapi saya ini belum ada biaya. Sekarang kita hanya mampu berdoa kepada Allah Swt. Dia itu Maha Kuasa.... Jangankan minta haji.... minta yang lebih dari itu pun, Dia kuasa. Nanti malam kita bangun ya…, shalat tahajud! Kata ustadz, doa sepertiga malam terakhir itu dikatakan makbul....!”

Ida mengguk, Maman kemudian berangkat kerja. Tapi sepulang kerja di malam itu, Maman tiba di rumah lewat pukul 20.00 WIB. Usai shalat isya, Maman langsung tidur dan tak sempat bercengkrama dengan istri dan anaknya.

Malam kian larut. Ida pun menyusul tidur dan seperti yang dijanjikan Maman, Ida bangun pada pukul 03 pagi. Dengan hati-hati, dia lalu membangunkan suaminya. Tapi Maman benar-benar digelayuti rasa capek, karena itu serasa berat untuk bangun.

Ida pergi ke kamar mandi, dan mengambil wudhu lalu menggelar sajadah. Tapi sebelum shalat, untuk kedua kalinya ia membangunkan suaminya tapi tak juga bangun. Akhirnya Ida tahajud sendiri, kemudian berdzikir dan berdoa dengan khusuk sampai ada butir-butir air mata yang menitik. Maman yang dilanda kecapekan pun tak tega melihat istinya menangis. “Ya Allah, kabulkanlah doa istriku agar ia bisa berhaji…” batin Maman.

Hingga tak dirasa, adzan Shubuh berkumandang. Ida lantas bangkit ke tempat tidur, “Pak haji…, bangun! Malu sama tetangga. Masak sudah haji gak shalat shubuh berjamaah!”

Maman beranjak dari ranjang, berjalan ke kamar mandi, lalu pergi ke mushalla. Usai shalat shubuh, ia kembali ke rumah, dan meminta istrinya untuk membuatkan kopi. Tapi sebelum ia duduk, telepon rumahnya berdering, Ia pun mengangkatnya.

Setelah mengucap salam dan mendengar suara dari seberang, ia memanggil istrinya. Maklum, telepon itu datang dari Sulis, kakak iparnya yang ingin bicara dengan ida. Sesaat kemudian, Ida datang, menerima telepon, dan Maman duduk kembali. Tapi usai Ida mengucapkan salam, Maman tidak mendengar satu patah kata dari mulut Ida kecuali jawaban “ya” yang tercucap berulang kali dan diiringi isak tangis.

Jelas, Maman khawatir. Maka, setelah Ida menutup telepon, Maman mencerca, “Ida, siapa yang meninggal,?”

“Tidak ada, Kang!”

“Lalu kenapa kamu menangis! Apa ada berita sedih?”

“Ida bukan sedih Kang, melainkan terharu. Tadi kakak bercerita bahwa ia berniat berangkat haji tapi suaminya tak bisa menemaninya karena sibuk. Lalu kakak meminta saya untuk menemaninya. Saya tidak menyangka, begitu cepat Allah menjawab doa yang baru saja saya sampaikan. Tapi, ini semua tergantung Kang Maman karena kakak menyuruh saya untuk meminta izin pada Kang Maman!”

Maman langsung terlonjak dan memeluk istrinya, “Alhamdulillah! Saya ikhlas, tak keberatan meski nanti akan merawat anak-anak di rumah.”

Semoga kisah Ida yang mendapat berkah dari shalat tahajud ini bisa memberi kita semua satu spirit untuk tidak ditikam kantuk di waktu sepertiga malam yang sunyi, dan sepi. Justru, karena di tengah malam yang sepi itulah, Allah akan menjawab doa hamba-Nya yang meminta dengan tulus.

Apalagi jika kita mau menengok tentang janji Allah di dalam al-Qur`an, “Dan pada sebagian malam hari bersembahyang tahajud-lah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji” (QS. Al-Israa`: 78). (Sebagaimana diceritakan oleh ustadz Bobby Herwibowo dan Maman Sutrisman kepada N. Mursidi dari Hidayah)


Tidak ada komentar: