Sabtu, 01 Desember 2007

khaul: media meneladani perjuangan orang suci

majalah hidayah edisi 77 desember 2007

Islam mengajarkan pada setiap muslim untuk menghormati dan meneladani tokoh-tokoh yang mengabdikan hidup mereka dalam menyebarkan agama Islam. Sekalipun tokoh-tokoh yang berjasa itu sudah meninggal ratusan tahun lalu, tetap saja umat Islam menghormati mereka, yang biasanya digelar di makamnya untuk mengenang perjuangan yang telah dipertaruhkan di masa hidup dahulu.

Tradisi mengenang serta meneladani tokoh-tokoh penting yang berjuang dan menyebarkan Islam itu, dikenal dengan istilah khaul. Tradisi peringatan khaul ini dimaksudkan untuk memperingati perjuangan orang-orang suci, yang biasanya para wali atau kiai besar. Tradisi khaul ini pun masih bertahan dan dilestarikan di sejumlah pesantren di Jawa.

Sebagai Media Meneladani
Upacara keagamaan yang disebut khaul itu, sebenarnya merupakan pola penghubung bagi generasi penerus dengan generasi pendiri orde keagamaan, misalnya tarekat atau pesantren yang pada masa hidupnya dulu memiliki kharisma tinggi. Khaul itu diadakan untuk menghadirkan nuansa kharisma tersebut supaya bisa mengilhami generasi penerus dan sebagai pengejawantahan kharisma untuk kemudian dipetik sebagai pelajaran demi cara meneladani perjuangan sang tokoh.

Semakin besar kharisma yang dimiliki seorang wali atau kiai, maka akan semakin besar perayaan dan kekhidmatan khaul. Khaul wali songo misalnya, tentu akan lebih punya pengaruh jika dibandingkan khaul kiai/tokoh lokal. Maka, dapat dipahami khaul Sunan Bonang memiliki pengaruh lebih luas bagi masyarakat Islam dibandingkan khaul tokoh-tokoh lokal.

Tak diketahui pasti, kapan dan bagaimana ide (gagasan) penyelenggaraan khaul itu bermula. Bisa jadi, khaul adalah perpaduan dari bentuk tradisi lokal yang dipandu atau dipedomi oleh Islam dalam coraknya yang diambil dari ajaran Islam sebagai kerangka atau acuan tindakan yang telah diadaptasi dengan budaya lokal. Maka, dalam khaul itu pun kadang masih dijumpai bentuk selametan untuk tokoh-tokoh lokal tertentu.

Meski demikian, secara antropologis dan sosiologis, khaul ternyata masih mendapat pembenaran dengan kian banyaknya orang yang merasa membutuhkan untuk hadir dan datang ke makam. Maka saat khaul salah satu wali atau kiai besar digelar, tak terhitung jumlah orang yang datang untuk membaca tahlil, berdoa dan mengadukan segala persoalan kehidupan yang dirasakan menghimpit. Khaul pun seolah-olah jadi medium mencari berkah semata, sedang aspeks atau tujuan inti dari peringatan yang dimaksudkan untuk meneladani tokoh menjadi terbengkalai.

Jadinya, khaul yang awal mulanya adalah medium mengenang perjuangan orang suci kemudian jadi ritual yang memiliki tendensi dan kepentingan jangkan pendek, misal untuk mendapatkan apa yang selama ini diinginkan dalam arena politik. Inilah salah satu hal atau fenomena salah kaprah dalam tradisi khaul.

Pesan Penting Khaul
Dalam setiap khaul yang digelar, selalu saja terdapat prosesi kegiatan yang jadi ritual keagamaan. Sebagai salah satu contoh adalah khaul Sunan Bonang yang biasanya terdapat enam prosesi kegiatan, seperti Musyawarah Alim Ulama di Masjid Sentono, tahtimul Qur`an bi nazar, tahtimul Qur`an bil ghaib, tahlil kubra, hadrah, sunatan masal dan ceramah umum yang ditutup dengan doa. Akan tetapi, yang paling urgen dan menarik sebenarnya adalah pembacaan silsilah dan sejarah kehidupan tokoh agar jamaah selalu ingat dengan perjuangan yang dahulu pernah diemban tkoh tersebut dalam sejarah Islam.

Anehnya, pembacaan silsilah dan sejarah “kehidupan tokoh” itu kerap kali menjadi tak penting dan jamaah datang ke makam atau petilasan untuk membaca yasin, tahlil, lalu berdoa untuk menopang kepentingan jangka pendek seperti demi kepentingan politik atau mencari solusi dalam pemecahan beban hidup.

Padahal, khaul wali atau kiai itu sebenarnya memiliki pesan cukup urgent. Setidaknya, ada dua pesan dengan digelarnya khaul wali atau kiai. Pertama, untuk mengenang dan meneladani jejak serta perjuangan tokoh bersangkutan. Kedua, untuk menghormati kebesaran tokoh yang meninggal bahkan pernah menorehkan tinta emas dalam "sejarah perkembangan Islam" dengan bentuk ziarah karena hal itu dianjurkan dalam Islam. Dengan ziarah itu, orang yang datang ke makam pun akan mengingat kematian yang pasti akan datang dan menimpa setiap orang.

Ironisnya, justru pesan dari khaul itu -entah kenapa- kerapkali terabaikan. Jamaah tak jarang datang ke peringatan khaul hanya untuk mendapatkan air yang konon menjadi bagian penting sebagai oleh-oleh tahlil kubra dan setelah pulang ke rumah, perjuangan dan teladan dari tokoh dilupakan begitu saja, seakan tokoh tersebut tak pernah berjasa dalam sejarah Islam. Wallahu a`lamu bish shawwab! (n. mursidi)




Tidak ada komentar: