Sabtu, 03 November 2007

saling menghargai

tulisan ini dimuat di majalah hidayah, edisi 76 november 2007

Profesor itu telah menghabiskan waktu bertahun-tahun bekerja di kampus, tak pernah meluangkan waktu libur akhir tahun untuk bersenang-senang. Setelah 10 tahun kerja, ia pun dilanda jenu sehingga berencana menghabiskan waktu libur akhir tahun untuk berpesiar.

Tatkala rencana itu sudah terlaksana dan profesor itu diantar pramukamar (kapal) untuk masuk ke kamar, dengan sombong dia bertanya, “Eh…, pernahkah Anda belajar psikologi?”

Sang pramukamar menjawab tak pernah, dan profesor heran, “Wah, Anda ini kerja di perusahaan yang berhubungan dengan manusia, jadi Anda memerlukan ilmu psikologi guna mengenal watak, tingkah laku, tabiat manusia, tidak sekadar menjalankan pekerjaan,” katanya.” Wah, tanpa belajar ilmu psikologi, Anda telah menyia-nyiakan separuh hidup Anda.”

Setelah pramukamar itu pergi, profesor itu kemudian membaca buku. Tapi kala kejenuhan melanda, ia keluar kamar, naik ke dek, mengajak bercengkrama seorang kelasi. Tapi percakapan dengan kelasi yang renyah itu, tiba-tiba dirusak, “Apa Anda pernah belajar filsafat?”

“Belum pernah,” jawab kelasi gelagapan. “Aku sudah merasa puas dengan pekerjaanku, karena telah memberi pengalaman bagiku bisa mengeliling dunia.”

“Dengan belajar filsafat…,” jawab profesor itu dengan angkuh, “Anda akan tahu lebih mendalam makna kehidupan. Anda akan menghargai setiap pengalaman yang Anda dapat lebih dari sekadar pengalaman. Wah, karena Anda ini tak belajar filsafat, berarti separuh hidup Anda sudah Anda sia-siakan.”

Di hari lain, dia bertemu dengan kelasi lain dan bercengkrama tapi kembali dia rusak, “Apakah Anda pernah belajar antropologi?”

Ketika kelasi itu menjwab tidak pernah, kembali profesor itu berkhotbah, “Jika saja Anda belajar antropologi, pasti Anda akan bisa memahami suku-suku di setiap pulau yang pernah Anda kunjungi dan pengalaman Anda lebih kaya. Karena antropologi mengajari Anda tentang upacara, legenda, adat dan ritual keagamaan. Tapi sayang, karena Anda tidak belajar antropologi, berarti Anda sudah menyia-siakan separuh hidup Anda.”

Dengan angkuh profesor itu pergi, merasa paling pintar, dan wajar kalau hampir setiap orang di atas kapal itu kemudian menjauh. Hingga akhirnya, suatu malam kapal itu diterjang badai. Lambung kapal berkeriut-keriut. Karena badai itu cukup kencang, kapal itu pun pecah.

Profesor itu buru-buru memakai jaket penyelamat, lalu bergegas menuju perahu penyelamat. Di kapal penyelamat itu, para kelasi mengatur penumpang yang bersiap-siap meninggalkan kapal, dan salah satu kelasi melihat profesor itu kepayahan di tengah hujan yang deras.

Dengan sengit, kelasi itu bertanya, “Pernahkah Anda belajar berenang?”

“Tidak”, jawab profesor itu dengan tubuh gemetar, karena takut.

“Sayang,” ucap kelasi itu, ”Kalau kapal penyelamat ini tenggelam, berarti Anda telah menyia-nyiakan seluruh hidup Anda.” (n. mursidi).

Tidak ada komentar: