Selasa, 18 Oktober 2005

kisah ulama yang memikirkan nasib umat

majalah hidayah edisi 52 oktober 2005

Berbuat kebajikan dengan melakukan ibadah, terutama ibadah sunnah memang harus semata-mata diperuntukkan kepada Allah. Sebab, jika perbuatan itu dilakukan tak demi Allah melainkan demi dilihat orang lain, maka bisa-bisa tak mendapatkan pahala dan memperoleh kesia-siaan, capek dan letih belaka.

Hal itu dikarenakan, Allah tidak akan mengganjar dengan memberikan pahala kepada seseorang yang melakukan ibadah dengan tujuan demi dilihat orang lain, seperti teman dekat, calon istri, atasan atau mertua. Dengan kata lain, Allah-lah tujuan dari seseorang melakukan ibadah dan bukan untuk orang lain.

Untuk itu, seringkali kita mendengar kisah orang-orang mulia dan agung yang sengaja beribadah dengan cara sembunyi-sembunyi karena takut kalau hal itu menjadi ria` atau demi tujuan dan kepentingan tertentu. Sebab, tujuan ibadahnya adalah hanya Allah semata dan jika kemudian sedang berpikir, toh ia memikirkan masalah demi kepentingan umat banyak.

Tapi, orang lain yang tidak tahu seringkali salah paham. Sebagaimana ketidaktahuan putri Imam Ahmad berkaitan dengan perilaku Imam Syafi`i yang semalaman menginap di rumah ayahnya. Sebab, dia tahu cerita baik yang selama ini mengitari Imam Syafi`i ternyata tidak sesuai dengan apa yang dilihat. Apalagi, dia menemukan sang imam melakukan shalat tanpa wudhu, tidur pulas dengan tidak menjalankan shalat tahajud dan makan dengan penuh nafsu.

Nah, di bawah ini adalah kisah ketidaktahuan dari putri Imam Ahmad dengan apa yang dilakukan Imam Syafi`i selama semalam di rumah ayahnya. Padahal, dibalik yang tidak diketahui itu ternyata tidak ada kejanggalan. Semua berjalan dalam rel, koridor syari`at Islam dan bahkan sang ulama besar itu boleh dikata lebih memilih memikirkan nasib umat daripada memilih shalat tahajud demi dirinya semata.

***

Tersebutlah nama Imam Ahmad, seorang ulama besar yang dikenal alim dan cerdas. Selain itu, dikenal sebagai ahli ibadah serta memiliki tingkat ketaqwaan yang tidak diragukan. Meski demikian, Imam Ahmad tak hidup dengan sombong. Ia tetaplah bersahaja dan bahkan terhadap ulama lain, semisal Imam Syafi`i tetap menaruh hormat dan menghargai reputasi yang dimiliki.

Tidak salah, dia kagum terhadapnya dan dari rasa kagum itu kemudian menceritakan seputar kehidupan sehari-hari yang dilalui oleh imam Syafi`i kepada putri kesayangannya. Untuk apa? Tujuannya, selain untuk mengenalkan sang ulama yang alim itu, sang ayah juga berharap besar dengan bercerita tentang kehidupan imam Syafi`i kelak bisa membawa putri kesayangannya mengambil bahan renungan untuk dijadikan tauladan.

Hampir setiap hari, sang ayah selalu bercerita seputar kelebihan dan kataqwaan imam Syafi`i kepada putrinya. Bahkan cerita itu diulang dan diulang terus menerus. Seakan-akan imam Syafi`i itu adalah manusia agung yang tidak ada memiliki borok. Pendek kata, di mata Imam Ahmad ada banyak kelebihan dari Imam Syafi`i yang perlu diceritakan kepada sang putri. Apalagi, Imam Syafi`i tergolong berilmu tinggi dan memiliki tingkat ketaqwaan kepada Allah. Akibatnya, sang putri jadi terkesan dan sekaligus juga penasaran. Dalam hati kecil sang putri terbersit pemikiran, seperti apa kehidupan Imam Syafi`i itu?

Nah, suatu hari kebetulan Imam Ahmad mengundang imam Syafi`i berkunjung ke rumahnya. Saat itulah, sang putri memperhatikan setiap gerak Imam Syafi`i dan tidak ingin kehilangan rasa penasaran yang selama ini dipendamnya. Ia ingin membuktikan kebenaran cerita yang disampaikan ayahnya itu. Untuk pertama kali datang sampai berangkat ke kamar tidur dan bangun di esok hari untuk mengerjakan shalat subuh, hampir-hampir sang putri selalu memperhatikan dengan seksama.

Saat sang putri tahu dan melihat dengan dekat atas perbuatan Imam Syafi`i, ternyata ia kecewa berat. Apa yang diceritakan ayahnya, berkaitan dengan ilmu yang dimiliki, amalan yang dijalankan imam Syafi`i ternyata dianggap jauh dari kenyataan. Setidaknya, ada tiga hal yang dicatat oleh sang putri dan dia cukup kecewa.

Pertama, saat dia melihat imam Syafi`i dijamu makan dengan menu mewah, ternyata imam Syafi`i makan dengan lahap seakan-akan tak pernah makan. Imam Syafi`i seakan rakus dengan kenikmatan menu yang dihidangkan itu.

Lebih dari itu, yang kedua, sebagai seorang ulama besar tentunya sang putri berharap imam Syafi`i melakukan shalat tahajud. Rupanya, hal itu juga tidak dilakukan. Bahkan sang putri menduga kalau semalaman itu, imam Syafi`i tidur dengan pularnya dan nyenyak. Yang ketiga, saat adzan subuh berkumandang, ternyata sang putri menjumpai imam Syafi`i keluar dari kamar dan tanpa mengambil air wudhu langsung menjadi imam dalam shalat (subuh).

Dari tiga hal yang dilihatnya sekilas itu, dia benar-benar kecewa berat. Sebab, ternyata ayahnya bercerita jauh dari kenyataan justru saat dia melihat sendiri setelah bertemu secara langsung dengan imam Syafi`i saat menginap di rumah ayahnya. Tak salah, jika sang putri kemudian bertanya kepada ayahnya karena merasa janggal, “Ayah, apakah benar dia itu adalah Imam Syafi`i yang seringkali ayah ceritakan bahwa ia adalah ulama besar yang diliputi dengan kebaikan, kepintaran dan bahkan ketaqwaan?”

Dengan mantap, Imam Ahmad menjawab, “Ya. Dialah orangnya.”

Tapi, putrinya berkata lagi, “Aku tak berani berkata ayah bohong dengan cerita yang selama ini ayah ceritakan tentang kelebihan, kepintaran dan ketaqwaannya. Namun, setelah saya mengamati selama imam Syafi`i bermalam di sini, ternyata ada tiga hal yang sangat saya sayangkan. Sebab, tatkala kami menghidangkan makanan, ternyata dia makan banyak sekali, juga ketika masuk kamar dia tidak melakukan shalat malam dan tahajud dan esoknya ia lalu menjadi imam pada shalat subuh tanpa berwudhu!”

Imam Ahmad yang tak menduga anak putrinya memperhatikan dengan detail prilaku imam Syafi`i saat bermalam di rumahnya menjadi penasaran juga. Karena itulah, ia langsung menemui Imam Syafi`i dan bertanya perihal tiga hal yang disayangkan oleh putrinya.

Imam Ahmad lalu bercerita mengenai apa yang dipikirkan oleh putrinya dan juga bertanya, “Benarkah apa yang dikatakan oleh putri saya itu?”

Berat juga imam Syafi`i memulai untuk membuka mulut. Sebab, tak enak juga Imam Syafi`i bercerita terus terang dan jujur dengan apa yang telah dia lakukan selama bermalam di rumah Imam Ahmad.

Namun, akhirnya imam Syafi`i berkata jujur agar tidak ada lagi kesalahpahaman. Ia pun akhirnya berkata, “Wahai Imam Ahmad, aku makan banyak karena mengetahui bahwa makanan yang kalian hidangkan itu adalah makanan yang halal (baik) dan kau adalah seorang laki-laki mulia. Sedangkan makanan orang mulia dan halal adalah obat. Hal itu berbeda dengan makanan orang kikir, yang dapat menjadi penyakit.”

Saat mendengar pengakuan dari Imam Syafi`i itu, Imam Ahmad hanya termangu dan menanti kelanjutan pengakuan berikutnya.

“Jadi, aku makan tidak untuk memuaskan selera, (nafsu) melainkan aku makan atas dasar untuk berobat dengan makananmu. Adapun mengenai malam yang aku lewatkan tanpa shalat tahajud, karena saat merebahkan kepalaku (untuk tidur) aku melihat seakan kitab Allah dan sunnah nabi ada di depan mataku. Sehingga aku menemukan kesimpulan tujuh puluh masalah fiqh yang bermanfaat bagi kaum muslimin dan tak ada kesempatan untuk melakukan shalat malam.”

Imam Ahmad masih mendengarkan dengan terkesima.

“Adapun berkenaan dengan shalat subuh tanpa wudhu, sebenarnya karena sepanjang malam itu aku tak tidur sama sekali dan tidak ada sesuatu yang membatalkan wudhuku maka aku akhirnya shalat subuh dengan wudhu isya`.

Dari pengakuan itu, imam Ahmad menjadi lega. Sebab, rasa kecewa yang dipendam oleh putrinya ternyata tidaklah benar. Sebab ia tahu sepenuhnya bahwa yang dilakukan imam Syafi`i tak mungkin akan melanggar syari`at dan bahkan sepanjang malam, justru memikirkan nasib dan masa depan umat dengan terpecahkannya soal-soal fiqh yang di kelak kemudian hari menjadi rujukan umat dalam bidang furu`iyah.

Tak salah, jika dari kisah ini ada pesan yang bisa kita ambil. Pertama, kita tidak boleh menilai seseorang dari apa yang kita lihat. Sebab, mata yang kita miliki terkadang terkecoh dengan sesuatu hal yang itu kadang tidak merupakan hal yang sebenarnya. Semisal, sang putri imam Ahmad yang melihat imam Syafi`i tertidur, padahal dalam kepalanya memikirkan nasib umat yang itu cukup berharga dan berkualitas.

Kedua, jangan cepat mengambil keseimpulan sebelum melakukan penelitian dengan lebih mendalam. Sebab, kesimpulan yang diambil dengan tergesa-gesa bisa jadi salah dan tak sepenuhnya mewakili realitas (kenyataan).

Semoga kisah ini bisa jadi pelajaran berharga bagi pembaca semua untuk meneladani tokoh-tokoh dalam kisah tersebut. Juga, membuka wawasan bahwa shalat dan ibadah lain itu tidaklah perlu untuk dipamerkan, apalagi diperagakan dengan penuh kepura-puraan.

***

In Box
Sekilas tentang Imam Syafi`i
Imam Syafi’i dilahikan 150 H, (764 M) di Gazzah Beliau lahir bertepatan dengan meninggalnya Abu Hanifah. Nama asli dari Imam Syafi’i itu Muhammad bin Idris dan gelarnya Abu Abdillah. Saat berusia 2 tahun, Imam Syafi’i dibawa pulang ibunya ke Makkah Di bawah asuhan bundanya, Imam Syafi’i hidup sangat miskin dan menderita. Beliau tidak mampu membeli kertas, sehingga terpaksa menulis pelajaran di atas tulang dan benda-benda yang bisa ditulisi.

Namun kecerdasan dan kejeniusan Imam Syafi’i sudah mulai nampak sejak kecil. Dia sudah hafal Al-Qur’an 30 juz di luar kepala dengan lancar di usia 9 tahun dan dalam usia 15 tahun beliau sudah hafal Al-Muwaththa’, kitab fiqih susunan Imam Maliki.

Ditunjang dengan kecerdasan itulah, imam Syafi`i belajar sastra Arab, hadits, ilmu tafsir, ilmu musthalahul hadits dan fiqih pada guru-guru terkenal sehingga di usia 15 tahun dia telah diberi izin gurunya Muslim bin Khalid Az-Zanji untuk mengajar di Masjidil Haram.

Saat berusia 20 tahun, imam Syafi`i melawat ke Madinah belajar pada Imam Malik bin Anas (pendiri Mazhab Maliki), seorang ulama’ terkemuka di Madinah dan tekenal dengan gelar Imam Darul Hirah (Imam negeri tempat Nabi berhijrah).

Kira-kira 1 tahun belajar dengan guru besar itu, kemudian berangkat ke Iraq (Kuffah dan Baghdad) untuk menambah ilmu tentang kehidupan bangsa-angsa dan untuk menemui ulama-ulama ahli hadits atau ahli fiqih yang ketika itu banyak bertebaran di Iraq dan Persia.

Tak salah lagi, jika dari petualangan dan ketekunan menuntut ilmu itu di kemudian hari Imam Syafi`i dikenal sebagai ulama besar dan menjadi salah satu pendiri mazhab yang dijadikan rujukan umat, tidak terkecuali oleh umat Islam di Indonesia. (nur mursidi/dinukil dari “Putri Imam Ahmad Melihat Keganjilan pada Imam Syafi`i" dalam 1001 Kisah Teladan, Hani Al-Haj [Pustaka Al-Kautsar, Jakarta 2004]).


Tidak ada komentar: