Selasa, 18 Oktober 2005

sastra sufistik: bacaan islami yang mencerahkan

majalah hidayah edisi 51 oktober 2005

Pada dasarnya, manusia diciptakan tidak hanya tersusun dari seonggok daging belaka, melainkan juga tersusun dari jiwa. Sisi kepingan jiwa itulah yang kemudian membuat manusia haus dan rindu kehadiran Allah di hatinya untuk memberikan petunjuk dalam setiap langkah yang hendak dilalui. Pendek kata, manusia itu pada hakekatnya tidak bisa berpaling dariNya dan sebaliknya selalu membutuhkan uluran tanganNya. Tak salah jika manusia yang beriman akan selalu ingat dan melakukan bentuk ritual untuk mengangungkan-Nya.

Wujud kecenderungan religius itu tak hanya teraplikasi dalam bentuk ibadah, seperti; shalat, puasa, haji dan ibadah-ibadah lain. Bahkan dari penghayatan atau pergualatan batin manusia yang rindu kehadiran Allah, bisa pula tercurah (lahir) karya-karya sastra yang bersifat sufistik, seperti puisi, cerpen, novel dan bahkan bisa pula berupa lirik lagu.

Sebagai bagian dari bingkai estetika Islam, sastra sufistik bisa dikata lahir dari spirit spritualisme yang mengetengahkan hubungan antara makhluk dengan Tuhan. Bisa dipahami jika sastra sufistik kemudian berusaha membangun benang merah tradisi tasawuf yang sudah diusung Al-Hallaj, Jalaluddin Rumi, Rabi`ah dan tokoh-tokoh sufi lain. Karena itu, sastra sufistik dicirikan dengan nuansa romantisme religius serta bersifat simbolik. Tema, isi dan kedalaman pemikiran yang coba diusung, kadang susah ditembus karena lebih ke wilayah batin. Lebih dari itu, malah ada konsep-konsep rumit yang susah dipahami orang awam.

Sastra sufistik seperti puisi, sebenarnya bukan karya asing dan baru dikenal kemarin sore di dunia Timur (Islam). Sebab, sudah cukup lama puisi atau syair dengan kecenderungan sufistik tumbuh dan berkembang di Timur. Sebut misalnya, puisi Rumi yang sampai sekarang masih diminati pembaca dan menyisakan misteri.

Sementara di Indonesia sendiri, geliat sastra sufistik boleh dikata mulai semarak pada dekade 1970-an, meskipun jika ditengok dari catatan sejarah sebenarnya jejak sastra sufistik sudah dimulai ratusan tahun silam, jauh sebelum Indonesia merdeka dengan kehadiran sufi besar Hamzah Fansuri (1607-1636 M). Jejak dari kiprah Fansuri itu masih bisa dinapaktilasi sampai sekarang lantaran sebagian karyanya bisa diselamatkan walau Sultan Iskandar Muda sudah berusaha mengenyahkan. Rupanya, warisan dari Fansuri yang tinggalkan itu memberi spirit dalam sejarah sastra sufistik di kemudian hari.

Sekali pun geliat sastra sufistik di Indonesia mulai semarak tahun 70-an, akan tetapi genderang wacananya sudah ramai dibicarakan pada dekade 1980-an, terutama oleh Abdul Hadi WM. Wacana itu selanjutnya menjadikan sastra sufistik bergulir mendapat pengikut. Sebut misalnya, generasi 70-an yang karya-karyanya memiliki kekuatan sufistik adalah Abdul Hadi, Danarto, Kuntowijoyo, Sutardji Calzoum Bachri, Emha Ainun Nadjib, Hamid Jabbar, dan M. Fudoli Zaini.

Kuntowijoyo dalam karyanya berjudul Sepotong Kayu untuk Tuhan, menggambarkan ekspresi sufistik berupa kepasrahan yang cukup kuat. Dalam karyanya itu, ia bercerita tentang kecintaan seseorang kepada Tuhan yang tanpa pamrih. Alkisah, ada seorang lelaki tua yang tinggal di dusun terpencil. Suatu hari, ia ditinggal pergi istrinya untuk menjenguk cucunya. Istrinya yang cerewet itu, selalu menyebut suaminya itu sebagai pemalas. Tetapi saat ditinggal pergi itu, tiba-tiba semangatnya bangkit. Ia tahu tak jauh dari tempatnya sedang dibangun sebuah surau di pinggir kali. Gagasan untuk membantu surau pun terbetik. Lalu, diam-diam ia menebang kayu untuk membantu pembangunan surau itu.

Namun berbeda dengan orang lain, ia ingin menyumbangkannya secara rahasia. Maka dihanyutkanlah kayu-kayu itu ke sungai dengan harapan akan berhenti tidak jauh dari surau yang sedang dibangun. Tapi naas. Sebab setelah ia menghanyutkan kayu ternyata pada tengah malamnya terjadi banjir sehingga kayu-kayu itu terbawa banjir. Tidak berhenti di dekat surau seperti diharapkan. Meski tahu kayu itu tak sampai, toh ia ikhlas. Dengan sentuhan iman, penyumbang kayu itu berkata, “Tidak ada yang hilang, sampai kepada-Mu-kah Tuhan?”

Setelah generasi 70-an lalu lahir generasi 80-an yang mengusung sastra sufistik dalam karya-karyanya antara lain adalah Ahmadun Y Herfanda, Isbedy Stiawan ZS, Soni Farid Maulana, Acep Zamzam Noor, dan Endang Supriyadi. Termasuk barisan ini adalah KH Musthofa Bisri, yang meskipun seusia Danarto tetapi lebih dikenal sejak era 80-an.

Karena dilihat karya-karya yang dilahirkan masuk kategori sastra sufistik, maka tidak sedikit dari mereka –penyair, cerpenis dan novelis-- kemudian sempat "ditasbihkan" sebagai sastrawan sufistik. Puisi Tuhan, Kita Begitu Dekat karya Abdul Hadi WM dan sajak Sembahyang Rumputan-nya Ahmadun Yosi Herfanda, misalnya bisa disebut-sebut sangat kuat dimensi sufistik. Demikian juga dengan kiprah Danarto yang jadi perbincangan cukup luas terutama setelah karya masterpeace-nya Godlob (1975) dinilai kritikus membawa warna dalam estetika sastra Indonesia. Sifat-sifat sufistik juga kuat didengungkan Kunto lewat karyanya, seperti Dilarang Mencintai Bunga-bunga, Burung Kecil Bersarang di atas Pohon dan Khutbah di atas Bukit.

Pendek kata, ada nuansa religius yang terselip dalam bangunan cerita untuk mengajak manusia berpikir tentang keberadaan Tuhan. Menerungi hakekat hidup. Dalam hal ini, tidak salah Iqbal sempat berucap bahwa awalnya segala karya sastra itu adalah religius. Bahkan dalam bentuknya yang paling tradisonal pun karya sastra sudah jadi bagian dari sarana ritual dan pengajaran penghayatan ketuhanan.

Sebab, religiusitas adalah spirit untuk selalu setia pada hati nurani, serta sifat-sifat dan kehendak Tuhan. Sangat bisa dipahami jika membaca karya sastra sufistik bisa mencerahkan hati meskipun penulisnya bukanlah seorang sufi. Wallâhu a’lamu bish-shawâb. (nur mursidi)

Tidak ada komentar: