oleh: n. mursidi
Setelah novel Ayat-ayat Cinta --karya Habiburrahman El-Shirazy—meraih sukses dan mengundang decak kagum para pembaca, kini film yang diangkat (baca: diadaptasi) dari novel tersebut kembali mengundang fenomena yang sama.
Tak tanggung-tanggung, film yang disutradarai oleh sineas muda Hanung Bramantyo itu ternyata mampu menjerat sekitar tiga (3) juta penonton. Sebuah prestasi yang patut dicatat dalam sejarah film Indonesia karena selama ini nyaris film-film Indonesia hampir sepi dari penonton.
Kehadiran film Ayat-ayat Cinta bahkan sempat mengundang kalangan ibu-ibu pengajian yang selama ini tidak pernah “menginjakkan” kaki di gedung bioskop tidak merasa malu untuk menyaksikan film (bernuansa) Islami tersebut. Sebuah fenomena yang nyaris tidak terbayangkan oleh pembuat film Indonesia jika film bernuansa Islami ternyata bisa laku dan mampu mendatangkan jumlah penonton cukup sepektakuler.
Tentu saja, di balik kesuksesan film Ayat-ayat Cinta itu tak lepas dari kerja keras semua kru dan pembuat film tersebut yang telah berjuang sekuat tenaga. Salah satunya adalah sutradara Hanung Bramantyo. Ditemui di kantornya Dapur Film, di Jl AMD VIII No 40, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Hanung Baramantyo menerima kehadiran Hidayah dengan ramah untuk berbagi cerita di balik layar film Ayat-Ayat Cinta (ACC) dan perjalanan kariernya menjadi sutradara.
Di Balik Layar Film ACC
Satu hal yang patut dicatat kesuksesan Hanung mengadaptasi film Ayat-ayat Cinta tidak dapat ditepis merupakan perwujudakan dari mimpi terpendam yang sudah lama ingin diwujudkan. Pasalnya, sejak lama dia sudah “terobsesi” untuk membuat film bernapaskan Islam, tetapi kesempatan itu rupanya belum pernah mampir dan memihak kepadanya. Maka, ketika datang tawaran untuk membuat film Ayat-ayat Cinta, Hanung tidak menolak. Justru, dengan antusias dan idelaisme tinggi, dia berjuang keras supaya film itu selain bisa jadi hiburan dan alternatif di tengah film horor dan cinta romantis sekaligus jadi film tuntunan untuk mengenal Islam lebih jauh.
Hanung sadar, memang tak mudah untuk mengadaptasi novel menjadi sebuah film. Apalagi novel setebal sekitar 300 halaman harus diringkas menjadi sebuah cerita yang hanya bersurasi sekitar 2 jam. Karena itu, bagi Hanung, yang terpenting adalah menangkap “benang merah plot” dari novel untuk kemudian divisualisasikan dalam bentuk film. Pasalnya, novel dan film adalah dua hal yang berbeda. Film adalah bahasa visual dan novel itu bahasa tulis. “Saya mencoba membuat film Ayat-ayat Cinta itu realis, tetapi kenyataannya tidak bisa. Karena novel itu sendiri tidak realis. Novel itu dibangun dengan spirit dongeng,” kata sang sutradara Hanung Bramantyo.
Tak pelak jika datangnya tawaran itu merupakan sebuah tantangan bagi Hanung. Maka, dia pun mempersiapkan dengan matang. Ia harus riset ke Mesir, membaca buku-buku fiqh dan sunnah. Bahkan Hanung bisa dikata cukup hati-hati menggarap film tersebut untuk memenuhi tuntutan apa yang telah tertulis dalam novel agar tak melenceng, sehingga Hanung pun menggandeng ketua PP MuHammadiyah Din Syamsudin sebagai penasehat dan melibatkan Kang Abik --panggilan akrab Habiburahman El-Shirazy-- dan sejumlah mahasiswa dari Al-Azhar untuk memberi masukan.
Kerja keras Hanung dan semua pihak yang terlibat dalam pembuatan film ACC memang tidak sia-sia. Meski tidak sedikit yang mengkritik dan bahkan sinis terhadap film ACC, tapi kerja keras Hanung patut diacungi jempol. Apalagi mengingat tak sedikit kendala yang berhasil ditepis, setelah bertubi-tubi cobaan dan kendala datang silih berganti. Salah satunya adalah tak bisanya shooting di Mesir sebagaimana tuntutan setting novel Ayat-Ayat Cinta. Kendati demikian, kerja keras Hanung membuktikan film AAC telah meraih “sukses besar” karena mampu menarik jumlah penonton sekitar 3 juta orang.
Dari Keluarga Muhammadiyah
Setelah film Ayat-ayat Cinta “jadi”, kemudian diputar di bioskop bahkan meraih sukses, harapan Hanung untuk membuat film Islam sebagaimana pesan sang ibunda tercinta, praktis sudah terpenuhi. Pasalnya, beberapa tahun yang lalu tatkala Hanung hendak meninggalkan Yogyakarta untuk melanjutkan kuliah ke Jakarta, sang ibu sempat berpesan, “Kalau kamu sudah bisa membuat film, sekali-kali bikin film tentang agamamu!”
Pesan sang ibu itu, rupanya diingat betul oleh Hanung. Meski ketika itu ia sempat tersenyum ragu. “Saya tidak tahu, ibu punya maksud apa pada saat itu. Yang jelas, waktu itu saya sebagai anaknya kurang begitu mencitrakan Islam sebagai anak yang lahir dan besar di lingkungan muhammmadiyah. Mungkin ibu melihat perilaku saya yang nakal, karena waktu itu saya badung sekali,” ujar lelaki kelahiran Yogyakarta, 1 Oktober 1975 ini.
Lahir di Yogyakarta, pada 1 Oktober 1975 dari keluarga Muhammadiyah, Hanung pun dididik untuk dekat dengan agama (Islam). Selain di sekolahkan di sekolah Muhammadiyah, dari SD sampai SMU, sejak kecil Hanung tenyata sudah dikenalkan dengan bahasa Arab dan mengaji al-Qur`an.
“Keluarga saya keluarga muslim, keluarga muhammadiyah. Bapak saya bahkan ketua masjils ekonomi muhammadiyah. Ayah saya pun bergaul dengan ulama, kiai dan pemimpin Islam lainnya. Itu sedikit banyak mempengaruhi saya. Sejak kecil saya sudah disuruh mengaji dan dikenalkan dengan bahasa Arab. Bapak saya tidak ingin anak-anaknya tidak bisa mengaji,” jelasnya.
Tak salah, jika didikan orangtua itu memberikan ruang bagi Hanung kecil untuk dekat dengan agama Islam. Apalagi dari SD-SMU Hanung menimba ilmu di sekolah Muhammadiyah terus. Praktis, Hanung menganggap ia dibesarkan di keluarga yang dekat dengan Islam. Kendati demikian, Hanung tidak memungkiri kalau jiwanya memiliki bakat seni dan tertarik pada dunia peran. Maka, ia pun belajar seni peran dengan menceburkan diri bergabung di kelompok teater di kota Yogyakarta, seperti teater Gandrik, teater Jeprik, dan teater Alam.
Ketertarikan pada dunia seni itulah, yang kemudian mendorong Hanung berkeinginan untuk melanjutkan kuliah ke ISI (Institut Seni Indonesia) Yogyakarta setelah lulus SMU. Tetapi, harapan Hanung untuk bisa menimba seni peran di ISI jurusan teater, ternyata membentur tembok. Pasalnya, orangtua Hanung tidak memberi restu. Akhirnya, Hanung terpaksa kuliah di jurusan Ekonomi Universitas Islam Indonesia.
Tapi di jurusan Ekonomi itu Hanung tak menyelesaikannya dan kemudian lebih memilih mengembangkan ketertarikannnya pada seni peran sehingga dia belajar langsung pada Teguh Karya. Tetapi, Teguh Karya justru menyarankan Hanung untuk kuliah ke IKJ (institut Kesenian Jakarta) untuk mempelajari dunia film pada Jurusan Film pada Fakultas Film dan Televisi. “Jadi kuliah di fakultas ekonomi itu adalah pelarian saja. Karena tidak diijinkan kuliah di ISI, maka saya pilih ekonomi”, terang sutradara terbaik dalam Festival Film Indonesia 2005 lewat film Brownies ini ketika memutuskan untuk kuliah di IKJ.
Pilihan untuk kuliah di IJK itu, rupanya membuat sang ibu merasa khawatir sehingga sang ibu berpesan, jika suatu saat sudah bisa membuat film, Hanung diminta untuk membuat film tentang Islam.
“Mungkin di mata ibu, perilaku saya tak menceriminkan Islam. Saat masih SMU dan kuliah, memang saya masih labil. Maka ketika saya memutuskan untuk kuliah di IKJ dan diterima di sana, ibu saya mungkin khawatir tentang perilaku saya yang tak mencerimkan Islam ditambah pergaulan saya dengan seniman, sehingga ibu takut saya semakin jauh dari nilai-nilai islam. Karena itu, ibu saya berpesan ‘Jika nanti kamu sudah bisa bisa membuat film, buatlah film tentang agamamu!’.”
Akhirnya, setelah meninggalkan bangku kuliah Ekonomi Universitas Islam Indonesia, Hanung pun kuliah di IKJ dan sekaligus belajar langsung pada Teguh Karya. Pada waktu itu, sebenarnya Hanung tidak percaya sebuah institusi bisa membentuk orang menjadi seniman. Lantaran bagi Hanung, seorang seniman lahir karena dirinya sendiri, bukan dibentuk oleh institusi apalagi sekolah. Maka saat Hanung magang di tempat Teguh Karya dan belajar langsung darinya tentang bagaimana cara membuat film, tapi justru Teguh Karya menyarankan Hanung untuk kuliah di IKJ. Akhirnya, mau tidak mau, Hanung kuliah di IKJ.
Setelah belajar di IJK dan belajar langsung dari Teguh Karya, Hanung pun seperti mencecap dua mata rantai tentang dunia film dari sebuah institusi dan pengalaman real di lapangan. Dari IKJ itu Hanung mendapatkan teori tentang film, dan di tempat Teguh Karya, ia mendapatkan olah rasa dan pengalaman nyata di lapangan.
“Di tempat Teguh Karya itu, saya belajar rasa dan belajar berkomunikasi karena di teater popular itu sebuah sanggar bukan sebuah pena. Sementara di IKJ, saya belajar teori, bagaimana membuat film, bagaimana sejarah film, dan teknologi film. Saya belajar banyak di IKJ, tetapi IKJ hanya memberikan ruang buat saya untuk melakukan olah secara teknik dan keilmuan tapi secara rasa, saya bangun sendiri dari Teguh Karya juga persinggungan saya dengan teater-teater di Yogjakarta,“ terang seneas muda ini dengan senyum renyah.
Kendati demikian, bagi Hanung, Teguh Karya telah membangun mental dan olah rasanya semakin kuat. Apalagi di mata Hanung, Teguh Karya selalu menekankan pada darinya, bahwa ‘gurumu adalah dirimu sendiri’. Pesan dari Teguh Karya itu semakin memantapkan kemandirian Hanung yang yakin bahwa seorang manusia bisa lahir menjadi manusia besar bukan karena orang lain tapi karena dirinya sendiri. Jadi, di mata Hanung, seniman itu lahir bukan karena institusi, tetapi karena dirinya sendiri.
Karena itu, ketika Teguh Karya berpesan pada Hanung ‘Jika kamu tidak berbuat apa-apa sekarang ini, maka jangan harap besok kamu akan menjadi sesuatu’, Hanung seperti terpacu untuk tidak menyia-nyiakan waktu. Tak salah, jika ucapan Teguh Karya itu mematik kerja keras Hanung, sehingga lahirlah film-film besutan Hanung Bramantyo seperti Brownies (2004), Catatan Akhir Sekolah (2005), Jomblo (2006), Lentera Merah (2006), Kamulah Satu-satunya (2007), Legenda Sundel Bolong (2007) dan Get Married (2007).
Tapi sebelum kelahiran film Ayat-ayat Cinta, Hanung bisa dikata berkutat dalm film bergenre cinta romantik, komedi dan horor. Maka kehadiran film Ayat-Ayat Cinta ini, selain pertama kalinya Hanung membuat film Islam juga tak bisa ditepis merupakan pemenuhan terhadap pesan sang ibu.
Belum Ada Kesempatan
Sebenarnya, Hanung Bramantyo sudah lama ingin membuat film tentang Islam untuk memenuhi keinginan sang bunda itu. Tapi kesempatan yang sudah lama diimpikan itu ternyata baru terwujud dalam film Ayat-ayat Cinta.
Ceritanya, dulu waktu masih kuliah, Hanung pernah berniat membuat film tentang KH Ahmad Dahlan. Merasa lahir dan besar di keluarga Muhammadiyah, Hanung pun terobsesi untuk mengangkat sang tokoh pendiri Muhammadiyah itu ke layar lebar. Pilihan Hanung mengangkat tokoh KH Ahmad Dahlan, karena dia menilai tokoh (terlebih tokoh agama yang karismatik) bisa membuat penonton bercermin.
Berangkat dari situ, Hanung kemudian mengajukan proposal film Ahmad Dahlan untuk ditawarkan ke Pimpinan Pusat Muhammadiyah. “Waktu kuliah di IKJ dulu, saya pernah membuat proposal film KH Ahmad Dahlan. Tapi proposal itu berhenti, dan tidak ditanggapi dengan alasan tak ada uang. Jadi, tidak ada ruang buat saya untuk membuat film Islami, apalagi di dunia industri film kita ini didominasi orang-orang bukan muslim.”
Meski waktu itu proposal Hanung membuat film Islam tentang Kiai Haji Ahmad Dahlan ditolak, tetapi dia tetap yakin bahwa suatu saat nanti pasti akan datang sebuah tawaran untuk membuat film Islam. Keyakinan Hanung ternyata tidak meleset, karena kemudian datang sebuah tawaran untuk membuat film bernapaskan Islam, yakni film Ayat-Ayat Cinta.
Dari film Ayat-ayat Cinta itu Hanung mendapat pelajaran dan hikmah. Film yang diangkat dari novel yang berjudul sama itu, Hanung mendapatkan arti tentang sabar dan ikhlas. Tak pelak, meskipun film Ayat-ayat Cinta itu nyaris menggoyahkan Hanung pada titik nadir setelah datang sejumlah rintangan dan halangan, Hanung tetap maju dan terus berjuang untuk menjadikan obsesinya dalam membuat film Ayat-ayat Cinta itu bisa dirilis.
Rupanya, cobaan bertubi-tubi selama membuat film itu telah membuat Hanung merasa dekat dengan Islam, dengan dijiwai percikan sabar dan ikhlas –sebagaimana pesan yang ditangkap Hanung dari film Ayat-ayat Cinta tersebut.
Selain itu, film Ayat-ayat Cinta itu juga membuat Hanung merasa dekat dengan Islam yang indah, bersahaja dan penuh dengan toleransi. “Dalam islam itu ada seni dan sastra. Dan seniman itu bukan menyimpang dari Islam, karena ketika orang jadi seniman, dia melakukan satu upaya untuk mencitrakan Islam secara berbeda. Dokter, penguasa, kiai dan seniman itu adalah media untuk menyampaikan pesan atau dakwah melalui cara dia sendiri…”
Karena itu, film Ayat-ayat Cinta ini tak bisa disangkal adalah pesan atau media dakwah Hanung untuk menyampaikan Islam melalui cara dia sebagai sang sutradara. (n mursidi)