“… Dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepadanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentaknya serta ucapkanlah kepadanya ucapan yang mulia.” (QS. Al-Isra’: 23)
MESKI statusnya hanyalah ibu angkat, tetapi kalau sudah susah payah merawat, membesarkan dan bahkan membiayai semua kebutuhan hidup si anak yang telah dipungut, ia tetap berkedudukan terhormat dan tak ubahnya ibu kandung. Apalagi, kalau niat memungut anak itu dilandasi tujuan baik, demi kemaslahatan umat. Karena itu, tatkala ibu angkat sudah renta, si anak angkat selayaknya membalas jasa baiknya dengan memperlakukannya secara baik sebagaimana dahulu “kasih sayang” sang ibu angkat itu dicurahkan.
Sebaliknya, jika si anak angkat itu mendurhakainya dan bahkan menelantarkan dengan tak hormat, maka balasan dari Allah akan menjadi satu bukti bahwa posisi ibu angkat tetap masih terhormat dan dosa besar jika mencelakainya. Kisah di bawah ini merupakan satu bukti akan kelakukan seorang anak angkat yang tidak memiliki rasa terima kasih lantaran membalas kebaikan sang ibu angkat dengan menelantarkannya sehingga 3 bulan setelah ibu angkatnya meninggal, dia diserang lumpuh dan juga disia-siakan oleh anak-anaknya dan suaminya sendiri.
Lumpuh Begitu Bangun dari Tidur
Pagi masih buta. Gelap. Aminah (bukan nama asli), wanita berusia 43 tahun itu mendadak terbangun. Suara ayam jantan berkokok nyaring di kesunyian pagi, saling bersautan. Tetapi, bukan semata-mata suara kokok ayam itu yang mengusik nyenyak tidurnya, melainkan dirasa sekujur tubuhnya terasa kaku. Letih dan lelah.
Padahal, di pagi buta itu Aminah masih merasa kedua matanya seperti terekat lem. Ada rasa berat saat ia membuka kedua matanya. Seolah-olah membuka tutup botol yang terekat dengan amat rapat. Apalagi, rasa kantuk masih menggelayut di kelopak matanya. Ingin, dia membuka lebar-lebar kedua matanya supaya tahu apa yang telah menimpa sekujur tubuhnya saat bangun dari tidur. Tapi ada ganjalan yang membuat gerakan tangan wanita itu terasa berat untuk digerakkan…
Lalu, dengan picingan mata yang belum sepenuhnya terbuka, diliriknya Somad (48 tahun, bukan nama sebenarnya) sang suami tercinta, masih tergolek berselimutkan sarung kotak-kotak. Dengkurnya keras mengusik resah jiwanya. Sebentar kemudian, ia mengucek-ngucek kelopak matanya. Ada rasa berat yang dirasa di sekujur tubuh dan tangan sebelah kanannya untuk digerakkan. Semua terasa mati, kaku dan beku….
Untung saja, ketika ia menggerakkan tangan kirinya, lamat-lamat bisa mencapai raut wajahnya sehingga dengan pelan dia usap kedua matanya. Kini, ketika matanya sudah dapat melihat ruangan kamarnya dengan jelas, dia berusaha membangunkan suaminya, “Mas…, bangun!” suaranya serak, diiringi sentuhan halus tangan sebelah kiri untuk menyentuh tubuh suaminya. Somad, sang suami masih tetap tergolek, seakan tidak mendengar suara serak istrinya. Pagi masih nampak buta dan kokok ayam jantan memecah kesunyian di hatinya….
Tak bisa berbuat banyak, karena hanya tangan kirinya yang bisa digerakkan dan itupun tidak dapat membantu banyak untuk membangunkan suaminya, dia kemudian mengangkat nada suaranya agak keras, “Mas, mas…. Bangun! Tubuhku terasa kaku dan mati. Aku tidak tahu ada apa ini…?”
Untung suami mendengar suaranya, dan langsung bangun. Saat itulah, Aminah mengulangi ucapannya, “Mas, tubuhku tiba-tiba terasa mati, tak bisa digerakkan!”
Mendengar ucapan istrinya, Somad tergeragap. Kaget. Dia, seketika itu meraba kaki istrinya dan memang dirasa seperti seonggok kayu yang terbujur kaku. Ia juga memijiti dan ada rasa lain yang ia rasakan saat menyentuh kaki istrinya.
Dokter Tak Bisa Menolong
Pagi masih nampak gelap dan hanya kokok ayam jantan-lah yang mewarnai suasana di pagi buta itu. Terdengar juga, suara jangkerik dari balik semak-semak. Rupanya, pagi itu telah menjadi saksi kelumpuhan pada tubuh Aminah kecuali tangan kirinya yang masih bisa berfungsi meski tak banyak membantu. Karena itu, saat hari sudah terang, Somad menemui dokter di puskesmas untuk diundang ke rumahnya.
Setelah sang dokter datang dan memeriksa tubuh Aminah, apa yang diderita Aminah? Vonis dokter yang datang ke rumahnya benar-benar membuat Aminah tercekat, tak berkutik. Sebab, sang dokter telah menjatuhkan vonis kelumpuhan pada tubuhnya. Entah akibat dari apa, yang jelas hasil autopsi dokter, Aminah dinyatakan lumpuh.
Aminah seperti tidak percaya akan apa yang telah menimpa dirinya. Karena itulah, ia melontarkan pertanyaan, “Apakah kelumpuhan itu bisa disembuhkan, dok?” tanya Aminah dengan penuh harap.
“Semoga saja bisa, bu... Tetapi, saya tidak bisa memberi jaminan secara pasti, “ jawab sang dokter dengan ragu.
Sekelebat, jawaban dari sang dokter itu membuat kesedihan di mata Aminah sedikit hilang, meski ada rasa cemas yang masih tergolek di ujung hatinya. “Karena itu, ibu harus rajin-rajin kontrol dan berobat,” saran sang dokter sebelum beranjak pergi meninggalkan rumah Aminah.
Satu bulan telah berlalu, dan satu tahun telah terlewati. Namun, dokter tidak mampu mengembalikan keadaan tubuh Aminah seperti sedia kala. Ada rasa putus asa yang membuat Aminah mengutuki dirinya. Ada rasa bosan dengan tubuh mati, tak bisa digerakkan sehingga dia harus sudah payah menjalani hidup dengan kelumpuhan, dengan kehidupan yang tidak ada satu pun yang bisa ia lakukan.
Akhirnya, kecewa dengan cara penanganan dokter padahal ia berharap bisa sembuh, maka ia beralih ke orang pintar. Dari satu orang pintar ke orang pintar lain, telah didatangkan untuk mengobati kelumpuhannya. Namun, tidak satu pun ada yang bisa membuat tubuhnya bergerak seperti semula. Tak ada satu pun tangan orang pintar yang didatangkan suaminya bisa mengobati kelumpuhan Aminah.
Bahkan dari salah satu orang pintar yang pernah menanganinya, ada jenis pengobatan dengan cara mencabuk ke sekujur tubuhnya. Namun, cara itu juga tidak bisa membuat tubuh kakunya kembali normal. Malahan, dia harus menerima kesedihan akibat pengobatan dengan cara itu, sekujur tubuh berwarna biru dan memar-memar.
Dua tahun berlalu, dan ia masih didera kelumpuhan yang tak bisa disembuhkan. Ia putus asa, namun hal itu tidak dapat membantu, melainkan malah membuatnya semakin sedih. Sebab, menginjak tahun ke-3 sejak ia lumpuh tetap tidak bisa ke mana-mana kecuali hanya berbaring tak berdaya di atas kasur. Menatap langit-langit yang selalu sama, di setiap harinya. Matanya mulai bosan dan ia putus asa…
Kini lima tahun sudah Aminah menderita kelumpuhan. Suaminya, juga sudah merasa bosan mengundang orang pintar atau tabib sehingga kian hari berlalu, mulai mengacuhkan istrinya. Demikian juga dengan kelima anaknya, kian hari memandangnya sebagai seorang perempuan yang tak berarti di rumahnya sendiri, sebuah rumah megah yang diwariskan oleh ibu angkatnya setelah sang ibu angkat itu wafat beberapa tahun yang lalu.
Tak salah, kini ia harus berjalan dengan ngelesot jika butuh sesuatu, sementara suami dan kelima anaknya seolah-olah cuek dan tak menganggap Aminah ada. Dia berjalan dengan nglesot menyusuri lantai dengan tangis sedih, namun semua itu sudah terlambat untuk disesali. Penyesalan yang datang di saat ia sudah lumpuh ini tidak ada gunanya. Apalagi ibu angkatnya yang mencurahkan kasih sayang sepenuhnya sudah tiada…
Ia kini baru sadar, tapi kesadaran akan kebiadaan yang pernah dia perbuat terhadap ibu angkatnya ternyata sudah terlambat. Orang kampung pun menganggap kalau semua itu akibat dari perilaku buruknya terhadap ibu angkatnya di usia uzur dulu. Apa sebenarnya salah Aminah sampai ia lumpuh dan disia-siakan oleh suami dan kelima anaknya?
Di bawah Asuhan Ibu Angkat
Seharusnya, Aminah patut berbangga hati karena ia diambil anak oleh Suminem dan Parjo ketika masih kecil dulu. Apalagi, pasangan suami-istri yang lama menikah itu, ternyata tidak dikaruniai seorang anak dan kebetulan tergolong orang kaya. Tak salah, jika kehidupan Aminah kecil boleh dikatakan dalam buaian kasih sayang dan serba kecukupan. Apalagi sang ibu angkat sungguh menyanyangi Aminah seperti anak kandungnya sendiri.
Keadaan yang patut dibanggakan itu, dapat dibandingkan dengan kondisi saudara-saudara sekandung Aminah yang hidup dalam kekurangan, karena ayah-ibu kandung Aminah tergolong keluarga miskin. Sehingga dengan dipungutnya Aminah oleh pasangan kaya itu tak menghalangi Amimah untuk tumbuh besar dengan penuh kasih dan kecintaan berlebihan. Ia akhirnya tumbuh besar di bawah asuhan pasangan suami-istri yang telah menganggapnya tak ubahnya sebagai anak kandung sendiri.
Dengan kondisi itu pula, kehidupan Aminah kecil boleh dikata serba kecukupan dan tak kurang satu apa pun. Apalagi sebagai anak pungut satu-satunya bagi pasangan yang tidak punya anak itu, tak ada alasan bagi Suminem-Paijo untuk memenuhi aneka kebutuhannya jika memang tidak berlebihan. Karena itu, Aminah sering dibelikan mainan dan pakaian bagus dan itu bisa dibanggakan ketika bermain dengan teman-temannya di kampung.
Lalu, saat Aminah sudah memasuki umur tujuh tahun, juga dimasukkan ke bangku Sekolah Dasar. Sebab, kedua orangtua angkat Aminah berharap putri angkatnya itu, kelak bisa membalas segala kebaikan keduanya di saat sudah tua nanti. Sebab dengan pendidikan, Aminah diharapkan menjadi anak yang pandai dan berbudi baik sehingga tahu apa yang akan dilakukan di kemudian hari.
Meskipun tidak di sekolahkan sampai ke jenjang pendidikan yang cukup tinggi, tetapi bagi anak perempuan seperti Aminah, itu sudah lebih dari cukup. Sebab tradisi di kampung Aminah sudah lumayan lulus sekolah SD sebagai bekal dalam meniti hidup. Apalagi, Aminah adalah anak perempuan yang dalam adat di kampung akan menjadi tabu jika sampai menikah di usia yang cukup tua. Karena itulah, di saat usianya sudah memasuki jenjang pernikahan, Aminah dinikahkan oleh kedua orangtua angkatnya dengan seorang lelaki, bernama Somad. Apalagi, Somad dikenal sebagai pemuda yang rajin sehingga dengan sawah yang dimiliki oleh kedua orangtua angkat Aminah, Somad diharapkan bisa mengerjakan banyak hal.
Rupanya belum sempat juga Paijo menerima balasan dari buah kasih yang dicurahkan kepada Aminah, dia keburu meninggal dunia. Tinggallah Suminem sebatang kara yang hidup bersama Aminah, putri angkatnya dan Somad menantunya.
Tahun berlalu dan Aminah juga dikarunia lima anak dari hasil pernikahannya dengan Somad. Tetapi apa balasan yang diberikan oleh Aminah ketika ayah angkatnya meninggal dan kemudian Suminem, sang ibu angkatnya itu sudah memasuki usia tua?
Balasan yang Diberikan
Bukanlah sebuah “perlakuan baik” yang diberikan Aminah kepada Suminem, ketika wanita yang telah mengasuh dan membesarkan itu sudah uzur. Alih-alih Aminah dengan penuh kasih merawat wanita tua itu dengan baik, justru di saat usia tua sudah membuat Suminem tidak bisa berbuat banyak, malahan Aminah menempatkannya di sebuah ruangan yang tak layak di belakang rumah.
“Ruangan itu dibuat seperti kamar dengan ukuran sekitar 2x3 dengan dinding papan dan beratapkan daun rumbia. Anehnya, bangunan kamar itu di dekat sumur, tempat Aminah mencuci piring,“ sebagaimana dituturkan Yunus (24 tahun) warga kampung setempat yang sudah seperti saudara dekat Aminah.
Perlakuan tak senonoh itu ternyata masih ditambah dengan sikap Aminah yang selalu menyembunyikan ibu angkatnya itu saat orang-orang kampung menanyakan kondisi wanita yang telah memungutnya sebagai anak angkat. “Orang-orang kampung sebenarnya tahu juga dengan apa yang diperbuat Aminah, namun saat orang kampung bertanya tentang keadaan Suminem, Aminah hanya menjawab, ‘tidak tahu’. Itu semua memang hak Aminah, maka orang-orang kampung membiarkannya saja, “ jelas Yunus lebih lanjut.
Anehnya, Aminah memberikan makanan kepada ibu angkatnya dengan cara kurang sopan. Tatkala waktu makan tiba, Aminah menaruh sepiring nasi di dekat lubang kecil yang sengaja dibuat untuk hal itu. Dengan lubang kecil seperti di penjara, saat jadwal makan tiba Aminah memberi sepiring nasi yang ditaruh di dekat lubang kamar dari papan itu.
Sekitar satu tahun Aminah memperlakukan ibu angkatnya itu dengan perlakuan yang kurang sopan dan kemudian sang ibu angkat pun meninggal dalam keadaan yang tragis sebab berada dalam ruangan kecil, pengap, penuh nyamuk dan kurang layak, apalagi itu bagi ibu angkatnya yang sudah payah mengasuhnya dengan penuh kasih sayang.
Mungkin ada rasa bangga, setelah ibu angkat Aminah meninggal. Sebab, dengan itu ia mewarisi sebuah rumah besar dan beberapa petak tanah. Rupanya, ia tidak menyadari jika apa yang telah dilakukan terhadap ibu angkatnya itu adalah dosa besar yang bisa berakibat buruk kepadanya. Dan tiga bulan setelah ibu angkatnya meninggal, ia mengalami nasib tragis kerena didera kelumpuhan saat bangun dari tidur. Tragisnya lagi, dokter dan orang pintar dan juga tabib tidak mampu menyembuhkannya setelah ia menderita kelumpuhan itu lima tahun lamanya.
Kini, ia sadar-sesadarnya. Bahwa membalas perlakuan ibu angkatnya yang ia lakukan selama ini adalah tindakan durhaka. Karena itu, balasan yang ditimpakan Allah kepadanya dengan sakit lumpuh membuatnya merasa bersalah. Tetapi, semua itu sudah terlambat sebab sang ibu angkat sudah tidak bisa dibangunkan dari kubur untuk dimintai maaf.
“Kini, budemu (tantemu) sudah tidak bisa berbuat apa-apa!” Itulah satu pesan kecil yang dikatakan Aminah kepada Yunus saat ia sempat membesuk Aminah dan ia sadar kalau keadaan yang kini dialami adalah balasan Allah karena ia durhaka kepada ibu angkatnya.
Semoga kisah ini, membuat kita semua bisa bercermin bahwa ibu angkat tetaplah orang yang telah berjasa besar kepada kita sehingga memperlakukannya dengan baik adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi…..!!!!
Sebaliknya, jika si anak angkat itu mendurhakainya dan bahkan menelantarkan dengan tak hormat, maka balasan dari Allah akan menjadi satu bukti bahwa posisi ibu angkat tetap masih terhormat dan dosa besar jika mencelakainya. Kisah di bawah ini merupakan satu bukti akan kelakukan seorang anak angkat yang tidak memiliki rasa terima kasih lantaran membalas kebaikan sang ibu angkat dengan menelantarkannya sehingga 3 bulan setelah ibu angkatnya meninggal, dia diserang lumpuh dan juga disia-siakan oleh anak-anaknya dan suaminya sendiri.
Lumpuh Begitu Bangun dari Tidur
Pagi masih buta. Gelap. Aminah (bukan nama asli), wanita berusia 43 tahun itu mendadak terbangun. Suara ayam jantan berkokok nyaring di kesunyian pagi, saling bersautan. Tetapi, bukan semata-mata suara kokok ayam itu yang mengusik nyenyak tidurnya, melainkan dirasa sekujur tubuhnya terasa kaku. Letih dan lelah.
Padahal, di pagi buta itu Aminah masih merasa kedua matanya seperti terekat lem. Ada rasa berat saat ia membuka kedua matanya. Seolah-olah membuka tutup botol yang terekat dengan amat rapat. Apalagi, rasa kantuk masih menggelayut di kelopak matanya. Ingin, dia membuka lebar-lebar kedua matanya supaya tahu apa yang telah menimpa sekujur tubuhnya saat bangun dari tidur. Tapi ada ganjalan yang membuat gerakan tangan wanita itu terasa berat untuk digerakkan…
Lalu, dengan picingan mata yang belum sepenuhnya terbuka, diliriknya Somad (48 tahun, bukan nama sebenarnya) sang suami tercinta, masih tergolek berselimutkan sarung kotak-kotak. Dengkurnya keras mengusik resah jiwanya. Sebentar kemudian, ia mengucek-ngucek kelopak matanya. Ada rasa berat yang dirasa di sekujur tubuh dan tangan sebelah kanannya untuk digerakkan. Semua terasa mati, kaku dan beku….
Untung saja, ketika ia menggerakkan tangan kirinya, lamat-lamat bisa mencapai raut wajahnya sehingga dengan pelan dia usap kedua matanya. Kini, ketika matanya sudah dapat melihat ruangan kamarnya dengan jelas, dia berusaha membangunkan suaminya, “Mas…, bangun!” suaranya serak, diiringi sentuhan halus tangan sebelah kiri untuk menyentuh tubuh suaminya. Somad, sang suami masih tetap tergolek, seakan tidak mendengar suara serak istrinya. Pagi masih nampak buta dan kokok ayam jantan memecah kesunyian di hatinya….
Tak bisa berbuat banyak, karena hanya tangan kirinya yang bisa digerakkan dan itupun tidak dapat membantu banyak untuk membangunkan suaminya, dia kemudian mengangkat nada suaranya agak keras, “Mas, mas…. Bangun! Tubuhku terasa kaku dan mati. Aku tidak tahu ada apa ini…?”
Untung suami mendengar suaranya, dan langsung bangun. Saat itulah, Aminah mengulangi ucapannya, “Mas, tubuhku tiba-tiba terasa mati, tak bisa digerakkan!”
Mendengar ucapan istrinya, Somad tergeragap. Kaget. Dia, seketika itu meraba kaki istrinya dan memang dirasa seperti seonggok kayu yang terbujur kaku. Ia juga memijiti dan ada rasa lain yang ia rasakan saat menyentuh kaki istrinya.
Dokter Tak Bisa Menolong
Pagi masih nampak gelap dan hanya kokok ayam jantan-lah yang mewarnai suasana di pagi buta itu. Terdengar juga, suara jangkerik dari balik semak-semak. Rupanya, pagi itu telah menjadi saksi kelumpuhan pada tubuh Aminah kecuali tangan kirinya yang masih bisa berfungsi meski tak banyak membantu. Karena itu, saat hari sudah terang, Somad menemui dokter di puskesmas untuk diundang ke rumahnya.
Setelah sang dokter datang dan memeriksa tubuh Aminah, apa yang diderita Aminah? Vonis dokter yang datang ke rumahnya benar-benar membuat Aminah tercekat, tak berkutik. Sebab, sang dokter telah menjatuhkan vonis kelumpuhan pada tubuhnya. Entah akibat dari apa, yang jelas hasil autopsi dokter, Aminah dinyatakan lumpuh.
Aminah seperti tidak percaya akan apa yang telah menimpa dirinya. Karena itulah, ia melontarkan pertanyaan, “Apakah kelumpuhan itu bisa disembuhkan, dok?” tanya Aminah dengan penuh harap.
“Semoga saja bisa, bu... Tetapi, saya tidak bisa memberi jaminan secara pasti, “ jawab sang dokter dengan ragu.
Sekelebat, jawaban dari sang dokter itu membuat kesedihan di mata Aminah sedikit hilang, meski ada rasa cemas yang masih tergolek di ujung hatinya. “Karena itu, ibu harus rajin-rajin kontrol dan berobat,” saran sang dokter sebelum beranjak pergi meninggalkan rumah Aminah.
Satu bulan telah berlalu, dan satu tahun telah terlewati. Namun, dokter tidak mampu mengembalikan keadaan tubuh Aminah seperti sedia kala. Ada rasa putus asa yang membuat Aminah mengutuki dirinya. Ada rasa bosan dengan tubuh mati, tak bisa digerakkan sehingga dia harus sudah payah menjalani hidup dengan kelumpuhan, dengan kehidupan yang tidak ada satu pun yang bisa ia lakukan.
Akhirnya, kecewa dengan cara penanganan dokter padahal ia berharap bisa sembuh, maka ia beralih ke orang pintar. Dari satu orang pintar ke orang pintar lain, telah didatangkan untuk mengobati kelumpuhannya. Namun, tidak satu pun ada yang bisa membuat tubuhnya bergerak seperti semula. Tak ada satu pun tangan orang pintar yang didatangkan suaminya bisa mengobati kelumpuhan Aminah.
Bahkan dari salah satu orang pintar yang pernah menanganinya, ada jenis pengobatan dengan cara mencabuk ke sekujur tubuhnya. Namun, cara itu juga tidak bisa membuat tubuh kakunya kembali normal. Malahan, dia harus menerima kesedihan akibat pengobatan dengan cara itu, sekujur tubuh berwarna biru dan memar-memar.
Dua tahun berlalu, dan ia masih didera kelumpuhan yang tak bisa disembuhkan. Ia putus asa, namun hal itu tidak dapat membantu, melainkan malah membuatnya semakin sedih. Sebab, menginjak tahun ke-3 sejak ia lumpuh tetap tidak bisa ke mana-mana kecuali hanya berbaring tak berdaya di atas kasur. Menatap langit-langit yang selalu sama, di setiap harinya. Matanya mulai bosan dan ia putus asa…
Kini lima tahun sudah Aminah menderita kelumpuhan. Suaminya, juga sudah merasa bosan mengundang orang pintar atau tabib sehingga kian hari berlalu, mulai mengacuhkan istrinya. Demikian juga dengan kelima anaknya, kian hari memandangnya sebagai seorang perempuan yang tak berarti di rumahnya sendiri, sebuah rumah megah yang diwariskan oleh ibu angkatnya setelah sang ibu angkat itu wafat beberapa tahun yang lalu.
Tak salah, kini ia harus berjalan dengan ngelesot jika butuh sesuatu, sementara suami dan kelima anaknya seolah-olah cuek dan tak menganggap Aminah ada. Dia berjalan dengan nglesot menyusuri lantai dengan tangis sedih, namun semua itu sudah terlambat untuk disesali. Penyesalan yang datang di saat ia sudah lumpuh ini tidak ada gunanya. Apalagi ibu angkatnya yang mencurahkan kasih sayang sepenuhnya sudah tiada…
Ia kini baru sadar, tapi kesadaran akan kebiadaan yang pernah dia perbuat terhadap ibu angkatnya ternyata sudah terlambat. Orang kampung pun menganggap kalau semua itu akibat dari perilaku buruknya terhadap ibu angkatnya di usia uzur dulu. Apa sebenarnya salah Aminah sampai ia lumpuh dan disia-siakan oleh suami dan kelima anaknya?
Di bawah Asuhan Ibu Angkat
Seharusnya, Aminah patut berbangga hati karena ia diambil anak oleh Suminem dan Parjo ketika masih kecil dulu. Apalagi, pasangan suami-istri yang lama menikah itu, ternyata tidak dikaruniai seorang anak dan kebetulan tergolong orang kaya. Tak salah, jika kehidupan Aminah kecil boleh dikatakan dalam buaian kasih sayang dan serba kecukupan. Apalagi sang ibu angkat sungguh menyanyangi Aminah seperti anak kandungnya sendiri.
Keadaan yang patut dibanggakan itu, dapat dibandingkan dengan kondisi saudara-saudara sekandung Aminah yang hidup dalam kekurangan, karena ayah-ibu kandung Aminah tergolong keluarga miskin. Sehingga dengan dipungutnya Aminah oleh pasangan kaya itu tak menghalangi Amimah untuk tumbuh besar dengan penuh kasih dan kecintaan berlebihan. Ia akhirnya tumbuh besar di bawah asuhan pasangan suami-istri yang telah menganggapnya tak ubahnya sebagai anak kandung sendiri.
Dengan kondisi itu pula, kehidupan Aminah kecil boleh dikata serba kecukupan dan tak kurang satu apa pun. Apalagi sebagai anak pungut satu-satunya bagi pasangan yang tidak punya anak itu, tak ada alasan bagi Suminem-Paijo untuk memenuhi aneka kebutuhannya jika memang tidak berlebihan. Karena itu, Aminah sering dibelikan mainan dan pakaian bagus dan itu bisa dibanggakan ketika bermain dengan teman-temannya di kampung.
Lalu, saat Aminah sudah memasuki umur tujuh tahun, juga dimasukkan ke bangku Sekolah Dasar. Sebab, kedua orangtua angkat Aminah berharap putri angkatnya itu, kelak bisa membalas segala kebaikan keduanya di saat sudah tua nanti. Sebab dengan pendidikan, Aminah diharapkan menjadi anak yang pandai dan berbudi baik sehingga tahu apa yang akan dilakukan di kemudian hari.
Meskipun tidak di sekolahkan sampai ke jenjang pendidikan yang cukup tinggi, tetapi bagi anak perempuan seperti Aminah, itu sudah lebih dari cukup. Sebab tradisi di kampung Aminah sudah lumayan lulus sekolah SD sebagai bekal dalam meniti hidup. Apalagi, Aminah adalah anak perempuan yang dalam adat di kampung akan menjadi tabu jika sampai menikah di usia yang cukup tua. Karena itulah, di saat usianya sudah memasuki jenjang pernikahan, Aminah dinikahkan oleh kedua orangtua angkatnya dengan seorang lelaki, bernama Somad. Apalagi, Somad dikenal sebagai pemuda yang rajin sehingga dengan sawah yang dimiliki oleh kedua orangtua angkat Aminah, Somad diharapkan bisa mengerjakan banyak hal.
Rupanya belum sempat juga Paijo menerima balasan dari buah kasih yang dicurahkan kepada Aminah, dia keburu meninggal dunia. Tinggallah Suminem sebatang kara yang hidup bersama Aminah, putri angkatnya dan Somad menantunya.
Tahun berlalu dan Aminah juga dikarunia lima anak dari hasil pernikahannya dengan Somad. Tetapi apa balasan yang diberikan oleh Aminah ketika ayah angkatnya meninggal dan kemudian Suminem, sang ibu angkatnya itu sudah memasuki usia tua?
Balasan yang Diberikan
Bukanlah sebuah “perlakuan baik” yang diberikan Aminah kepada Suminem, ketika wanita yang telah mengasuh dan membesarkan itu sudah uzur. Alih-alih Aminah dengan penuh kasih merawat wanita tua itu dengan baik, justru di saat usia tua sudah membuat Suminem tidak bisa berbuat banyak, malahan Aminah menempatkannya di sebuah ruangan yang tak layak di belakang rumah.
“Ruangan itu dibuat seperti kamar dengan ukuran sekitar 2x3 dengan dinding papan dan beratapkan daun rumbia. Anehnya, bangunan kamar itu di dekat sumur, tempat Aminah mencuci piring,“ sebagaimana dituturkan Yunus (24 tahun) warga kampung setempat yang sudah seperti saudara dekat Aminah.
Perlakuan tak senonoh itu ternyata masih ditambah dengan sikap Aminah yang selalu menyembunyikan ibu angkatnya itu saat orang-orang kampung menanyakan kondisi wanita yang telah memungutnya sebagai anak angkat. “Orang-orang kampung sebenarnya tahu juga dengan apa yang diperbuat Aminah, namun saat orang kampung bertanya tentang keadaan Suminem, Aminah hanya menjawab, ‘tidak tahu’. Itu semua memang hak Aminah, maka orang-orang kampung membiarkannya saja, “ jelas Yunus lebih lanjut.
Anehnya, Aminah memberikan makanan kepada ibu angkatnya dengan cara kurang sopan. Tatkala waktu makan tiba, Aminah menaruh sepiring nasi di dekat lubang kecil yang sengaja dibuat untuk hal itu. Dengan lubang kecil seperti di penjara, saat jadwal makan tiba Aminah memberi sepiring nasi yang ditaruh di dekat lubang kamar dari papan itu.
Sekitar satu tahun Aminah memperlakukan ibu angkatnya itu dengan perlakuan yang kurang sopan dan kemudian sang ibu angkat pun meninggal dalam keadaan yang tragis sebab berada dalam ruangan kecil, pengap, penuh nyamuk dan kurang layak, apalagi itu bagi ibu angkatnya yang sudah payah mengasuhnya dengan penuh kasih sayang.
Mungkin ada rasa bangga, setelah ibu angkat Aminah meninggal. Sebab, dengan itu ia mewarisi sebuah rumah besar dan beberapa petak tanah. Rupanya, ia tidak menyadari jika apa yang telah dilakukan terhadap ibu angkatnya itu adalah dosa besar yang bisa berakibat buruk kepadanya. Dan tiga bulan setelah ibu angkatnya meninggal, ia mengalami nasib tragis kerena didera kelumpuhan saat bangun dari tidur. Tragisnya lagi, dokter dan orang pintar dan juga tabib tidak mampu menyembuhkannya setelah ia menderita kelumpuhan itu lima tahun lamanya.
Kini, ia sadar-sesadarnya. Bahwa membalas perlakuan ibu angkatnya yang ia lakukan selama ini adalah tindakan durhaka. Karena itu, balasan yang ditimpakan Allah kepadanya dengan sakit lumpuh membuatnya merasa bersalah. Tetapi, semua itu sudah terlambat sebab sang ibu angkat sudah tidak bisa dibangunkan dari kubur untuk dimintai maaf.
“Kini, budemu (tantemu) sudah tidak bisa berbuat apa-apa!” Itulah satu pesan kecil yang dikatakan Aminah kepada Yunus saat ia sempat membesuk Aminah dan ia sadar kalau keadaan yang kini dialami adalah balasan Allah karena ia durhaka kepada ibu angkatnya.
Semoga kisah ini, membuat kita semua bisa bercermin bahwa ibu angkat tetaplah orang yang telah berjasa besar kepada kita sehingga memperlakukannya dengan baik adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi…..!!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar