Suatu hari, seorang pedagang asal Toronto, Canada berlayar mengarungi lautan. Dalam pelayaran itu, secara kebetulan dia bertemu seorang penumpang muslim. Setelah berkenalan dan bercengkrama si muslim itu meminjaminya al-Qur`an terjemahan untuk dibaca sekadar mengusir kejenuhan di tengah lautan yang dirasa membosankan.
Walau dia seorang non-muslim dan tidak mengenal sejarah Islam, anehnya dia tetap menaruh minat membaca kitab suci umat Islam tersebut. Di kapal, dia membaca dengan seksama dan saat membaca QS. an-Nur [24]: 40, hatinya seketika tersentak. Dia terkesima, karena nyaris tak mengira kitab suci al-Qur`an menceritakan tentang lautan.
Beberapa hari kemudian, dia mengembalikan kitab terjemahan tersebut kepada pemiliknya. Jalan pikirannya yang polos –karena selama ini mengira al-Qur`an itu karya Muhammad—membuat dia bertanya, "Apakah Muhammad itu seorang pelaut?"
"Bukan," jawab pemilik al-Qur`an terjemahan "bahkan Muhammad itu seseorang yang tinggal di gurun pasir."
Rupanya, jawaban itu membuatnya tidak ragu lagi akan keberanan al-Qur`an. Dia kemudian memeluk Islam. Apakah yang digambarkan QS. an-Nur: 40? Apa dibalik penggambaran QS an-Nur: 40 sehingga membuat pedagang itu kemudian masuk Islam?
Amal Orang Kafir
Dalam QS. an-Nur: 40, Allah berfirman, “Atau seperti gelap gulita di samudra yang dalam yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ada ombak, di atasnya ada awan. Gelap gulita tindih-bertindih. Apabila dia mengeluarkan tangannya tidaklah hampir dia dapat melihatnya dan barangsiapa yang tiada diberi oleh Allah cahaya maka tidaklah ada baginya sedikit cahaya pun.”
M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah menafsirkan ayat di atas sebagai satu perumpamaan terhadap amal orang-orang kafir --yang dalam ayat sebelumnya (QS. an-Nur [24]: 39) telah dijelaskan bahwa amal orang-orang kafir itu sia-sia belaka. Dengan kata lain, amal orang-orang kafir itu seperti fatamorgana atau seperti gelap gulita yang hitam pekat di lautan yang dalam, yang tak terjangkau dalamnya yang diliputi ombak, di atas ombak itu ada ombak yang lain, sehingga ombak itu bertumpuk-tumpuk dan di atasnya (di atas ombak yang bertumpuk itu) ada awan gelap yang menutupi cahaya yang menyinari langit.
Lebih lanjut, dia menerangkan gelap gulita tindih-bertindih itu adalah laut yang dalam, ombak di atas ombak serta awan hitam yang gelap. Karena gelap itu menjadikan apa yang berada di sekelilingnya tidaklah nampak. Bahkan dirinya sendiri tidak dapat dilihatnya sehingga apabila dia mengeluarkan tangannya yang merupakan anggota tubuhnya dan yang paling dapat dia dekatkan ke mata --apabila dia melakukan itu—maka yang terjadi adalah tiadalah hampir dia dapat melihatnya. Hampir melihatnya saja dia tidak dapat, apalagi benar-benar melihatnya --dikarenakan gelapnya situasi. Ini karena dia enggan menerima nur (petunjuk), sehingga Allah tidak memberinya nur dan barangsiapa yang tiada diberi petunjuk, maka tidaklah ada baginya sedikit pun cahaya.
Ibnu Katsir memahami ayat itu sebagai perumpamaan orang-orang kafir yang memiliki kebodohan berganda, yang hanya bertaklid buta pada para pemimpin mereka. Sedang al-Biqa`i memahami samudra tersebut sebagai perumpamaan hati orang kafir, gelombang sebagai lambang kebodohan dan awan adalah lambang dari kekotoran serta karat yang telah melekat pada hatinya.
Jadi, dalam ayat itu Allah mengumpamakan amal dari orang-orang kafir seperti gelap gulita yang tindih-bertindih –seperti lapisan ombak dan awan di tengah lautan.
Kebenaran Al-Qur`an
Tidak jarang, al-Qur`an menjelaskan satu hal (peristiwa) dengan perumpamaan. Tetapi dengan perumpamaan itu --sebagaimana perumpamaan yang dijelaskan QS. an-Nur [24]: 40-- bukan berarti menjadikan kebenaran al-Qur`an terkurangi. Justru dibalik itu terdapat bukti kebenaran al-Qur`an yang menerangkan fenomena laut pada satu sisi dan tentang nilai sastra yang dikandung al-Qur`an pada sisi lain.
Apa yang mendasari pedagang asal Toronto itu kemudian masuk Islam setelah membaca QS. an-Nur: 40? Setidaknya, dua hal yang bisa dijadikan penjelasan. Pertama, dia terkesan akan keakuratan al-Qur`an dalam menggambarkan badai di tengah lautan. Kebenaran QS. an-Nur: 40 itu membuat dia tak bisa berpaling. Dia telah mengalami dan melihat sendiri akan fenomena lautan, ombak yang di atasnya ada ombak lagi dan di atasnya lagi ada awan. Karena itu, ia tahu keterangan itu bukan sebuah ilusi seseorang tentang badai di laut, tapi itu memang sebuah penggambaran yang nyata.
Kedua, selama ini dia mengira al-Qur`an adalah karya Muhammmad. Makanya, setelah ia diberitahu pemilik al-Qur`an terjemahan bahwa Muhammad tinggal di gurun pasir, ia seketika yakin bahwa al-Qur`an tidak mungkin ditulis oleh Muhammad, orang yang tinggal di gurun pasir dan dalam pikirannya; siapa pun yang menulis al-Qur`an tentunya memahami secara utuh badai di tengah laut. Dengan dua alasan itu, dia tidak ragu lagi mengakui apa yang tertulis dalam al-Qur`an adalah benar sehingga dia masuk Islam. (n. mursidi)
Walau dia seorang non-muslim dan tidak mengenal sejarah Islam, anehnya dia tetap menaruh minat membaca kitab suci umat Islam tersebut. Di kapal, dia membaca dengan seksama dan saat membaca QS. an-Nur [24]: 40, hatinya seketika tersentak. Dia terkesima, karena nyaris tak mengira kitab suci al-Qur`an menceritakan tentang lautan.
Beberapa hari kemudian, dia mengembalikan kitab terjemahan tersebut kepada pemiliknya. Jalan pikirannya yang polos –karena selama ini mengira al-Qur`an itu karya Muhammad—membuat dia bertanya, "Apakah Muhammad itu seorang pelaut?"
"Bukan," jawab pemilik al-Qur`an terjemahan "bahkan Muhammad itu seseorang yang tinggal di gurun pasir."
Rupanya, jawaban itu membuatnya tidak ragu lagi akan keberanan al-Qur`an. Dia kemudian memeluk Islam. Apakah yang digambarkan QS. an-Nur: 40? Apa dibalik penggambaran QS an-Nur: 40 sehingga membuat pedagang itu kemudian masuk Islam?
Amal Orang Kafir
Dalam QS. an-Nur: 40, Allah berfirman, “Atau seperti gelap gulita di samudra yang dalam yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ada ombak, di atasnya ada awan. Gelap gulita tindih-bertindih. Apabila dia mengeluarkan tangannya tidaklah hampir dia dapat melihatnya dan barangsiapa yang tiada diberi oleh Allah cahaya maka tidaklah ada baginya sedikit cahaya pun.”
M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah menafsirkan ayat di atas sebagai satu perumpamaan terhadap amal orang-orang kafir --yang dalam ayat sebelumnya (QS. an-Nur [24]: 39) telah dijelaskan bahwa amal orang-orang kafir itu sia-sia belaka. Dengan kata lain, amal orang-orang kafir itu seperti fatamorgana atau seperti gelap gulita yang hitam pekat di lautan yang dalam, yang tak terjangkau dalamnya yang diliputi ombak, di atas ombak itu ada ombak yang lain, sehingga ombak itu bertumpuk-tumpuk dan di atasnya (di atas ombak yang bertumpuk itu) ada awan gelap yang menutupi cahaya yang menyinari langit.
Lebih lanjut, dia menerangkan gelap gulita tindih-bertindih itu adalah laut yang dalam, ombak di atas ombak serta awan hitam yang gelap. Karena gelap itu menjadikan apa yang berada di sekelilingnya tidaklah nampak. Bahkan dirinya sendiri tidak dapat dilihatnya sehingga apabila dia mengeluarkan tangannya yang merupakan anggota tubuhnya dan yang paling dapat dia dekatkan ke mata --apabila dia melakukan itu—maka yang terjadi adalah tiadalah hampir dia dapat melihatnya. Hampir melihatnya saja dia tidak dapat, apalagi benar-benar melihatnya --dikarenakan gelapnya situasi. Ini karena dia enggan menerima nur (petunjuk), sehingga Allah tidak memberinya nur dan barangsiapa yang tiada diberi petunjuk, maka tidaklah ada baginya sedikit pun cahaya.
Ibnu Katsir memahami ayat itu sebagai perumpamaan orang-orang kafir yang memiliki kebodohan berganda, yang hanya bertaklid buta pada para pemimpin mereka. Sedang al-Biqa`i memahami samudra tersebut sebagai perumpamaan hati orang kafir, gelombang sebagai lambang kebodohan dan awan adalah lambang dari kekotoran serta karat yang telah melekat pada hatinya.
Jadi, dalam ayat itu Allah mengumpamakan amal dari orang-orang kafir seperti gelap gulita yang tindih-bertindih –seperti lapisan ombak dan awan di tengah lautan.
Kebenaran Al-Qur`an
Tidak jarang, al-Qur`an menjelaskan satu hal (peristiwa) dengan perumpamaan. Tetapi dengan perumpamaan itu --sebagaimana perumpamaan yang dijelaskan QS. an-Nur [24]: 40-- bukan berarti menjadikan kebenaran al-Qur`an terkurangi. Justru dibalik itu terdapat bukti kebenaran al-Qur`an yang menerangkan fenomena laut pada satu sisi dan tentang nilai sastra yang dikandung al-Qur`an pada sisi lain.
Apa yang mendasari pedagang asal Toronto itu kemudian masuk Islam setelah membaca QS. an-Nur: 40? Setidaknya, dua hal yang bisa dijadikan penjelasan. Pertama, dia terkesan akan keakuratan al-Qur`an dalam menggambarkan badai di tengah lautan. Kebenaran QS. an-Nur: 40 itu membuat dia tak bisa berpaling. Dia telah mengalami dan melihat sendiri akan fenomena lautan, ombak yang di atasnya ada ombak lagi dan di atasnya lagi ada awan. Karena itu, ia tahu keterangan itu bukan sebuah ilusi seseorang tentang badai di laut, tapi itu memang sebuah penggambaran yang nyata.
Kedua, selama ini dia mengira al-Qur`an adalah karya Muhammmad. Makanya, setelah ia diberitahu pemilik al-Qur`an terjemahan bahwa Muhammad tinggal di gurun pasir, ia seketika yakin bahwa al-Qur`an tidak mungkin ditulis oleh Muhammad, orang yang tinggal di gurun pasir dan dalam pikirannya; siapa pun yang menulis al-Qur`an tentunya memahami secara utuh badai di tengah laut. Dengan dua alasan itu, dia tidak ragu lagi mengakui apa yang tertulis dalam al-Qur`an adalah benar sehingga dia masuk Islam. (n. mursidi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar