Belakangan, keberadaan formalin dalam makanan telah menjadi berita hangat. Tidak salah jika kabar itu sempat membuat masyarakat cemas. Pasalnya, zat kimia yang --biasa--digunakan sebagai bahan pembunuh hama (desinfektan) serta digunakan di dunia industri itu telah disalahgunakan sebagai bahan pengawet makanan, seperti mie basah, tahu, ikan asin dan bakso. Akibatnya, masyarakat dicekam ketakutan untuk mengkonsumsi makanan yang beredar di pasaran.
Keresahan masyarakat itu memang dapat “dimaklumi”. Sebab, jika bahan formalin itu disusupkan dalam makanan, lalu dikonsumsi, bisa berbahaya bagi kesehatan. “Itu baru bahan pengawet formalin pada bahan pangan. Padahal, selain bahan pengawet formalin sebenarnya masih banyak lagi bahan tambahan atau kimia yang sering dibubuhkan dalam makanan (juga minuman), seperti rhodamin B (pewarna merah), methanyl yellow (pewarna kuning), boraks dan bahan kimia lain yang memiliki dampak cukup berbahaya bagi kesehatan kita,” kata Ir. Yuni Arina -– auditor dari LP POM (Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika) Majlis Ulama Indonesia DKI Jakarta.
Rupanya, produsen makanan seperti tak mau tahu dengan kesehatan konsumen. Meski penggunaan “bahan kimia” itu sudah dilarang menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1168/Menkes/PER/X/1999, toh tetap dijumpai zat kimia itu ditelusupkan dalam makanan.
Bisa Mengakibatkan Kanker
Formalin adalah jenis senyawa kimia yang terdiri dari unsur formaldehyde (H2CO), yang berupa larutan tak berwarna serta baunya sangat menusuk. Sebagai zat kimia, formalin dikemas sebagai nama (merek) dagang dari larutan formaldehid dalam air dengan kadar 30-40 %. Di pasaran, formalin bisa diperoleh dalam bentuk yang sudah diencerkan dengan kadar formaldehid sekitar 40, 30, 20 dan 10 % dan bisa pula dijumpai dalam bentuk tablet.
Sebagai bahan kimia, formalin memang memiliki multi-fungsi. Ir. Muhammad Bayu J (auditor LP POM MUI DKI Jakarta), mengatakan di antara multifungsi formalin itu, pertama, berfungsi sebagai desinfektan (untuk membasmi insektisida). Kedua, berfungsi sebagai bakterisida guna membunuh bakteri. Ketiga, berfungsi sebagai fumigasi. Di sini ada proses pengawetan --yang biasanya-- dalam bentuk penyembrotan sehingga bisa memprotek produk dari serangan serangga.
Lebih lanjut, menurut Ir Muhammad Bayu, dari fungsi-fungsi itu formalin kemudian diaplikasikan ke berbagai industri, seperti industri plastik, tekstil, senjata, kayu lapis dan berbagai industri lain. Karena dengan fungsi itu, formalin dimaksudkan untuk memprotek suatu produk. “Taruhlah kayu lapis, supaya tak mudah digerogoti rayap, maka dikasih formalin sehingga kayu itu jadi lebih tahan. Yang jelas, formalin adalah suatu senyawa yang memang banyak digunakan di dunia indutri. Karena pada intinya formalin memang berfungsi sebagai bahan pengawet. Jadi, bahan apa saja jika dikasih bahan formalin, akan awet (tahan lama). Keawetan bahan itu karena ada pencegahan dari serangan bakteri, mikroba dan serangga,” papar alumnus Teknologi Pangan dari Universitas Sudirman ini kepada Hidayah.
Tahu jika formalin memiliki multi-fungsi, produsen lalu menyalahgunakan zat kimia itu sebagai bahan pengawet makanan. Itulah yang kemudian jadi masalah. Sebab, jika formalin itu disusupkan dalam makanan kemudian dikonsumsi, maka bisa mengakibatkan bahaya bagi kesehatan.
Menurut Ir. Muhammad Bayu J., bahaya jangka pendek dari formalin menyerang pada pencernaan. “Ini karena sel-sel di dalam jaringan pencernaan seperti usus dan lambung yang bersifat asam kena basa (dari senyawa formalin). Akibatnya, bertolak bekalang dengan asam lambung sehingga membuat perut mual. Sementara untuk bahaya jangka panjang menyerang ke organ lain, seperti iritasi kulit dan organ yang paling vital kena adalah liver, hati, ginjal dan bahkan bisa mengakibatkan kanker.”
Pendapat Muhammad Bayu itu diamini Ir. Yuni Arini. “Formalin itu khan sebenarnya bukan bahan pengawet makanan. Ia adalah bahan pengawet industri yang biasanya digunakan untuk jenazah. Karena itulah, jika digunakan untuk makanan dan kemudian dikonsumsi, maka bukan protein yang masuk ke dalam perut tetapi senyawa baru yang sebenarnya racun,” kata lulusan Jurusan Teknik Kimia dari Universitas Indonesia ini.
Waspada namun jangan Paranoid
Sebenarnya isu formalin itu bukanlah satu hal baru. Jauh-jauh hari, formalin telah ditemukan dalam makanan. Yang jadi pertanyaan kemudian adalah; kenapa formalin muncul kembali?
“Sekarang ini kendalanya ada pada biaya. Formalin itu lebih murah, sehingga produsen cenderung menggunakan formalin sebagai bahan pengawet. Penggunaan formalin ini mengalami puncaknya di tahun ini dan tak bisa diingkari jika itu dampak dari kenaikan BBM. Kadang hal ini tidak sepenuhnya salah produsen, karena ada daya beli, penawaran serta ongkos produksi,” kata Muhammad Bayu J.
Lebih lanjut, Muhammad Bayu berkomentar, “Tetapi masyarakat juga harus “sadar”. Dengan kata lain, jika ingin membeli barang atau produk yang berkualitas, sehat serta halal, harus siap dengan kocek yang tak sedikit. Untuk itu, besok LP POM MUI akan mengeluarkan label, selain makanan itu halal juga diberi label bebas dari formalin.”
Memang, formalin telah membuat masyarakat cemas. Kendati demikian, bukan berarti harus menjadi paranoid. Sebab tak semua produsen makanan menggunakan formalin sebagai bahan pengawet. Di sini, waspada memang perlu. Namun tidak berarti harus curiga terhadap semua jenis makanan. (n. mursidi)
IN BOX
Hukum Makanan Berformalin
Formalin kembali menjadi gunjingan. Sebab cairan tak berwarna itu telah diberitakan menjadi bahan pengawet makanan yang jika ditinjau dari kesehatan, jelas berdampak buruk bagi kehidupan manusia. Lantas, bagaimana jika ditinjau dari segi hukum atau syariat Islam? Apa hukum makanan berformalin?
Drs. H. Syamsul Bahri, Sekretaris Pelaksana Majelis Fatwa dari DDII (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia) mengatakan bahwa makanan berformalin itu hukumnya haram. Keharaman makanan berformalin itu tak lain karena dalam zat kimia formalin itu mengandung madharat yang bisa melemahkan tubuh. Sementara itu, menurutnya al-Qur`an dengan tegas mengatakan kita disuruh mengkonsumsi makanan dan minuman yang halal dan baik.
Lebih lanjut, menurutnya, makanan dipandang halal atau baik dari syari`at Islam itu jika memenuhi unsur halalan tayyiban. Pertama, bukan yang diharamkan, seperti; darah, bangkai, babi dan sebagainya. Kedua, tak mengandung unsur-unsur bahaya dan membahayakan (la dhara wala diraran). Ketiga, tidak boros (mubadzir), dan yang keempat, tidak mengandung unsur-unsur najis dan racun (dzuw as-sammi), tidak menjijikkan, tidak memabukkan dan tidak melemahkan (tubuh). Dalam pandangannya, formalin masuk kategori mengandung racun dan melemahkan tubuh. Karena itu, hukum makanan berformalin itu haram.
Untuk kasus perbuatan itu, dia mengatakan "Formalin termasuk jual beli (tadlisul aini), yakni menyembunyikan cacat. Semestinya, makanan itu sudah basi (kadaluwarsa) tetapi disulap dengan “zat pengawet” sehingga tahan lama. Dalam istilah Ibnu Umar disebut juga tipuan. Ada unsur kecurangan. Tampak dari luar bagus, tetapi itu sebenarnya menjebak. Juga, mengandung unsur membahayakan. Nabi menyebut mereka sebagai kelompok falaisa minna Tidak diakui nabi sebagai umatku.”
Dalam kaitan dengan hal di atas, dosen Ilmu Da`wah & Kuliah Filsafat STID Moh. Natsir ini menyitir sebuah hadits. Suatu hari, nabi melakukan operasi pasar (lihat; Shahih Muslim, juz I, hal. 69) dan mendapati tumpukan jualan yang mencurigakan. Lalu, rasul memasukkan tangannya untuk menjangkau sesuatu yang basah dalam makanan itu.
"Apa yang ada dalam campuran makananmu, wahai pedagang?" tanya nabi.
Orang itu menjawab, "Makanan ini dicampuri atau terkena air hujan."
Lalu nabi bertanya, "Mengapa yang basah tak kamu taruh di atas supaya dilihat oleh pembeli? Siapa yang menipu maka tidak termasuk golonganku."
Dari kisah di atas, alumnus IAI Al-Ghuraba` Jakarta ini melihat ada beberapa hal urgen yang ingin disampaikan oleh nabi. Pertama, nabi ingin melindungi hak konsumen. Artinya, nabi tidak menginginkan pedagang menipu pembeli. Karena itu, dalam istilah fiqh ada khiyar (ada hak untuk mengembalikan barang jika yang dibeli itu memang cacat). Yang kedua, rasul menginginkan pedagang muslim itu berlaku jujur.
“Dalam kasus formalin, selain ada unsur penipuan, keharaman makanan berformalin itu di samping bersifat zati juga ihtisabi (haram secara substansial dan haram yang diupayakan). Jadi, dalam padangan ushul fiqh, makanan berformalin itu sempurna keharamannya. Karena formalin itu termasuk jenis racun. Artinya, bisa kita sebut sebagai muskir wa mufattir (yang melemahkan tubuh). Unsur-unsur formalin itu seperti narkoba sehingga bisa juga dianalogikan sebagaimana narkoba,” tegas Syamsul Bahri, yang pernah jadi da`i PT. Freeport Indonesia, Irian Jaya selama kurang lebih dua tahun.
Meski haram digunakan sebagai bahan pengawet untuk makanan, formalin itu sendiri tidaklah haram. Dengan kata lain, formalin tidak lebih seperti cat, bensin atau zat kimia yang lain. Formalin itu menjadi haram, semata-mata karena penyalahgunaan bahan kimia tersebut yang tidak pada tempatnya yang bisa mengakibatkan kemudharatan. (n. mursidi)
Keresahan masyarakat itu memang dapat “dimaklumi”. Sebab, jika bahan formalin itu disusupkan dalam makanan, lalu dikonsumsi, bisa berbahaya bagi kesehatan. “Itu baru bahan pengawet formalin pada bahan pangan. Padahal, selain bahan pengawet formalin sebenarnya masih banyak lagi bahan tambahan atau kimia yang sering dibubuhkan dalam makanan (juga minuman), seperti rhodamin B (pewarna merah), methanyl yellow (pewarna kuning), boraks dan bahan kimia lain yang memiliki dampak cukup berbahaya bagi kesehatan kita,” kata Ir. Yuni Arina -– auditor dari LP POM (Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika) Majlis Ulama Indonesia DKI Jakarta.
Rupanya, produsen makanan seperti tak mau tahu dengan kesehatan konsumen. Meski penggunaan “bahan kimia” itu sudah dilarang menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1168/Menkes/PER/X/1999, toh tetap dijumpai zat kimia itu ditelusupkan dalam makanan.
Bisa Mengakibatkan Kanker
Formalin adalah jenis senyawa kimia yang terdiri dari unsur formaldehyde (H2CO), yang berupa larutan tak berwarna serta baunya sangat menusuk. Sebagai zat kimia, formalin dikemas sebagai nama (merek) dagang dari larutan formaldehid dalam air dengan kadar 30-40 %. Di pasaran, formalin bisa diperoleh dalam bentuk yang sudah diencerkan dengan kadar formaldehid sekitar 40, 30, 20 dan 10 % dan bisa pula dijumpai dalam bentuk tablet.
Sebagai bahan kimia, formalin memang memiliki multi-fungsi. Ir. Muhammad Bayu J (auditor LP POM MUI DKI Jakarta), mengatakan di antara multifungsi formalin itu, pertama, berfungsi sebagai desinfektan (untuk membasmi insektisida). Kedua, berfungsi sebagai bakterisida guna membunuh bakteri. Ketiga, berfungsi sebagai fumigasi. Di sini ada proses pengawetan --yang biasanya-- dalam bentuk penyembrotan sehingga bisa memprotek produk dari serangan serangga.
Lebih lanjut, menurut Ir Muhammad Bayu, dari fungsi-fungsi itu formalin kemudian diaplikasikan ke berbagai industri, seperti industri plastik, tekstil, senjata, kayu lapis dan berbagai industri lain. Karena dengan fungsi itu, formalin dimaksudkan untuk memprotek suatu produk. “Taruhlah kayu lapis, supaya tak mudah digerogoti rayap, maka dikasih formalin sehingga kayu itu jadi lebih tahan. Yang jelas, formalin adalah suatu senyawa yang memang banyak digunakan di dunia indutri. Karena pada intinya formalin memang berfungsi sebagai bahan pengawet. Jadi, bahan apa saja jika dikasih bahan formalin, akan awet (tahan lama). Keawetan bahan itu karena ada pencegahan dari serangan bakteri, mikroba dan serangga,” papar alumnus Teknologi Pangan dari Universitas Sudirman ini kepada Hidayah.
Tahu jika formalin memiliki multi-fungsi, produsen lalu menyalahgunakan zat kimia itu sebagai bahan pengawet makanan. Itulah yang kemudian jadi masalah. Sebab, jika formalin itu disusupkan dalam makanan kemudian dikonsumsi, maka bisa mengakibatkan bahaya bagi kesehatan.
Menurut Ir. Muhammad Bayu J., bahaya jangka pendek dari formalin menyerang pada pencernaan. “Ini karena sel-sel di dalam jaringan pencernaan seperti usus dan lambung yang bersifat asam kena basa (dari senyawa formalin). Akibatnya, bertolak bekalang dengan asam lambung sehingga membuat perut mual. Sementara untuk bahaya jangka panjang menyerang ke organ lain, seperti iritasi kulit dan organ yang paling vital kena adalah liver, hati, ginjal dan bahkan bisa mengakibatkan kanker.”
Pendapat Muhammad Bayu itu diamini Ir. Yuni Arini. “Formalin itu khan sebenarnya bukan bahan pengawet makanan. Ia adalah bahan pengawet industri yang biasanya digunakan untuk jenazah. Karena itulah, jika digunakan untuk makanan dan kemudian dikonsumsi, maka bukan protein yang masuk ke dalam perut tetapi senyawa baru yang sebenarnya racun,” kata lulusan Jurusan Teknik Kimia dari Universitas Indonesia ini.
Waspada namun jangan Paranoid
Sebenarnya isu formalin itu bukanlah satu hal baru. Jauh-jauh hari, formalin telah ditemukan dalam makanan. Yang jadi pertanyaan kemudian adalah; kenapa formalin muncul kembali?
“Sekarang ini kendalanya ada pada biaya. Formalin itu lebih murah, sehingga produsen cenderung menggunakan formalin sebagai bahan pengawet. Penggunaan formalin ini mengalami puncaknya di tahun ini dan tak bisa diingkari jika itu dampak dari kenaikan BBM. Kadang hal ini tidak sepenuhnya salah produsen, karena ada daya beli, penawaran serta ongkos produksi,” kata Muhammad Bayu J.
Lebih lanjut, Muhammad Bayu berkomentar, “Tetapi masyarakat juga harus “sadar”. Dengan kata lain, jika ingin membeli barang atau produk yang berkualitas, sehat serta halal, harus siap dengan kocek yang tak sedikit. Untuk itu, besok LP POM MUI akan mengeluarkan label, selain makanan itu halal juga diberi label bebas dari formalin.”
Memang, formalin telah membuat masyarakat cemas. Kendati demikian, bukan berarti harus menjadi paranoid. Sebab tak semua produsen makanan menggunakan formalin sebagai bahan pengawet. Di sini, waspada memang perlu. Namun tidak berarti harus curiga terhadap semua jenis makanan. (n. mursidi)
IN BOX
Hukum Makanan Berformalin
Formalin kembali menjadi gunjingan. Sebab cairan tak berwarna itu telah diberitakan menjadi bahan pengawet makanan yang jika ditinjau dari kesehatan, jelas berdampak buruk bagi kehidupan manusia. Lantas, bagaimana jika ditinjau dari segi hukum atau syariat Islam? Apa hukum makanan berformalin?
Drs. H. Syamsul Bahri, Sekretaris Pelaksana Majelis Fatwa dari DDII (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia) mengatakan bahwa makanan berformalin itu hukumnya haram. Keharaman makanan berformalin itu tak lain karena dalam zat kimia formalin itu mengandung madharat yang bisa melemahkan tubuh. Sementara itu, menurutnya al-Qur`an dengan tegas mengatakan kita disuruh mengkonsumsi makanan dan minuman yang halal dan baik.
Lebih lanjut, menurutnya, makanan dipandang halal atau baik dari syari`at Islam itu jika memenuhi unsur halalan tayyiban. Pertama, bukan yang diharamkan, seperti; darah, bangkai, babi dan sebagainya. Kedua, tak mengandung unsur-unsur bahaya dan membahayakan (la dhara wala diraran). Ketiga, tidak boros (mubadzir), dan yang keempat, tidak mengandung unsur-unsur najis dan racun (dzuw as-sammi), tidak menjijikkan, tidak memabukkan dan tidak melemahkan (tubuh). Dalam pandangannya, formalin masuk kategori mengandung racun dan melemahkan tubuh. Karena itu, hukum makanan berformalin itu haram.
Untuk kasus perbuatan itu, dia mengatakan "Formalin termasuk jual beli (tadlisul aini), yakni menyembunyikan cacat. Semestinya, makanan itu sudah basi (kadaluwarsa) tetapi disulap dengan “zat pengawet” sehingga tahan lama. Dalam istilah Ibnu Umar disebut juga tipuan. Ada unsur kecurangan. Tampak dari luar bagus, tetapi itu sebenarnya menjebak. Juga, mengandung unsur membahayakan. Nabi menyebut mereka sebagai kelompok falaisa minna Tidak diakui nabi sebagai umatku.”
Dalam kaitan dengan hal di atas, dosen Ilmu Da`wah & Kuliah Filsafat STID Moh. Natsir ini menyitir sebuah hadits. Suatu hari, nabi melakukan operasi pasar (lihat; Shahih Muslim, juz I, hal. 69) dan mendapati tumpukan jualan yang mencurigakan. Lalu, rasul memasukkan tangannya untuk menjangkau sesuatu yang basah dalam makanan itu.
"Apa yang ada dalam campuran makananmu, wahai pedagang?" tanya nabi.
Orang itu menjawab, "Makanan ini dicampuri atau terkena air hujan."
Lalu nabi bertanya, "Mengapa yang basah tak kamu taruh di atas supaya dilihat oleh pembeli? Siapa yang menipu maka tidak termasuk golonganku."
Dari kisah di atas, alumnus IAI Al-Ghuraba` Jakarta ini melihat ada beberapa hal urgen yang ingin disampaikan oleh nabi. Pertama, nabi ingin melindungi hak konsumen. Artinya, nabi tidak menginginkan pedagang menipu pembeli. Karena itu, dalam istilah fiqh ada khiyar (ada hak untuk mengembalikan barang jika yang dibeli itu memang cacat). Yang kedua, rasul menginginkan pedagang muslim itu berlaku jujur.
“Dalam kasus formalin, selain ada unsur penipuan, keharaman makanan berformalin itu di samping bersifat zati juga ihtisabi (haram secara substansial dan haram yang diupayakan). Jadi, dalam padangan ushul fiqh, makanan berformalin itu sempurna keharamannya. Karena formalin itu termasuk jenis racun. Artinya, bisa kita sebut sebagai muskir wa mufattir (yang melemahkan tubuh). Unsur-unsur formalin itu seperti narkoba sehingga bisa juga dianalogikan sebagaimana narkoba,” tegas Syamsul Bahri, yang pernah jadi da`i PT. Freeport Indonesia, Irian Jaya selama kurang lebih dua tahun.
Meski haram digunakan sebagai bahan pengawet untuk makanan, formalin itu sendiri tidaklah haram. Dengan kata lain, formalin tidak lebih seperti cat, bensin atau zat kimia yang lain. Formalin itu menjadi haram, semata-mata karena penyalahgunaan bahan kimia tersebut yang tidak pada tempatnya yang bisa mengakibatkan kemudharatan. (n. mursidi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar