Allah membuat perumpamaan bagi orang yang ingkar; istri Nuh dan istri Luth, mereka adalah istri dua orang hamba di antara hamba-hamba Kami yang saleh. Tetapi mereka berkhianat (kepada suami-suaminya). Maka mereka tiada berdaya suatu apapun terhadap Allah. Kepada mereka dikatakan, "Masuklah kamu ke dalam neraka jahanam bersama orang yang masuk (ke dalamnya)” (QS. At-Tahrim [66]: 10).
Hari masih pagi. Wanita itu bangun, dan segera bergegas ke dapur. Di pagi yang sunyi itu, dia ingin membuat makanan. Ternyata tak cukup lama pekerjaan dapur itu menyita waktunya. Setelah itu, dia segera melangkah keluar. Dengan pelan, dia berjalan, takut kalau-kalau seisi rumah mendengar langkahnya. Tetapi, saat tangannya meraih daun pintu, anaknya yang masih muda tiba-tiba menegur, "Sepagi ini, ibu mau ke mana…?"
Sang ibu, yang tidak lain adalah istri Nabi Nuh, kaget. Dengan muka pucat, dia segera memberikan isyarat agar anaknya --yang bernama Kan`an-- untuk tidak bersuara keras. "Aku mau ke Makbad Besar (tempat peribadatan penyembahan berhala). Lupakah anakku, bahwa hari ini adalah hari raya tuhan-tuhan kita?"
Si anak tersenyum seraya berkata, "Ibu berbuat yang terbaik. Nanti saya menyusul. Ibu tahu khan… kalau ayah tidak senang melihat kita pergi ke sana?"
Istri Nabi Nuh lalu berangkat. Sesampai di sana, ia segera mempersembahkan makanan dan berdoa. Selesai berdoa, istri Nabi Nuh menengok dan mendapati putranya sudah ada di sana. Waktu berlalu dengan cepat, upacara penyembahan itu pun akhirnya usai. Istri Nabi Nuh kembali ke rumah. Dalam perjalanan pulang, ia diberitahu oleh anaknya, "Wahai ibu, tahukah apa yang sedang dilakukan ayah?"
"Apa yang dia perbuat, wahai anakku?"
"Ayah menyeru orang-orang di pasar dan sekelilingnya untuk bertakwa kepada Allah"
Istri Nuh memadang Kan`an, seraya berkata, "Kalau begitu ayahmu tak menghendaki kita menyembah tuhan-tuhan yang memberi rezeki dan memelihara kita."
Sepanjang perjalanan berikutnya, keduanya lebih banyak membisu. Dalam hati, sudah kuat keingkaran ibu dan anak itu untuk tak menganut ajaran yang dibawakan Nabi Nuh.
Malam tiba. Nabi Nuh pulang ke rumah dengan rasa letih, meletakkan tongkatnya di dinding dan kemudian duduk. Istrinya tiba-tiba mendekat seraya berkata, "Mengapa engkau terlambat pulang sampai selarut ini?"
"Aku harus menyampaikan risalah dari Allah."
"Risalah apakah itu?"
Nabi Nuh menjawab tegas, "Risalah agar manusia menyembah Allah dan meninggalkan berhala."
"Kamu telah bertahun-tahun hidup bersama kami," sahut istri Nabi Nuh, "Tapi kenapa kini berselsisih paham dengan apa yang disembah oleh kaummu?"
"Allah memilihku untuk menjalankan tugas ini. Karena itulah, sekarang kumpulkanlah anak-anak kita, aku akan menunjukkan tentang yang kubawa ini, sebagaimana aku menyeru kepada orang lain," perintah Nabi Nuh kepada istrinya.
Namun istri Nabi Nuh diam seribu bahasa. Sementara Kan`an datang, mengambil tempat duduk di sampingnya. Dia berkata kepada ayahnya, Nuh," Anak-anakmu sedang tidur. Tundalah hal itu sampai besuk pagi!"
"Kalau begitu, tidak ada salahnya aku menyampaikan hal ini kepada kalian berdua lebih dahulu."
"Mengapa ayah tergesa-gesa dengan hal ini?" ucap Kan`an.
"Tidurlah sampai besok pagi!" sahut istri Nabi Nuh.
"Tidak!" kata Nabi Nuh, "Aku harus melaksanakan tanggung jawabku terhadap Allah. Sebab kalian berdua adalah ahli baitku dan aku harus menjadi orang yang menyeru kalian berdua untuk pertama kali."
Kan`an memandang ibunya. Sang ibu pun juga memandang kepadanya seraya berkata kepada Nabi Nuh, "Kami tak akan meninggalkan agama nenek moyang kami."
Perdebatan antara Nabi Nuh dan keduanya akhirnya terjadi. Anak-anak Nuh yang lain akhirnya terbangun dikarenakan terusik. Mereka bangkit dan menghampiri ketiganya. Sang ibu dengan segera berkata, "Ayahmu menghendaki kita agar meninggalkan tuhan-tuhan yang kita sembah dan memerintahkan kita untuk menyembah Tuhan yang telah mengutusnya......"
"Siapakah Tuhanmu itu, wahai ayah?" tanya anak-anak itu kepada Nabi Nuh.
"Dia adalah Pencipta langit dan bumi. Dia pula yang memberi rezeki, mematikan semua manusia di hari perhitunan (kiamat)..." jawab Nabi Nuh.
"Lantas di manakah Dia itu berada ayah? Apakah Ia berada di Makbad besar bersama tuhan-tuhan yang biasa kami sembah?" tanya salah seorang di antaranya.
"Anak-anakku" kata Nabi Nuh, "Sesungguhnya Allah tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Dia adalah Pencipta ruang dan waktu itu sendiri. Dia tak dapat dilihat oleh mata kita."
"Bagaimana kita bisa mengetahui bahwa Dia itu ada?" tanya yang lain.
Nabi Nuh dengan tegas menjawabnya, "Dari tanda-tanda kekuasaan-Nya atas segala sesuatu; dari ciptaan-Nya; dari langit yang ditinggikan-Nya tanpa tiang; dari bumi yang dihamparkan-Nya, dan di dalamnya terdapat sungai-sungai dan lautan; dari hujan yang tercurah dari langit dan menumbuhkan tanaman yang menghidupi manusia dan hewan; dan dari kekuasaan-Nya menciptakan manusia dan hewan-hewan; dan dari kekuasaan-Nya menciptakan manusia dan mematikan mereka; yang semua itu ada di hadapan kita."
Setelah mendengar perkataan Nabi Nuh itu, anak-anaknya serentak berkata, "Allah telah melapangkan hati kami untuk menerima kebaikan yang ayah serukan..."
Betapa terperanjatnya istri Nabi Nuh tatkala mendengar pengakuan anak-anaknya. Ia segera bangkit dan menghampiri Kan`an. Lalu, berkata lantang kepada suaminya, "Telah rusak akal dari anak-anakmu dengan seruan itu. Tuhan kami akan mengutukmu…"
Alih-alih istri Nabi Nuh cuma ingkar akan apa yang dibawa oleh Nabi Nuh, melainkan juga mencoba menghalang-halangi dakwah suaminya. Setiap kali ada tetangga yang datang mau menjadi pengikut Nabi Nuh, dan meminta pendapatnya, justru dia menyarankan mereka untuk pulang seraya berkata, "Sekiranya seruan Nuh itu baik, niscaya aku dan Kan`an akan mengikutinya."
Bulan berlalu dan tahun pun bergulir. Istri Nabi Nuh bukan semakin condong kepada ajaran Nabi Nuh, melainkan semakin menunjukkan penentangannya. Sampai dia dengan sengit berkata, "Tidak ada yang mengikutimu, kecuali hanya beberapa gelintir orang miskin. Niscaya bukan karena kemiskinan yang mereka derita, sekiranya tak mungkin mereka mengikutimu. Bukankah ini menjadi bukti bahwa seruanmu itu bathil? Orang mengolok-olokmu, Nuh. Maka, sebaiknya kamu menghentikan seruanmu itu...!"
Tapi Nabi Nuh tak putus asa. Ia memikul semua penderitaan itu dan kejahatan orang-orang yang merintanginya. Bertahun-tahun Nabi Nuh berdakwah, memang tidaklah lebih dari seratus orang yang mengikutinya. Meski demikian, Nabi Nuh tetap sabar dan selalu berdoa, "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menyeru kaumku siang dan malam maka seruanku itu hanya membuat mereka lari (dari kebenaran). " (QS. Nuh [71]: 5-6).
Allah lalu memerintahkan kepada Nabi Nuh untuk membuat bahtera.
Suatu hari, istri Nabi Nuh melihat suaminya mendatangkan kayu-kayu dan menyuruh kepada pengikutnya untuk meletakkan kayu-kayu itu di tengah kota. Padahal, kota itu jauh dari laut dan sungai. Tak ayal, istri Nabi Nuh bertanya heran, "Apa yang akan engkau perbuat dengan kayu-kayu itu, wahai Nuh?"
"Aku akan membuat sebuah bahtera," jawab Nabi Nuh
Mendengar jawaban Nabi Nuh, istrinya mencibir, "Mengapa engkau membuat bahtera sedang di sini tidak ada lautan atau sungai yang dapat melayarkannya?"
Nabi Nuh menjawab, "Bahtera ini akan berlayar ketika datang perintah dari Allah."
"Bagaimanakah orang-orang yang berakal akan menyanggahnya bahwa hal ini bisa terjadi?"
"Nanti kamu akan melihat bahwa hal itu akan terjadi."
Seraya melangkah, istri Nuh berucap sinis, "Akankah bahtera ini nanti berlayar di atas pasir?"
"Bukan," jawab Nuh, "Sebab air bah akan menenggelamkan bumi dan orang-orang yang menentang kami. Sedang orang-orang yang mengikutiku akan selamat di atas bahtera..."
Kabar akan pembuatan bahtera itu cepat tersiar. Segera kaumnya datang ke tengah kota, mengolok-oloknya. Seorang berkomentar, "Apa ini wahai Nuh, nyata sekali bahwa kamu akan datang dengan membawa bahtera kepada kami di sini, sehingga kami bisa naik bahtera yang kamu buat di atas padang pasir yang tandus."
Yang lain dengan sengit mengolok-olok, "Nuh, apakah kamu akan menyuruh pengikutmu untuk datang kepadamu dengan membawa timba-timba yang penuh dengan air untuk kemudian dituangkan ke bawah bahtera ini sehingga engkau dapat membuat kolam yang di atasnya bahteramu akan berlayar?"
Suara tawa mereka segera menggema, dan disusul yang lain, "Hal itu tentu saja akan memakan waktu bertahun-tahun, tahukah kamu akan semua itu Nuh?"
"Dan air itu tentu akan di serap pasir sebelum bahteramu bisa berlayar...." ledek yang lain lagi.
Tawa mereka kembali membuncah. Nabi Nuh tidak membalas olokan mereka, kecuali hanya berucap, "Jika kamu mengejek kami, maka sesungguhnya kami (pun) akan mengejek kamu sebagaimana kamu sekalian mengejek (kami). Maka kelak kamu akan mengetahui siapa yang akan ditimpa oleh azab yang menghinakannya dan yang akan ditimpa oleh azab yang kelak (QS. Hud [11]: 38-39)
Bulan berganti, tahun pun berlalu. Nabi Nuh dan pengikutnya, akhirnya menyelesaikan pembuatan bahtera itu. Namun ejekan yang datang dari kaumnya tak henti-henti melayang kepadanya. Apalagi, istri Nuh selalu memberi tahu mereka akan penderitaan yang ditanggung Nabi Nuh. Akibatnya, mereka kian senang dan bertambah gembira.
Suatu hari, istri Nabi Nuh tiba-tiba terbangun oleh suatu yang menggelisahkan hati. Ia segera bangkit dan menjumpai Nabi Nuh yang sedang mengumpulkan setiap dari jenis hewan dan burung, masing-masing sepasang. "Apa yang kamu lakukan dan akan kamu bawa ke mana hewan-hewan dan burung-burung itu? Akankah pengikutmu akan memakan hewan dan burung-burung itu sementara kami tak akan memakan apa-apa?" tanya istrinya.
"Ini bukan untuk pengikutku. Tuhanku telah memerintahkan kepadaku untuk membawa hewan-hewan dan burung-burung itu di bahtera!" jawab Nabi Nuh.
Dengan panik, istri Nabi Nuh bertanya lagi, "Bagaimanakah Tuhanmu memerintahkan semua ini?"
"Kelak akan kubawa setiap pasang binatang dan semua pengikutku di dalam bahtera, tentunya dengan kebenaran yang diperintahkan oleh Allah kepadaku..."
Istri Nabi Nuh tidak juga diam, "Apakah yang akan kamu lakukan dengan bahtera itu? Apakah kalian akan meninggalkan rumah dan hidup bersama hewan-hewan dan burung-burung itu?"
"Kelak air bah akan datang, kemudian menenggelamkan segala sesuatu dan tidak akan ada yang selamat kecuali siapa yang naik dalam bahteraku untuk kemudian memulai kehidupan di dunia baru yang muncul dengan fajar keimanan."
Istri Nabi Nuh tiba-tiba merasa ketakutan. Ucapan Nabi Nuh bahkan membuatnya tak berkutik untuk membantah. Namun jiwanya telah tertutup, keras seperti batu. Dia tetap menekan perasaan takut itu, lalu pergi memberi tahu kepada kaumnya tentang rencana Nabi Nuh itu. Maka, bertambah keraslah ejekan mereka kepada Nabi Nuh.
Apa yang diperintahkan oleh Allah kepada nabinya adalah satu kebenaran yang harus dipercaya. Karena itu, janji Allah yang disampaikan kepada Nabi Nuh itu tidaklah bohong dan janji itu akhirnya benar terjadi. Air bah (banjir) datang. Maka terperanjatlah mereka. Pintu-pintu langit terbuka dan mencurahkan air hujan ke bumi sehingga membuat mereka semua pontang-panting. Kelabakan.
Sementara itu, bahtera Nabi Nuh berlayar di atas air, tanpa istri Nabi Nuh dan putranya, Kan`an. Sebab keduanya telah menolak ketika Nabi Nuh memerintahkan agar ikut bersama. Nabi Nuh memanggil anaknya, sedang dia berada di tempat terpencil, “Hai anakku, naiklah bersama kami dan janganlah bersama orang-orang yang kafir.”
Dengan sombong, dia malah berkata ketus, "Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat menyelamatkanku dari air bah.
“Tidak ada Pelindung hari ini dari ketetapan Allah selain siapa yang dirahmati.” (QS. Hud 43).
Firman Allah itu benar. Air bah itu ternyata terlalu besar, gunung pun tenggelam. Maka, tenggelamlah Kan`an dan istri Nuh digulung gelombang yang air bah dahsyat. Kisah tenggelamnya istri Nuh dan putranya, Kan`an itu dikisahkan Allah di dalam al-Qur`an. Ada pesan yang bisa dipetik dari kisah di atas itu, sekiranya sangat jelas; peringatan bagi seluruh kaum mukminin bahwa petunjuk Allah itu kadang-kadang terasa lebih jauh meskipun bagi orang yang paling dekat dengan pemberi petunjuk itu sendiri. Istri Nuh menjadi bukti nyata akan hal itu. Walau dia dekat dengan Nabi Nuh, bahkan termasuk istrinya, namun ternyata petunjuk Allah itu jauh darinya. Demikian juga dengan anak Nabi Nuh, Kan`an.
Dalam kaitan dengan istri Nabi Nuh itu, Allah berfirman dalam al-Qur`an, "Allah membuat perumpamaan bagi orang yang ingkar; istri Nuh dan istri Luth, mereka adalah istri dua orang hamba di antara hamba-hamba Kami yang saleh. Tetapi mereka berkhianat (kepada suami-suaminya). Maka mereka tiada berdaya suatu apapun terhadap Allah. Kepada mereka dikatakan, "Masuklah kamu ke dalam neraka jahanam bersama orang yang masuk (ke dalamnya)" (QS. At-Tahrim [66]: 10).
Semoga kita bisa memetik hikmah dari kisah di atas.
Sang ibu, yang tidak lain adalah istri Nabi Nuh, kaget. Dengan muka pucat, dia segera memberikan isyarat agar anaknya --yang bernama Kan`an-- untuk tidak bersuara keras. "Aku mau ke Makbad Besar (tempat peribadatan penyembahan berhala). Lupakah anakku, bahwa hari ini adalah hari raya tuhan-tuhan kita?"
Si anak tersenyum seraya berkata, "Ibu berbuat yang terbaik. Nanti saya menyusul. Ibu tahu khan… kalau ayah tidak senang melihat kita pergi ke sana?"
Istri Nabi Nuh lalu berangkat. Sesampai di sana, ia segera mempersembahkan makanan dan berdoa. Selesai berdoa, istri Nabi Nuh menengok dan mendapati putranya sudah ada di sana. Waktu berlalu dengan cepat, upacara penyembahan itu pun akhirnya usai. Istri Nabi Nuh kembali ke rumah. Dalam perjalanan pulang, ia diberitahu oleh anaknya, "Wahai ibu, tahukah apa yang sedang dilakukan ayah?"
"Apa yang dia perbuat, wahai anakku?"
"Ayah menyeru orang-orang di pasar dan sekelilingnya untuk bertakwa kepada Allah"
Istri Nuh memadang Kan`an, seraya berkata, "Kalau begitu ayahmu tak menghendaki kita menyembah tuhan-tuhan yang memberi rezeki dan memelihara kita."
Sepanjang perjalanan berikutnya, keduanya lebih banyak membisu. Dalam hati, sudah kuat keingkaran ibu dan anak itu untuk tak menganut ajaran yang dibawakan Nabi Nuh.
***
Malam tiba. Nabi Nuh pulang ke rumah dengan rasa letih, meletakkan tongkatnya di dinding dan kemudian duduk. Istrinya tiba-tiba mendekat seraya berkata, "Mengapa engkau terlambat pulang sampai selarut ini?"
"Aku harus menyampaikan risalah dari Allah."
"Risalah apakah itu?"
Nabi Nuh menjawab tegas, "Risalah agar manusia menyembah Allah dan meninggalkan berhala."
"Kamu telah bertahun-tahun hidup bersama kami," sahut istri Nabi Nuh, "Tapi kenapa kini berselsisih paham dengan apa yang disembah oleh kaummu?"
"Allah memilihku untuk menjalankan tugas ini. Karena itulah, sekarang kumpulkanlah anak-anak kita, aku akan menunjukkan tentang yang kubawa ini, sebagaimana aku menyeru kepada orang lain," perintah Nabi Nuh kepada istrinya.
Namun istri Nabi Nuh diam seribu bahasa. Sementara Kan`an datang, mengambil tempat duduk di sampingnya. Dia berkata kepada ayahnya, Nuh," Anak-anakmu sedang tidur. Tundalah hal itu sampai besuk pagi!"
"Kalau begitu, tidak ada salahnya aku menyampaikan hal ini kepada kalian berdua lebih dahulu."
"Mengapa ayah tergesa-gesa dengan hal ini?" ucap Kan`an.
"Tidurlah sampai besok pagi!" sahut istri Nabi Nuh.
"Tidak!" kata Nabi Nuh, "Aku harus melaksanakan tanggung jawabku terhadap Allah. Sebab kalian berdua adalah ahli baitku dan aku harus menjadi orang yang menyeru kalian berdua untuk pertama kali."
Kan`an memandang ibunya. Sang ibu pun juga memandang kepadanya seraya berkata kepada Nabi Nuh, "Kami tak akan meninggalkan agama nenek moyang kami."
Perdebatan antara Nabi Nuh dan keduanya akhirnya terjadi. Anak-anak Nuh yang lain akhirnya terbangun dikarenakan terusik. Mereka bangkit dan menghampiri ketiganya. Sang ibu dengan segera berkata, "Ayahmu menghendaki kita agar meninggalkan tuhan-tuhan yang kita sembah dan memerintahkan kita untuk menyembah Tuhan yang telah mengutusnya......"
"Siapakah Tuhanmu itu, wahai ayah?" tanya anak-anak itu kepada Nabi Nuh.
"Dia adalah Pencipta langit dan bumi. Dia pula yang memberi rezeki, mematikan semua manusia di hari perhitunan (kiamat)..." jawab Nabi Nuh.
"Lantas di manakah Dia itu berada ayah? Apakah Ia berada di Makbad besar bersama tuhan-tuhan yang biasa kami sembah?" tanya salah seorang di antaranya.
"Anak-anakku" kata Nabi Nuh, "Sesungguhnya Allah tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Dia adalah Pencipta ruang dan waktu itu sendiri. Dia tak dapat dilihat oleh mata kita."
"Bagaimana kita bisa mengetahui bahwa Dia itu ada?" tanya yang lain.
Nabi Nuh dengan tegas menjawabnya, "Dari tanda-tanda kekuasaan-Nya atas segala sesuatu; dari ciptaan-Nya; dari langit yang ditinggikan-Nya tanpa tiang; dari bumi yang dihamparkan-Nya, dan di dalamnya terdapat sungai-sungai dan lautan; dari hujan yang tercurah dari langit dan menumbuhkan tanaman yang menghidupi manusia dan hewan; dan dari kekuasaan-Nya menciptakan manusia dan hewan-hewan; dan dari kekuasaan-Nya menciptakan manusia dan mematikan mereka; yang semua itu ada di hadapan kita."
Setelah mendengar perkataan Nabi Nuh itu, anak-anaknya serentak berkata, "Allah telah melapangkan hati kami untuk menerima kebaikan yang ayah serukan..."
Betapa terperanjatnya istri Nabi Nuh tatkala mendengar pengakuan anak-anaknya. Ia segera bangkit dan menghampiri Kan`an. Lalu, berkata lantang kepada suaminya, "Telah rusak akal dari anak-anakmu dengan seruan itu. Tuhan kami akan mengutukmu…"
***
Alih-alih istri Nabi Nuh cuma ingkar akan apa yang dibawa oleh Nabi Nuh, melainkan juga mencoba menghalang-halangi dakwah suaminya. Setiap kali ada tetangga yang datang mau menjadi pengikut Nabi Nuh, dan meminta pendapatnya, justru dia menyarankan mereka untuk pulang seraya berkata, "Sekiranya seruan Nuh itu baik, niscaya aku dan Kan`an akan mengikutinya."
Bulan berlalu dan tahun pun bergulir. Istri Nabi Nuh bukan semakin condong kepada ajaran Nabi Nuh, melainkan semakin menunjukkan penentangannya. Sampai dia dengan sengit berkata, "Tidak ada yang mengikutimu, kecuali hanya beberapa gelintir orang miskin. Niscaya bukan karena kemiskinan yang mereka derita, sekiranya tak mungkin mereka mengikutimu. Bukankah ini menjadi bukti bahwa seruanmu itu bathil? Orang mengolok-olokmu, Nuh. Maka, sebaiknya kamu menghentikan seruanmu itu...!"
Tapi Nabi Nuh tak putus asa. Ia memikul semua penderitaan itu dan kejahatan orang-orang yang merintanginya. Bertahun-tahun Nabi Nuh berdakwah, memang tidaklah lebih dari seratus orang yang mengikutinya. Meski demikian, Nabi Nuh tetap sabar dan selalu berdoa, "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menyeru kaumku siang dan malam maka seruanku itu hanya membuat mereka lari (dari kebenaran). " (QS. Nuh [71]: 5-6).
Allah lalu memerintahkan kepada Nabi Nuh untuk membuat bahtera.
***
Suatu hari, istri Nabi Nuh melihat suaminya mendatangkan kayu-kayu dan menyuruh kepada pengikutnya untuk meletakkan kayu-kayu itu di tengah kota. Padahal, kota itu jauh dari laut dan sungai. Tak ayal, istri Nabi Nuh bertanya heran, "Apa yang akan engkau perbuat dengan kayu-kayu itu, wahai Nuh?"
"Aku akan membuat sebuah bahtera," jawab Nabi Nuh
Mendengar jawaban Nabi Nuh, istrinya mencibir, "Mengapa engkau membuat bahtera sedang di sini tidak ada lautan atau sungai yang dapat melayarkannya?"
Nabi Nuh menjawab, "Bahtera ini akan berlayar ketika datang perintah dari Allah."
"Bagaimanakah orang-orang yang berakal akan menyanggahnya bahwa hal ini bisa terjadi?"
"Nanti kamu akan melihat bahwa hal itu akan terjadi."
Seraya melangkah, istri Nuh berucap sinis, "Akankah bahtera ini nanti berlayar di atas pasir?"
"Bukan," jawab Nuh, "Sebab air bah akan menenggelamkan bumi dan orang-orang yang menentang kami. Sedang orang-orang yang mengikutiku akan selamat di atas bahtera..."
***
Kabar akan pembuatan bahtera itu cepat tersiar. Segera kaumnya datang ke tengah kota, mengolok-oloknya. Seorang berkomentar, "Apa ini wahai Nuh, nyata sekali bahwa kamu akan datang dengan membawa bahtera kepada kami di sini, sehingga kami bisa naik bahtera yang kamu buat di atas padang pasir yang tandus."
Yang lain dengan sengit mengolok-olok, "Nuh, apakah kamu akan menyuruh pengikutmu untuk datang kepadamu dengan membawa timba-timba yang penuh dengan air untuk kemudian dituangkan ke bawah bahtera ini sehingga engkau dapat membuat kolam yang di atasnya bahteramu akan berlayar?"
Suara tawa mereka segera menggema, dan disusul yang lain, "Hal itu tentu saja akan memakan waktu bertahun-tahun, tahukah kamu akan semua itu Nuh?"
"Dan air itu tentu akan di serap pasir sebelum bahteramu bisa berlayar...." ledek yang lain lagi.
Tawa mereka kembali membuncah. Nabi Nuh tidak membalas olokan mereka, kecuali hanya berucap, "Jika kamu mengejek kami, maka sesungguhnya kami (pun) akan mengejek kamu sebagaimana kamu sekalian mengejek (kami). Maka kelak kamu akan mengetahui siapa yang akan ditimpa oleh azab yang menghinakannya dan yang akan ditimpa oleh azab yang kelak (QS. Hud [11]: 38-39)
Bulan berganti, tahun pun berlalu. Nabi Nuh dan pengikutnya, akhirnya menyelesaikan pembuatan bahtera itu. Namun ejekan yang datang dari kaumnya tak henti-henti melayang kepadanya. Apalagi, istri Nuh selalu memberi tahu mereka akan penderitaan yang ditanggung Nabi Nuh. Akibatnya, mereka kian senang dan bertambah gembira.
***
Suatu hari, istri Nabi Nuh tiba-tiba terbangun oleh suatu yang menggelisahkan hati. Ia segera bangkit dan menjumpai Nabi Nuh yang sedang mengumpulkan setiap dari jenis hewan dan burung, masing-masing sepasang. "Apa yang kamu lakukan dan akan kamu bawa ke mana hewan-hewan dan burung-burung itu? Akankah pengikutmu akan memakan hewan dan burung-burung itu sementara kami tak akan memakan apa-apa?" tanya istrinya.
"Ini bukan untuk pengikutku. Tuhanku telah memerintahkan kepadaku untuk membawa hewan-hewan dan burung-burung itu di bahtera!" jawab Nabi Nuh.
Dengan panik, istri Nabi Nuh bertanya lagi, "Bagaimanakah Tuhanmu memerintahkan semua ini?"
"Kelak akan kubawa setiap pasang binatang dan semua pengikutku di dalam bahtera, tentunya dengan kebenaran yang diperintahkan oleh Allah kepadaku..."
Istri Nabi Nuh tidak juga diam, "Apakah yang akan kamu lakukan dengan bahtera itu? Apakah kalian akan meninggalkan rumah dan hidup bersama hewan-hewan dan burung-burung itu?"
"Kelak air bah akan datang, kemudian menenggelamkan segala sesuatu dan tidak akan ada yang selamat kecuali siapa yang naik dalam bahteraku untuk kemudian memulai kehidupan di dunia baru yang muncul dengan fajar keimanan."
Istri Nabi Nuh tiba-tiba merasa ketakutan. Ucapan Nabi Nuh bahkan membuatnya tak berkutik untuk membantah. Namun jiwanya telah tertutup, keras seperti batu. Dia tetap menekan perasaan takut itu, lalu pergi memberi tahu kepada kaumnya tentang rencana Nabi Nuh itu. Maka, bertambah keraslah ejekan mereka kepada Nabi Nuh.
***
Apa yang diperintahkan oleh Allah kepada nabinya adalah satu kebenaran yang harus dipercaya. Karena itu, janji Allah yang disampaikan kepada Nabi Nuh itu tidaklah bohong dan janji itu akhirnya benar terjadi. Air bah (banjir) datang. Maka terperanjatlah mereka. Pintu-pintu langit terbuka dan mencurahkan air hujan ke bumi sehingga membuat mereka semua pontang-panting. Kelabakan.
Sementara itu, bahtera Nabi Nuh berlayar di atas air, tanpa istri Nabi Nuh dan putranya, Kan`an. Sebab keduanya telah menolak ketika Nabi Nuh memerintahkan agar ikut bersama. Nabi Nuh memanggil anaknya, sedang dia berada di tempat terpencil, “Hai anakku, naiklah bersama kami dan janganlah bersama orang-orang yang kafir.”
Dengan sombong, dia malah berkata ketus, "Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat menyelamatkanku dari air bah.
“Tidak ada Pelindung hari ini dari ketetapan Allah selain siapa yang dirahmati.” (QS. Hud 43).
Firman Allah itu benar. Air bah itu ternyata terlalu besar, gunung pun tenggelam. Maka, tenggelamlah Kan`an dan istri Nuh digulung gelombang yang air bah dahsyat. Kisah tenggelamnya istri Nuh dan putranya, Kan`an itu dikisahkan Allah di dalam al-Qur`an. Ada pesan yang bisa dipetik dari kisah di atas itu, sekiranya sangat jelas; peringatan bagi seluruh kaum mukminin bahwa petunjuk Allah itu kadang-kadang terasa lebih jauh meskipun bagi orang yang paling dekat dengan pemberi petunjuk itu sendiri. Istri Nuh menjadi bukti nyata akan hal itu. Walau dia dekat dengan Nabi Nuh, bahkan termasuk istrinya, namun ternyata petunjuk Allah itu jauh darinya. Demikian juga dengan anak Nabi Nuh, Kan`an.
Dalam kaitan dengan istri Nabi Nuh itu, Allah berfirman dalam al-Qur`an, "Allah membuat perumpamaan bagi orang yang ingkar; istri Nuh dan istri Luth, mereka adalah istri dua orang hamba di antara hamba-hamba Kami yang saleh. Tetapi mereka berkhianat (kepada suami-suaminya). Maka mereka tiada berdaya suatu apapun terhadap Allah. Kepada mereka dikatakan, "Masuklah kamu ke dalam neraka jahanam bersama orang yang masuk (ke dalamnya)" (QS. At-Tahrim [66]: 10).
Semoga kita bisa memetik hikmah dari kisah di atas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar