Siang itu, Baginda Raja keluar dari hujan, berjalan dengan tergopoh-gopoh ke istana. Keringat bercuruan dan wajahnya kemerahan diterpa terik mentari. Di benak Baginda Raja, hanya ada satu keinginan yang ingin dilaksanakan. Beliau ingin menghukum Abu Nawas. Karena itu, tanpa banyak kata beliau langsung memerintahkan kepada para prajurutnya untuk segera menangkap Abu Nawas.
Tapi Abu Nawas amat cerdik. Ia sudah tahu kalau Baginda akan menangkapnya. Maka, dia menghilang sewaktu para prajurit mencari-carinya. Setelah prajurit undur diri dari rumah Abu Nawas, dengan cepat dia segera menelusup masuk ke dalam rumah dan menemui istrinya.
"Wahai, suamimu! Apa yang telah kau lakukan sehingga para prajurut mencarimu?"
"Istriku, ada suatu peristiwa besar yang terjadi. Aku baru saja menjual Sultan Harun Al-Rasyid menjadi budak."
“Hah?!? Kenapa kau lakukan?"
"Agar beliau tahu bahwa di negerinya ada praktek jual beli budak. Juga, agar Baginda tahu bahwa menjadi budak itu menderita. Hanya itu saja, istriku, tak ada maksud lain!"
"Suamiku, maksudmu memang baik. Tetapi, kamu pasti tahu kalau baginda akan marah dan murka, bukan? Karena itu, para prajurit diperintahkan untuk menangkapmu."
"Tapi semua sudah terjadi. Kini, apa menurutmu yang akan dilakukan Baginda?"
"Sudah tentu, Baginda akan menghukummu dengan hukuman yang berat."
"Wah, gawat kalau begitu! Aku harus mengerahkan ilmu pamungkasku."
Istri Abu Nawas pun termangu, bingung. Abu Nawas segera masuk ke kamar. Sesaat kemudian ia keluar dan segera mengambil air wudhu, lalu mendirikan shalat dua raka`at. Usai salam, ia lantas berpesan kepada istrinya.
Sekitar satu jam kemudian, tiba-tiba istri Abu Nawas menjerit histeris, mengundang penduduk kota berdatangan. "Apa gerangan yang membuat kamu berteriak?" tanya beberapa tetangga Abu Nawas, ketika mereka berdatangan ke rumah Abu Nawas.
"Anu... Anu...., suamiku telah meninggal!"
"Hah! Abu Nawas meninggal dunia?"
Dalam waktu yang singkat, kabar meninggalnya Abu Nawas pun tersebar luas. Baginda terkejut dan tidak mengira Abu Nawas akan meninggal secepat itu. Apalagi beliau sebelumnya sempat dibuat murka. Kendati demikian, kabar kematian itu pun membuat kemarahan Baginda susut mengingat Abu Nawas adalah orang yang pintar, menyenangkan sertas kerap menghibur hati Baginda. Karena itu, dengan ditemani oleh seorang tabib (dokter) istana, Baginda segera pergi ke rumah Abu Nawas. Sesampai di sana, tabib istana segera memeriksa detak jantung Abu Nawas, dan kemudian memberikan laporan kepada Baginda bahwa Abu Nawas memang telah meninggal beberapa waktu yang lalu.
Baginda terharu dan meneteskan air mata. Dengan sedih, beliau lalu bertanya kepada istri Abu Nawas. "Adakah pesan terakhir yang disampaikan mendiang suamimu untukku?"
"Ada paduka," jawab istri Abu Nawas dengan masih terisak-isak.
"Apa pesan itu? Tolong, cepat sampaikan!" pinta Baginda.
"Suami hamba… memohon kepada Baginda untuk sudi memberi ampun di depan rakyat atas semua kesalahan yang telah dilakukan suami hamba," kata istri Abu Nawas terbata-bata.
"Baiklah jika itu permintaan dari mendiang suamimu," kata Baginda, menyanggupi.
Jenazah Abu Nawas pun segera diusung ke tanah lapang dan Baginda mengumpulkan rakyatnya. "Wahai rakyatku, dengarkanlah perkataanku bahwa hari ini, aku, Sultan Harun Al-Rasyid telah memaafkan segala kesalahan yang telah diperbuat oleh Abu Nawas terhadapku dan kalian semua yang telah hadir di sini tentunya menjadi saksinya," ucap Baginda tegas.
Tapi di luar dugaan Baginda, di dalam keranda yang terbungkus dengan kain hijau itu tiba-tiba terdengar suara yang bergema keras dan membahana, "Syukuuuur....!"
Kontan, para pengusung jenazah sama ketakutan, apalagi melihat Abu Nawas tiba-tiba bangkit. Rakyat lari tunggang langgang, bertubrukan dan berjatuhan. Sementara Abu Nawas berjalan terlonjak-lonjak mendekati Baginda. Pakaiannya yang putih segera membuat Baginda gemetaran. "Kau..., kau… ini sebenarnya mayat hidup atau telah hidup kembali?"
"Hamba masih hidup, tuanku. Hamba hanya ingin mengucapkan rasa terima kasih yang tak terkira atas pengampunan yang telah tuanku berikan kepada hamba."
"Jadi… kau ini masih hidup?"
"Ya, baginda. Saya masih hidup, bahkan hamba merasa lapar dan ingin pulang."
"Kurang ajar, kau! Ilmu apa yang kau pakai?"
"Ilmu dari mahaguru sufi hamba yang sudah meninggal, Baginda!"
"Kalau begitu, ajarkan ilmu itu kepadaku!"
"Itu tak mungkin tuanku. Karena hanya guru hamba-lah yang bisa. Hamba tidak dapat mengajarkan ilmu itu kepada siapa pun, termasuk kepada Baginda."
"Dasar pelit!" gerutu Baginda, kecewa. (n. mursidi/disadur dari Abu Nawas, Cuplikan Kisah 1001 Malam, Abu Khalid Ma, Penerbit Amelia Surabaya, 2003)
"Wahai, suamimu! Apa yang telah kau lakukan sehingga para prajurut mencarimu?"
"Istriku, ada suatu peristiwa besar yang terjadi. Aku baru saja menjual Sultan Harun Al-Rasyid menjadi budak."
“Hah?!? Kenapa kau lakukan?"
"Agar beliau tahu bahwa di negerinya ada praktek jual beli budak. Juga, agar Baginda tahu bahwa menjadi budak itu menderita. Hanya itu saja, istriku, tak ada maksud lain!"
"Suamiku, maksudmu memang baik. Tetapi, kamu pasti tahu kalau baginda akan marah dan murka, bukan? Karena itu, para prajurit diperintahkan untuk menangkapmu."
"Tapi semua sudah terjadi. Kini, apa menurutmu yang akan dilakukan Baginda?"
"Sudah tentu, Baginda akan menghukummu dengan hukuman yang berat."
"Wah, gawat kalau begitu! Aku harus mengerahkan ilmu pamungkasku."
Istri Abu Nawas pun termangu, bingung. Abu Nawas segera masuk ke kamar. Sesaat kemudian ia keluar dan segera mengambil air wudhu, lalu mendirikan shalat dua raka`at. Usai salam, ia lantas berpesan kepada istrinya.
Sekitar satu jam kemudian, tiba-tiba istri Abu Nawas menjerit histeris, mengundang penduduk kota berdatangan. "Apa gerangan yang membuat kamu berteriak?" tanya beberapa tetangga Abu Nawas, ketika mereka berdatangan ke rumah Abu Nawas.
"Anu... Anu...., suamiku telah meninggal!"
"Hah! Abu Nawas meninggal dunia?"
Dalam waktu yang singkat, kabar meninggalnya Abu Nawas pun tersebar luas. Baginda terkejut dan tidak mengira Abu Nawas akan meninggal secepat itu. Apalagi beliau sebelumnya sempat dibuat murka. Kendati demikian, kabar kematian itu pun membuat kemarahan Baginda susut mengingat Abu Nawas adalah orang yang pintar, menyenangkan sertas kerap menghibur hati Baginda. Karena itu, dengan ditemani oleh seorang tabib (dokter) istana, Baginda segera pergi ke rumah Abu Nawas. Sesampai di sana, tabib istana segera memeriksa detak jantung Abu Nawas, dan kemudian memberikan laporan kepada Baginda bahwa Abu Nawas memang telah meninggal beberapa waktu yang lalu.
Baginda terharu dan meneteskan air mata. Dengan sedih, beliau lalu bertanya kepada istri Abu Nawas. "Adakah pesan terakhir yang disampaikan mendiang suamimu untukku?"
"Ada paduka," jawab istri Abu Nawas dengan masih terisak-isak.
"Apa pesan itu? Tolong, cepat sampaikan!" pinta Baginda.
"Suami hamba… memohon kepada Baginda untuk sudi memberi ampun di depan rakyat atas semua kesalahan yang telah dilakukan suami hamba," kata istri Abu Nawas terbata-bata.
"Baiklah jika itu permintaan dari mendiang suamimu," kata Baginda, menyanggupi.
Jenazah Abu Nawas pun segera diusung ke tanah lapang dan Baginda mengumpulkan rakyatnya. "Wahai rakyatku, dengarkanlah perkataanku bahwa hari ini, aku, Sultan Harun Al-Rasyid telah memaafkan segala kesalahan yang telah diperbuat oleh Abu Nawas terhadapku dan kalian semua yang telah hadir di sini tentunya menjadi saksinya," ucap Baginda tegas.
Tapi di luar dugaan Baginda, di dalam keranda yang terbungkus dengan kain hijau itu tiba-tiba terdengar suara yang bergema keras dan membahana, "Syukuuuur....!"
Kontan, para pengusung jenazah sama ketakutan, apalagi melihat Abu Nawas tiba-tiba bangkit. Rakyat lari tunggang langgang, bertubrukan dan berjatuhan. Sementara Abu Nawas berjalan terlonjak-lonjak mendekati Baginda. Pakaiannya yang putih segera membuat Baginda gemetaran. "Kau..., kau… ini sebenarnya mayat hidup atau telah hidup kembali?"
"Hamba masih hidup, tuanku. Hamba hanya ingin mengucapkan rasa terima kasih yang tak terkira atas pengampunan yang telah tuanku berikan kepada hamba."
"Jadi… kau ini masih hidup?"
"Ya, baginda. Saya masih hidup, bahkan hamba merasa lapar dan ingin pulang."
"Kurang ajar, kau! Ilmu apa yang kau pakai?"
"Ilmu dari mahaguru sufi hamba yang sudah meninggal, Baginda!"
"Kalau begitu, ajarkan ilmu itu kepadaku!"
"Itu tak mungkin tuanku. Karena hanya guru hamba-lah yang bisa. Hamba tidak dapat mengajarkan ilmu itu kepada siapa pun, termasuk kepada Baginda."
"Dasar pelit!" gerutu Baginda, kecewa. (n. mursidi/disadur dari Abu Nawas, Cuplikan Kisah 1001 Malam, Abu Khalid Ma, Penerbit Amelia Surabaya, 2003)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar