tulisan tentang syiar Islam ini dimuat di majalah hidayah 66 januari 2007
Dedikasi sebuah lembaga yang konsen membantu umat, memang satu pengabdian yang mulia. Terlebih, jika kiprah itu terkait keahlian khusus dan tak banyak orang yang bisa, semisal perawatan jenazah. Jelas, itu bukan sembarang kiprah. Apalagi di sebagian kota besar, seperti di Jakarta, perawatan jenazah itu sudah dijadikan sebagai suatu profesi. Karena itu, keberadaan lembaga sosial yang bergerak di bidang pelatihan dan perawatan jenazah itu jelas dibutuhkan umat.
Setidaknya kiprah itulah yang selama ini diemban Lembaga Husnul Khotimah --suatu lembaga sosial dan dakwah yang bergerak di bidang pelatihan dan perawatan jenazah. Lembaga yang dirintis Nurhayati ini memang tergolong langka. Juga, tidak banyak orang yang menekuni. Di Jakarta saja, misalnya, lembaga yang bergerak di bidang ini dapat dihitung jari. Padahal, menurut pengakuan Nurhayati, "Ini adalah satu kewajiban, karena orang yang hidup harus merawat orang yang meninggal. Anehnya, justru tak sedikit orang yang menjadikan ini sebagai profesi."
Karena itu, lembaga ini lahir untuk membantu umat. Dengan kata lain, semata-mata dakwah dan tak mencari keuntungan (non-profit). "Tidak jarang jika keluarga almarhum tak mampu, kami mengembalikan transport yang diberikan," tegas Nurhayati kepada Hidayah.
Padahal, nafas lembaga ini sendiri ditopang donatur. Bahkan kantor sekretariat yang dijadikan markas lembaga ini masih menempati rumah Nurhayati dan boleh dikata minim alat dan fasilitas. Tapi dedikasi lembaga ini tak diragukan. Sejak awal, lembaga ini sudah berniat dakwah menangani dan merawat jenazah untuk ibadah.
Berangkat dari Keprihatinan
Didirikannya Lembaga Husnul Khotimah ini tak dapat dimungkiri berangkat dari suatu keprihatian yang terjadi, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta. Setidaknya, ada tiga hal yang melatarbelakangi lembaga ini berdiri.
Pertama, sebagai panggilan dan kewajiban bagi orang-orang yang hidup agar mengurus jenazah. Apalagi, di Jakarta, hal ini sudah dijadikan sebagai profesi. Padahal, ini adalah suatu kewajiban bagi yang hidup terhadap orang yang mati mulai dari merawat, mengkafani bahkan sampai menshalati dan menguburkan.
Kedua, di Jakarta untuk perawatan jenazah itu membutuhkan biaya yang tidak bisa dibilang murah. Mungkin, tak jadi soal bagi yang mampu, tapi bagi mereka yang tidak mampu? Jelas ini akan menjadi soal besar. Padahal, keluarga almarhum sudah tertimpa beban. Dengan kata lain, mendapatkan musibah, ditinggal orang yang disayangi, sehingga tidaklah pantas jika keluarga almarhum yang tak mampu harus mengelurkan uang untuk biaya perawatan jenazah.
Ketiga, di beberapa tempat, tidak bisa ditepis bahwa perawatan jenazah masih jauh dari yang disunnahkan rasulullah. Artinya, masih banyak bid`ah seputar pengurusan jenazah.
Atas dasar itulah, lembaga ini lahir. Selain eksis memberikan pelatihan di beberapa kantor, majlis taklim dan sekolah-sekolah serta terjun langsung di lapangan merawat jenazah, lembaga ini juga memiliki program lain, menerbitkan buletin adz-dzikra, sebuah buletin yang terbit sebulan sekali dengan tema-tema kematian, yakni soal tazkiyatun nas (membersihkan diri) dan dzikrul maut (mengingat kematian). Juga, aktif mengadakan kajian-kajian keislaman, yang juga mengangkat tema tazkiyatun nas dan dzikrul maut. Kajian keislaman yang digelar lembaga ini dilaksanakan secara reguler seminggu sekali dan untuk kajian in house trainning setiap hari senin dan selasa pagi.
Berangkat dari tiga hal itu, lembaga ini tertantang untuk lebih mendalami bahkan memberikan pelayanan kepada masyarakat secara sosial, dalam arti non profit (tak mencari keuntungan). "Karena itu, kita tak pernah memasang tarif, berapa mereka harus membayar pada kita? Bahkan jika mereka belum ada kain kafan untuk jenazah, kami memiliki stok. Yang jelas, kami memiliki donatur. Dari donatur itu kami memiliki stok kain kafan yang biayanya bisa diurus belakangan. Juga, untuk membiayai transportasi dalam tugas perawatan jenazah kita tak pernah menarifkan. Kalau mereka memberikan transport itu pun kami lihat dulu, jika memang keluarga itu tak mampu, kita kembalikan lagi," tutur ibu satu anak ini mantap.
Dari Kiprah Nurhayati
Secara resmi lembaga ini berdiri pada 2000. Tapi, cikal bakalnya tak bisa dilepaskan dari kiprah Nurhayati, perempuan muda kelahiran Jakarta, 21 Januari 1971 yang sejak 1998 sudah aktif memberikan pelatihan dan perawatan jenazah. "Awalnya, tahun 1998 saya masih sendiri. Sampai akhirnya saya aktif di Lembaga Tugas Ibu (LTI) dan LTI lalu menyarankan pada saya bahwa apa yang selama ini saya jalani untuk memberikan pelatihan dan perawatan jenazah itu dimasukkan dalam program LTI, dalam divisi sosial dan dakwah. Dan dalam divisi sosial dan dakwah itu, salah satunya adalah pelatihan dan perawatan jenazah yang kemudian saya beri nama Lembaga Husnul Khotimah," ujarnya kepada Hidayah.
Pemberian nama lembaga dengan nama Husnul Khotimah bukan sekedar asal comot. Setidaknya, ada makna filosofi di balik nama itu. "Siapa pun pasti mendambakan sebuah akhir kehidupan yang baik. Dan kami berharap dengan memberikan nama lembaga kami ini dengan nama "Husnul Khotimah" mudah-mudah bisa menata hidup dan berharap di akhir kehidupan nanti menemui kematian yang husnul khotimah. Sebuah kematian yang benar-benar diridhoi oleh Allah. Jadi filosofinya seperti itu. Ini menjadi cita-cita terbesar kami semua, bagaimana nanti di akhir kehidupan bisa menutup mata dalam keadaan husnul khotimah, ya happy ending ibarat dalam sebuah film," papar Nurhayati lebih lanjut.
Kendati keberadaan lembaga ini berada di bawah payung LTI, tetapi kedudukannya tetap memiliki wewenang penuh untuk mengatur rumah tangga sendiri. Tak berlebihan, kalau rencana ke depan pun, lembaga ini akan memisahkan diri dari LTI agar lebih fokus mengurusi pelatihan dan perawatan jenazah. "Tapi, itu masih menunggu hasil musyawarah. Entah nanti disetujui atau tidak, itu masih belum ketahuan," ujarnya dengan tegas.
Kerap diragukan
Lembaga ini memang khusus merawat jenazah muslimah. Tidak salah, jika dari jajaran pengurus, mulai ketua sampai seluruh staf terdiri dari kalangan muslimah yang tangguh dan berani meski mereka masih tergolong muda-muda. Tetapi, keberadaan mereka yang tangguh dan muda itu justru kerap jadi hambatan karena kerap diragukan keluarga almarhum. "Tetapi setelah keluarga tahu cara kerja dan hasilnya, mereka akhirnya bisa menerima dengan baik," ceritanya mengenang pengalaman yang dialami saat merawat jenazah di beberapa tempat.
Selain kerap diragukan, hal lain yang kerap dijumpai dan menjadi hambatan tersendiri bagi staf lembaga ini adalah tradisi yang cukup kental dipegang masyarakat. “Karena dalam memandikan itu kami tidak memakai kembang, dan kita mencoba menghilangkan hal-hal yang berbau bid`ah itu, hal-hal yang tak dicontohkan rasulullah. Karena yang kami inginkan adalah cara memandikan yang sesuai dengan sunnah rasul. Tapi ternyata tidak semua masyarakat itu bisa menerima, termasuk juga perihal merias jenazah (mendandani seperti pengantin). Kami, mau tidak mau, kemudian memberikan penjelasan kepada mereka," tutur perempuan sarjana Psikologi ini mengenang kejadian-kejadian tersebut.
Mengandalkan Kerja Real
Hingga kini, lembaga ini sudah berkiprah selama enam tahun. Entah sudah berapa kali pelatihan yang digelar dan sudah berapa jenazah yang dirawat, tentu sudah tidak terhitung. “Pelatihan kami bersifat in house training memenuhi permintaan. Setidaknya, kami sudah mengadakan pelatihan di beberapa perkantoran, seperti di kantor Dirjen Pajak (Pusat), BPK, Pertamina, Indosat, Asuransi Takafful dan lain-lain,” kata Nurhayati.
Meskipun sudah enam tahun berkiprah, lembaga ini ternyata masih amat sederhana. Karena lebih mengandalkan pada semangat, ghirah, kerja dan berdakwah, maka lembaga ini pun tidak patah arang walau kurang sarana. Bahkan, untuk sarana seperti bak memandikan, boneka (manekin) yang bisa digerakkan untuk pelatihan, masih kerap meminjam atau kasarnya menjalin kerjasama dengan masjid atau lembaga-lembaga lain. Padahal, sarana dan alat itu cukup penting dan dibutuhkan.
Tetapi, kekurangan sarana itu tidaklah menjadi halangan bagi lembaga ini untuk tidak menjalankan program lembaga dengan baik. Nyaris semua program lembaga berjalan dengan baik, meski dengan prasarana seadanya. Karena bagi lembaga ini, yang penting adalah kerja dengan niat ibadah.
Tak berlebihan jika Nurhayati, ketua lembaga ini berharap di masa depan akan semakin banyak orang yang konsen di bidang ini. “Saya berharap nanti akan banyak orang yang meneruskan karena pahalanya sangat besar sekali. Seperti dalam sebuah hadits, barangsiapa yang memandikan jenazah lalu ia menutupi aib atau kekurangan mayit, maka dosa dan kesalahannya akan dihapuskan sampai 40 kali lipat bahkan seperti bayi yang baru dilahirkan,” ucap Nurhayati menutup wawancara dengan mengutip sebuah hadits. (n. mursidi)
Setidaknya kiprah itulah yang selama ini diemban Lembaga Husnul Khotimah --suatu lembaga sosial dan dakwah yang bergerak di bidang pelatihan dan perawatan jenazah. Lembaga yang dirintis Nurhayati ini memang tergolong langka. Juga, tidak banyak orang yang menekuni. Di Jakarta saja, misalnya, lembaga yang bergerak di bidang ini dapat dihitung jari. Padahal, menurut pengakuan Nurhayati, "Ini adalah satu kewajiban, karena orang yang hidup harus merawat orang yang meninggal. Anehnya, justru tak sedikit orang yang menjadikan ini sebagai profesi."
Karena itu, lembaga ini lahir untuk membantu umat. Dengan kata lain, semata-mata dakwah dan tak mencari keuntungan (non-profit). "Tidak jarang jika keluarga almarhum tak mampu, kami mengembalikan transport yang diberikan," tegas Nurhayati kepada Hidayah.
Padahal, nafas lembaga ini sendiri ditopang donatur. Bahkan kantor sekretariat yang dijadikan markas lembaga ini masih menempati rumah Nurhayati dan boleh dikata minim alat dan fasilitas. Tapi dedikasi lembaga ini tak diragukan. Sejak awal, lembaga ini sudah berniat dakwah menangani dan merawat jenazah untuk ibadah.
Berangkat dari Keprihatinan
Didirikannya Lembaga Husnul Khotimah ini tak dapat dimungkiri berangkat dari suatu keprihatian yang terjadi, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta. Setidaknya, ada tiga hal yang melatarbelakangi lembaga ini berdiri.
Pertama, sebagai panggilan dan kewajiban bagi orang-orang yang hidup agar mengurus jenazah. Apalagi, di Jakarta, hal ini sudah dijadikan sebagai profesi. Padahal, ini adalah suatu kewajiban bagi yang hidup terhadap orang yang mati mulai dari merawat, mengkafani bahkan sampai menshalati dan menguburkan.
Kedua, di Jakarta untuk perawatan jenazah itu membutuhkan biaya yang tidak bisa dibilang murah. Mungkin, tak jadi soal bagi yang mampu, tapi bagi mereka yang tidak mampu? Jelas ini akan menjadi soal besar. Padahal, keluarga almarhum sudah tertimpa beban. Dengan kata lain, mendapatkan musibah, ditinggal orang yang disayangi, sehingga tidaklah pantas jika keluarga almarhum yang tak mampu harus mengelurkan uang untuk biaya perawatan jenazah.
Ketiga, di beberapa tempat, tidak bisa ditepis bahwa perawatan jenazah masih jauh dari yang disunnahkan rasulullah. Artinya, masih banyak bid`ah seputar pengurusan jenazah.
Atas dasar itulah, lembaga ini lahir. Selain eksis memberikan pelatihan di beberapa kantor, majlis taklim dan sekolah-sekolah serta terjun langsung di lapangan merawat jenazah, lembaga ini juga memiliki program lain, menerbitkan buletin adz-dzikra, sebuah buletin yang terbit sebulan sekali dengan tema-tema kematian, yakni soal tazkiyatun nas (membersihkan diri) dan dzikrul maut (mengingat kematian). Juga, aktif mengadakan kajian-kajian keislaman, yang juga mengangkat tema tazkiyatun nas dan dzikrul maut. Kajian keislaman yang digelar lembaga ini dilaksanakan secara reguler seminggu sekali dan untuk kajian in house trainning setiap hari senin dan selasa pagi.
Berangkat dari tiga hal itu, lembaga ini tertantang untuk lebih mendalami bahkan memberikan pelayanan kepada masyarakat secara sosial, dalam arti non profit (tak mencari keuntungan). "Karena itu, kita tak pernah memasang tarif, berapa mereka harus membayar pada kita? Bahkan jika mereka belum ada kain kafan untuk jenazah, kami memiliki stok. Yang jelas, kami memiliki donatur. Dari donatur itu kami memiliki stok kain kafan yang biayanya bisa diurus belakangan. Juga, untuk membiayai transportasi dalam tugas perawatan jenazah kita tak pernah menarifkan. Kalau mereka memberikan transport itu pun kami lihat dulu, jika memang keluarga itu tak mampu, kita kembalikan lagi," tutur ibu satu anak ini mantap.
Dari Kiprah Nurhayati
Secara resmi lembaga ini berdiri pada 2000. Tapi, cikal bakalnya tak bisa dilepaskan dari kiprah Nurhayati, perempuan muda kelahiran Jakarta, 21 Januari 1971 yang sejak 1998 sudah aktif memberikan pelatihan dan perawatan jenazah. "Awalnya, tahun 1998 saya masih sendiri. Sampai akhirnya saya aktif di Lembaga Tugas Ibu (LTI) dan LTI lalu menyarankan pada saya bahwa apa yang selama ini saya jalani untuk memberikan pelatihan dan perawatan jenazah itu dimasukkan dalam program LTI, dalam divisi sosial dan dakwah. Dan dalam divisi sosial dan dakwah itu, salah satunya adalah pelatihan dan perawatan jenazah yang kemudian saya beri nama Lembaga Husnul Khotimah," ujarnya kepada Hidayah.
Pemberian nama lembaga dengan nama Husnul Khotimah bukan sekedar asal comot. Setidaknya, ada makna filosofi di balik nama itu. "Siapa pun pasti mendambakan sebuah akhir kehidupan yang baik. Dan kami berharap dengan memberikan nama lembaga kami ini dengan nama "Husnul Khotimah" mudah-mudah bisa menata hidup dan berharap di akhir kehidupan nanti menemui kematian yang husnul khotimah. Sebuah kematian yang benar-benar diridhoi oleh Allah. Jadi filosofinya seperti itu. Ini menjadi cita-cita terbesar kami semua, bagaimana nanti di akhir kehidupan bisa menutup mata dalam keadaan husnul khotimah, ya happy ending ibarat dalam sebuah film," papar Nurhayati lebih lanjut.
Kendati keberadaan lembaga ini berada di bawah payung LTI, tetapi kedudukannya tetap memiliki wewenang penuh untuk mengatur rumah tangga sendiri. Tak berlebihan, kalau rencana ke depan pun, lembaga ini akan memisahkan diri dari LTI agar lebih fokus mengurusi pelatihan dan perawatan jenazah. "Tapi, itu masih menunggu hasil musyawarah. Entah nanti disetujui atau tidak, itu masih belum ketahuan," ujarnya dengan tegas.
Kerap diragukan
Lembaga ini memang khusus merawat jenazah muslimah. Tidak salah, jika dari jajaran pengurus, mulai ketua sampai seluruh staf terdiri dari kalangan muslimah yang tangguh dan berani meski mereka masih tergolong muda-muda. Tetapi, keberadaan mereka yang tangguh dan muda itu justru kerap jadi hambatan karena kerap diragukan keluarga almarhum. "Tetapi setelah keluarga tahu cara kerja dan hasilnya, mereka akhirnya bisa menerima dengan baik," ceritanya mengenang pengalaman yang dialami saat merawat jenazah di beberapa tempat.
Selain kerap diragukan, hal lain yang kerap dijumpai dan menjadi hambatan tersendiri bagi staf lembaga ini adalah tradisi yang cukup kental dipegang masyarakat. “Karena dalam memandikan itu kami tidak memakai kembang, dan kita mencoba menghilangkan hal-hal yang berbau bid`ah itu, hal-hal yang tak dicontohkan rasulullah. Karena yang kami inginkan adalah cara memandikan yang sesuai dengan sunnah rasul. Tapi ternyata tidak semua masyarakat itu bisa menerima, termasuk juga perihal merias jenazah (mendandani seperti pengantin). Kami, mau tidak mau, kemudian memberikan penjelasan kepada mereka," tutur perempuan sarjana Psikologi ini mengenang kejadian-kejadian tersebut.
Mengandalkan Kerja Real
Hingga kini, lembaga ini sudah berkiprah selama enam tahun. Entah sudah berapa kali pelatihan yang digelar dan sudah berapa jenazah yang dirawat, tentu sudah tidak terhitung. “Pelatihan kami bersifat in house training memenuhi permintaan. Setidaknya, kami sudah mengadakan pelatihan di beberapa perkantoran, seperti di kantor Dirjen Pajak (Pusat), BPK, Pertamina, Indosat, Asuransi Takafful dan lain-lain,” kata Nurhayati.
Meskipun sudah enam tahun berkiprah, lembaga ini ternyata masih amat sederhana. Karena lebih mengandalkan pada semangat, ghirah, kerja dan berdakwah, maka lembaga ini pun tidak patah arang walau kurang sarana. Bahkan, untuk sarana seperti bak memandikan, boneka (manekin) yang bisa digerakkan untuk pelatihan, masih kerap meminjam atau kasarnya menjalin kerjasama dengan masjid atau lembaga-lembaga lain. Padahal, sarana dan alat itu cukup penting dan dibutuhkan.
Tetapi, kekurangan sarana itu tidaklah menjadi halangan bagi lembaga ini untuk tidak menjalankan program lembaga dengan baik. Nyaris semua program lembaga berjalan dengan baik, meski dengan prasarana seadanya. Karena bagi lembaga ini, yang penting adalah kerja dengan niat ibadah.
Tak berlebihan jika Nurhayati, ketua lembaga ini berharap di masa depan akan semakin banyak orang yang konsen di bidang ini. “Saya berharap nanti akan banyak orang yang meneruskan karena pahalanya sangat besar sekali. Seperti dalam sebuah hadits, barangsiapa yang memandikan jenazah lalu ia menutupi aib atau kekurangan mayit, maka dosa dan kesalahannya akan dihapuskan sampai 40 kali lipat bahkan seperti bayi yang baru dilahirkan,” ucap Nurhayati menutup wawancara dengan mengutip sebuah hadits. (n. mursidi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar