Kamis, 01 Februari 2007

wawancara dengan ibu Badriyah Fayumi tentang poligami --majalah hidayah edisi 67 februari 2007

Pro-kontra poligami mencuat lagi setelah seorang dai terkenal melakukan poligami. Bagaimana pendapat ibu tentang poligami?

Yang paling saya prihatinkan itu, sering orang mencari-cari pembenaran agama atas poligami. Padahal sesungguhnya agama tak begitu memandang. Jadi, intinya saya prihatin karena terjadi penyalahgunaan atarun agama. Pertama, terjadi penyempitan reproduksi makna, maksud dan tujuan dari poligami, semisal orang mengatakan bahwa poligami itu sunnah nabi. Ini sebenarnya pernyataan yang belum selesai karena kalau melihat sejarah dari kehidupan rasulullah, monogami itu 3 kali lebih banyak dilakukan nabi dalam jangka waktunya, karena monogami dilakukan nabi selama 27 tahun dan poligami selama 8 tahun.

Tapi dengan pernyataan poligami adalah sunnah rasul itu, seolah-olah kalau sudah menikah terus belum berpoligami seperti sunnah rasul-nya belum lengkap. Nah, ini khan pemahaman yang salah tentang sunnah rasul?

Kedua, ada lagi misalnya orang mengatakan poligami hukumnya boleh. Itu yang sering menjadi alat untuk membuat perempuan berada dalam posisi yang dikorbankan. Karena apa? Karena sebetulnya Islam itu tidak memandang sesuatu dari sudut boleh dan tidak boleh saja! Tetapi juga dari aspeks baik dan tidak baik.

Dalam al-Qur`an, baik dalam surat al-Baqarah maupun surat an-Nisaa`, setiap kali Allah berbicara tentang persoalan keluarga, tentang perceraian, rujuk kemudian juga tentang pemberian mut`ah pada pasangan yang dicerai, hubungan dalam keluarga (mu`asyarah), semua itu digunakan kata-kata al-ma`ruf . Arti al-Ma`ruf itu apa, al-ma`ruf itu khan suatu kebaikan, hal yang baik, yang dikenal dan jadi comment sense dari masyarakat setempat. Para mufassir kontemporer menjelaskan, ada perbedaan antara al-ma`ruf dengan al-khair. Kalau al-khair itu adalah kebaikan universal sedang al-ma`ruf itu kebaikan yang sifatnya lokal dan temporal.

Jadi unsur-unsur ma`ruf itulah yang harus dirumuskan bersama. Jadi tidak bisa melompat begitu saja dengan mengatakan bahwa itu kan boleh kemudian dilakukanlah dengan semena-mena dan menutup mata terhadap berbagai siatuasi sosial, berbagai realitas yang ada di sekeliling kemudian persoalan poligami jadi isu yang kembali mengemuka. Karena ada comment sense yang terluka, yang berarti ada prinsip-prinsi al-ma`ruf yang dilanggar terlepas ada orang yang mengatakan boleh atau tidak boleh. Karena agama tidak berhenti hanya pada persoalan boleh dan tidak boleh.

Ketiga, sering dikatakan kalau ingin masuk surga, poligami itu merupakan jalan untuk ke sana, terus kemudian berkembang anggapan perempuan yang tak bersedia dipoligami berarti imannya masih lemah. Padahal ini satu pengaitan yang tidak tepat. Orang bersedia dipologami atau tidak, itu tak bisa dikorelasikan dengan tingkat rendah atau tidaknya iman. Saya sering melihat di media-media, perempuan berkomentar, “Ya, kalau saya sih belum kuat iman saya!”

Jadi ini perlu diluruskan. Poligami itu tidak dengan sendirinya dapat dikatakan bahwa orang yang bersedia dipoligami itu imannya lebih tinggi, kemudian yang tidak bersedia dipoligami imannya lebih rendah. Tetapi, masing-masing orang dipersilahkan untuk mengukur dirinya masing-masing.

Apa dasarnya?

Pertama, rasul melarang keras Ali untuk memoligami Fatimah. Fatimah juga tak bersedia. Apa alasan Fatimah tidak bersedia dipoligami? “inni akhafu kufra fil iman (saya justru takut jadi kufur dalam keimanan). Yang dimaksud seperti apa? Jadi kalau sebelum dipoligami dia mungkin bersama Ali hidup tentram, tidak ada curiga dan lain sebagainya, dia khawatir setelah poligami itu kehidupannya menjadi serba curiga, tidak lagi tulus seperti dulu. Jadi, apakah kita berani untuk mengatakan bahwa putri rasulullah itu imannya lemah?

Jadi, persoalan poligami atau tidak poligami itu tidak memiliki korelasi dengan keimanan. Kalau kita lihat di dalam surat an-nisa` ayat 127-129 pun itu sebenarnya diserahkan kepada pasangan (perempuan), tanpa Allah SWT memberikan celaan sedikit pun kepada perempuan yang memilih untuk, misalnya, bercerai. Itu khan tercatat dalam surat an-Nisa` 129, sedang dalam ayat 128 dikatakan, “Dan kalian tidak akan mempu berbuat adil walaupun sangat berhasrat.” Ayat 129 berbunyi, “jika kedua pasang suami-istri itu berpisah, Allah yang akan meluaskan rezeki dari Kemahaluasan-Nya.”

Artinya, bercerai buat perempuan yang memang tidak menginginkan dirinya itu hidup dalam poligami bukan sesuatu yang kemudian dikutuk, “Oh…, kalau begitu imannya lemah! Gak ada! Bahkan sebaliknya, kalau sekarang ini misalnya ada orang mengeluarkan statement bahwa poligami itu seperti ibadah sunnah, dengan kata lain kalau shalat seperti shalat tahajud. Jadi, tidak semua orang bisa melakukannya! Ini juga pernyataan yang benar-benar tidak ada dasarnya!

Keempat, poligami itu dianggap seperti ibadah-ibadah nawafil. Orang berkata kalau sesuatu itu ibadah dengan atribut-atribut tertentu apakah shalat itu wajib, itu harus ada dasarnya. Tidak ada dasarnya sama sekali untuk mengatakan seperti itu kecuali di dalam al-Qur`an dan al-hadits, yang ada itu justru sebaliknya pelaku itu sendiri –baik dalam al-Qur`an maupun hadits— diberikan warning yang sangat ketat, seperti dalam surat an-Nisa` 3 misalnya dikatakan bahwa perkawinan monogami lebih dekat untuk tidak melampai batas. Itu artinya, kan tak ada pernyataan bahwa jangan sembarangan melakukan poligami! Jauh lebih aman dengan monogami.

Kemudian, di dalam surat an-Nisa` 128 itu juga memberikan warning terhadap pelaku poligami. Di dalam hadits juga dikatakan siapa yang memiliki istri lebih dari satu lalu dia tidak bisa berbuat adil, maka nanti di akherat akan hadir di hadapan Allah dalam keadaan tengkleng (berat sebelah). Dia tidak akan akan bisa tegak.

Ini artinya, bahwa poligami itu di dalam al-Qur`an maupun hadits sendiri bukan ramai-ramai untuk dianjurkan! Terus terjadi ada semacam peringatan! Hal lain, saya kira ini yang sering menimbulkan kesedihan di kalangan perempuan, tapi pernyataan bahwa poligami itu jalan menuju surga, kalau orang bersedia dipoligami itu perempuan ahli surga. Dalam hal ini, saya ingin menegaskan bahwa tak ada satu teks pun hadits maupun ayat al-Qur`an yang memberikan jaminan itu. Jadi, bukan persoalan poligaminya itu kemudian mengantarkan ke surga.

Saya kira, dalam pernyataan ini saya ingin berkomentar. Pertama, pernyataan ini tidak ada dasarnya. Tidak ada satu pun hadits yang bisa memberikan jaminan itu. Kemudian yang kedua, bahwa kalau pun pada akhirnya dipologami itu berpeluang masuk surga itu bukan poligaminya melainkan, karena kesabaran dia akan penderitaan yang diterimanya di dunia. Sehingga dari sudut keadilan dan kasih sayang, Allah SWT memberikan reward berupa surga.

Sebaliknya, poligami itu merupakan pintu yang bisa mendekatkan suami ke neraka. Ini yang justru tak pernah diomongkan orang. Karena apa? Ketidakadilan yang dilakukan, kebohongan dan ketidakjujuran yang biasa dilakukan suami. Kalau sebelum berpoligami itu jarang berbohong, sesudah berpoligami bohong melulu. Hal itu khan sering kali dilakukan. Jadi, tidak tepat kalau kemudian menyuruh orang untuk bersedia dipoligami agar bisa mendapatkan tiket surga. Itu sama saja dengan menyuruh, “eh, anak-anak… kamu menjadi orang miskin saja ya, karena nanti di surga itu sebagian terbesar penduduknya adalah orang-orang yang miskin.”

Kalau surga itu dihuni orang-orang fuqara` dan miskin memang ada hadits-nya. Bahkan haditsnya itu shahih. Sementara, untuk poligami itu malah tak ada hadits-nya. Yang shahih pun nyatanya di masyarakat tak akan ada seorang ibu semisal mengatakan kepada anaknya, “Nak, kamu tidak usah menjadi orang kaya, menjadi orang miskin saja biar menjadi ahli surga!”.

Jadi, menurut saya ini sebuah kebodohan luar biasa pada masyarakat dengan berlindung di balik jargon agama padahal sesungguhnya agama tidak boleh dipahami seperti itu. Agama itu justru memberikan kepada kita agar kita meraih kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat. Jadi, jangan sampai kemudian dengan berlindung di balik dalih agama, orang dipaksa untuk siap menerima poligami, padahal sesungguhnya motif di balik itu adalah ketidakmampuan mengendalikan syahwat. Dengan kata lain, motivasi seks.

Agama Islam itu mengajarkan kita mengendalikan diri, menjaga kehidupan yang sudah berjalan baik, untuk tidak menyakiti orang, terutama keluarga. Jadi, persoalan yang perlu diklarifikasi atau diluruskan itu adalah berkaitan dengan penyalahgunaan agama untuk dalih-dalih orang melakukan poligami.

Apa hikmah, makna atau pesan di balik poligami nabi?
Saya tak mengatakan bahwa poligami itu tidak sebagai sunnah nabi. Tetapi dari pernyataan orang-orang bahwa pologami itu adalah sunnah nabi itu adalah pernyataan yang tidak selesai. Memang rasul pernah melakukan poligami, tetapi jangan kemudian kita mengambil sisi kehidupan rasul hanya di poligami-nya saja dengan semisal berkata bahwa poligami itu kan sunnah nabi. Loh, monogami itu tiga kali lebih sunnah daripada poligami. Tapi orang tidak menyebutkan itu. Kenapa tidak memilih sunnah monogami nabi? Kenapa justru lebih cenderung ke poligami?

Dengan kata lain, poligami itu memang sunnah nabi, tetapi hanya dijalani 1/3 (bahkan ¼) dari kehidupan beliau. ¾-nya itu justru rasulullah menjalani hidup dengan monogami. Artinya, sunnah monogami itu sebenarnya lebih panjang dilakukan nabi.

Hikmah poligami rasul, jelas ada maqasidu al-syari`ah dari poligami itu sendiri. Sesuai surat an-Nisa` ayat 3, ayat poligami itu “turun” sebagai solusi persoalan sosial yang muncul bukan menambah masalah dari persoalan yang ada. Jadi, semangatnya persoalan seperti itu, ada anak-anak yatim yang biasa dikawini tanpa mahar sementara ada janda-janda berjuang yang mereka ini terancam untuk dijadikan budak.

Jadi, poligami saat itu menyelesaikan dua persaolan sekaligus. Pertama, anak-anak yatim terselamatkan dari orang-orang yang ingin menikahinya dengan melakukan kekerasan baik fisik maupun ekonomi lalu memakan hartanya. Selain itu juga menjadi solusi bagi perempuan dewasa yang suaminya meninggal, sehingga mereka ada yang melindungi. Jadi, maqasidu al-syar`iah dari ayat 3 an-Nisa` itu demikian! Inilah yang harus diambil.

Kalau melakukan poligami itu, harus betul-betul jadi solusi yang membahagiaan semua pihak, bukan jadi masalah yang membuat salah satu pihak menderita, termasuk anak-anak yang sering tak diperhitungkan.

Mengapa poligami kini mencuat lagi? Jawabnya, karena memang yang banyak dilakukan orang terlepas dari aspeks ma`ruf tadi, dan orang cuma mengambil bolehnya saja. Tak mempertimbangkan yang lain-lain, menghilangkan maqasidu al-syar`iah


Tidak ada komentar: