Siang itu, Abu Nawas pulang ke rumah. Tetapi, tatkala tiba di depan rumah, dia benar-benar terperanjak kaget. Dia menjumpai rumahnya berantakan dan nyaris tidak berdiri seperti bangunan rumah. Karena itu, dia hanya tertunduk lemas ketika istrinya menyambut dan bercerita, “Tadi pagi pasukan dari kerajaan membongkar paksa rumah kita. Pasukan kerajaan membawa titah Baginda Raja yang katanya semalam bermimpi bahwa di rumah kita terpedam emas dan permata yang tidak ternilai harganya. Karena itu, para pengawal kerajaan menggali tanah rumah kita.”
“Anehnya, ketika pasukan kerajaan itu menggali dan menggali terus…., tetapi tak menemukan apa pun yang dicari, tidak terucap kata maaf, dan juga rasa bersalah. Apalagi, mau mengganti rugi,” lanjut istri Abu Nawas dengan isak tangis.
Abu Nawas langsung terbakar amarah. Mukanya merah, badannya panas-dingin. Dia kemudian memutar otak. Dalam amarah itu, ia berpikir keras bagaimana agar bisa membalas tindakan brutal sang baginda. Tetapi, belum juga ditemukan cara yang jitu untuk membalas dendam. Abu Nawas hanya bisa berpangku tangan, dan makanan yang disuguhkan oleh istrinya pun tidak dia sentuh. Dia sungguh tidak berselera lagi untuk makan, karena ia hanya diliputi dendam.
Malam pun tiba, tetapi Abu Nawas belum beranjak dari kursi. Ia masih terpekur di kursi dengan muka penuh murka. Hingga esok hari tiba, dan Abu Nawas melihat ada sekumpulan lalat yang menghinggapi makanan yang sudah basi tersebut. Beberapa saat kemudian, ia tiba-tiba tertawa riang. Girang bukan kepalang.
“Wahai Istriku, tolong ambilkan sebuah kain penutup untuk makananku ini dan juga sebatang besi,” pinta Abu Nawas dengan senyum tersungging.
“Untuk apa, wahai suamiku?”
“Aku sudah punya ide untuk membalas ulah baginda,” ucap Abu Nawas pendek.
Setelah itu, Abu Nawas segera berdiri dan secepat kilat pergi ke istana. Setiba di istana, Abu Nawas langsung membungkuk dan memberi hormat buat baginda Raja. “Ampun, tuanku. Hamba menghadap untuk mengadukan perlakuan tamu-tamu hamba yang datang tidak diundang. Mereka itu memasuki rumah hamba tanpa ijin dari hamba dan berani pula memakan memakan hamba dengan sewenang-wenang.”
“Siapakah tamu-tamu itu, wahai Abu Nawas?”
“Lalat-lalat ini, tuanku raja,” kata Abu Nawas, seraya membuka kain penutup makanan yang dia bawa dari rumah itu dengan susah payah. “Kepada siapa lagi kalau bukan kepada baginda, hamba ini harus meminta keadilan?”
“Lalu, keadilan seperti apakah yang engkau inginkan?”
“Hamba hanya menginginkan ijin tertulis dari baginda agar dapat menghukum lalat-lalat ini, Tuanku!”
Baginda raja pun tak bisa mengelak. Dengan terpaksa, baginda menandatangani kertas yang memberi wewenang kepada Abu Nawas untuk menghukum lalat-lalat itu di mana pun lalat-lalat tersebut hinggap. Dan setelah ijin diberikan, Abu Nawas mulai mengusir lalat-lalat yang hinggap di piring makanan yang dia bawa dari rumah hingga lalat-lalat itu pun terbang dan hinggap di kaca, vas bunga serta tempat-tempat lain di dalam istana. Dengan tongkat besi yang dibawa dari rumah pula, Abu Nawas beraksi. Dia mengejar lalat-lalat, di mana pun hinggap dan dengan garang dan murka memukuli lalat-lalat itu dengan pukulan yang keras.
Seperti kesetanan, Abu Nawas pun memukul benda-benda yang dihinggapi lalat-lalat tersebut. Jadi, hampir semua benda yang ada di istana berantakan dan banyak yang hancur akibat ulah Abu Nawas yang mengamuk sejadi-jadinya. Para menteri dan baginda raja hanya terbengong-bengong saat melihat kejadian tersebut.
Tapi, mereka semua tidak bisa melarang Abu Nawas karena apa yang dilakukan oleh Abu Nawas telah mendapat ijin dari sang Baginda. Karena itu, baginda raja hanya bisa menyadari akan kekeliruan yang telah diperbuatnya atas “titah” yang dikeluarkan untuk menggali tanah rumah Abu Nawas. Apalagi baginda raja tidak memberikan ganti rugi dan meminta maaf setelah tak ditemukan emas dan permata di rumah Abu Nawas.
Akhirnya, baginda raja hanya bisa mengelus dada. Baginda kini sadar bahwa dia tidak dapat berbuat sesuka hati, apalagi sampai berbuat ceroboh terhadap Abu Nawas. Sebab Abu Nawas memiliki banyak akal yang bisa dia gunakan untuk membalas dendam tanpa sedikit pun bisa dikenai hukuman.
Setelah merasa puas, Abu Nawas lantas pulang. Dia pergi tanpa meminta maaf, tanpa terkena hukuman. Abu Nawas pulang begitu saja dengan meninggalkan senyum yang lucu, penuh kemenangan dan juga kepuasan. Dalam hati, sepanjang perjalanan pulang itu, Abu Nawas tersenyum sendiri. Dengan dada membusung, dia berjalan cepat karena ingin sampai di rumah. Dia ingin segera bertemu dengan istrinya dan bercerita atas kemenangan yang telah didapat di istana! (n. mursidi/disadur dari Abu Nawas, Cuplikan Kisah 1001 Malam, Abu Khalid Ma, Penerbit Amelia Surabaya, 2003)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar