Pelaksanaan haji tahun ini tercoreng masalah, bahkan masalah ini belum pernah terjadi tahun-tahun sebelumnya, sampai jamaah haji kita kelaparan segala. Bagaimana Anda melihat kasus ini terutama dari aspeks kemaslahatan umat?
Tragedi Arafah-Mina kemarin mengingatkan kita bahwa ada sesuatu yang sangat mendasar yang harus dibenahi. Itu potret kualitas umat Islam. Tak perlu kita mencari siapa yang salah.
Saya melihat, sebenarnya dalam pelaksanaan haji itu ada lima aspek. Pertama, menyangkut persoalan hubungan goverment to goverment antara Indonesia dengan Saudi. Kedua, menyangkut pengembangan sistem dan regulasi. Ketiga, pembinaan (persiapan) jamaah. Kempat, masalah travel semisal penerbangan, akomodasi, pondok dan makan. Di situ terkait penjagaan kesehatan dan pendampingan (guide). Kelima, monitoring dan evaluasi.
Lima aspek itu menjadi satu kesatuan. Tetapi selama ini perhatian kita semua, apalagi pemerintah hanya tertuju pada aspeks keempat (travel). Jadi, hanya terfokus pada transportasi. Ini yang membuat empat aspeks mendasar lain jadi terbengkalai. Dan sepanjang fokus perhatian kita hanya pada travel, maka permasalahan akan terus seperti ini!
Dalam menanggapi kasus kelaparan itu, sebagian jama`ah haji berpendapat bahwa ini kesalahan pemerintah tapi ada pula yang berpendapat bijak bahwa ini adalah ujian dari Allah. Bagaimana Anda menanggapi hal ini?
Semua betul. Ini kesalahan, juga ujian. Kalau orang punya kualitas yang bagus, ujiannya berat. Dengan kata lain, semakin tinggi kualitas orang, akan akan tinggi ujian yang harus diterima, bukan sekadar soal makanan. Jadi, ini adalah satu potret bahwa secara umum "kualitas" kita masih sangat rendah dan kejadian kemarin mendorong kita harus me-review atau mengevaluasi secara keseluruhan akan pelaksanaan haji kita.
Tapi bagi mereka yang menyalahkan pemerintah, bagaimana menurut Anda? Juga, soal tuntutan mundur terhadap menteri Agama?
Pada tingkat tertentu, tudingan pada pemerintah itu betul, sebab pemerintah-lah yang harus bertanggung jawab atas kejadian ini. Tetapi sekali lagi, kalau sekadar mundur sekarang sebagai satu pertanggungjawaban moral, itu sangat bagus. Ini bisa menjadi presedent baik ke depan, agar semua bisa lebih hati-hati. Hanya saja, kalau berpikir soal itu dan tidak melakukan perombakan sistem dalam pelaksanaan haji maka akan tetap terjadi persoalan-persoalan berikut yang akan terulang lagi, mungkin tidak hanya katering. Mungkin ada lagi.
Seperti yang terjadi selama ini. Setiap tahun, selalu ada masalah dan masalah itu sebenarnya tak sepenuhnya kesalahan kita, bisa jadi masalah itu ada di lingkungan Saudi. Dalam kasus katering, salah satu persoalannya juga di lingkungan Saudi. Jadi, sangat tidak tepat jika kita berpikir bahwa ini sepenuhnya permasalah kita sendiri. Persoalan haji itu sedikit banyak terkait dengan persoalan Arab Saudi.
Jika demikian, apa ini terkait persoalan politis?
Saya tidak melihat ini sebagai persoalan politik. Ketika ada permasalahan, ini bukan soal politis, tetapi justru persoalan teknis, terkait kapasitas teknis managerial umat Islam secara keseluruhan, bagi Saudi maupun Indonesia itu masih sangat rendah. Nah, ini yang harus diatasi. Jadi, persoalan management itu sangat lemah di kalangan umat Islam baik di lingkungan Saudi maupun di Indonesia.
Untuk aspek pelaksaan haji pertama, hubungan goverment to goverment, jika dikaitkan dengan katering yang masih memiliki hubungan dengan Saudi, ini bisa dibaca bahwa hubungan Indonesia dengan Saudi kurang bagus? Ini sebetulnya gimana?
Di Saudi, format hubungannya tergantung orang per-orang. Jadi, tak ada sistem standart yang bisa dipakai. Itu pola Saudi, yang terkait karakter. Karena itu, dengan kecenderungan Saudi yang lebih murni menggunakan pendekatan personal dan tidak ada sistem yang standart, maka sudah semestinya pemerintah secara intensif terus melakukan masukan buat Saudi. Misalnya dalam hal haji ini, negara-negara OKI kumpul lalu mengevaluasi pelaksanaan haji di tahun kemarin itu seperti apa?
Bagaimana untuk perbaikan ke depan?
Nah, pemerintah Indonesia, semesti mengambil inisiatif untuk mendorong itu lebih intensif sehingga bisa jadi mitra yang efektif dan didengar. Juga, keputusannya bisa diterima Saudi. Tapi ini tidak bisa dilaksanakan, karena sekali lagi, energi kita itu tersedot habis urusan travel. Jadi, fungsi yang sangat mendasar itu tak berperan. Satu contoh, ini bicara soal bandara --Saudi itu memiliki banyak bandara yang bagus, bukan hanya di Jeddah. Tapi untuk haji, semua dibatasi di Jeddah, itu pun hanya sebagian. Anda bisa bayangkan? Tak seluruhnya dibuka, hanya tujuh gerbang, padahal ini untuk ratusan penerbangan dari seluruh dunia.
Jadi, dari sisi ini saja sudah kurang memenuhi standart. Ini yang menimbulkan delay dan banyak masalah. Ini hanya satu contoh! Juga, masukan-masukan (seperti transportasi dari Arafah ke Mina) dari tahun ke tahun, semestinya dibuat satu sistem transportasi yang mantap. Mungkin dengan kereta, sehingga tidak ada kemacetan yang luar biasa. Itu bukan sesuatu yang sangat rumit dan Saudi memang perlu masukan!
Maka terkait hubungan pemerintah Indonesia dengan Saudi harus ditingkatkan. Alapagi apalagi daya tawar negara kita sangat rendah, jika dibanding dengan negara-negara lain. Itu berawal sejak kebijakan kita mengirim TKW ke Saudi. Itu sebenarnya tantangan besar!
Dalam kasus di atas, berati Anda sepakat untuk meninjau ulang UU No. 17 tahun 1999 terkait pelaksaan haji yang selama ini hanya didominasi oleh Depag?
Kalau Anda perhatiankan UU No. 17 tahun 1999, kualitas sebagai UU itu "luar biasa buruk". Satu contoh, ada pasal yang berbicara tentang barang bawaan jamaah. Sebuah UU, soal itu tak layak masuk level pasal, masuk dalam perauran pemerintah saja tidak layak. Itu contoh kecil. Memang, UU itu harus dirubah secara totol, karena lahirnya UU ini pada jaman BJ Hahibie yang mendesak untuk percepatan perubahan. Maka, dalam waktu singkat menghasilkan begitu banyak UU waktu itu. Satu sisi bagus, tapi di sisi lain saya khawatir jika kemudian tidak cukup untuk di-cek, mungkin ada kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompok. Jadi, monopoli itu sangat luar biasa. Bisa saja haji itu tetap diurus negara, tetapi bukan departemen.
Lantas usul Anda untuk pelaksanaan haji yang ideal itu seperti apa?
Ini memerlukan studi yang sangat cermat! Dari studi itu, bisa diperoleh sistem perhajian kita yang ideal. Apalagi dalam membangun "sistem perhajian", kita ini belum menggunakan secara optimal penggunaan saint. Jadi ketika Arab Saudi mengelola haji dan tak menggunakan saint, maka Anda tahu berapa banyak yang jadi korban dalam pelemparan jumrah di Mina. Baru setelah kejadian itu, Saudi memanfatkan saint. Dan ini dibutuhkan pula oleh Indonesia, untuk masalah semisal kloter, quota dan lain-lain. Padahal sains ini adalah "ayat kauniyah", kebenaran dari Allah?
Kalau kemudian kita melakukan "studi banding" dengan negara lain dalam pelaksanaan haji, negara manakah menurut Anda yang pantas dijadikan rujukan?
Sebenarnya studi banding terhadap negara-negara lain itu sudah dilaksanakan, tetapi saya tidak bisa mengatakan negara mana yang lebih bagus. Banyak yang secara umum mengatakan Malaysia, ada yang berpendapat Turki. Tak bisa persis kita meniru. Tapi kita banyak belajar dari negara-negara itu. Di Turki misalnya, jama`ah haji itu dikelompokkan ke dalam kelompok-kelompok kecil yang tidak lebih dari 40 orang. Dan ketua kelompok, sebelum pergi haji, sudah pergi terlebih dahulu ke Saudi bukan hanya sekali. Maka saat sudah di Saudi, dia itu sudah bisa membimbing dengan tepat, tidak tergantung orang. Ini satu contoh dan kita dapat mengambil pelajaran-pelajaran dari berbagai negara kemudian kita timbang mana yang paling tepat.
Tetapi, yang paling mendasar adalah legowo¬¬ atau lapang dada-kah kita untuk membuka telinga selebar-lebarnya lalu mencari alternatif baik untuk duduk bersama meninggalkan berbagai kepentingan untuk mendapat yang terbaik? (n mursidi)
Tragedi Arafah-Mina kemarin mengingatkan kita bahwa ada sesuatu yang sangat mendasar yang harus dibenahi. Itu potret kualitas umat Islam. Tak perlu kita mencari siapa yang salah.
Saya melihat, sebenarnya dalam pelaksanaan haji itu ada lima aspek. Pertama, menyangkut persoalan hubungan goverment to goverment antara Indonesia dengan Saudi. Kedua, menyangkut pengembangan sistem dan regulasi. Ketiga, pembinaan (persiapan) jamaah. Kempat, masalah travel semisal penerbangan, akomodasi, pondok dan makan. Di situ terkait penjagaan kesehatan dan pendampingan (guide). Kelima, monitoring dan evaluasi.
Lima aspek itu menjadi satu kesatuan. Tetapi selama ini perhatian kita semua, apalagi pemerintah hanya tertuju pada aspeks keempat (travel). Jadi, hanya terfokus pada transportasi. Ini yang membuat empat aspeks mendasar lain jadi terbengkalai. Dan sepanjang fokus perhatian kita hanya pada travel, maka permasalahan akan terus seperti ini!
Dalam menanggapi kasus kelaparan itu, sebagian jama`ah haji berpendapat bahwa ini kesalahan pemerintah tapi ada pula yang berpendapat bijak bahwa ini adalah ujian dari Allah. Bagaimana Anda menanggapi hal ini?
Semua betul. Ini kesalahan, juga ujian. Kalau orang punya kualitas yang bagus, ujiannya berat. Dengan kata lain, semakin tinggi kualitas orang, akan akan tinggi ujian yang harus diterima, bukan sekadar soal makanan. Jadi, ini adalah satu potret bahwa secara umum "kualitas" kita masih sangat rendah dan kejadian kemarin mendorong kita harus me-review atau mengevaluasi secara keseluruhan akan pelaksanaan haji kita.
Tapi bagi mereka yang menyalahkan pemerintah, bagaimana menurut Anda? Juga, soal tuntutan mundur terhadap menteri Agama?
Pada tingkat tertentu, tudingan pada pemerintah itu betul, sebab pemerintah-lah yang harus bertanggung jawab atas kejadian ini. Tetapi sekali lagi, kalau sekadar mundur sekarang sebagai satu pertanggungjawaban moral, itu sangat bagus. Ini bisa menjadi presedent baik ke depan, agar semua bisa lebih hati-hati. Hanya saja, kalau berpikir soal itu dan tidak melakukan perombakan sistem dalam pelaksanaan haji maka akan tetap terjadi persoalan-persoalan berikut yang akan terulang lagi, mungkin tidak hanya katering. Mungkin ada lagi.
Seperti yang terjadi selama ini. Setiap tahun, selalu ada masalah dan masalah itu sebenarnya tak sepenuhnya kesalahan kita, bisa jadi masalah itu ada di lingkungan Saudi. Dalam kasus katering, salah satu persoalannya juga di lingkungan Saudi. Jadi, sangat tidak tepat jika kita berpikir bahwa ini sepenuhnya permasalah kita sendiri. Persoalan haji itu sedikit banyak terkait dengan persoalan Arab Saudi.
Jika demikian, apa ini terkait persoalan politis?
Saya tidak melihat ini sebagai persoalan politik. Ketika ada permasalahan, ini bukan soal politis, tetapi justru persoalan teknis, terkait kapasitas teknis managerial umat Islam secara keseluruhan, bagi Saudi maupun Indonesia itu masih sangat rendah. Nah, ini yang harus diatasi. Jadi, persoalan management itu sangat lemah di kalangan umat Islam baik di lingkungan Saudi maupun di Indonesia.
Untuk aspek pelaksaan haji pertama, hubungan goverment to goverment, jika dikaitkan dengan katering yang masih memiliki hubungan dengan Saudi, ini bisa dibaca bahwa hubungan Indonesia dengan Saudi kurang bagus? Ini sebetulnya gimana?
Di Saudi, format hubungannya tergantung orang per-orang. Jadi, tak ada sistem standart yang bisa dipakai. Itu pola Saudi, yang terkait karakter. Karena itu, dengan kecenderungan Saudi yang lebih murni menggunakan pendekatan personal dan tidak ada sistem yang standart, maka sudah semestinya pemerintah secara intensif terus melakukan masukan buat Saudi. Misalnya dalam hal haji ini, negara-negara OKI kumpul lalu mengevaluasi pelaksanaan haji di tahun kemarin itu seperti apa?
Bagaimana untuk perbaikan ke depan?
Nah, pemerintah Indonesia, semesti mengambil inisiatif untuk mendorong itu lebih intensif sehingga bisa jadi mitra yang efektif dan didengar. Juga, keputusannya bisa diterima Saudi. Tapi ini tidak bisa dilaksanakan, karena sekali lagi, energi kita itu tersedot habis urusan travel. Jadi, fungsi yang sangat mendasar itu tak berperan. Satu contoh, ini bicara soal bandara --Saudi itu memiliki banyak bandara yang bagus, bukan hanya di Jeddah. Tapi untuk haji, semua dibatasi di Jeddah, itu pun hanya sebagian. Anda bisa bayangkan? Tak seluruhnya dibuka, hanya tujuh gerbang, padahal ini untuk ratusan penerbangan dari seluruh dunia.
Jadi, dari sisi ini saja sudah kurang memenuhi standart. Ini yang menimbulkan delay dan banyak masalah. Ini hanya satu contoh! Juga, masukan-masukan (seperti transportasi dari Arafah ke Mina) dari tahun ke tahun, semestinya dibuat satu sistem transportasi yang mantap. Mungkin dengan kereta, sehingga tidak ada kemacetan yang luar biasa. Itu bukan sesuatu yang sangat rumit dan Saudi memang perlu masukan!
Maka terkait hubungan pemerintah Indonesia dengan Saudi harus ditingkatkan. Alapagi apalagi daya tawar negara kita sangat rendah, jika dibanding dengan negara-negara lain. Itu berawal sejak kebijakan kita mengirim TKW ke Saudi. Itu sebenarnya tantangan besar!
Dalam kasus di atas, berati Anda sepakat untuk meninjau ulang UU No. 17 tahun 1999 terkait pelaksaan haji yang selama ini hanya didominasi oleh Depag?
Kalau Anda perhatiankan UU No. 17 tahun 1999, kualitas sebagai UU itu "luar biasa buruk". Satu contoh, ada pasal yang berbicara tentang barang bawaan jamaah. Sebuah UU, soal itu tak layak masuk level pasal, masuk dalam perauran pemerintah saja tidak layak. Itu contoh kecil. Memang, UU itu harus dirubah secara totol, karena lahirnya UU ini pada jaman BJ Hahibie yang mendesak untuk percepatan perubahan. Maka, dalam waktu singkat menghasilkan begitu banyak UU waktu itu. Satu sisi bagus, tapi di sisi lain saya khawatir jika kemudian tidak cukup untuk di-cek, mungkin ada kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompok. Jadi, monopoli itu sangat luar biasa. Bisa saja haji itu tetap diurus negara, tetapi bukan departemen.
Lantas usul Anda untuk pelaksanaan haji yang ideal itu seperti apa?
Ini memerlukan studi yang sangat cermat! Dari studi itu, bisa diperoleh sistem perhajian kita yang ideal. Apalagi dalam membangun "sistem perhajian", kita ini belum menggunakan secara optimal penggunaan saint. Jadi ketika Arab Saudi mengelola haji dan tak menggunakan saint, maka Anda tahu berapa banyak yang jadi korban dalam pelemparan jumrah di Mina. Baru setelah kejadian itu, Saudi memanfatkan saint. Dan ini dibutuhkan pula oleh Indonesia, untuk masalah semisal kloter, quota dan lain-lain. Padahal sains ini adalah "ayat kauniyah", kebenaran dari Allah?
Kalau kemudian kita melakukan "studi banding" dengan negara lain dalam pelaksanaan haji, negara manakah menurut Anda yang pantas dijadikan rujukan?
Sebenarnya studi banding terhadap negara-negara lain itu sudah dilaksanakan, tetapi saya tidak bisa mengatakan negara mana yang lebih bagus. Banyak yang secara umum mengatakan Malaysia, ada yang berpendapat Turki. Tak bisa persis kita meniru. Tapi kita banyak belajar dari negara-negara itu. Di Turki misalnya, jama`ah haji itu dikelompokkan ke dalam kelompok-kelompok kecil yang tidak lebih dari 40 orang. Dan ketua kelompok, sebelum pergi haji, sudah pergi terlebih dahulu ke Saudi bukan hanya sekali. Maka saat sudah di Saudi, dia itu sudah bisa membimbing dengan tepat, tidak tergantung orang. Ini satu contoh dan kita dapat mengambil pelajaran-pelajaran dari berbagai negara kemudian kita timbang mana yang paling tepat.
Tetapi, yang paling mendasar adalah legowo¬¬ atau lapang dada-kah kita untuk membuka telinga selebar-lebarnya lalu mencari alternatif baik untuk duduk bersama meninggalkan berbagai kepentingan untuk mendapat yang terbaik? (n mursidi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar