Semula, dia hanyalah seorang budak wanita. Tetapi Allah telah mengubah jalan hidupnya dan ia menjadi wanita yang mulia. Alkisah, setelah penguasa Mesir tak kuasa menyentuh Sarah, penguasa itu menjadi sadar dan memberikan hadiah budak wanita cantik tersebut sebagai hadiah. Sarah pun tidak hanya selamat, tetapi bisa pulang ke Palestina bersama suaminya, Ibrahim dan menetap di Baitul Makdis. Lalu, di bawah asuhan Sarah, budak wanita itu dididik dan dikenalkan pada agama yang lurus (hanif), agama yang dibawa oleh nabi Ibrahim yang kemudian memberi “jalan yang terang”.
Siapakah budak wanita itu? Ia tak lain adalah Hajar, ibu Isma`il dan ibu orang-orang Arab. Hajar (dari sumber-sumber yang ada) disebutkan memiliki kulit berbulu, rambut keriting dan gigi satu dengan gigi yang lainnya renggang. Selain itu, ia itu juga memiliki kecantikan yang luar biasa, mencintai majikannya dengan tulus dan “taat” kepada Allah. Tidak salah jika dia dihibahkan Sarah kepada suaminya, Ibrahim untuk dinikahi dengan harapan agar Ibrahim mendapat keturunan anak yang saleh.
Mendapat Cahaya Terang
Setelah Hajar dibawa oleh Sarah dari Mesir ke Palestina, lalu menetap di Baitul Makdis, ia terpaksa harus melupakan kenangan indah tentang kerajaan dan kota Mesir yang indah. Hidup sederhana bersama majikannya, membuat dia harus menyesuaikan diri dan mengenal pula karakter majikannya. Apalagi, Hajar melihat Sarah dan Ibrahim dipenuhi dengan percikan kebaikan dan cahaya iman yang tidak ditemuinya di Mesir.
Suatu malam, Sarah berdiri di hadapan Allah untuk menunaikan ibadah dengan penuh khitmad, lalu berdoa dengan penuh harapan. Dalam hening waktu, dengan suara yang pelan, dia berdoa dalam biliknya. Meski pelan, Hajar masih dapat mendengarkan sayup-sayup suara yang dirasa aneh dan bahkan belum pernah dia kenal sebelumnya, sehingga Hajar berjalan mendekati bilik Sarah.
Sampai di pintu kamar, dia mematung dan takjub ketika melihat Sarah sedang duduk, berdoa kepada Allah. Dia mendengar Sarah membaca ungkapan yang tidak dia pahami. Tapi ucapan (doa) Sarah itu, entah kenapa membuat Hajar dalam rengkuhan ketenangan. Hajar merasa ada percikan cahaya yang jatuh, lalu menelusup ke dalam jiwanya. Dia juga merasa kedamaian merasuk ke dalam kalbunya. Dengan malu-malu, Hajar memberanikan diri bertanya, "Majikanku, Tuhan apa yang engkau sembah?"
Sarah tersentak kaget. Tidak menyangka, kalau Hajar sudah ada di balik pintu dan menatapnya dengan heran.
"Wahai wanita yang baik, kami menyembah Allah yang tidak ada Tuhan yang berhak untuk disembah selain Dia. Dia pencipta langit dan bumi, Tuhan segala sesuatu, Pencipta segala sesuatu, juga yang Menghidupkan dan Mematikan. Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu," ucap Sarah dengan untaian kata yang lembut.
Hajar terdiam, Sarah memperhatikan wajah Hajar dengan penuh kasih sebagai seorang majikan. Dalam hati, Hajar menemukan "makna kebenaran" dari ucapan Sarah. "Tuhan yang kami sembah itu adalah Dzat Pertama, Dzat Terakhir, Yang Dzahir, Yang Batin dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu," lanjut Sarah dengan santun.
Sarah rupanya mulai menanamkan benih-benih keimanan di hati Hajar. Ia tahu, malam itu adalah malam yang tepat untuk menjelaskan kepada Hajar bahwa Ibrahim adalah seorang utusan Allah yang mendapat mandat untuk memberikan kabar gembira, pemberi peringatan dan mengajarkan risalah kenabian agar manusia beriman.
Hajar masih terdiam, mendengar dengan bergetar. Hajar merasa ada cahaya yang menelusup masuk ke relung hatinya. Tidak salah, jika Hajar merasa dekat dengan kebaikan dan kehangatan iman yang dibawa nabi Ibrahim. Apalagi, selama di rumah majikannya itu, ia sudah seringkali mendengar risalah yang didakwahkan oleh Ibrahim. Dalam hati, Hajar merasakan bahwa apa yang dibawa Ibrahim itu benar. Maka malam itu, dia seketika beriman kepada Allah.
Malam berlalu dan sejak itu dia mengisi hari-hari yang dilalui dengan beribadah kepada Allah, berdzikir dengan penuh kekhidmatan. Cahaya keimanan di hati Hajar itu pun mengantarnya terlepas dari kegelapan. Ia beriman pada Allah, Tuhan seluruh alam dan meninggalkan kebiasaan buruk yang biasa ia dikerjakan. Dengan kata lain, ia tak saja berhijrah dari Mesir ke Baitul Makdis, melainkan pula ber"hijrah" secara ruhani dengan meninggalkan segala hal buruk lantas menjalankan perintah Allah sebagaimana yang dibawa oleh nabi Ibrahim.
Melahirkan Ismail
Tahun-tahun berlalu. Sarah dan Ibrahim sudah lama menikah tetapi mereka itu belum juga dikaruniai seorang anak. Keadaan itulah, yang membuat Ibrahim diliputi rasa sedih. Tetapi Ibrahim bukan orang yang cepat putus asa. Ia tahu, tidak ada siapa pun yang dapat dimintai pertolongan dan bantuan kecuali Allah. Maka, nabi Ibrahim meminta kepada Allah, "Tuhanku, anugerahkan kepadaku anak yang termasuk orang-orang yang shahih." (QS. Ash-Shaaffat: 100).
Rupanya, Sarah mendengar munajat nabi Ibrahim dan benang-benang kesedihan segera menyelinap masuk ke dalam hatinya. Apalagi, dia tahu bahwa dirinya adalah seorang wanita tua dan mandul. Sedangkan suaminya yang dia dampingi juga tak kalah tua. Dari mana keduanya bisa mendapatkan anak? Maka Sarah diliputi rasa sedih pula tatkala mendengar munajat nabi Ibrahim itu.
Sarah memandang ke langit dan berdoa agar Allah menganugerahkan seorang anak yang dapat menghibur mata suaminya, Ibrahim. Menjelang subuh, tanpa gaduh, Sarah mendekati bilik Hajar. Di bilik itu, Hajar sedang bermunajat kepada Allah, terlihat wajahnya memancarkan cahaya. Di balik ambang pintu, Sarah hanya berdiri mematung memandangi Hajar, wanita Mesir yang menjadi budaknya itu. Lama Sarah memperhatikan Hajar yang sedang shalat, tiba-tiba terbersit sebuah ide atau gagasan di hatinya, ilham dari Allah untuk rela melakukan pengorbanan. Anehnya, semakin ia melihat Hajar, ide atau gagasan itu semakin menguat di dalam lubuk hatinya, serupa menguatnya seorang anak kecil yang ingin memeluk ibunya.
Sarah memandangi Hajar lagi, dengan penuh kasih-sayang. Tetapi, semakin dia memandangi Hajar, semakin kuat desakan di hatinya itu untuk melaksanakan dengan segera apa yang terlintas di hatinya. Kenapa dia tidak menghibahkan Hajar kepada Ibrahim untuk dinikahi? Demikianlah bisikan yang terlintas di hati Sarah.
Hajar masih khusuk beribadah, tidak tahu akan kehadiran Sarah yang berdiri mematung di ambang pintu. Hatinya sibuk bermunajat. Ia lupa akan Mesir, dia sudah lupa pula kenikmatan yang pernah dia rasakan di istana kerajaan Mesir. Karena setelah hijrah dan mendapatkan kesejukan iman, dia tahu bahwa kenikmatan dunia itu sudah tidak lagi merenggut keinginannya, dan sudah tidak lagi memiliki tempat!
Sarah akhirnya meninggalkan bilik Hajar dan dalam hatinya dia sudah mantap dengan gagasan itu. Maka di hari yang lain, ketika nabi Ibrahim kembali membicarakan tentang keturunan yang ia harapkan (sebagai penerus kenabian), Sarah memberanikan diri untuk menawarkan “solusi”, "Inilah Hajar, ambillah dia, mudah-mudahan Allah menganugerahkan anak kepadamu darinya."
Ucapan Sarah itu, langsung mengingatkan nabi Ibrahim akan janji Allah bahwa Dia akan memberikan beliau seorang anak, yakni keturunan yang baik dan shaleh. Hal ini sebagaimana difirmankan oleh Allah dalam al-Qur`an, "Maka, Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar (Ash-Shaaffat: 101).
Akhirnya, Ibrahim menerima tawaran Sarah. Ibrahim menikahi Hajar.
Ditinggal di Daerah Tandus
Setelah Ibrahim menikahi Hajar, janji Allah itu pun menjadi kenyataan. Tidak lama kemudian, Hajar pun hamil. Dan hari kelahiran yang dinanti-nantikan itu akhirnya tiba. Hajar melahirkan seorang anak lelaki yang diberi nama Isma`il. Tetapi kelahiran Isma`il itu membuat Sarah dibakar oleh api cemburu. Kelahiran Isma`il, membuat dia merasa seperti sesak dada. Dia pun kemudian meminta Ibrahim untuk menjauhi Hajar dan Isma`il.
Di saat itulah, Allah mewahyukan kepada Ibrahim supaya membawa Hajar dan juga Isma`il menuju sebuah negeri yang diberkati, yakni Makkah. Untuk melaksanakan “perintah” yang dikehendaki Allah itu, maka Ibrahim, Hajar dan Isma`il (anak yang masih menyusu itu) berangkat meski tempat yang dijanjikan itu adalah suatu lembah yang tak ada tanam-tanaman, yakni di dekat Baitullah yang dihormati untuk memulai sebuah kehidupan baru.
Setelah sampai di tempat yang dituju, sebagaimana yang diperintahkan Allah, Ibrahim lantas pergi begitu saja meninggalkan Hajar dan Isma`il di dekat Baitullah dengan hanya memberikan bekal kantong berisi kurma dan tempat air --yang berisi air tidak seberapa. Lalu, nabi Ibrahim melangkahkan kaki, pergi tanpa ada sebuah kata yang terucapkan, meninggalkan Hajar untuk kembali pulang ke Baitul Makdis.
Jelas saja, Hajar yang ditinggalkan oleh Ibrahim diliputi rasa takut. Maka, Hajar mengejar nabi Ibrahim dengan susah payah. "Hai Ibrahim, engkau akan pergi ke mana? Mengapa engkau meninggalkan kami di lembah yang tidak ada manusia dan sesuatu apa-apa pun?"
Ibrahim tidak menyahut sebab itu adalah perintah yang datang dari Allah. Hajar masih mengejar di belakang nabi Ibrahim seraya mengulangi kalimat yang diucapkan itu, "Hai Ibrahim, engkau akan pergi ke mana? Mengapa engkau meninggalkan kami di lembah yang tidak ada manusia dan sesuatu apa-apa pun?"
Lagi-lagi, Ibrahim tak menjawab sepatah kata pun. Hajar mengulangi perkataan tersebut bahkan sampai beberapa kali. Tetapi, Ibrahim tidak menjawab juga. Merasa Ibrahim tidak mau menjawab dengan apa yang dia tanyakan, maka ia lalu melontarkan pertanyaan lain, "Apakah Allah yang memerintahkanmu seperti ini?"
Tak seperti pertanyaan Hajar sebelumnya yang tak digubris oleh nabi Ibrahim, kali ini Ibrahim mau menoleh dan menjawab, "Ya, Tuhanku yang memerintahkan aku bertindak seperti ini."
Mendengar jawaban dari nabi Ibrahim itu, ketentraman langsung merasuki hati Hajar. Ia berdiri, kemudian berbicara dengan keteguhan hati dan juga kekuatan iman, "Kalau begitu, Allah tidak akan menelantarkanku."
Ketakutan di hati Hajar seketika sirna dan Kedamaian berganti merasuki hati Hajar yang semula dilanda takut, karena ditinggal Ibrahim di tanah yang tandus tanpa ada tumbuh-tumbuhan. Tetapi, ia sadar bahwa itu adalah perintah Allah, maka Hajar yakin bahwa Allah nanti akan menolongnya. Hajar memutuskan kembali ke Baitulllah. Dalam hati, kembali dia menyakini apa yang telah dia ucapkan kepada nabi Ibrahim, "Kalau begitu, Allah tidak akan menelantarkan kami. Hai Ibrahim, pergi-lah engkau kepada apa yang diperintahkan Allah kepadamu!"
Nabi Ibrahim terus berjalan dan ketika ia tiba di tempat tinggi yang tidak dapat dilihat oleh Hajar, lalu menghadapkan wajah ke Baitullah, mengangkat kedua tangan dan berdoa, "Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai taman-taman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur." (QS. Ibrahim 37)
Air Zamzam
Setelah ditinggal oleh Ibrahim, Hajar kemudian duduk sambil menyusui Isma`il. Hening dan sunyi. Panas dan rasa haus segera menyertai kepenatan. Maka ia memakan kurma dan meminum air dari tempat air (yang ditinggalkan oleh Ibrahim).
Tetapi, seiring dengan berlalu hari, kurma dan air terbatas itu pun habis. Saat sudah habis, Hajar dibuat kebingungan. Apalagi, Isma`il mulai kehausan dan burguling-guling di atas tanah. Terik dan panas mentari semakin membuat Hajar dan Isma`il ditikam dahaga. Kerongkongan mereka berdua terasa kering kerontang. Ia mendadangi anaknya yang berguling-guling di atas tanah dan dia tidak tahan lagi melihatnya. Saat memandang ke sekitar, Hajar mendapati Shafa --gunung yang paling dekat dengannya- lalu berdiri dan ia segera berlari secepatnya ke gunung Shafa. Tetapi, di atas gunung ia tidak mendapati seseorang pun yang bisa dimintai pertolongan.
Hajar kemudian turun dari Shafa dan ketika tiba di lembah, dia mengangkat ujung pakaiannya, berlari dengan lelah hingga melewati lembah dan tiba di Marwa. Ia berdiri di atas gunung Marwa dan melihat ke sekitar, namun tak melihat seorang pun. Hajar berlari dari Shafa dan Marwa sampai tujuh kali. Ketika Hajar ada di atas Marwa lagi, ia tiba-tiba mendengar suara. Ia memasang telinga, dan ia mendengar suara itu lagi --yang tak lain adalah suara dari malaikat.
Tatkala Hajar kembali lagi ke tempat bayinya, ternyata ia melihat keajaiban. Ia menjumpai air yang memancar. Dengan cepat, ia membuat kolam untuk air tersebut, kemudian mengisi tempat air yang telah kosong. Setelah dia mengisinya, ternyata air tersebut masih mengalir. Hajar meminum air tersebut dan rasa haus segera sirna, lalu menyusui bayinya. Sumber mata air itulah yang sekarang ini dikenal oleh orang dengan nama air zamzam.
Ibu Orang-orang Arab
Di tempat yang diberkati itulah, Hajar hidup. Hajar tidak lagi terlantar, karena Allah telah menjamin kehidupan Hajar dengan persediaan mata air yang melimpah.
Bersama berlalunya waktu, lembah itu justru memancarkan suatu kehidupan --setelah sebelumnya gersang dan kering kerontang. Hingga pada suatu hari, datanglah rombongan dari kabilah jumhum yang berjalan mendekati tempat itu. Mereka melihat ada burung yang terbang melayang-layang di udara sehingga membuat mereka heran dan berkesimpulan, "Burung-burung itu pasti terbang di atas air. Kita sudah melewati lembah tersebut dan sepengetahuan kita di dalamnya tidak ada air."
Karena itulah, mereka kemudian mengirimkan salah satu utusan untuk mencari tahu keberadaan sumber air. Sang utusan pun berangkat, dan setelah utusan sampai di tempat sumber mata air, ia dibuat tercengang saat menjumpai air zamzam yang tidak ia duga dan melihat Hajar yang berada di dekatnya.
"Apakah engkau mengizinkan kami berhenti di tempatmu?" pinta sang utusan.
"Boleh, tetapi kalian tidak memiliki hak atas air," jawab Hajar
"Ya. saya mau menerima syarat itu," jawab sang utusan.
Kemudian sang utusan itu kembali ke kabilahnya. Tak lama kemudian datanglah kabilah jumhur itu ke sumber air (zamzam). Mereka lalu hidup berkelompok di sekitar zamzam.
Sejak itulah kehidupan mulai bersemi di sekitar tempat tersebut. Tanah yang pada awalnya tandus, tidak ada tanaman, susu dan teman, kemudian berubah menjadi suatu perkampungan. Allah telah membuka keberkahan langit dan bumi untuk lembah tersebut. (n. mursidi/ disarikan dari buku Istri-istri Para Nabi, Ahmad Khalil Jam`ah dan Syaikh Muhammad bin Yusuf Ad-Dimasyqi, terj. Fadhli Bahri, Lc, Penerbit Darul Falah, Jakarta 2001)
Mendapat Cahaya Terang
Setelah Hajar dibawa oleh Sarah dari Mesir ke Palestina, lalu menetap di Baitul Makdis, ia terpaksa harus melupakan kenangan indah tentang kerajaan dan kota Mesir yang indah. Hidup sederhana bersama majikannya, membuat dia harus menyesuaikan diri dan mengenal pula karakter majikannya. Apalagi, Hajar melihat Sarah dan Ibrahim dipenuhi dengan percikan kebaikan dan cahaya iman yang tidak ditemuinya di Mesir.
Suatu malam, Sarah berdiri di hadapan Allah untuk menunaikan ibadah dengan penuh khitmad, lalu berdoa dengan penuh harapan. Dalam hening waktu, dengan suara yang pelan, dia berdoa dalam biliknya. Meski pelan, Hajar masih dapat mendengarkan sayup-sayup suara yang dirasa aneh dan bahkan belum pernah dia kenal sebelumnya, sehingga Hajar berjalan mendekati bilik Sarah.
Sampai di pintu kamar, dia mematung dan takjub ketika melihat Sarah sedang duduk, berdoa kepada Allah. Dia mendengar Sarah membaca ungkapan yang tidak dia pahami. Tapi ucapan (doa) Sarah itu, entah kenapa membuat Hajar dalam rengkuhan ketenangan. Hajar merasa ada percikan cahaya yang jatuh, lalu menelusup ke dalam jiwanya. Dia juga merasa kedamaian merasuk ke dalam kalbunya. Dengan malu-malu, Hajar memberanikan diri bertanya, "Majikanku, Tuhan apa yang engkau sembah?"
Sarah tersentak kaget. Tidak menyangka, kalau Hajar sudah ada di balik pintu dan menatapnya dengan heran.
"Wahai wanita yang baik, kami menyembah Allah yang tidak ada Tuhan yang berhak untuk disembah selain Dia. Dia pencipta langit dan bumi, Tuhan segala sesuatu, Pencipta segala sesuatu, juga yang Menghidupkan dan Mematikan. Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu," ucap Sarah dengan untaian kata yang lembut.
Hajar terdiam, Sarah memperhatikan wajah Hajar dengan penuh kasih sebagai seorang majikan. Dalam hati, Hajar menemukan "makna kebenaran" dari ucapan Sarah. "Tuhan yang kami sembah itu adalah Dzat Pertama, Dzat Terakhir, Yang Dzahir, Yang Batin dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu," lanjut Sarah dengan santun.
Sarah rupanya mulai menanamkan benih-benih keimanan di hati Hajar. Ia tahu, malam itu adalah malam yang tepat untuk menjelaskan kepada Hajar bahwa Ibrahim adalah seorang utusan Allah yang mendapat mandat untuk memberikan kabar gembira, pemberi peringatan dan mengajarkan risalah kenabian agar manusia beriman.
Hajar masih terdiam, mendengar dengan bergetar. Hajar merasa ada cahaya yang menelusup masuk ke relung hatinya. Tidak salah, jika Hajar merasa dekat dengan kebaikan dan kehangatan iman yang dibawa nabi Ibrahim. Apalagi, selama di rumah majikannya itu, ia sudah seringkali mendengar risalah yang didakwahkan oleh Ibrahim. Dalam hati, Hajar merasakan bahwa apa yang dibawa Ibrahim itu benar. Maka malam itu, dia seketika beriman kepada Allah.
Malam berlalu dan sejak itu dia mengisi hari-hari yang dilalui dengan beribadah kepada Allah, berdzikir dengan penuh kekhidmatan. Cahaya keimanan di hati Hajar itu pun mengantarnya terlepas dari kegelapan. Ia beriman pada Allah, Tuhan seluruh alam dan meninggalkan kebiasaan buruk yang biasa ia dikerjakan. Dengan kata lain, ia tak saja berhijrah dari Mesir ke Baitul Makdis, melainkan pula ber"hijrah" secara ruhani dengan meninggalkan segala hal buruk lantas menjalankan perintah Allah sebagaimana yang dibawa oleh nabi Ibrahim.
Melahirkan Ismail
Tahun-tahun berlalu. Sarah dan Ibrahim sudah lama menikah tetapi mereka itu belum juga dikaruniai seorang anak. Keadaan itulah, yang membuat Ibrahim diliputi rasa sedih. Tetapi Ibrahim bukan orang yang cepat putus asa. Ia tahu, tidak ada siapa pun yang dapat dimintai pertolongan dan bantuan kecuali Allah. Maka, nabi Ibrahim meminta kepada Allah, "Tuhanku, anugerahkan kepadaku anak yang termasuk orang-orang yang shahih." (QS. Ash-Shaaffat: 100).
Rupanya, Sarah mendengar munajat nabi Ibrahim dan benang-benang kesedihan segera menyelinap masuk ke dalam hatinya. Apalagi, dia tahu bahwa dirinya adalah seorang wanita tua dan mandul. Sedangkan suaminya yang dia dampingi juga tak kalah tua. Dari mana keduanya bisa mendapatkan anak? Maka Sarah diliputi rasa sedih pula tatkala mendengar munajat nabi Ibrahim itu.
Sarah memandang ke langit dan berdoa agar Allah menganugerahkan seorang anak yang dapat menghibur mata suaminya, Ibrahim. Menjelang subuh, tanpa gaduh, Sarah mendekati bilik Hajar. Di bilik itu, Hajar sedang bermunajat kepada Allah, terlihat wajahnya memancarkan cahaya. Di balik ambang pintu, Sarah hanya berdiri mematung memandangi Hajar, wanita Mesir yang menjadi budaknya itu. Lama Sarah memperhatikan Hajar yang sedang shalat, tiba-tiba terbersit sebuah ide atau gagasan di hatinya, ilham dari Allah untuk rela melakukan pengorbanan. Anehnya, semakin ia melihat Hajar, ide atau gagasan itu semakin menguat di dalam lubuk hatinya, serupa menguatnya seorang anak kecil yang ingin memeluk ibunya.
Sarah memandangi Hajar lagi, dengan penuh kasih-sayang. Tetapi, semakin dia memandangi Hajar, semakin kuat desakan di hatinya itu untuk melaksanakan dengan segera apa yang terlintas di hatinya. Kenapa dia tidak menghibahkan Hajar kepada Ibrahim untuk dinikahi? Demikianlah bisikan yang terlintas di hati Sarah.
Hajar masih khusuk beribadah, tidak tahu akan kehadiran Sarah yang berdiri mematung di ambang pintu. Hatinya sibuk bermunajat. Ia lupa akan Mesir, dia sudah lupa pula kenikmatan yang pernah dia rasakan di istana kerajaan Mesir. Karena setelah hijrah dan mendapatkan kesejukan iman, dia tahu bahwa kenikmatan dunia itu sudah tidak lagi merenggut keinginannya, dan sudah tidak lagi memiliki tempat!
Sarah akhirnya meninggalkan bilik Hajar dan dalam hatinya dia sudah mantap dengan gagasan itu. Maka di hari yang lain, ketika nabi Ibrahim kembali membicarakan tentang keturunan yang ia harapkan (sebagai penerus kenabian), Sarah memberanikan diri untuk menawarkan “solusi”, "Inilah Hajar, ambillah dia, mudah-mudahan Allah menganugerahkan anak kepadamu darinya."
Ucapan Sarah itu, langsung mengingatkan nabi Ibrahim akan janji Allah bahwa Dia akan memberikan beliau seorang anak, yakni keturunan yang baik dan shaleh. Hal ini sebagaimana difirmankan oleh Allah dalam al-Qur`an, "Maka, Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar (Ash-Shaaffat: 101).
Akhirnya, Ibrahim menerima tawaran Sarah. Ibrahim menikahi Hajar.
Ditinggal di Daerah Tandus
Setelah Ibrahim menikahi Hajar, janji Allah itu pun menjadi kenyataan. Tidak lama kemudian, Hajar pun hamil. Dan hari kelahiran yang dinanti-nantikan itu akhirnya tiba. Hajar melahirkan seorang anak lelaki yang diberi nama Isma`il. Tetapi kelahiran Isma`il itu membuat Sarah dibakar oleh api cemburu. Kelahiran Isma`il, membuat dia merasa seperti sesak dada. Dia pun kemudian meminta Ibrahim untuk menjauhi Hajar dan Isma`il.
Di saat itulah, Allah mewahyukan kepada Ibrahim supaya membawa Hajar dan juga Isma`il menuju sebuah negeri yang diberkati, yakni Makkah. Untuk melaksanakan “perintah” yang dikehendaki Allah itu, maka Ibrahim, Hajar dan Isma`il (anak yang masih menyusu itu) berangkat meski tempat yang dijanjikan itu adalah suatu lembah yang tak ada tanam-tanaman, yakni di dekat Baitullah yang dihormati untuk memulai sebuah kehidupan baru.
Setelah sampai di tempat yang dituju, sebagaimana yang diperintahkan Allah, Ibrahim lantas pergi begitu saja meninggalkan Hajar dan Isma`il di dekat Baitullah dengan hanya memberikan bekal kantong berisi kurma dan tempat air --yang berisi air tidak seberapa. Lalu, nabi Ibrahim melangkahkan kaki, pergi tanpa ada sebuah kata yang terucapkan, meninggalkan Hajar untuk kembali pulang ke Baitul Makdis.
Jelas saja, Hajar yang ditinggalkan oleh Ibrahim diliputi rasa takut. Maka, Hajar mengejar nabi Ibrahim dengan susah payah. "Hai Ibrahim, engkau akan pergi ke mana? Mengapa engkau meninggalkan kami di lembah yang tidak ada manusia dan sesuatu apa-apa pun?"
Ibrahim tidak menyahut sebab itu adalah perintah yang datang dari Allah. Hajar masih mengejar di belakang nabi Ibrahim seraya mengulangi kalimat yang diucapkan itu, "Hai Ibrahim, engkau akan pergi ke mana? Mengapa engkau meninggalkan kami di lembah yang tidak ada manusia dan sesuatu apa-apa pun?"
Lagi-lagi, Ibrahim tak menjawab sepatah kata pun. Hajar mengulangi perkataan tersebut bahkan sampai beberapa kali. Tetapi, Ibrahim tidak menjawab juga. Merasa Ibrahim tidak mau menjawab dengan apa yang dia tanyakan, maka ia lalu melontarkan pertanyaan lain, "Apakah Allah yang memerintahkanmu seperti ini?"
Tak seperti pertanyaan Hajar sebelumnya yang tak digubris oleh nabi Ibrahim, kali ini Ibrahim mau menoleh dan menjawab, "Ya, Tuhanku yang memerintahkan aku bertindak seperti ini."
Mendengar jawaban dari nabi Ibrahim itu, ketentraman langsung merasuki hati Hajar. Ia berdiri, kemudian berbicara dengan keteguhan hati dan juga kekuatan iman, "Kalau begitu, Allah tidak akan menelantarkanku."
Ketakutan di hati Hajar seketika sirna dan Kedamaian berganti merasuki hati Hajar yang semula dilanda takut, karena ditinggal Ibrahim di tanah yang tandus tanpa ada tumbuh-tumbuhan. Tetapi, ia sadar bahwa itu adalah perintah Allah, maka Hajar yakin bahwa Allah nanti akan menolongnya. Hajar memutuskan kembali ke Baitulllah. Dalam hati, kembali dia menyakini apa yang telah dia ucapkan kepada nabi Ibrahim, "Kalau begitu, Allah tidak akan menelantarkan kami. Hai Ibrahim, pergi-lah engkau kepada apa yang diperintahkan Allah kepadamu!"
Nabi Ibrahim terus berjalan dan ketika ia tiba di tempat tinggi yang tidak dapat dilihat oleh Hajar, lalu menghadapkan wajah ke Baitullah, mengangkat kedua tangan dan berdoa, "Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai taman-taman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur." (QS. Ibrahim 37)
Air Zamzam
Setelah ditinggal oleh Ibrahim, Hajar kemudian duduk sambil menyusui Isma`il. Hening dan sunyi. Panas dan rasa haus segera menyertai kepenatan. Maka ia memakan kurma dan meminum air dari tempat air (yang ditinggalkan oleh Ibrahim).
Tetapi, seiring dengan berlalu hari, kurma dan air terbatas itu pun habis. Saat sudah habis, Hajar dibuat kebingungan. Apalagi, Isma`il mulai kehausan dan burguling-guling di atas tanah. Terik dan panas mentari semakin membuat Hajar dan Isma`il ditikam dahaga. Kerongkongan mereka berdua terasa kering kerontang. Ia mendadangi anaknya yang berguling-guling di atas tanah dan dia tidak tahan lagi melihatnya. Saat memandang ke sekitar, Hajar mendapati Shafa --gunung yang paling dekat dengannya- lalu berdiri dan ia segera berlari secepatnya ke gunung Shafa. Tetapi, di atas gunung ia tidak mendapati seseorang pun yang bisa dimintai pertolongan.
Hajar kemudian turun dari Shafa dan ketika tiba di lembah, dia mengangkat ujung pakaiannya, berlari dengan lelah hingga melewati lembah dan tiba di Marwa. Ia berdiri di atas gunung Marwa dan melihat ke sekitar, namun tak melihat seorang pun. Hajar berlari dari Shafa dan Marwa sampai tujuh kali. Ketika Hajar ada di atas Marwa lagi, ia tiba-tiba mendengar suara. Ia memasang telinga, dan ia mendengar suara itu lagi --yang tak lain adalah suara dari malaikat.
Tatkala Hajar kembali lagi ke tempat bayinya, ternyata ia melihat keajaiban. Ia menjumpai air yang memancar. Dengan cepat, ia membuat kolam untuk air tersebut, kemudian mengisi tempat air yang telah kosong. Setelah dia mengisinya, ternyata air tersebut masih mengalir. Hajar meminum air tersebut dan rasa haus segera sirna, lalu menyusui bayinya. Sumber mata air itulah yang sekarang ini dikenal oleh orang dengan nama air zamzam.
Ibu Orang-orang Arab
Di tempat yang diberkati itulah, Hajar hidup. Hajar tidak lagi terlantar, karena Allah telah menjamin kehidupan Hajar dengan persediaan mata air yang melimpah.
Bersama berlalunya waktu, lembah itu justru memancarkan suatu kehidupan --setelah sebelumnya gersang dan kering kerontang. Hingga pada suatu hari, datanglah rombongan dari kabilah jumhum yang berjalan mendekati tempat itu. Mereka melihat ada burung yang terbang melayang-layang di udara sehingga membuat mereka heran dan berkesimpulan, "Burung-burung itu pasti terbang di atas air. Kita sudah melewati lembah tersebut dan sepengetahuan kita di dalamnya tidak ada air."
Karena itulah, mereka kemudian mengirimkan salah satu utusan untuk mencari tahu keberadaan sumber air. Sang utusan pun berangkat, dan setelah utusan sampai di tempat sumber mata air, ia dibuat tercengang saat menjumpai air zamzam yang tidak ia duga dan melihat Hajar yang berada di dekatnya.
"Apakah engkau mengizinkan kami berhenti di tempatmu?" pinta sang utusan.
"Boleh, tetapi kalian tidak memiliki hak atas air," jawab Hajar
"Ya. saya mau menerima syarat itu," jawab sang utusan.
Kemudian sang utusan itu kembali ke kabilahnya. Tak lama kemudian datanglah kabilah jumhur itu ke sumber air (zamzam). Mereka lalu hidup berkelompok di sekitar zamzam.
Sejak itulah kehidupan mulai bersemi di sekitar tempat tersebut. Tanah yang pada awalnya tandus, tidak ada tanaman, susu dan teman, kemudian berubah menjadi suatu perkampungan. Allah telah membuka keberkahan langit dan bumi untuk lembah tersebut. (n. mursidi/ disarikan dari buku Istri-istri Para Nabi, Ahmad Khalil Jam`ah dan Syaikh Muhammad bin Yusuf Ad-Dimasyqi, terj. Fadhli Bahri, Lc, Penerbit Darul Falah, Jakarta 2001)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar