Jiwa seorang muslim mendapatkan perlindungan secara hukum. Karena itu, kalau dia mati dibunuh, tidak ada balasan untuk tidak kekejaman tersebut kecuali Allah mensyariatkan hukuman qishash dengan hukuman mati kepada pelaku pembunuhan. Hal ini dimaksudkan sebagai balasan sekaligus peringatan bagi yang lain.
Tapi, tidak semua tindakan kekejaman terhadap jiwa membawa konsekuensi untuk hukum qishash (hukuman mati). Dalam kasus ini, hukuman qishah itu bisa gugur jika ahli waris kemudian memaafkan pembunuh, yang dalam fiqh disebut dengan istilah `afwun.
Dalam hukum Islam, `afwun lebih diutamakan daripada hukuman qishash berdasar dalil al-Qur`an, “..Barangsiapa yang mendapat suatu perkataan maaf dari saudaranya, hendaklah yang memaafkan mengikuti cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat.. (QS. al-Baqarah: 178). Juga berdasar hadist, “Pembunuhan yang disengaja (pelakunya) wajib dilakukan qishash kecuali kalau wali korban pembunhan memaafkan.” (HR Abu Dawud)
Lantas siapakah yang berhak memberikan maaf? Menurut jumhur ulama fiqh, yang berhak memberi maaf itu adalah semua ahli waris orang yang terbunuh, baik laki-laki maupun perempuan sedangkan bagi mazhab Maliki, hanya ahli waris laki-laki yang berstatus asabat (ahli waris yang menerima bagian sisa--red) saja.
Tetapi, `afwun itu harus disertai dengan adanya pernyataan dari ahli waris korban kepada pelaku pembunuhan. Memang untuk maksud ini tidak diharuskan dengan lafal tertentu, tetapi bisa dinyatakan dengan lafal yang menunjukkan pemberian maaf. Setelah ada pemaafan (`afwun) itu, berarti gugurlah hukum qishash bagi pelaku pembunuhan. Dalam hal ini, menurut mazhab Hanafi dan Maliki, ahli waris yang memaafkan pembunuh tatkala itu tidak berhak mengambil diat dari si pembunuh kecuali dengan jalan perdamaian dengan kerelaan pembunuh untuk membayarnya. Karena diat itu merupakan pemberian secara suka rela oleh pelaku pembunuhan dan nilai harta yang menjadi diat itu tidak sebanding dengan nilai jiwa manusia. Atas dasar itulah, diat tidak layak dijadikan sebagai pengganti qishash.
Pendapat di atas berbeda dengan mazhab Syafi`i dan Hambali, yang tetap mewajibkan pembayaran diat sekali pun tanpa persetujuan pelaku pembunuhan. Karena itulah, kalau ahli waris memaafkannya tanpa diat, pelaku pembunuhan tetap wajib membayarnya. Dasar dari pendapat ini disandarkan pada sunnah nabi, “Dahulu dalam syariat Musa as wajib qishash dengan sendirinya (otomatis) dan pada syariat Isa diat saja. Kemudian Allah meringankannya dari umat (Islam) ini dengan memberinya pilihan antara dua hal tersebut. (HR al-Baihaki). Dalam Al-Qur`an surat al-Nisa` ayat 92 secara tegas juga menempatkan harta sebagai pengganti qishash; memerdekakan seorang budak yang mukmin dan diat pada kasus pembunuhan secara tersalah.
Persoalan pelik akan muncul jika ahli waris tidak kompak. Dengan kata lain, jika ahli waris lebih dari satu orang dan yang memberikan afwun (pemaafan) hanya sebagian dari mereka, lantas bagaimana hukum bagi pelaku pembunuhan. Jika kasus tersebut terjadi, maka qishash gugur dan berubah menjadi diat. Pendapat ini didasarkan pada riwayat dari beberapa orang sahabat Nabi, yaitu Umar bin al-Kattab, Abdullah bin Mas`ud dan Abdullah bin Abbas yang mewajibkan sebagian dari para ahli waris yang tidak memberi pemaafan (`afwun) –sedang sebagian yang lain telah memaafkan—untuk menerima diat. Ahli waris yang memberikan pemaafan dengan imbalan diat mengambil bagiannya dari diat, sementara ahli waris yang memaafkannya tanpa diat tidak menerima apa-apa.
Selain ahli waris, korban yang terbunuh pun bisa memberikan `afwan dan itu sah-sah saja. Dalam kasus ini, `afwan yang diberikan korban sebelum ia mati terbunuh, menurut mazhab Hanafi, Syafi`i dan Hanbali, dapat menggugurkan hukuman qishash dan pembunuh tidak wajib membayar diat kepada ahli waris. Pendapat ini didasarkan pada firman Allah, “Barangsiapa yang melepaskan (hak qishash)-nya, maka melepaskan hak qishash itu (menjadi) penebus dosa baginya…” QS. al-Maa`idah [5]: 45).
Meskipun hukum qishash bisa gugur karena dimaafkan oleh ahli waris dan si korban, tapi mazhab Hanafi dan Maliki berpendapat sultan atau penguasa masih mempunyai hak atau otoritas untuk melakukan hukuman takzir (hukuman dan jenis kadarnya tidak ditentukan dalam nas Qur`an dan sunah nabi, melainkan didelegasikan sepenuhnya kepada hakim). Karena dalam qishash itu ada dua hak. Pertama, hak Allah yang terwujud dalam orang banyak atau masyarakat. Kedua hak orang yang terwujud pada pribadi yang terbunuh itu.
Mazhab Maliki menentukan jenis takzir yang dilakukan sultan atau penguasa terhadap si pelaku pembunuhan dengan sengaja dan telah mendapat pemaafan dari ahli waris korban dengan 100 kali pukul dan satu tahun penjara. Sedang menurut mazhab Syafi`i dan Hanbali, sultan atau penguasa suatu negeri tak wajib melaksanakan takzir, kecuali jika pelaku pembunuhan itu dikenal sebagai penjahat dan suka mengganggu masyarakat. Dengan kata lain, seorang kepala negara boleh melakukan pengganjaran kepadanya sesuai dengan pertimbangan, seperti memukul atau mencerca. Jika pembunuh mendapat pemaafan secara mutlak, maka pemaafan itu dianggap sah dan ia tidak mendapatkan hukuman yang lain.
Tetapi, al-Mawardi berpendapat sekali pun ada pemaafan dari hukuman hadd (hukuman yang kadar dan jenisnya sudah ditentukan dalam al-Qur`an dan hadits), penguasa tetap berhak melakukan hukuman takzir. Karena dibalik hukuman takzir yang diberikan sultan atau penguasa itu tersimpan pembelajaran atau usaha memperbaiki perilaku manusia dalam hal ini kemaslahatan umum. (n. mursidi/ disarikan dari Ensiklopedi Hukum Islam/foto: dewi)
Tapi, tidak semua tindakan kekejaman terhadap jiwa membawa konsekuensi untuk hukum qishash (hukuman mati). Dalam kasus ini, hukuman qishah itu bisa gugur jika ahli waris kemudian memaafkan pembunuh, yang dalam fiqh disebut dengan istilah `afwun.
Dalam hukum Islam, `afwun lebih diutamakan daripada hukuman qishash berdasar dalil al-Qur`an, “..Barangsiapa yang mendapat suatu perkataan maaf dari saudaranya, hendaklah yang memaafkan mengikuti cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat.. (QS. al-Baqarah: 178). Juga berdasar hadist, “Pembunuhan yang disengaja (pelakunya) wajib dilakukan qishash kecuali kalau wali korban pembunhan memaafkan.” (HR Abu Dawud)
Lantas siapakah yang berhak memberikan maaf? Menurut jumhur ulama fiqh, yang berhak memberi maaf itu adalah semua ahli waris orang yang terbunuh, baik laki-laki maupun perempuan sedangkan bagi mazhab Maliki, hanya ahli waris laki-laki yang berstatus asabat (ahli waris yang menerima bagian sisa--red) saja.
Tetapi, `afwun itu harus disertai dengan adanya pernyataan dari ahli waris korban kepada pelaku pembunuhan. Memang untuk maksud ini tidak diharuskan dengan lafal tertentu, tetapi bisa dinyatakan dengan lafal yang menunjukkan pemberian maaf. Setelah ada pemaafan (`afwun) itu, berarti gugurlah hukum qishash bagi pelaku pembunuhan. Dalam hal ini, menurut mazhab Hanafi dan Maliki, ahli waris yang memaafkan pembunuh tatkala itu tidak berhak mengambil diat dari si pembunuh kecuali dengan jalan perdamaian dengan kerelaan pembunuh untuk membayarnya. Karena diat itu merupakan pemberian secara suka rela oleh pelaku pembunuhan dan nilai harta yang menjadi diat itu tidak sebanding dengan nilai jiwa manusia. Atas dasar itulah, diat tidak layak dijadikan sebagai pengganti qishash.
Pendapat di atas berbeda dengan mazhab Syafi`i dan Hambali, yang tetap mewajibkan pembayaran diat sekali pun tanpa persetujuan pelaku pembunuhan. Karena itulah, kalau ahli waris memaafkannya tanpa diat, pelaku pembunuhan tetap wajib membayarnya. Dasar dari pendapat ini disandarkan pada sunnah nabi, “Dahulu dalam syariat Musa as wajib qishash dengan sendirinya (otomatis) dan pada syariat Isa diat saja. Kemudian Allah meringankannya dari umat (Islam) ini dengan memberinya pilihan antara dua hal tersebut. (HR al-Baihaki). Dalam Al-Qur`an surat al-Nisa` ayat 92 secara tegas juga menempatkan harta sebagai pengganti qishash; memerdekakan seorang budak yang mukmin dan diat pada kasus pembunuhan secara tersalah.
Persoalan pelik akan muncul jika ahli waris tidak kompak. Dengan kata lain, jika ahli waris lebih dari satu orang dan yang memberikan afwun (pemaafan) hanya sebagian dari mereka, lantas bagaimana hukum bagi pelaku pembunuhan. Jika kasus tersebut terjadi, maka qishash gugur dan berubah menjadi diat. Pendapat ini didasarkan pada riwayat dari beberapa orang sahabat Nabi, yaitu Umar bin al-Kattab, Abdullah bin Mas`ud dan Abdullah bin Abbas yang mewajibkan sebagian dari para ahli waris yang tidak memberi pemaafan (`afwun) –sedang sebagian yang lain telah memaafkan—untuk menerima diat. Ahli waris yang memberikan pemaafan dengan imbalan diat mengambil bagiannya dari diat, sementara ahli waris yang memaafkannya tanpa diat tidak menerima apa-apa.
Selain ahli waris, korban yang terbunuh pun bisa memberikan `afwan dan itu sah-sah saja. Dalam kasus ini, `afwan yang diberikan korban sebelum ia mati terbunuh, menurut mazhab Hanafi, Syafi`i dan Hanbali, dapat menggugurkan hukuman qishash dan pembunuh tidak wajib membayar diat kepada ahli waris. Pendapat ini didasarkan pada firman Allah, “Barangsiapa yang melepaskan (hak qishash)-nya, maka melepaskan hak qishash itu (menjadi) penebus dosa baginya…” QS. al-Maa`idah [5]: 45).
Meskipun hukum qishash bisa gugur karena dimaafkan oleh ahli waris dan si korban, tapi mazhab Hanafi dan Maliki berpendapat sultan atau penguasa masih mempunyai hak atau otoritas untuk melakukan hukuman takzir (hukuman dan jenis kadarnya tidak ditentukan dalam nas Qur`an dan sunah nabi, melainkan didelegasikan sepenuhnya kepada hakim). Karena dalam qishash itu ada dua hak. Pertama, hak Allah yang terwujud dalam orang banyak atau masyarakat. Kedua hak orang yang terwujud pada pribadi yang terbunuh itu.
Mazhab Maliki menentukan jenis takzir yang dilakukan sultan atau penguasa terhadap si pelaku pembunuhan dengan sengaja dan telah mendapat pemaafan dari ahli waris korban dengan 100 kali pukul dan satu tahun penjara. Sedang menurut mazhab Syafi`i dan Hanbali, sultan atau penguasa suatu negeri tak wajib melaksanakan takzir, kecuali jika pelaku pembunuhan itu dikenal sebagai penjahat dan suka mengganggu masyarakat. Dengan kata lain, seorang kepala negara boleh melakukan pengganjaran kepadanya sesuai dengan pertimbangan, seperti memukul atau mencerca. Jika pembunuh mendapat pemaafan secara mutlak, maka pemaafan itu dianggap sah dan ia tidak mendapatkan hukuman yang lain.
Tetapi, al-Mawardi berpendapat sekali pun ada pemaafan dari hukuman hadd (hukuman yang kadar dan jenisnya sudah ditentukan dalam al-Qur`an dan hadits), penguasa tetap berhak melakukan hukuman takzir. Karena dibalik hukuman takzir yang diberikan sultan atau penguasa itu tersimpan pembelajaran atau usaha memperbaiki perilaku manusia dalam hal ini kemaslahatan umum. (n. mursidi/ disarikan dari Ensiklopedi Hukum Islam/foto: dewi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar