Senin, 02 Juli 2007

sebuah mimpi merengkuhku untuk ganti baju

tulisan ini dimuat di majalah hidayah edisi 72 juli 2007

Mimpi, kata sebagian besar orang, hanya bunga tidur. Artinya, mimpi itu tidak lebih hanya peristiwa yang terjadi di alam tidur. Tetapi tidak semua mimpi itu sepenuhnya harus diklaim hal absurd atau peristiwa ganjil yang tak bisa dipercaya. Karena mimpi bisa jadi sebuah perintah yang datang dari Allah. Kasus mimpi yang bisa dikategorikan sebagai perintah Allah itu adalah mimpi yang dialami nabi Ibrahim as. saat diperintahkan Allah untuk menyembelih anaknya, nabi Ismail as.

Dari konteks sejarah perjalanan hidup nabi Ibrahim itu, jelas bahwa mimpi bisa jadi tak sekadar bunga tidur. Karena mimpi bisa jadi tanda akan hidayah. Setidaknya, hidayah sebuah mimpi yang bisa dipahami sebagai petunjuk Allah itulah yang dialami oleh Ahok. Melalui sebuah mimpi yang ditemui tahun 2001, Ahok lalu terengkuh Islam.

Berikut ini penuturan Hasan Sunan Sa`id, nama Ahok setelah ia memeluk Islam kepada Hidayah di tengah kesibukannya sebagai direktur operasional kantor elektronic Mangga Dua Square (10/05/2007) seputar perjalanan spiritual yang dia rengkuh lewat petunjuk sebuah mimpi. Juga, kendala dan harapan yang ingin ia bagi kepada pembaca Hidayah setelah merengkuh tali Islam.

Diarahkan Untuk Baik
Lahir di Medan, 27 Maret 1963, sebagai anak bungsu dari enam bersaudara, aku sejak kecil boleh dikatakan rajin sembangyang. Oleh orangtuaku, aku diarahkan untuk menjadi orang yang memiliki akhlak, berprilaku dan bersikap baik terhadap orang lain. Karena itu memang ajaran yang kupahami dari agama Budha, yang lebih mengajarkan orang untuk berakhlak baik.

Kendati demikian, aku memeluk agama Budha itu karena “tradisi” dan tak lebih sebagai agama keturunan, lebih mengacu pada sistem atau tradisi yang mengatur umat untuk berakhlak baik. Karena itu, pandanganku terhadap agama lain, termasuk "agama Islam" bersifat netral. Aku bahkan tak pernah memikirkan apa kelebihan agama Islam, meski secara sederhana aku melihat ada persamaan (antara Budha dan Islam) dalam artian lebih menitikberatkan akhlak yang baik.

Aku tumbuh dan besar di Medan. Selepas SMU (1980) saat berusia 17 tahun, aku meninggalkan Medan dan merantau ke Jakarta. Aku menjalani hidup dengan bekerja macam-macam, mulai dari dept kolektor sampai analis kredit hingga pada tahun 1999 aku mulai usaha barang elektronik. Seiring dengan itu pula, aku menjalin komunikasi atau berteman dengan orang-orang muslim.

Anehnya, dari hubunganku dengan orang muslim itu tak pernah terbersit cerita atau pengaruh mereka untuk mengajakku memeluk Islam. Hingga suatu malam, aku bermimpi yang mengundangku penasaran dan mimpi itulah yang kemudian aku sebut sebagai hidayah Allah yang telah merengkuhku untuk ganti baju.

Hidayah Lewat Mimpi
Mimpi itu, tepatnya, aku temui suatu malam di bulan Agustus 2001. Di malam itu, aku mendapat mimpi yang mencengangkan, aku lihat sebuah istana yang jauh dan tinggi di pegunungan dan untuk mencapainya aku harus melakukan pendakian. Karena itu, aku kemudian berusaha memanjat melalui genting atau atap guna mencapai istana itu. Dengan susah payah, aku berusaha memanjat genting. Aku memanjat terus hingga sempat kulihat di sisi tebing itu tersusun rapi batu-batu kali yang membentuk dinding.

Karena kulihat istana itu di pegunungan dan aku ingin sekali untuk mencapainya maka aku menemui seseorang dan aku bertanya bagaimana mencapai istana itu. Orang yang aku tanya itu menjawab, "Kalau mau ke sana naik mobil atau ojek."

Belum sempat aku mencapai istana, aku tiba-tiba terbangun. Aku sadar bahwa apa yang kulihat itu hanya sebuah mimpi. Tetapi, mimpi itu terus terang membuatku penasaran. Makanya, aku menceritakan mimpiku itu kepada seorang tua, yang bisa aku sebut guru spiritual (terpaksa aku tidak menyebutkan siapa nama orang tua tersebut). Orangtua itu kemudian menjelaskan kepadaku bahwa apa yang aku lihat dalam mimpi itu adalah gunung Muria.

Seminggu kemudian, aku diantar oleh 3 orang teman pergi ke Muria. Anehnya, setelah aku tiba di lereng Muria ternyata apa yang aku lihat itu persis dengan apa yang aku temui di dalam mimpiku. Persis sama! Tidak ada yang berbeda. Aku kemudian naik ke atas melalui tangga berbatu dan berusaha mencapai ke puncak.

Tapi belum sampai di pundak, baru sampai ketinggian 3/4 tangga itu, aku jatuh tersungkur. Pingsan. Anehnya, meski aku pingsan tidak sadarkan diri, tetapi aku masih bisa merasakan apa yang terjadi dan apa yang menimpaku, terlebih saat aku digotong teman-temanku. Aku tahu, mataku tidak bisa terbuka, tapi anehnya aku seperti lemas belaka, hanya tidak kuat berbuat apa-apa dan tak bisa bersuara. Aku melihat tikar dan orang-orang yang berusaha menolongku.

Hingga lima belas (15) menit kemudian, aku siuman. Setelah tersadar, sahabat-sahabatku menyarankan agar aku tak usah naik lagi, tetapi aku menolak. Aku dengan angkuh berujar, "Tidak! Aku mau naik sampai ke tempat (makam Sunan Muria)!"

Saat teman-teman melihatku bertekat untuk naik ke pundak, akhirnya mereka seperti tak punya pilihan lain kecuali mengijinkanku ikut naik. Alhamdulillah, aku bisa sampai ke puncak. Saat itu aku belum Islam, jadi aku tak bisa berbuat apa-apa ketika teman-temanku mengambil air wudhu dan melakukan shalat. Aku hanya mengambil air wudhu, tidak ikut shalat dan hanya duduk. Itu yang kuingat, dari perjalanan ke gunung Muria itu.

Setelah kembali ke Jakarta, aku menemui orangtua itu kembali menceritakan perjalanan yang aku tempuh dan apa yang kualami. "Ini ada satu indikasi bahwa kamu mendapatkan hidayah untuk ganti baju," jawab beliau dengan penuh misteri.

Karena aku masih tidak paham apa yang beliau maksud, aku lalu menanyakan makna ganti baju itu pada teman-teman. Aku memperoleh satu jawaban bahwa yang dimaksudkan beliau dengan ganti baju itu adalah ganti keimanan.

Tapi aku masih berpikir, apa benar ini perintah Allah? Karena (maaf) meski aku orang bodoh, tetapi aku percaya sesuatu berdasarkan logika. Seiring dengan peristiwa yang aku alami dalam mimpi itu dan kedatanganku ke gunung Muria, aku selalu dicerca oleh teman-teman dengan pertanyaan, "Kapan kamu masuk Islam?"

"Aku akan masuk Islam dengan catatan setelah aku yakin. Ketika aku tak yakin, maka itu tidak baik.”

"Jadi kapan?" tanya temanku tak mau kalah.

Aku yakin tentang ajaran Islam, tetapi aku harus yakin lagi bahwa aku masuk Islam itu atas perintah dari Allah, bukan pengaruh orang lain bukan karena pernikahan dan fasilitas, aku mau bukti dari Allah. Karena itu, aku jawab, "Aku tunggu pembuktian dari Allah, bahwa semua ini benar dan itu adalah perintah dari Allah kepadaku."

Selang seminggu aku benar-benar diberi tanda oleh Allah. Tanda itu ada di fisik atau tubuhku dan sampai sekarang ini masih ada bahwa itu bukti perintah Allah, suatu tanda yang membuat aku yakin bahwa ada petunjuk dari Allah, supaya aku beriman kepada Allah. Tanda itu di dahiku, berbentuk lingkaran. Aku yakin itu adalah kehendak dari Allah dan sebuah hidayah bahwa aku harus beriman kepada Allah, memeluk Islam.

Meski tanda itu tidak begitu jelas, tetapi 95 persen orang yang aku tanya bilang ada. Bagi orang ahli ibadah melihat itu sebagai tanda, lambang Islam yang selalu ada di atas masjid. Bulan bintang, yang menurut ahli sufi, jadi lambang Islam. Aku yakin bahwa ini lambang Allah, lambang satu perintah bahwa aku harus bermukim di bawah lambang ini, yakni Islam. Akhirnya, aku menghadap orangtua perempuan kandung, ibu. Aku memberitahu, "Ma, mungkin aku mau masuk Islam untuk ganti agama."

Saat itu, bulan Septermber 2001. Mama tak menyatakan apa-apa. Hanya ada air mata yang berlinang dan mama menangisi apa yang aku tidak tahu artinya. Apakah mama senang, terharu atau melarang? Yang aku dengar, tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Tapi, karena tidak biasa mama diam akhirnya aku beranggapan mama itu tak setuju. Akhirnya aku berucap, "Kalau mama belum setuju aku masuk Islam, aku tidak akan masuk Islam, Ma."

Karena apa aku bilang begitu? Aku yakin Allah ada, tapi aku mendapat banyak cerita; Allah itu tak berwujud (tidak terlihat) dan tidak beranak. Itu aku yakini dalam darah dagingku. Jadi, aku katakan pada mama, "Jangan menangis dan jangan bersedih, jika mama tidak mengijinkan, sku tak akan masuk Islam." Karena bahasa Tuhan (Allah), yang kuketahui sebagai "pengganti" itu orangtua perempuan yang telah melahirkanku dengan nyawanya karena aku yakin Allah ada tapi aku tak pernah melihat wujudnya, maka sebagai pengganti adalah orangtua perempuan.

Setelah mendengarkan ucapanku, Mama berhenti menangis!

Aku pun kembali berkumpul dengan teman-temanku muslim dan masih ditanya, kapan dan kapan aku masuk Islam? Dengan jujur aku menjawab, "Kalau ini sudah dapat perintahnya, tinggal menunggu satu hal; mamaku mengucapkan kata ya dan setelah itu aku masuk Islam."

Dalam hati aku yakin jika sudah kehendak Allah, jangankan manusia, seisi alam pun tak ada yang bisa sanggup menghalangiku untuk beriman kepada Allah.

Satu bulan kemudian, mama datang. "Kamu benar mau masuk Islam? Kalau ya, masuklah Islam tetapi yang benar! Jangan nanti sebantar-sebentar masuk, lalu pindah lagi dan pindah lagi."

"Tidak bakal, Ma! Ini agama terakhirku." Jawabku meyakinkan Mama.

Dengan persetujuan mama, esoknya aku khitan di tangerang. Selang berkhitan, esoknya lagi aku dibawa sahabat-sahabatku ke masjid di Islamic Centre di Karawaci. Di situ, aku mengucapkan dua kalimat syahadat. Aku masih ingat saat aku mengucap dua kalimat syahadat, air mataku menitik. Bahkan semua orang yang hadir pun menangis. Aku tak tahu artinya, aku hanya tahu itu adalah satu kejadian yang patut dibanggakan, tak ada kebahagian yang aku rasakan kecuali saat itu, aku merasa sebagai satu-satunya orang Indonesia muslim yang bahagia. Alasannya, karena aku masih diberi kesempatan --saat itu berumur 40 tahun-- beriman kepada Allah. Itu tak ada yang menandingi.

Tak ada Sengketa
Kini sudah hampir 6 tahun aku memeluk Islam. Sejak mengucapkan dua kalimat syahadat dan secara sah aku muslim, sampai sekarang aku merasa bahagia. Kebesaran Allah itu begitu besar, aku dapatkan kebahagian itu dalam hidup ini. Meski aku kurang lancar dalam membaca al-Qur`an, tapi aku tak berhenti berusaha. Apalagi, pernah aku ikut belajar membaca Al-Qur`an metode 1 jam baca al-Qur`an. Dengan metode itu, aku yakin akan bisa walau masih terpatah-patah. Dari situ, aku dibuktikan bahwa aku mendapatkan lagi hidayah, hidayah membaca al-Qur`an karena aku mau lebih kenal dengan Allah melalui firman-firman-Nya. Aku bisa buktikan sedikitnya bisa membaca al-Qur`an dengan metode 1 jam dan itu mustahil tanpa campur tangan Allah. Itu jelas tidak mungkin!

Memang istriku masih dalam naungan agama Katolik. Tetapi aku tidak berhenti meminta kepada Allah agar memberikan Hidayah. Aku bersyukur karena anak-anakku dalam proses memilih sesuai dengan haknya karena anak pertamaku belum berusia 17 tahun. Tetapi, kebesaran Allah itu sudah terlihat di depan mataku. Contohnya, ketika anak yang ketiga berumur satu tahun baru bisa duduk, saat mendengar adzan maghrib di televisi tidak berpaling, mendengar dan melihat terus ke arah layar tv. Juga, anakku yang kedua, insyaallah ia akan jadi muslim. Karena saat ia mendengar, ia sudah bisa beristighfar. Itu salah satu tanda-tanda kebesaran Allah. Aku tinggal meminta hidayah saja!

Meski demikian, di rumah tidak ada sengketa. Agama bukan ajang perselisihan antara keluarga, antar sahabat karena semua agama mengacu untuk "membina hidup yang benar". Jadi, di rumah tidak ada gejolak, tidak ada perselisihan.

Alhamdulillah, soal ekonomi tidak jadi satu masalah, kendati demikian, hidayah Allah yang aku alami itu telah membuatku jauh lebih bahagia. Tidak ada satu hal yang bisa mengalahkan hidayah itu, termasuk dari materi sekalipun! Usahaku alhamdulillah lancar dan aku yakin, hidayah itu memiliki "korelasi" kuat dalam hidupku, aku banyak dihindari kesulitan-kesulitan dalam hidup ini! (n. mursidi)

BOX
Kesaksian dari Haji Aspuri (57 tahun, teman dekat)

Hubunganku dengan pak Ahok adalah teman, tetapi sudah seperti keluarga. Aku kenal dia sekitar 1998 atau 1999 sebelum ia Islam. Karena itulah, aku tahu juga ketika ia mendapat mimpi itu. Dia menceritakan pada orang tua, yang kemudian orangtua itu menyarankan kepadaku mengantar dia ke gunung Muria. Bersama pak Naryo dan pak Ihsan, aku mengantarkan pak Ahok membawa mobil sendiri dari Tengerang.

Setelah sampai di sana, kami menaiki tangga. Tapi, baru beberapa langkah (3/4 tangga) dia pingsan. Meski aku khawatir, aku lihat ia pingsan setengah sadar. Ia pucat. Karena tidak ada rumah, kami gotong dia ke sebuah warung. Lama, dia tidak sadar dan setelah siuman aku pegang semampuku untuk naik kembali meski aku sempat was-was. Tetapi aku melhat dia itu cuma capek dan akhirnya kami pun bisa sampai di puncak.

Di situ, aku ajak dia ziarah ke makam sunan Muria, aku membaca Yasin tetapi karena dia belum Islam, ia hanya duduk di belakang. Bahkan saat aku shalat di masjid, ia nunggu di luar. Tapi dia dengan tekun memperhatikan. Aku melihat arahnya ia mau masuk Islam. Di Muria sampai jam 12 malam, lalu kami ziarah ke makam sunan Kudus, lalu ke sunan Kalijaga Demak. Selama itu, aku melihat dia benar-benar memperhatikan dengan khusuk, dan apa yang aku lakukan itu seakan-akan dia ingin mengikutinya.

Sehabis dari perjalanan itu, beberapa hari kemudian, ia menyatakan diri masuk Islam. Aku ikut menyaksikan dia mengucapkan dua kalimat syahadat, bahkan menjadi saksi. Aku ikut menangis. Tak ada kebahagiaan yang bisa aku ceritakan karena dia itu orangnya baik, masuk Islam atas kemauan sendiri, bukan dapat tekanan dari siapa pun, tetapi semua itu tidak lepas dari hidayah Allah.

Kalau ada apa-apa, dia cepat tanggap. Bahkan perihal yang ia tak tahu (seperti soal agama) selalu ditanyakan dengan detail. Dia menuntut jawaban sedetail mungkin tak seperti orang lain dan aku hanya bisa membimbing. (nm)

Tidak ada komentar: