Senin, 03 September 2007

isak tangis anaku membuatku taubat

majalah hidayah edisi 74 september 2007

Rasa tanggung jawab sebagai ayah yang tidak tega melihat anaknya hidup terlunta-lunta, tidak jarang menjadi awal datangnya hidayah. Bayangkan! Sudah 15 tahun ia hidup sebagai penjudi dan tidak terhitung nasehat yang dilancarkan orangtua bahkan rayuan sang istri yang mati-matian membujuk agar ia berhenti judi, mabuk dan main perempuan, tapi semua khotbah itu dianggap seperti angin belaka dan tak mampu meluruhkan hatinya. Lelaki itu tuli, tak pernah menggubrisnya dan lupa bimbingan dan ajaran yang telah ditanamkan orangtuanya sejak kecil.

Tapi setelah anak pertamanya lahir, tangis sang buah hati yang masih berusia 3 bulan itu (yang belum mampu bicara apalagi memberi nasehat) justru menghentikan petualangannya dari dunia gelap. "Tangis anakku yang baru berusia 3 bulan itulah yang mampu membuat aku sadar. Aku tersentuh lalu terpikir berhenti dari petualanganku sebagai penjudi dan pemabuk," ujar lelaki kelahiran Semarang, 10 Agustus 1972 tentang titik balik hidupnya sekitar empat tahun lalu.

Berikut ini penuturan laki-laki yang memiliki nama Ahmad Sholichin lebih jauh tentang perjalanan hidupnya hingga ia taubat. Kini dia menjadi jama`ah mujahadah di pesantren Istighfar pimpinan Gus Tanto (panggilan akrab Muhammad Kuswanto) dan berikrar tak mau lagi mengulang petualangannya di masa lalu.

Hidup dari Perjudian
Tak ada orangtua yang berharap anaknya kelak jadi pemabuk apalagi hidup dari perjudian. Karena itu, orangtuaku sekuat tenaga bekerja agar aku dapat sekolah tinggi dan jadi orang baik. Sayang, harapan orangtuaku itu seakan tidak pernah aku hiraukan. Padahal mereka sudah bertekat sampai kerja buruh pun, orangtua berharap aku dapat sekolah tinggi.

Aku mungkin bisa dikatakan mengkhianati harapan mereka. Sebab sewaktu aku duduk di bangku Sekolah Menengah Tingkat Pertama (SLTP) Empu Tantular Semarang, aku justru berbuat ulah. Bahkan tidak tanggung-tanggung, aku keluar setelah berkelahi dengan anak SMP 14 yang masih berdekatan dengan sekolahku. Dalam perkelahian itu, aku nekat mendatanginya ke SMP 14. Tak pelak, kalau kepala sekolah menegurku.

Takut membayangkan hukuman, esok paginya aku tidak masuk sekolah. Karena dihantui rasa takut itu, aku memutuskan berhenti. Padahal, ujian tinggal 3 minggu lagi. Aku tak peduli dengan sekolah, tak berpikir untuk pindah sekolah. Setelah tak sekolah, aku ikut kerja kakakku di bengkel las listrik.

Tapi, uang hasil keringatku itu bukan aku tabung melainkan kugunakan untuk judi dan mabuk. Karena sering mabuk dan begadang, aku kerap tak masuk kerja. Akibat ulahku itulah, kakak menegurku. Tapi aku bukan sadar. Aku justru jengkel.

Aku marah, tak terima dengan teguran kakakku dan memutuskan untuk keluar kerja. Setelah keluar itu, aku hidup ngelandang, juga menggantungkan hidup dari hasil perjudian. Bahkan jarang pulang. Tak ada kerja tetap, aku mencari uang dengan berjudi. Aku hidup dari meja judi lalu mabuk dan tidur di terminal. Kalau lagi mabuk berat dan tak pulang ke rumah, aku menggelandang ke mana-mana. Setelah uang habis, aku pun kembali berjudi. Apalagi dengan berjudi, bagiku, uang bias didapat cepat meskipun aku tak punya uang atau modal satu sen pun.

Dalam berjudi, aku kerap jadi bandar kecil-kecilan dengan menggelar judi dadu. Dengan jadi bandar, aku gampang meraih menang karena bisa menipu para petarung. Kalau tidak menipu, dari mana aku akan menang dan mendapat uang? Karena itu, aku tak takut cari pinjaman. Dengan kata lain, meski tidak memiliki uang toh nanti modal akan kembali.

Bagaimana jika kalah? Jarang! Aku berjudi menggunakan dadu magnet. Dengan trik kelincahan tangan, aku pasti akan mudah meraih menang dan meraup keuntungan selama ada yang bertaruh. Karena dengan trik kelincahan tangan, aku bisa mengecoh petaruh. Jika mereka banyak yang menaruh taruhan di angka enam misalnya, maka aku akan membalik mata dadu di angka lain dan anehnya itu tidak diketahui oleh mereka.

Tak Peduli Nasehat
Dengan kemudahan mendapat uang daru judi itu, aku seperti dimanjakan. Maka aku tidak mau cari pekerjaan tetap dan semakin menggantungkan hidup dari perjudian. Padahal uang hasil judi itu, sekali pun aku menang banyak, ujungnya habis untuk foya-foya. Bahkan setelah nikah, aku semakin tidak bisa meninggalkan meja judi. Apalagi dengan menanggung istri, jelas aku harus memberi nafkah. Saat istriku tak memegang uang lagi guna menghidupkan asap di dapur, aku serta merta mencari pinjaman uang lalu kugunakan sebagai modal berjudi. Padahal, tak jarang aku lupa menyisihkan uang belanja buat istriku karena uang selalu habis untuk mabuk dan main perempuan.

Memang istriku sempat menasehatiku agar aku berhenti dari judi terapi lagi-lagi aku tak peduli. Aku pikir, sebelum menikahinya, aku sudah main judi, mabuk dan main perempuan bahkan nasehat orangtuku pun tak pernah kupedulikan. Karena itu, ketika istriku menasehati, aku menjawab sengak, "Kalau kau tak mau menuruti apa yang aku kerjakan, ya sudah!"

Dengan jawabanku itu, istriku tidak membantah. Dia bungkam seribu bahasa karena aku bebal dengan nasehat. Istriku tak berani membantah, selain dia penurut juga takut kepadaku. Padahal, aku tak pernah menamparnya apalagi memukulinya.

Aku berpikir, istriku memang orangnya tidak neko-neko dan penurut. Ketika aku bertemu pertama kali dengannya, ia menurut saja saat aku mengajaknya. Ceritanya malam itu ia pulang dari tempat kerja, sedang menunggu angkot. Tapi, karena angkot yang ditunggu-tunggu itu tak ada, terpaksa ia pun berjalan kaki. Dari situ, akhirnya aku bertemu dengannya. Tapi bukannya aku antar ia pulang ke rumah budenya, malah aku bawa dia pulang ke rumahku.

Aku tidak sekadar membawa ke rumah, melainkan juga mengajaknya menginap selama 3 hari 3 malam. Tahu kelakuanku itu, kakakku menegur. "Itu anak orang, jangan dibuat main-main!"

Tetapi apa jawabku? "Biarin! Ya, namanya anak muda dan masih bujangan, toh nanti dia juga akan menjadi milikku karena aku akan menikahinya."

Tiga hari kemudian, aku mengantarnya pulang ke orangtuanya di daerah Bojo, sekaligus melamar kepada orangtuanya. Sekitar dua bulan kemudian, aku menikahinya (4 Desember 1996). Sejak itu, aku mengenal istriku tak banyak ulah. Kukenal ia penurut. Aku sempat berpikir, saat itu ia tak berani menolak karena ia takut denganku. Maklum, aku ini orang jalanan dan preman. Jadi, nasehat istriku hampir tak pernah aku gubris. Aku tak tersentuh sedikit pun dengan nasehat dan bujuk rayu istriku.

Aku terus bermain judi apalagi di meja judi itu, aku bisa mencari uang dengan mudah. Judi sudah aku jadikan sebagai profesi mencari uang. Padahal dari judi itu aku sempat digeropyok (razia) dan sempat masuk penjara lima kali. Aku dijebloskan ke bui pertama kali tahun 1997. Tapi, penjara tidak membuatku takut. Makanya, aku kembali berjudi dan masuk bui lagi, dan itu aku anggap sebagai resiko.

Hingga suatu malam, segalanya berubah. Aku sadar, aku seakan bisa perpikir dengan jernih bahwa apa yang aku lakukan selama ini (dengan hidup menggantungkan hasil kemenangan judi selama kurang lebih 15 tahun), tidak layak untuk aku teruskan. Aku merasa tidak perlu mabuk lagi, aku harus tobat…

Titik Balik
Titik balik semua itu bermula dari sebuah peristiwa yang bisa aku sebut dari jerit tangis anakku. Aku seperti tidak tega melihat masa depannya hidup terlunta atau akan menjalani hidup seperti diriku. Ia anak lelaki, jelas akan meniru apa yang aku lakukan. Padahal selama hidup di jalanan, aku menghabiskan waktu dengan berjudi, mabuk juga main perempuan, hatiku tidak pernah merasa tentram. Karena itu, aku harus taubat!

Ceritanya malam itu aku pulang dalam keadaan mabuk. Mataku menyala merah dan aku datang dengan langkah kaki yang sempoyongan. Tapi dengan keadaanku yang lagi mabuk dan biasanya langsung merebahkan diri di kursi, tiba-tiba mendapat kejutan lain dari istriku. Entah ia sudah bosan dengan kelakuan yang sudah bejat atau sudah tak kuat dengan beban hidup setelah melahirkan buah hati kami, atau merasa aku tidak lagi peduli dengannya, aku kurang tahu pasti.

Setelah dia membuka pintu, lamat-lamat kudengar ia menggerutu, "Mas, sampai kapan lagi semua ini akan berakhir? Mas ini harus sadar, kini sudah punya anak dan tak lagi seperti dulu lagi. Maka, tidak usah minum dan judi lagi!"

Jika aku dapat nasehat atau khotbah dari istriku, tidak pernah menyentuh kalbu tapi ucapan istriku kali ini benar-benar menelusup ke dalam relung kalbuku . Memang, malam itu aku bisa saja tidak menggubrisnya, tetapi jerit tangis buah hatiku yang baru berumur 3 bulan itu tak bisa kutepis jika tangisnya itu merupakan "nasehat" yang tidak terucapkan, sebuah nasehat seorang bayi yang masih suci. Aku tersentuh.

Ketika itu aku berpikir bahwa aku kini sudah memiliki tanggungan yang tak lagi satu orang, melainkan kini aku sudah mendapatkan lagi tambahan tanggungan hidup yang harus kurawat dengan baik. Dia adalah anakku. Aku harus membelikan susu dan hal lain. Mungkin tak akan menjadi masalah jika uang dari hasil judi itu tak habis untuk foya-foya. Karena itu, tidak jarang aku kekurangan dari segi ekonomi dan tidak mampu mencukupi kebutuhan istri. Apalagi belum punya kerjaan tetap, cuma mengandalkan mendapat uang dari judi. Sewaktu belum punya anak, mungkin itu tidak terlalu berat. Tapi keadaan sudah lain. Aku memiliki anak berusia 3 bulan.

Hatiku tersentuh dan aku sempat berpikir, daripada anakku telantar, lebih baik aku yang telantar. Daripada anakku lapar, lebih baik aku yang lapar, karena itulah, aku harus mencari pekerjaan demi anakku yang telah kami beri nama Agi Putra Pratama (lahir 25 november 2003). Karena malam itu, aku tersadar oleh nasehat tidak terucapkan dari tangisnya. Padahal, selama hidup di jalanan, aku selalu cuek dengan nasehat siapa pun, meski hidupku gersang, kering, sesak dan tidak tenang.

Bertemu Sosok Misterius
Akhirnya, demi buah hatiku itu, aku memutuskan untuk berhenti dari kebejatan yang telah kulakukan selama 15 tahun mulai dari berjudi, mabuk, dan main perempuan. Aku kemudian mengajak Mas Gembrot yang nama aslinya Muhammad Santoso untuk bersilaturrahmi ke rumah Gus Tanto.

Aku mengajak Gembrot bersilaturrahmi ke kediaman Gus Tanto, bukan tanpa alasan. Pertama, aku mengenal Gus Tanto itu orangnya unik dan sempat pula misterius. Kedua, meski kami orang jalanan dan disebut preman tetapi Gus Tanto memanusiakan kami. Aku merasakan dan tahu sendiri apa yang dia lakukan, padahal tatkala itu aku masih belum mengenal dan tahu siapa Gus Tanto. Dengan apa yang dilakukan oleh Gus Tanto itulah, aku seperti terpikat dan ingin bertemu.

Ceritanya, waktu aku masih belum sadar dan hidup di jalanan, suatu hari aku minum bersama dengan teman-teman preman. Tetapi di saat kami sedang minum dan mabuk, selalu ada orang yang datang tiba-tiba dan tak pernah aku duga. Anehnya lagi, "orang itu" setiap kali datang selalu memberiku rokok dan kadang juga jajan surungan (makanan ringan yang dijual asongan). Tapi sehabis memberi rokok dan jajan surungan itu, dengan tiba-tiba ia pergi menghilang. Besok, ia datang lagi dengan tidak diduga dan memberi kami rokok dan kadang jajan lagi. Lalu, setelah itu pergi menghilang lagi.

Akhirnya, aku pun penasaran dengan sosok misterius itu dan bertanya kepada Gembrot yang kulihat sudah mengenalnya, "Eh, siapa orang yang kasih rokok tadi?"

"Oooo, itu Gus Tanto!" jawab Gembrot.

Tak hanya itu, Gembrot kemudian mengisahkan sosok Gus Tanto yang sungguh memikatku. Kejadian itu, masih aku ingat. Karena itulah, setelah aku sadar dan sudah berniat berhenti dari petualanganku di lumpur maksiat, aku mengajak Mas Santoso untuk mengantarku bersilarrahmi ke rumah Gus Tanto.

Usai sialtaurrahmi dan bertemu Gus Tanto, aku dibimbingnya, dan mengaji di pondok pesantren Istighfar bahkan sampai sekarang ini. Sekarang aku aktif di jamaah mujahadah yang dipimpin oleh Gus Tanto, hatiku merasa tenang dan tentram. Apalagi, sekarang aku sudah memiliki pekerjaan tetap meski hanya sebagai tukang parkir yang bisa aku mungkiri aku lakukan demi anakku. Meski hasilnya tidak seberapa, tetapi aku tak menepis kalau hidupku kini tenang dan tentram tak seperti dulu lagi yang sesak.

Memang, tak mudah meninggalkan kebiasaan lama. Apalagi, aku masih hidup di jalanan sehingga tak jarang teman-teman lama mengajakku untuk judi atau minum lagi. Tetapi, aku sudah bertekat untuk berhenti. Makanya, setiap kali mereka mengajak main judi atau minum, aku menolak dengan halus. Aku berusaha menjawab dengan jawaban yang tak akan membuat mereka marah. Secara halus aku biasanya menjawab, "Ya… silahkan minum."

Aku pun menemani, dan ketika teman-teman sudah mulai minum atau bermain judi, aku pergi menghilang. Kenapa? Aku sudah bertekat meninggalkan masa laluku yang kelabu. Aku ingin hatiku ini tenang dan tentram!!!!

Semoga cerita pertaubatan Ahmad Sholichin, “mantan preman” dan bandar judi kecil-kecilan ini bisa memberikan pelajaran berharga bagi kita semua! Tak ada yang sia-sia di dalam hidup ini, dan orang yang arif akan selalu “mengambil pelajaran” meski itu adalah pengalaman hidup orang lain termasuk pengalaman hidup Ahmad Sholichin ini. (n. mursidi)

Tidak ada komentar: