Kiai satu ini boleh dikata kiai langka. Tak jarang, kiai atau ustadz lebih memilih menjauhi kaum preman atau orang yang hidup di jalan lantaran orang seperti itu merupakan sampah masyarakat yang memang layak dijauhi. Dengan pertimbangan, daripada ikut terjebur lumpur dosa, lebih baik tak mengenal mereka sama sekali. Tapi, tidak demikian dengan Gus Tanto (panggilan akrab Muhammad Kuswanto) ini.
Lelaki kelahiran Semarang, 30 Agustus 1966 ini justru memilih menceburkan diri bahkan berteman dengan preman dan orang yang dicap sampah masyarakat itu. Tak salah, lelaki yang dijuluki kiai tombo ati (bahasa Indonesia: obat hati) ini kemudian mengundang daya pikat tersendiri karena pendekatan yang diterapkan kadang kontroversial. Jika pendekatan yang dipakai sebagian besar kiai kerap normatif (hitam putih) dengan hukum-hukum fiqh yang tanpa kompromi, lelaki beranak dua ini lebih lentur sehingga membuat beberapa preman di Semarang bertobat.
Kecil Sudah di Jalan
Lahir sebagai anak bungsu dari (empat bersaudara) pasangan Siti Kustinah dan Muhammad Nasiran, Gus Tanto memiliki kehidupan yang unik. Ia tumbuh besar tatkala usaha orangtuanya mulai surut. Padahal sebelum Gus Tanto lahir, ayahnya pernah jaya sebagai pengusaha sapi bahkan sempat tinggal di luar negeri. Tapi karena sang istri meminta balik, ayah Gus Tanto pulang. Sepulang itu, usaha ayahnya mulai merosot apalagi diperparah dengan kondisi teman bisnis yang tak lagi sehat.
Empat tahun setelah Gus Tanto lahir, ekonomi keluarga berubah drastis ketika rumah Gus Tanto kebakaran. “Kobaran api melahap apa yang kami miliki, tinggal baju-celana sepotong. Karena abah (ayah --red) tak menyimpan di bank, kami tidak memiliki tabungan. Sejak itu, kami mengalami kehidupan drastis yang namanya kemiskinan,” cerita Gus Tanto tentang masa kecilnya yang mengubah keadaan ekonomi keluarga.
Dengan kemiskinan itu, justru Gus Tanto dihadapkan dengan hidup nyata. Tak pelak, kalau ia harus bekerja (apa pun) untuk meringankan beban keluarga sejak kecil. Waktu SMP bahkan Gus Tanto pernah jadi kenet-nya Tukul Arwana. “Ketika itu, mas Tukul meminta saya untuk mencari penumpang. Setelah mencari susah-susah dan angkot yang disopiri mas Tukul penuh, eh saya ditinggal….” kenang lelaki kharismatik yang kini justru menjadi guru spiritual Tukul Arwana ini.
Maka selepas SMA, Gust Tanto tidak melanjutkan kuliah dan memilih mencari pekerjaan. Berbekal ijazah SMA dan sertifikat administrasi, ia melamar ke beberapa perusahaan. Tapi tak satu pun menuai hasil. Ia tidak pernah dipanggil. Kendati demikian, ia tak patah arang, “Saya tak putus asa. Inilah hidup!” terangnya.
Tak ada harapan menjadi pegawai, Gus Tanto memutuskan ikut tinju. Selama 1 tahun ikut latihan (di sasana Jamu Jago), dia pun tergiur bertanding di PRPP yang saat itu menjajikan hadiah Rp 250.000 bagi petinju yang kalah maupun menang. Tapi seminggu sebelum bertanding, ibu Gus Tanto tahu. “Dunia akhirat saya tak merestui anakku akan menjadi petinju,” cerita Gus Tanto menirukan penolakan umi-nya.
Setelah harapan jadi petinju kandas, Gus Tanto menekuni pekerjaan lain, kerja di bengkel kadang menjadi kenet seraya menjalani puasa yang sudah dijalaninya sejak kelas 2 SD. Lalu, jualan limbah, seperti potongan kertas (foto copy) dan praktis pernah membaur dengan pemulung. Tetapi anehnya dari keuntungan itu, justru Gus Tanto bisa mendapatkan modal guna jualan sepatu ke Cilacap dan dua tahun kemudian membeli mobil sebagai sarana jualan sepatu keliling ke daerah Purwokerto.
Lagi-lagi, itu tidak berlangsung lama. Setelah omset menurun, ia banting setir ganti usaha jual-beli motor dan keuntungan dari bisnis itu, tahun 1988 Gus Tanto mengumpulkan teman-temannya yang nganggur diajak berkumpul mujahadah dengan tujuan agar tak bertindak negatif. Tanpa disadari keuntungan habis dan kemudian ia bekerja jadi sopir pribadi orang China (1990). Tapi tak berlangsung lama, karena harus keluar setelah tak dizinkan shalat Jum`at.
Setelah tidak jadi sopir, ada orang yang mempercayai jadi keamanan dan pengelola sebuah rumah makan di Terminal Terboyo. “Dari situlah, saya bekerja sambil mengemas orang-orang di terminal lalu pada 1997 terjun di usaha outobus yang menjadikan bisa berkumpul dengan orang-orang jalanan. Dari situlah, mujahadah yang saya rintis sejak tahun 1988 berlanjut dari rumah ke rumah hingga pada awal tahun 2005 Allah memberikan amanat kepada saya untuk mendirikan pondok,” cerita Gus Tanto soal cikal bakal pondok, “Padahal saat itu saya hanya bekerja di terminal. Saya pernah berpikir, dari mana saya dapat uang, tapi akhirnya saya tahu jika itu berkat doa umi saya,“ lanjutnya.
Mondok di Terminal Terboyo
Jika kiai berambut gondrong ini akrab dengan preman, itu bukan hal yang istimewa. Maklum, sejak kecil Gus Tanto hidup di jalanan sehingga tak mustahil tahu betul kerak kehidupan kaum preman di jalanan. Meski tidak sempat menyenyam pendidikan di pesantren, toh itu tidak menghalangi keteguhan abi (ayah) dari Husen Toto Nurkholish ini mendirikan pesantren. “Jika Anda bertanya di mana saya pernah mondok, saya akan jawab bahwa saya ini adalah alumni pondok Terboyo,” kelakarnya kepada Hidayah.
Maklum, kalau pemimpin pondok Istighfar ini mengaku alumni pondok Terboyo, karena di terminal Semarang itu kiai satu ini dapat memetik pelajaran dari kehidupan nyata. Di terminal itu, Gus Tanto bahkan mengambil hikmah dari kepahitan hidup. Kendati demikian, tak kurang pelajaran agama dan akhlak (moralitas) diajarkan oleh sang ibu, Siti Kustinah yang jika ditelusuri ke belakang ternyata masih memiliki darah pesantren, karena ibu Gus Tanto adalah putri dari KH. Syafi`i (kiai kahrismatik dari Kudus) dan Hj. Nasirah.
Selain diajari mengaji, oleh sang ibu Gus Tanto juga diajari berpuasa sebagai bekal hidup. “Dedikasi puasa saya itu memang dari umi. Waktu masih kelas 2 SD, umi sudah melatih berpuasa. Meski saya sendiri memiliki niat ingin jadi orang baik dengan berpuasa. Soalnya sewaktu kecil saya, ada benturan di daerah Perbalan sini, di mana sosialisasi orang-orang benar-benar tak sehat dan saya sering terjajah. Karena itu, saya bertekat melakukan puasa senin-kamis sejak kelas 2 SD.”
Dari berpuasa itu, Gus Tanto mendapatkan hikmah yang tak diperoleh orang lain. Ia tidak menepis, ilmu bisa merasuk ke dada lantaran orang itu rajin berpuasa. “Jika orang membaca, ilmu itu melekat di otak, tetapi orang yang puasa, bisa memperoleh hikmah yang melekat di dada,” tegas kiai sederhana ini. Tak salah, dari amalan puasa yang sempat dijalaninya, Gus Tanto pernah mendapat pengalaman spiritual yang hingga kini masih dikenangnya, pernah mengalami masa krisis sakaratul maut.
Selain pendidikan agama dan keteladanan yang diajarkan sang ibu, kiai murah senyum ini pun tak menepis bentukan mental dari kedermawanan yang dicontohkan ayahnya. Karena di balik uluran tangan yang diamalkan sang ayah, kini Gus Tanto memetik hikmah, berupa kebahagiaan hidup setelah membagi kepada orang lain. Dari prinsip hidup yang ditanamkan kedua orangtuanya sejak kecil itu, Gus Tanto jadi tertempa kuat.
Di Balik Kehidupan Kupu-kupu
Dari apa yang diajarkan orangtua, terutama umi-nya, Gus Tanto berusaha untuk membantu orang, “Dengan membantu itu, saya menemukan namanya “tombo ati” (ketentraman di hati) di mana saya dibutuhkan orang,” terang abi dari Amalia Zulfa Nilasari ini dengan senyum renyah.
Dalam menolong orang lain, terutama mengemas hidup preman atau orang yang pernah bergelut di dunia gelap, Gus Tanto mengajarkan untuk menekankan pentingnya ketenangan hati. Karena menurut Gus Tanto, “Kita tahu semua bahwa permasalah apa pun sentralnya di hati, kalau hati sejuk, tidak akan ada masalah lagi.”
Untuk menciptakan hati agar sejuk, Gus Tanto mewanti-wanti untuk menjauhi m limo dan selalu beristighfar. Uniknya lagi, dalam menjelaskan larangan al-Qur`an agar menjuhi m limo itu, Gus Tanto punya analogi yang membuat preman yang dibimbingnya tidak merasa dijustifikasi dengan dalil al-Qur`an. Soal menjauhi larangan muniman keras, misalnya, ia menganologikan bahwa orang sehat pasti akan milih susu jika ditawari antara minuman keras atau susu. Karena al-Qur`an itu mengajarkan orang berpikir sehat, maka orang yang sehat akan menjauhi minuman keras.
Sedang larangan zina, menurut Gus Tanto karena itu merendahkan derajat seseorang. Soal judi, Gus Tanto melihat bahwa ketika berjudi itu orang duduk bersama saling menjatuhkan (agar menang). Padahal Islam mengajarkan satu sama lain saling asah asuh asih (kebersamaan). Selanjutnya mencuri dan menipu dilarang karena itu menari di atas penderitaan orang lain dan kenapa madat (narkoba) itu dilarang, Gus Tanto menjelaskan bahwa hidup itu tidak harus berkhayal. “Hidup itu tidak harus dibayangkan, tetapi dijalankan,’ jelasnya.
Tak mudah mengentaskan orang yang sudah bergelut di dunia gelap. Jelas dibutuhkan perumpamaan yang dapat menjelaskan mereka dengan cara yang mudah dipahimi. Karena itu, untuk mengubah preman agar bisa menjadi orang yang berubah baik, Gus Tanto mengumpakan hidup mereka itu seperti proses ulat jadi kupu-kupu. Menurut Gus Tanto, ada filosofi di balik proses kejadian kupu-kupu itu. “Awalnya kupu itu ulat. Waktu binatang itu dalam bentuk ulat, nyaris tak ada orang mau menyentuh, karena ulat itu memang gatal! Bagaimana ulat itu bisa berubah drastis dari tidak disukai jadi disukai lingkungan? Fenoemena itu mirip hidup para preman, maka agar mereka disukai lingkungan harus bisa meniru proses ulat menjadi kupu-kupu,” terang Gus Tanto tentang filosofi proses hidup kupu-kupu.
“Pernah saya melihat proses perubahan itu, ulat menjadi enthung dan pada saat itu saya juga lagi berpuasa. Setelah saya amati, kemudian merekah (selama 40 hari), terus berubah jadi kupu-kupu. Di sini ada pelajaran penting yang dapat kita tiru, jika hidup orang mau merubah, orang itu harus menjalani puasa, prihatin dan kerja keras. Karena kalau orang sudah menjadi kupu-kupu, pasti akan disenangi orang,” jelas Gus Tanto lebih jauh sebelum mengakhiri wawancara dengan Hidayah sekitar pukul 03.15 dini hari di ruang tamu pesantren Istighfar, Semarang. (n. mursidi)
Lelaki kelahiran Semarang, 30 Agustus 1966 ini justru memilih menceburkan diri bahkan berteman dengan preman dan orang yang dicap sampah masyarakat itu. Tak salah, lelaki yang dijuluki kiai tombo ati (bahasa Indonesia: obat hati) ini kemudian mengundang daya pikat tersendiri karena pendekatan yang diterapkan kadang kontroversial. Jika pendekatan yang dipakai sebagian besar kiai kerap normatif (hitam putih) dengan hukum-hukum fiqh yang tanpa kompromi, lelaki beranak dua ini lebih lentur sehingga membuat beberapa preman di Semarang bertobat.
Kecil Sudah di Jalan
Lahir sebagai anak bungsu dari (empat bersaudara) pasangan Siti Kustinah dan Muhammad Nasiran, Gus Tanto memiliki kehidupan yang unik. Ia tumbuh besar tatkala usaha orangtuanya mulai surut. Padahal sebelum Gus Tanto lahir, ayahnya pernah jaya sebagai pengusaha sapi bahkan sempat tinggal di luar negeri. Tapi karena sang istri meminta balik, ayah Gus Tanto pulang. Sepulang itu, usaha ayahnya mulai merosot apalagi diperparah dengan kondisi teman bisnis yang tak lagi sehat.
Empat tahun setelah Gus Tanto lahir, ekonomi keluarga berubah drastis ketika rumah Gus Tanto kebakaran. “Kobaran api melahap apa yang kami miliki, tinggal baju-celana sepotong. Karena abah (ayah --red) tak menyimpan di bank, kami tidak memiliki tabungan. Sejak itu, kami mengalami kehidupan drastis yang namanya kemiskinan,” cerita Gus Tanto tentang masa kecilnya yang mengubah keadaan ekonomi keluarga.
Dengan kemiskinan itu, justru Gus Tanto dihadapkan dengan hidup nyata. Tak pelak, kalau ia harus bekerja (apa pun) untuk meringankan beban keluarga sejak kecil. Waktu SMP bahkan Gus Tanto pernah jadi kenet-nya Tukul Arwana. “Ketika itu, mas Tukul meminta saya untuk mencari penumpang. Setelah mencari susah-susah dan angkot yang disopiri mas Tukul penuh, eh saya ditinggal….” kenang lelaki kharismatik yang kini justru menjadi guru spiritual Tukul Arwana ini.
Maka selepas SMA, Gust Tanto tidak melanjutkan kuliah dan memilih mencari pekerjaan. Berbekal ijazah SMA dan sertifikat administrasi, ia melamar ke beberapa perusahaan. Tapi tak satu pun menuai hasil. Ia tidak pernah dipanggil. Kendati demikian, ia tak patah arang, “Saya tak putus asa. Inilah hidup!” terangnya.
Tak ada harapan menjadi pegawai, Gus Tanto memutuskan ikut tinju. Selama 1 tahun ikut latihan (di sasana Jamu Jago), dia pun tergiur bertanding di PRPP yang saat itu menjajikan hadiah Rp 250.000 bagi petinju yang kalah maupun menang. Tapi seminggu sebelum bertanding, ibu Gus Tanto tahu. “Dunia akhirat saya tak merestui anakku akan menjadi petinju,” cerita Gus Tanto menirukan penolakan umi-nya.
Setelah harapan jadi petinju kandas, Gus Tanto menekuni pekerjaan lain, kerja di bengkel kadang menjadi kenet seraya menjalani puasa yang sudah dijalaninya sejak kelas 2 SD. Lalu, jualan limbah, seperti potongan kertas (foto copy) dan praktis pernah membaur dengan pemulung. Tetapi anehnya dari keuntungan itu, justru Gus Tanto bisa mendapatkan modal guna jualan sepatu ke Cilacap dan dua tahun kemudian membeli mobil sebagai sarana jualan sepatu keliling ke daerah Purwokerto.
Lagi-lagi, itu tidak berlangsung lama. Setelah omset menurun, ia banting setir ganti usaha jual-beli motor dan keuntungan dari bisnis itu, tahun 1988 Gus Tanto mengumpulkan teman-temannya yang nganggur diajak berkumpul mujahadah dengan tujuan agar tak bertindak negatif. Tanpa disadari keuntungan habis dan kemudian ia bekerja jadi sopir pribadi orang China (1990). Tapi tak berlangsung lama, karena harus keluar setelah tak dizinkan shalat Jum`at.
Setelah tidak jadi sopir, ada orang yang mempercayai jadi keamanan dan pengelola sebuah rumah makan di Terminal Terboyo. “Dari situlah, saya bekerja sambil mengemas orang-orang di terminal lalu pada 1997 terjun di usaha outobus yang menjadikan bisa berkumpul dengan orang-orang jalanan. Dari situlah, mujahadah yang saya rintis sejak tahun 1988 berlanjut dari rumah ke rumah hingga pada awal tahun 2005 Allah memberikan amanat kepada saya untuk mendirikan pondok,” cerita Gus Tanto soal cikal bakal pondok, “Padahal saat itu saya hanya bekerja di terminal. Saya pernah berpikir, dari mana saya dapat uang, tapi akhirnya saya tahu jika itu berkat doa umi saya,“ lanjutnya.
Mondok di Terminal Terboyo
Jika kiai berambut gondrong ini akrab dengan preman, itu bukan hal yang istimewa. Maklum, sejak kecil Gus Tanto hidup di jalanan sehingga tak mustahil tahu betul kerak kehidupan kaum preman di jalanan. Meski tidak sempat menyenyam pendidikan di pesantren, toh itu tidak menghalangi keteguhan abi (ayah) dari Husen Toto Nurkholish ini mendirikan pesantren. “Jika Anda bertanya di mana saya pernah mondok, saya akan jawab bahwa saya ini adalah alumni pondok Terboyo,” kelakarnya kepada Hidayah.
Maklum, kalau pemimpin pondok Istighfar ini mengaku alumni pondok Terboyo, karena di terminal Semarang itu kiai satu ini dapat memetik pelajaran dari kehidupan nyata. Di terminal itu, Gus Tanto bahkan mengambil hikmah dari kepahitan hidup. Kendati demikian, tak kurang pelajaran agama dan akhlak (moralitas) diajarkan oleh sang ibu, Siti Kustinah yang jika ditelusuri ke belakang ternyata masih memiliki darah pesantren, karena ibu Gus Tanto adalah putri dari KH. Syafi`i (kiai kahrismatik dari Kudus) dan Hj. Nasirah.
Selain diajari mengaji, oleh sang ibu Gus Tanto juga diajari berpuasa sebagai bekal hidup. “Dedikasi puasa saya itu memang dari umi. Waktu masih kelas 2 SD, umi sudah melatih berpuasa. Meski saya sendiri memiliki niat ingin jadi orang baik dengan berpuasa. Soalnya sewaktu kecil saya, ada benturan di daerah Perbalan sini, di mana sosialisasi orang-orang benar-benar tak sehat dan saya sering terjajah. Karena itu, saya bertekat melakukan puasa senin-kamis sejak kelas 2 SD.”
Dari berpuasa itu, Gus Tanto mendapatkan hikmah yang tak diperoleh orang lain. Ia tidak menepis, ilmu bisa merasuk ke dada lantaran orang itu rajin berpuasa. “Jika orang membaca, ilmu itu melekat di otak, tetapi orang yang puasa, bisa memperoleh hikmah yang melekat di dada,” tegas kiai sederhana ini. Tak salah, dari amalan puasa yang sempat dijalaninya, Gus Tanto pernah mendapat pengalaman spiritual yang hingga kini masih dikenangnya, pernah mengalami masa krisis sakaratul maut.
Selain pendidikan agama dan keteladanan yang diajarkan sang ibu, kiai murah senyum ini pun tak menepis bentukan mental dari kedermawanan yang dicontohkan ayahnya. Karena di balik uluran tangan yang diamalkan sang ayah, kini Gus Tanto memetik hikmah, berupa kebahagiaan hidup setelah membagi kepada orang lain. Dari prinsip hidup yang ditanamkan kedua orangtuanya sejak kecil itu, Gus Tanto jadi tertempa kuat.
Di Balik Kehidupan Kupu-kupu
Dari apa yang diajarkan orangtua, terutama umi-nya, Gus Tanto berusaha untuk membantu orang, “Dengan membantu itu, saya menemukan namanya “tombo ati” (ketentraman di hati) di mana saya dibutuhkan orang,” terang abi dari Amalia Zulfa Nilasari ini dengan senyum renyah.
Dalam menolong orang lain, terutama mengemas hidup preman atau orang yang pernah bergelut di dunia gelap, Gus Tanto mengajarkan untuk menekankan pentingnya ketenangan hati. Karena menurut Gus Tanto, “Kita tahu semua bahwa permasalah apa pun sentralnya di hati, kalau hati sejuk, tidak akan ada masalah lagi.”
Untuk menciptakan hati agar sejuk, Gus Tanto mewanti-wanti untuk menjauhi m limo dan selalu beristighfar. Uniknya lagi, dalam menjelaskan larangan al-Qur`an agar menjuhi m limo itu, Gus Tanto punya analogi yang membuat preman yang dibimbingnya tidak merasa dijustifikasi dengan dalil al-Qur`an. Soal menjauhi larangan muniman keras, misalnya, ia menganologikan bahwa orang sehat pasti akan milih susu jika ditawari antara minuman keras atau susu. Karena al-Qur`an itu mengajarkan orang berpikir sehat, maka orang yang sehat akan menjauhi minuman keras.
Sedang larangan zina, menurut Gus Tanto karena itu merendahkan derajat seseorang. Soal judi, Gus Tanto melihat bahwa ketika berjudi itu orang duduk bersama saling menjatuhkan (agar menang). Padahal Islam mengajarkan satu sama lain saling asah asuh asih (kebersamaan). Selanjutnya mencuri dan menipu dilarang karena itu menari di atas penderitaan orang lain dan kenapa madat (narkoba) itu dilarang, Gus Tanto menjelaskan bahwa hidup itu tidak harus berkhayal. “Hidup itu tidak harus dibayangkan, tetapi dijalankan,’ jelasnya.
Tak mudah mengentaskan orang yang sudah bergelut di dunia gelap. Jelas dibutuhkan perumpamaan yang dapat menjelaskan mereka dengan cara yang mudah dipahimi. Karena itu, untuk mengubah preman agar bisa menjadi orang yang berubah baik, Gus Tanto mengumpakan hidup mereka itu seperti proses ulat jadi kupu-kupu. Menurut Gus Tanto, ada filosofi di balik proses kejadian kupu-kupu itu. “Awalnya kupu itu ulat. Waktu binatang itu dalam bentuk ulat, nyaris tak ada orang mau menyentuh, karena ulat itu memang gatal! Bagaimana ulat itu bisa berubah drastis dari tidak disukai jadi disukai lingkungan? Fenoemena itu mirip hidup para preman, maka agar mereka disukai lingkungan harus bisa meniru proses ulat menjadi kupu-kupu,” terang Gus Tanto tentang filosofi proses hidup kupu-kupu.
“Pernah saya melihat proses perubahan itu, ulat menjadi enthung dan pada saat itu saya juga lagi berpuasa. Setelah saya amati, kemudian merekah (selama 40 hari), terus berubah jadi kupu-kupu. Di sini ada pelajaran penting yang dapat kita tiru, jika hidup orang mau merubah, orang itu harus menjalani puasa, prihatin dan kerja keras. Karena kalau orang sudah menjadi kupu-kupu, pasti akan disenangi orang,” jelas Gus Tanto lebih jauh sebelum mengakhiri wawancara dengan Hidayah sekitar pukul 03.15 dini hari di ruang tamu pesantren Istighfar, Semarang. (n. mursidi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar