Senin, 01 Oktober 2007

abu nawas menjadi dokter

tulisan ini dimuat di majalah hidayah edisi 75 oktober 2007

Suatu hari, tiba-tiba, putra raja yang bakal mewarisi tahta, jatuh sakit. Tak bisa berbuat apa-apa. Sontak, raja bingung tujuh keliling. Tabib diundang, karena raja tak ingin terjadi sesuatu dengan putra mahkota itu. Tetapi tidak satu pun dari tabib yang datang ke istana itu bisa mengobati sang pangeran.

Tak ingin putra mahkota kian sakit parah, akhirnya sang raja mengadakan sayembara yang boleh diikuti siapa pun saja, tak terkecuali oleh penduduk negeri seberang. Anehnya, meski sudah disediakan hadiah menggiurkan, tetap saja tidak ada tabib yang mampu mengobati penyakit putra mahkota.

Raja kian linglung. Tetapi, di tengah kelinglungan itu, Abu Nawas tiba-tiba menawarkan jasa pada raja untuk mengobati putra mahkota. Raja Harun al-Rasyid menerima jasa baik Abu Nawas itu meski dalam hati ia meragukan Abu Nawas karena ia bukan seorang tabib. Tak ada pilihan lain, sang raja akhirnya menerima tawaran Abu Nawas.

Saat Abu Nawas tiba di istana tanpa membawa apa-apa, raja tercengang. Seluruh pejabat istana bahkan berpikir, apa Abu Nawas bisa mengobati pangeran mengingat para tabib terkenal dari berbagai negeri pun tak bisa berbuat banyak? Bahkan para tabib itu tak bisa mengendus penyakit yang diderita putra mahkota.

Abu Nawas tahu, seluruh pejabat meragukan kehebatannya. Tapi dia tidak peduli. Ia memasuki kamar pangeran, lalu duduk di tepian ranjang pangeran yang terbaring tak berdaya. “Aku butuh seorang tua yang masa mudanya dulu sering mengembara ke pelosok negeri!” pinta Abu Nawas.

Permintaan itu dikabulkan. Orangtua yang punya pengalaman mengembara ke pelosok negeri pun didatangkan. Di hadapan orangtua itu, Abu Nawas berucap, “Sebutkan satu persatu nama desa-desa di derah selatan!”

Orangtua itu menyebutkan nama desa-desa di Selatan, sementara itu Abu Nawas menempelkan telinganya tepat di dada pangeran. Tidak ada sesuatu yang dirasakan Abu Nawas di dada pengeran, ia akhirnya memerintahkan orangtua itu untuk menyebutkan nama desa-desa di bagian Utara.

Sesaat kemudian, entah apa yang dirasakan Abu Nawas, ia tiba-tiba girang dan meminta izin pada baginda untuk pergi dua hari mengunjungi desa di sebelah Utara. Sontak, raja tak habis mengerti, “Wahai Abu Nawas, aku undang kamu ke istana bukan untuk bertamasya.”

“Paduka raja, ini tak untuk berlibur,” jawab Abu Nawas.

“Tapi aku belum paham kemauanmu untuk pergi ke desa di Utara itu.”

“Maaf paduka, rasanya kurang bijak jika hamba harus jelaskan sekarang.”

Dua hari kemudian, Abu Nawas datang. Dengan muka berseri, dia langsung menuju ke istana, memasuki kamar pangeran, lantas membisikkan sesuatu. Tidak lama kemudian, ia menempelkan telinganya ke dada putra mahkota.

Pangeran masih terbaring tak berdaya tapi sekarang ini Abu Nawas sudah tahu penyakit yang diderita sang pangeran. Maka ia cepat-cepat menghadap raja, “Apakah paduka yang mulia masih mengharapkan putra mahkota hidup?” tanya Abu Nawas tiba-tiba, membuat raja semakin bingung.

“Kamu ini datang justru membuat aku kian bingung. Apa maksudmu?”

“Maaf paduka, ternyata sang pangeran sedang dilanda penyakit jatuh cinta pada seorang gadis desa di sebelah Utata negeri ini,” jawab Abu Nawas.

“Bagaimana kau bisa tahu?”

“Ceritanya, pada waktu orangtua itu menyebut nama-nama desa di seluruh negeri, tiba-tiba jantung pangeran berdegup kencang ketika ia mendengar sebuah nama desa di bagian Utara negeri ini. Karena itu, saya kemudian pergi ke sana untuk mencari tahu kebenaran itu. Ternyata benar. Pangeran sedang jatuh cinta pada gadis desa tersebut, tapi tidak berani mengutarakannya pada Baginda.”

“Lalu, apa yang harus aku lakukan?”

“Paduka harus menikahkan pangeran dengan gadis tersebut!”

“Kalau tidak?”

“Maaf paduka, cinta itu buta . Bila kita tidak mengobati kebutaannya, maka ia akan mati…”

Raja menuruti saran Abu Nawas, karena pangeran itu adalah satu-satunya putranya yang akan mewarisi tahta. Saran Abu Nawas itu ternyata benar. Karena setelah sang pangeran mendengar ayah-nya menyetujui pernikahannya dengan gadis desa itu, dia berangsur-angsur sadar dan beberapa hari kemudian sembuh.

Abu Nawas akhirnya mendapatkan cincin permata indah dari raja sebagai “imbalan atas jasa” yang dia perbuat. (n. mursid/dinukil dari Abu Nawas; Cuplikan Kisah 1001 Malam, Rahimsyah, Penerbit Amelia, Surabaya, 2003)


Tidak ada komentar: