Senin, 01 Oktober 2007

kesaksian mantan aktivis garis keras

resensi ini dimuat di majalah hidayah edisi 75 oktober 2007

Judul buku : Jihad Terlarang: Cerita dari Bawah Tanah
Pengarang : Mataharitimoer
Penerbit : Kayla Pustaka (www.kaylapustaka.com)
Cetakan : Agustus 2007 (380 halaman), Rp: 44.000,00

Pengalaman hidup, tak jarang bisa jadi ide penulisan novel yang memikat. Apalagi jika pengalaman itu pergulatan hidup mencari kebenaran. Maka gagasan menulis dalam bentuk novel pun bisa disebut sebagai kesaksian sekaligus sebuah pilihan hidup. Spirit itulah yang mendasari kelahiran novel Jihad Terlarang: Cerita dari Bawah Tanah ini.

Ditulis dari kisah nyata, novel ini berkisah tentang pergulatan hidup Royan yang pernah ikut pergerakan Islam garis keras. Ayahnya ditembak mati tentara saat mengikuti pengajian akbar di Tanjung Priok (1984), dan karena sedih, ibunya kemudian ikut meninggal. Royan pun hidup sebatang kara, tinggal di terminal dan disulut dendam pada Tuhan dan tentara.

Perkenalan Royan dengan Supar, ternyata mengubah jalan hidupnya. Ia lalu diajak tinggal di masjid, direkrut menjadi pengikut pergerakan bawah tanah, yang ingin mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) atau menggulingkan rezim thagut (setan). Ia pun ikut bergerilya mempertaruhkan nyawa jihad di jalan Allah.

Tapi saat sudah setia (taslim), rela mati demi perjuangan, ia menyaksikan kezaliman di tubuh pergerakan. Dia melihat pimpinan harus ditaati membabi-buta, larangan menikah dengan pasangan dari luar, ikrar (syahadat) lagi, dan menuding orang di luar (pergerakan) itu kafir. Karena dianggap kafir, maka merampok harta mereka pun halal. Ia menentang. Atasanya berang, membungkam dengan fitnah dan uang sogokan. Royan lantas keluar dari pergerakan yang selama ini dianggap benar. Ia berjalan dalam sunyi, mencari makna sejati jihad.

Novel ini, jelas kesaksian luar biasa. Lewat jalan sunyi Royan, pengarang berusaha menyibak makna jihad yang kerap disalahartikan. Wajar, Syafi`i Maarif menyebut novel ini kisah aktual dari dunia yang penuh misteri, ganas, eksklusif, mengatasnamakan Tuhan. Sebab “aksi” yang dianggap jihad, ternyata berlawanan dengan ruh Al-Qur`an tentang cara damai dan beradab mencapai tujuan

Novel ini juga dibangun dari ide brilian. Mungkin yang patut dikritisi adalah capaian estetis yang kurang menggelora, kering diskripsi dan alur kurang berliku. Tapi kekurangan itu bisa ditutupi ide menohok isu terorisme yang belakangan ini marak. Pantas, Zaki Amrullah -wartawan Deutsche Welle, Jerman- menilai novel ini layak dibaca para pemerhati kebijakan politik nasional dan international terkait isu jihad dan terorisme!!! (A. Sholeh)

Tidak ada komentar: