Kota Madinah tak lagi dibisingkan dengan denting sabetan pedang atau hujan anak panah setelah lebih setahun kaum Muslimin berhasil mematahkan rongrongan dari dalam dan dari luar Madinah. Tetapi, angin ketentraman yang dihirup kaum Muslimin itu, ternyata tak berlangsung lama. Karena kedengkian sisa-sisa kabilah Yahudi Madinah terhadap umat Islam, tiba-tiba membuncah dalam dendam membara. Kota Madinah pun ingin digoyang dengan sebuah konspirasi peperangan.
Kedengkian dan dendam dari sisa-sisa kabilah Yahudi Madinah semata-mata dibesut ketidaksenangan mereka ketika melihat umat Islam Madinah kian berkembang dengan pesat dan bersinar cemerlang laksana cahaya mentari pagi. Di sisi lain, kebencian mereka juga akibat tikaman dari nasib orang-orang Bani Nadhir yang terusir dari Madinah. Dada mereka pun mendidih. Kebencian merangsek di hati. Padahal, terusirnya orang-orang Bani Nadhir itu merupakan kesalahan mereka sendiri akibat mengkhianati perjanjian, dan telah mencoba untuk membunuh rasulullah.
Tapi sisa-sia kabilah Yahudi seakan tutup mata terhadap kesalahan Bani Nadhir dan justru besutan kebencian terhadap Islam itu membuat mereka lalu menggalang kekuatan dengan kelompok anti-Islam lain guna memadamkan cahaya Islam yang sudah menyala terang benderang.
Gabungan Pasukan Besar
Memang, nafsu sisa-sia kabilah Yahudi untuk menghancurkan umat Islam itu besar, tetapi nyali mereka ternyata kecil. Maklum, jika mereka masih dihantui rasa takut menghadapi umat Islam lantara kekuatan dan kewibawaan kaum mulsimin semakin memancarkan cahaya cemerlang. Kendati demikian, mereka tidak kehilangan akal. Tokoh-tokoh dari kabilah Yahudi pun tahu satu-satunya cara yang “ampuh” adalah memanfaatkan kekuatan kaum musyrikin Makkah dan juga sekutu-sekutu yang lain untuk melacarkan serangan ke Madinah.
Karena itu, mereka pun ingin mewujudkan cita-cita jahat itu dan pertama kali kabilah Yahudi menjalin kerjasama dan mengadakan kesepakatan dengan orang Bani Nadhir yang telah terusir dari Madinah (setahun sebelumnya). Jelas, kesepakatan itu tidak ditampik oleh tokoh-tokoh dari Bani Nadhir. Dua kekuatan ini pun lantas mengajak kaum musyrikin Makkah dan mendesak kaum Musyrikin untuk mengerahkan kekuatannya guna menyerang kaum Muslimin di Madinah.
Karena desakan itu diiringi janji orang Yahudi nantinya akan memberikan dukungan penuh dan bahkan bantuan, maka gayung pun bersambut. Apalagi, orang Musyrikin Makkah sudah lama memendam rasa dendam terhadap kaum Muslimin. Tak salah, jika tokoh-tokoh musyrikin Makkah menyambut rencana itu dan menyatakan sigap berperang.
Setelah bersepakat dengan kaum musyrikin, sisa-sisa dari kabilah Yahudi, lantas menjalin kerjasama dengan kabilah Bani Gathafan untuk maksud yang sama. Berkat kelicikan kaum Yahudi yang berjanji nantinya akan mengerahkan kekuatan ekonomi, tentu kabilah Bani Gathafan serta kaum musyrikin Makkah yang semula masih dihantui rasa takut kembali berkobar. Karena dengan laskar gabungan yang besar itu, mereka semua yakin nanti akan bisa mengalahkan kaum muslimin di Madinah.
Beberapa waktu kemudian, setelah kaum musyrikin dan sekutunya siap, pasukan anti-Islam itu bergerak menuju Madinah. Dalam sejarah Islam, perang ini dikenal dengan nama perang khandaq atau perang Ahzab. Disebut perang Ahzab, karena mereka terdiri dari beberapa golongan yang bersekutu. Disebut dengan perang khandaq, karena umat Islam menggunakan parit untut tempat perlindungan.
Gelombang pasukan gabungan yang akan menyerang kota Madinah itu pun bergemuruh. Dari arah selatan, bergerak pasukan gabungan dari kabilah Musyrikin Makkah, Kinanah, juga penduduk Tihamah di bawah pimpinan Abu Sofyan bin Harb dengan jumlah pasukan 4000 orang. Di tengah jalan masih turut bergabung pula pasukan bersenjata dari Bani Sulaim di Marr Adz-Dzahran.
Dari arah Timur, bergerak pasukan kabilah Ghatafan dan Fazarah, yang berada di bawah pimpinan Uyainah. Turut bergabung pula pasukan bersenjata dari Bani Murrah di bawah pimpinan Al-Harits bin Auf, pasukan bersenjata Bani Asyja` di bawah pimpinan Mus`ir bin Rakhilah dan pasukan bersenjata dari Bani Asad yang dipimpin oleh kepala kabilahnya sendiri.
Kekuatan gabungan yang berduyun-duyun bergerak ke kota Madinah itu berjumlah sekitar 10.000 orang dan sudah sepakat akan tiba di Madinah dalam waktu yang sudah ditentukan. Tentu, jumlah besar pasukan itu bisa mengancam keberadaan umat Islam di Madinah. Apalagi kalau pasukan gabungan tersebut berhasil menerobos ke dalam kota, tidak dimungkiri bisa membahayakan Islam. Mungkin saja, akan terjadi pembantaian massal dalam sejarah Islam.
Tetapi, rasulullah sudah mendapatkan kabar tentang pasukan gabungan itu dan telah mempersiapkan taktik perang yang mumpuni. Dalam menghadapi pasukan musuh itu, rasulllah memerintahkan untuk menggali parit-parit di pinggir kota yang rawan atau mudah diterobos musuh. Penggalian parit itu sebenarnya usulan dari Salman Al-Farisyi. Penggalian parit pun segera dilaksanakan, apalagi pasukan gabungan musuh sudah bergerak ke Madinah dan tak ada waktu lagi untuk berleha-leha lantaran pekerjan itu seperti dikejar hitungan waktu dengan perjalanan pasukan musuh yang sudah merangsek ke sasaran.
Ditikam waktu, rasulullah pun ikut turun tangan bekerja bersama kaum muslimin menggali parit. Tak salah, jika kaki dan wajah rasul berlumuran keringat, bau tanah dan debu. Apalagi, orang-orang munafik dengan congkak tak ingin membantu dengan melontarkan ucapan pedas, “Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan kepada kami melainkan tipu daya.” (QS. Ahzab [33]: 12).
Tetapi, kaum muslimin kuat iman dan percaya akan janji Allah. Makanya, sekalipun udara Madinah sedang dingin, penggalian parit berjalan terus. Seraya menggali parit, kaum muslimin mendendangkan puji syukur, sesekali membaca syair. Hingga tak terasa, penggalian parit selesai sebelum pasukan musuh tiba.
Tidak Gentar
Waktu berlalu. Pasukan kaum musyrikin Quraisy yang berkekuatan sekitar 4.000 orang --termasuk kabilah Kinanah, Tihamah dan kabilah kecil lainnya-- tiba di Asyal Raumah, sebuah tempat yang terletak antara Jarf dan Zaghabah. Sedang pasukan Bani Ghatrafah dan penduduk Najd sudah menginjakkan kaki di dataran tinggi Uhud. Tentara Ahzab yang berkekuatan sekitar 10.000 orang itu pun siap menggempur Madinah.
Kendati pasukan musuh besar, tetap tidak membuat umat Islam gentar. Pasalnya, umat Islam yakin Allah akan menolong. Di sisi lain, meski pasukan musuh tiga kali lipatnya, umat Islam tahu secara kualitas pasukan musuh lemah karena tak berada dalam satu kemepimpinan. Abu Syafyan memimpin pasukan Musyrikin, kabilah Kinanah, Tihamah serta kabilah-kabilah kecil lainnya. Uyainah bin Hishn memimpin pasukan Bani Ghathafan. Mas`ud bin Rakhilah memimpin pasukan Bani Asyja`. Pasukan Bani Sulaim dipimpin Sufyan bin Abdusy-Syams. Adapun pasukan kecil-kecil lain di bawah pimpinan kabilahnya.
Kala melihat parit membentang di hadapan mereka, pasukan musuh pun terperanjat kaget. Apalagi dalam perang sebelumnya mereka belum pernah menemui pertahanan menggunakan parit sebagimana dikerjakan oleh kaum muslimin. Tak khayal, mereka berpikir lagi jika ingin menerobos kota Madinah. Pasalnya, jika pasukan gabungan itu "nekat" menerobos masuk ke dalam parit, maka parit itu akan bisa jadi liang kubur mereka karena kaum muslimin bisa saja menghujani anak panah. Sistem pertahanan parit itu pun menjadi bukti bahwa untuk menghancurkan pasukan kaum muslimin di kota Madinah, ternyata tidak mudah.
Tatkala dihadapkan pada keadaan sulit itu, seorang tokoh dari kabilah Yahudi bernama Huyaiy bin Akhthab ternyata tak kehabisan akal. Diam-diam, ia menelusup masuk ke kota Madinah, menghasut Bani Quraidhah (kabilah Yahudi yang tinggal di Madinah) agar membantu tentara Ahzab dengan melancarkan serangan dari dalam.
Akan tetapi, rasulullah bisa mencium gelagat Huyaiy bin Akhthab. Untuk itu, rasulullah dengan waspada memilih menugaskan Salmah bin Aslam serta Zaid bin Haritsah untuk menghadapi renana dari kaum Yahudi itu agar tidak dapat berkutik dan leluasa merongrong.
Saling Berhadapan
Dibanding dengan jumlah pasukan musuh, pasukan kaum muslimin tidak seberapa besar karena cuma berjumlah 3.000 orang. Tetapi dengan keyakinan dan iman, pasukan muslim sudah bertekat menyambut serangan dari pasukan Ahzab dengan menempati posisi yang sudah diatur rasulullah. Meski di hadapan pasukan musuh telah terbentang parit yang dalam, pasukan gabungan masih menyombongkan diri dengan kekuatan mereka.
Padahal, sepanjang galian yang dijadikan parit itu tidak ada kayu yang dapat dijadikan sebagai jembatan penyeberangan. Tidak salah, kalau pasukan musuh tidak bisa menyebrangi parit karena hal itu bisa berarti bunuh diri. Karena tindakan itu bisa jadi sasaran empuk bagi kaum muslimin guna menghujani anak panah atau batu-batu yang sudah disiapkan di sepanjang parit.
Pasukan Ahzab lemah semangat. Putus asa. Tampak dari wajah mereka yang sejak keberangkatan ke Madinah sudah yakin akan menang, tiba-tiba sayu dan redup. Akan tetapi, di tengah keputus-asaan itu, ada beberapa orang yang berani melintasi parit dengan menunggang kuda lewat bagian yang agak dangkal; seperti Amr bin Abdi Wudd Al-Amiry. Setelah berhasil melintasi parit, ia dengan congkak menantang duel. Ali bin Abi Thalib meladeni tantangannya dan berhasil menghunuskan pedang ke bahu Amr. Seketika itu, ia pun tewas.
Kematian Amr membuat pasukan musuh ciut. Apalagi, ada beberapa musuh berusaha melintasi parit dan dihujani dengan anak panah dan batu. Tak pelak jika pasukan musuh harus berpikir untuk melintasi parit. Akhirnya, pasukan Ahzab memutuskan untuk mengepung kota Madinah dan memilih menghujani kaum muslimin dengan anak panah dari seberang. Kaum muslimin membalas dengan cara yang sama meski tak segencar pasukan Ahzab. Dalam serangan saling menghujani panah itu, pasukan musuh tewas 1 orang dan pasukan kaum muslimin gugur 5 orang.
Kala perang panah berlangsung, tiba-tiba kaum muslimin dikhianati oleh kaum Yahudi Bani Quraidhah yang saat itu masih menjadi penduduk Madinah. Mereka ternyata membuka daerah pemukiman di pinggir kota yang tidak digali menjadi parit sehingga sebagian pasukan Ahzab dapat masuk dan menyerang rumah rasulullah. Untunglah, kaum muslimin berhasil memukul mundur sebagain pasukan Ahzab yang berhasil memasuki Madinah itu, sehingga mereka akhirnya mundur kembali.
Musuh Dihantam Badai
Hari berlalu, dan minggu-munggu pun sudah terlewati. Hampir satu bulan, kaum muslimin dikepung pasukan musuh dan hubungan dengan pihak luar pun terputus dan keadaan itu mengakibatkan kaum muslimin kekurangan bahan makanan. Hal sama dialami oleh pasukan musuh. Kendati demikian, umat Islam tetap tabah. Sabar menghadapi ujian berat dan tetap yakin akan pertolongan yang datang dari Allah. Bahkan rasul tak putus-putus bermunajat (memohon pertolongan) kepada Allah.
Setelah satu bulan dikepung, Allah memberikan pertolongan lewat kabar gembira pada rasulullah bahwa umat Islam tak perlu gentar karena perang itu akan dimenangkan kaum muslimin. Janji Allah itu terbukti. Datang udara yang dingin, bahkan lebih dingin dari hari sebelumnya. Selanjutnya, Allah mengirim angin topan dan puting beliung di daerah yang dihuni pasukan Ahzab. Badai itu menghancurkan kemah-kemah, perlengkapan perang dan sisa-sia perbekalan pasukan Ahzan. Tak pelak, jika mereka kebingungan menghadapi badai yang datang dengan dahsyat itu.
Akhirnya, badai itu meruntuhkan semangat mereka untuk melanjutkan perang. Karena malam di saat badai itu datang, mereka kalang kabut dan berusaha mencari selamat. Saat pagi tiba, tak terlihat satupun tentara musuh yang berada di perkemahan dan kawasan pasukan musuh itu pun berantakan. Kusut masai, pasukan Ahzab pulang tanpa membawa perlengkapan perang karena semua yang mereka bawa dihancurkan badai puting beliung. Pasukan Ahzab hanya bersungut kecewa, menyalahkan nasib mereka yang malang.
Allah menggambarkan rasa kecewa akibat kekalahan pasukan Ahzab itu dalam al-Qur`an, "Dan Allah menghalau orang-orang kafir itu dalam keadaan mereka penuh jengkel, (lagi) mereka tak memperoleh keuntungan apa pun dan Allah menghindarkan orang-orang beriman dari perang (Ahzab). Dan dalah Alllah Maha Kuat lagi Maha Perkasa (QS. Al-Ahzab; 25). (n. mursidi/disarikan dari Membangun Peradaban: Sejarah Muhammad Sejak Sebelum Diutus Menjadi Nabi, H.M.H Al-Hamid Al-Husaini, penerbit Pustaka Hidayah, Jakarta, 2000)
Kedengkian dan dendam dari sisa-sisa kabilah Yahudi Madinah semata-mata dibesut ketidaksenangan mereka ketika melihat umat Islam Madinah kian berkembang dengan pesat dan bersinar cemerlang laksana cahaya mentari pagi. Di sisi lain, kebencian mereka juga akibat tikaman dari nasib orang-orang Bani Nadhir yang terusir dari Madinah. Dada mereka pun mendidih. Kebencian merangsek di hati. Padahal, terusirnya orang-orang Bani Nadhir itu merupakan kesalahan mereka sendiri akibat mengkhianati perjanjian, dan telah mencoba untuk membunuh rasulullah.
Tapi sisa-sia kabilah Yahudi seakan tutup mata terhadap kesalahan Bani Nadhir dan justru besutan kebencian terhadap Islam itu membuat mereka lalu menggalang kekuatan dengan kelompok anti-Islam lain guna memadamkan cahaya Islam yang sudah menyala terang benderang.
Gabungan Pasukan Besar
Memang, nafsu sisa-sia kabilah Yahudi untuk menghancurkan umat Islam itu besar, tetapi nyali mereka ternyata kecil. Maklum, jika mereka masih dihantui rasa takut menghadapi umat Islam lantara kekuatan dan kewibawaan kaum mulsimin semakin memancarkan cahaya cemerlang. Kendati demikian, mereka tidak kehilangan akal. Tokoh-tokoh dari kabilah Yahudi pun tahu satu-satunya cara yang “ampuh” adalah memanfaatkan kekuatan kaum musyrikin Makkah dan juga sekutu-sekutu yang lain untuk melacarkan serangan ke Madinah.
Karena itu, mereka pun ingin mewujudkan cita-cita jahat itu dan pertama kali kabilah Yahudi menjalin kerjasama dan mengadakan kesepakatan dengan orang Bani Nadhir yang telah terusir dari Madinah (setahun sebelumnya). Jelas, kesepakatan itu tidak ditampik oleh tokoh-tokoh dari Bani Nadhir. Dua kekuatan ini pun lantas mengajak kaum musyrikin Makkah dan mendesak kaum Musyrikin untuk mengerahkan kekuatannya guna menyerang kaum Muslimin di Madinah.
Karena desakan itu diiringi janji orang Yahudi nantinya akan memberikan dukungan penuh dan bahkan bantuan, maka gayung pun bersambut. Apalagi, orang Musyrikin Makkah sudah lama memendam rasa dendam terhadap kaum Muslimin. Tak salah, jika tokoh-tokoh musyrikin Makkah menyambut rencana itu dan menyatakan sigap berperang.
Setelah bersepakat dengan kaum musyrikin, sisa-sisa dari kabilah Yahudi, lantas menjalin kerjasama dengan kabilah Bani Gathafan untuk maksud yang sama. Berkat kelicikan kaum Yahudi yang berjanji nantinya akan mengerahkan kekuatan ekonomi, tentu kabilah Bani Gathafan serta kaum musyrikin Makkah yang semula masih dihantui rasa takut kembali berkobar. Karena dengan laskar gabungan yang besar itu, mereka semua yakin nanti akan bisa mengalahkan kaum muslimin di Madinah.
Beberapa waktu kemudian, setelah kaum musyrikin dan sekutunya siap, pasukan anti-Islam itu bergerak menuju Madinah. Dalam sejarah Islam, perang ini dikenal dengan nama perang khandaq atau perang Ahzab. Disebut perang Ahzab, karena mereka terdiri dari beberapa golongan yang bersekutu. Disebut dengan perang khandaq, karena umat Islam menggunakan parit untut tempat perlindungan.
Gelombang pasukan gabungan yang akan menyerang kota Madinah itu pun bergemuruh. Dari arah selatan, bergerak pasukan gabungan dari kabilah Musyrikin Makkah, Kinanah, juga penduduk Tihamah di bawah pimpinan Abu Sofyan bin Harb dengan jumlah pasukan 4000 orang. Di tengah jalan masih turut bergabung pula pasukan bersenjata dari Bani Sulaim di Marr Adz-Dzahran.
Dari arah Timur, bergerak pasukan kabilah Ghatafan dan Fazarah, yang berada di bawah pimpinan Uyainah. Turut bergabung pula pasukan bersenjata dari Bani Murrah di bawah pimpinan Al-Harits bin Auf, pasukan bersenjata Bani Asyja` di bawah pimpinan Mus`ir bin Rakhilah dan pasukan bersenjata dari Bani Asad yang dipimpin oleh kepala kabilahnya sendiri.
Kekuatan gabungan yang berduyun-duyun bergerak ke kota Madinah itu berjumlah sekitar 10.000 orang dan sudah sepakat akan tiba di Madinah dalam waktu yang sudah ditentukan. Tentu, jumlah besar pasukan itu bisa mengancam keberadaan umat Islam di Madinah. Apalagi kalau pasukan gabungan tersebut berhasil menerobos ke dalam kota, tidak dimungkiri bisa membahayakan Islam. Mungkin saja, akan terjadi pembantaian massal dalam sejarah Islam.
Tetapi, rasulullah sudah mendapatkan kabar tentang pasukan gabungan itu dan telah mempersiapkan taktik perang yang mumpuni. Dalam menghadapi pasukan musuh itu, rasulllah memerintahkan untuk menggali parit-parit di pinggir kota yang rawan atau mudah diterobos musuh. Penggalian parit itu sebenarnya usulan dari Salman Al-Farisyi. Penggalian parit pun segera dilaksanakan, apalagi pasukan gabungan musuh sudah bergerak ke Madinah dan tak ada waktu lagi untuk berleha-leha lantaran pekerjan itu seperti dikejar hitungan waktu dengan perjalanan pasukan musuh yang sudah merangsek ke sasaran.
Ditikam waktu, rasulullah pun ikut turun tangan bekerja bersama kaum muslimin menggali parit. Tak salah, jika kaki dan wajah rasul berlumuran keringat, bau tanah dan debu. Apalagi, orang-orang munafik dengan congkak tak ingin membantu dengan melontarkan ucapan pedas, “Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan kepada kami melainkan tipu daya.” (QS. Ahzab [33]: 12).
Tetapi, kaum muslimin kuat iman dan percaya akan janji Allah. Makanya, sekalipun udara Madinah sedang dingin, penggalian parit berjalan terus. Seraya menggali parit, kaum muslimin mendendangkan puji syukur, sesekali membaca syair. Hingga tak terasa, penggalian parit selesai sebelum pasukan musuh tiba.
Tidak Gentar
Waktu berlalu. Pasukan kaum musyrikin Quraisy yang berkekuatan sekitar 4.000 orang --termasuk kabilah Kinanah, Tihamah dan kabilah kecil lainnya-- tiba di Asyal Raumah, sebuah tempat yang terletak antara Jarf dan Zaghabah. Sedang pasukan Bani Ghatrafah dan penduduk Najd sudah menginjakkan kaki di dataran tinggi Uhud. Tentara Ahzab yang berkekuatan sekitar 10.000 orang itu pun siap menggempur Madinah.
Kendati pasukan musuh besar, tetap tidak membuat umat Islam gentar. Pasalnya, umat Islam yakin Allah akan menolong. Di sisi lain, meski pasukan musuh tiga kali lipatnya, umat Islam tahu secara kualitas pasukan musuh lemah karena tak berada dalam satu kemepimpinan. Abu Syafyan memimpin pasukan Musyrikin, kabilah Kinanah, Tihamah serta kabilah-kabilah kecil lainnya. Uyainah bin Hishn memimpin pasukan Bani Ghathafan. Mas`ud bin Rakhilah memimpin pasukan Bani Asyja`. Pasukan Bani Sulaim dipimpin Sufyan bin Abdusy-Syams. Adapun pasukan kecil-kecil lain di bawah pimpinan kabilahnya.
Kala melihat parit membentang di hadapan mereka, pasukan musuh pun terperanjat kaget. Apalagi dalam perang sebelumnya mereka belum pernah menemui pertahanan menggunakan parit sebagimana dikerjakan oleh kaum muslimin. Tak khayal, mereka berpikir lagi jika ingin menerobos kota Madinah. Pasalnya, jika pasukan gabungan itu "nekat" menerobos masuk ke dalam parit, maka parit itu akan bisa jadi liang kubur mereka karena kaum muslimin bisa saja menghujani anak panah. Sistem pertahanan parit itu pun menjadi bukti bahwa untuk menghancurkan pasukan kaum muslimin di kota Madinah, ternyata tidak mudah.
Tatkala dihadapkan pada keadaan sulit itu, seorang tokoh dari kabilah Yahudi bernama Huyaiy bin Akhthab ternyata tak kehabisan akal. Diam-diam, ia menelusup masuk ke kota Madinah, menghasut Bani Quraidhah (kabilah Yahudi yang tinggal di Madinah) agar membantu tentara Ahzab dengan melancarkan serangan dari dalam.
Akan tetapi, rasulullah bisa mencium gelagat Huyaiy bin Akhthab. Untuk itu, rasulullah dengan waspada memilih menugaskan Salmah bin Aslam serta Zaid bin Haritsah untuk menghadapi renana dari kaum Yahudi itu agar tidak dapat berkutik dan leluasa merongrong.
Saling Berhadapan
Dibanding dengan jumlah pasukan musuh, pasukan kaum muslimin tidak seberapa besar karena cuma berjumlah 3.000 orang. Tetapi dengan keyakinan dan iman, pasukan muslim sudah bertekat menyambut serangan dari pasukan Ahzab dengan menempati posisi yang sudah diatur rasulullah. Meski di hadapan pasukan musuh telah terbentang parit yang dalam, pasukan gabungan masih menyombongkan diri dengan kekuatan mereka.
Padahal, sepanjang galian yang dijadikan parit itu tidak ada kayu yang dapat dijadikan sebagai jembatan penyeberangan. Tidak salah, kalau pasukan musuh tidak bisa menyebrangi parit karena hal itu bisa berarti bunuh diri. Karena tindakan itu bisa jadi sasaran empuk bagi kaum muslimin guna menghujani anak panah atau batu-batu yang sudah disiapkan di sepanjang parit.
Pasukan Ahzab lemah semangat. Putus asa. Tampak dari wajah mereka yang sejak keberangkatan ke Madinah sudah yakin akan menang, tiba-tiba sayu dan redup. Akan tetapi, di tengah keputus-asaan itu, ada beberapa orang yang berani melintasi parit dengan menunggang kuda lewat bagian yang agak dangkal; seperti Amr bin Abdi Wudd Al-Amiry. Setelah berhasil melintasi parit, ia dengan congkak menantang duel. Ali bin Abi Thalib meladeni tantangannya dan berhasil menghunuskan pedang ke bahu Amr. Seketika itu, ia pun tewas.
Kematian Amr membuat pasukan musuh ciut. Apalagi, ada beberapa musuh berusaha melintasi parit dan dihujani dengan anak panah dan batu. Tak pelak jika pasukan musuh harus berpikir untuk melintasi parit. Akhirnya, pasukan Ahzab memutuskan untuk mengepung kota Madinah dan memilih menghujani kaum muslimin dengan anak panah dari seberang. Kaum muslimin membalas dengan cara yang sama meski tak segencar pasukan Ahzab. Dalam serangan saling menghujani panah itu, pasukan musuh tewas 1 orang dan pasukan kaum muslimin gugur 5 orang.
Kala perang panah berlangsung, tiba-tiba kaum muslimin dikhianati oleh kaum Yahudi Bani Quraidhah yang saat itu masih menjadi penduduk Madinah. Mereka ternyata membuka daerah pemukiman di pinggir kota yang tidak digali menjadi parit sehingga sebagian pasukan Ahzab dapat masuk dan menyerang rumah rasulullah. Untunglah, kaum muslimin berhasil memukul mundur sebagain pasukan Ahzab yang berhasil memasuki Madinah itu, sehingga mereka akhirnya mundur kembali.
Musuh Dihantam Badai
Hari berlalu, dan minggu-munggu pun sudah terlewati. Hampir satu bulan, kaum muslimin dikepung pasukan musuh dan hubungan dengan pihak luar pun terputus dan keadaan itu mengakibatkan kaum muslimin kekurangan bahan makanan. Hal sama dialami oleh pasukan musuh. Kendati demikian, umat Islam tetap tabah. Sabar menghadapi ujian berat dan tetap yakin akan pertolongan yang datang dari Allah. Bahkan rasul tak putus-putus bermunajat (memohon pertolongan) kepada Allah.
Setelah satu bulan dikepung, Allah memberikan pertolongan lewat kabar gembira pada rasulullah bahwa umat Islam tak perlu gentar karena perang itu akan dimenangkan kaum muslimin. Janji Allah itu terbukti. Datang udara yang dingin, bahkan lebih dingin dari hari sebelumnya. Selanjutnya, Allah mengirim angin topan dan puting beliung di daerah yang dihuni pasukan Ahzab. Badai itu menghancurkan kemah-kemah, perlengkapan perang dan sisa-sia perbekalan pasukan Ahzan. Tak pelak, jika mereka kebingungan menghadapi badai yang datang dengan dahsyat itu.
Akhirnya, badai itu meruntuhkan semangat mereka untuk melanjutkan perang. Karena malam di saat badai itu datang, mereka kalang kabut dan berusaha mencari selamat. Saat pagi tiba, tak terlihat satupun tentara musuh yang berada di perkemahan dan kawasan pasukan musuh itu pun berantakan. Kusut masai, pasukan Ahzab pulang tanpa membawa perlengkapan perang karena semua yang mereka bawa dihancurkan badai puting beliung. Pasukan Ahzab hanya bersungut kecewa, menyalahkan nasib mereka yang malang.
Allah menggambarkan rasa kecewa akibat kekalahan pasukan Ahzab itu dalam al-Qur`an, "Dan Allah menghalau orang-orang kafir itu dalam keadaan mereka penuh jengkel, (lagi) mereka tak memperoleh keuntungan apa pun dan Allah menghindarkan orang-orang beriman dari perang (Ahzab). Dan dalah Alllah Maha Kuat lagi Maha Perkasa (QS. Al-Ahzab; 25). (n. mursidi/disarikan dari Membangun Peradaban: Sejarah Muhammad Sejak Sebelum Diutus Menjadi Nabi, H.M.H Al-Hamid Al-Husaini, penerbit Pustaka Hidayah, Jakarta, 2000)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar