Sudah berulangkali Abu Nawas membuat keributan bahkan sudah sering pula menipu dan mempermalukan raja di depan umum. Maka sudah wajar jika sang raja geram. Tetapi untuk menjerat kelancangan dan kecerdikan Abu Nawas, terus terang sang raja tidak punya akal cerdik untuk membalas dendam apalagi punya bukti kuat guna menjebloskan ke bui. Padahal, terakhir sang raja dibuat tak berkutik bahkan sempat malu di depan tamu lantaran Abu Nawas membabi-buta menghancurkan istana setelah dia dengan cerdik meminta izin baginda untuk menghukum lalat-lalat yang beterbangan di dalam istana hingga istana porak-poranda.
Kini, murka sang raja sudah di ubun-ubun. Ia ingin membalas perbuatan Abu Nawas itu. Apalagi dengan kekuasaan di tangan, maka gampang saja baginda menitahkan perintah dan jika Abu Nawas tak bisa, tinggal menjatuhkan hukuman. Dengan bangga, raja merasa menemukan jalan keluar untuk balas dendam, apalagi setelah raja tahu Abu Nawas takut terhadap beruang, maka dengan cepat mengundang Abu Nawas untuk berburu. Sang raja yakin Abu Nawas nanti akan ketakutan di hutan. Dengan demikian, raja menang karena berhasil menjebak Abu Nawas.
Suatu hari, rencana berburu itu datang. Para prajurit pun sudah berangkat menjemput Abu Nawas. Sontak, saat prajurit tiba di rumah Abu Nawas dan memberitahu perintah raja, Abu Nawas langsung bergidik. Tapi ia tak kuasa menolak titah raja. Dengan kaki gemetaran, terpaksa ia pergi berburu bersama baginda raja.
Tetapi, belum sempat rombongan sampai ke hutan, cuaca tiba-tiba berubah. Langit yang sebelumnya cerah tiba-tiba jadi gelap. Di langit, tampak gumpalan mendung. Saat mengetahui rencana berburu itu akan gagal, raja memanggil Abu Nawas.
“Wahai Abu Nawas, tahukah kamu kenapa aku memanggilmu?” tanya sang raja.
“Tuanku, hamba minta maaf! Hamba benar-benar tak tahu kenapa sang raja memanggil saya,” jawab Abu Nawas gemetar sebab di kepala Abu Nawas masih diliputi bayangan beruang yang akan ditemui jika rombongan sampai ke hutan.
“Kau pasti tahu bahwa sebentar lagi akan turun hujan. Sebab hutan masih jauh dari sini, maka kau kuberi kuda untuk menyelamatkan diri dari hujan. Tapi, sayang kau kebagian kuda lambat. Nanti waktu santap siang, kita berkumpul di tempat peristirahatanku. Jika nanti hujan turun, kita semua harus menghadapi dengan cara masing-masing untuk menyelamatkan diri agar pakaian kita tetap kering. Sekarang kita berpencar,” perintah baginda raja dengan senyum tersungging seakan menghina kuda Abu Nawas yang lamban. Pasalnya, para prajurit dan sang raja menunggang kuda yang gagah dan larinya kencang.
Setelah itu, raja dan para prajuritnya bergerak. Saat Abu Nawas tertinggal di belakang, ia sadar bahwa dirinya sedang dijebak. Maka, tak ada cara lain lagi untuk selamat dari jebakan raja kecuali ia harus mencari akal jitu. Belum sempat dia berpikir, tiba-tiba hujan turun dengan deras.
Raja bersama rombongan berlari menunggang kuda secepat mungkin. Tapi, hujan turun dengan deras dan tak mustahil jika sang raja dan para prajurit basah kuyup diguyur hujan. Saat santap siang tiba, raja pun menuju tempat peristirahatan. Tetapi belum sempat baju raja kering, Abu Nawas tiba menunggangi kuda lambat dan anehnya baju di badan Abu Nawas tidak basah. Jelas, raja terbengong, nyaris tidak percaya karena dengan kuda yang bisa berlari cepat pun, sang raja basah kuyup.
Akhirnya pada hari kedua, sang raja memberi Abu Nawas seekor kuda yang cepat. Sang raja bersama rombongan justru menunggang kuda-kuda lambat. Usai sang raja dan romongan berpencar, hujan kembali turun. Bahkan lebih deras daripada hari kemarin. Wajar, jika pakaian raja dan para prajurit basah kuyup karena kuda yang ditunggangi tidak bisa berlari kencang.
Tatkala santap siang tiba, Abu Nawas sudah tiba lebih awal dan duduk santai di tempat peristirahatan. Beberapa saat disusul baginda dan rombongan dengan pakaian basah kuyup dan bahkan lebih parah dari kemarin. Lagi-lagi sang raja harus terheran melihat pakaian Abu Nawas yang tetap kering. Maka, sang pun raja penasaran.
“Wahai Abu Nawas, terus terang aku heran dengan cara kau menyelamatkan diri dari hujan. Saat aku menunggang kuda kencang maupun lambat, aku tetap saja basah kuyup. Tetapi, kenapa kau tidak basah kuyup walaupun menunggang kuda lambat atau kuda yang kencang?” tanya baginda raja.
“Gampang baginda!”
“Gampang bagaimana? Tatkala aku menunggang kuda yang cepat pun, tidak sanggup mencapai tempat berteduh, lantas bagaimana kamu menunggang kuda yang lambat bisa selamat dari guyuran hujan?”
“Maaf tuanku, sebenarnya hamba tidak menyelamatkan diri. Ketika hujan turun, hamba cepat-cepat melepaskan pakaian, kemudian melipatnya dan menduduki dengan rapat agar tidak basah diguyur hujan. Hamba lakukan semua ini sampai reda,” jawab Abu Nawas memecahkan rasa penasaran baginda.
Sementara itu, sang baginda hanya diam terpaku menatap Abu Nawas yang tersenyum girang karena dia kembali bisa menang melawan jebakan sang raja meski hal itu sulit dan nyaris mustahil. (n. mursid/ dinukil dari Abu Nawas; Cuplikan Kisah 1001 Malam, Rahimsyah, Penerbit Amelia, Surabaya, 2003)
Kini, murka sang raja sudah di ubun-ubun. Ia ingin membalas perbuatan Abu Nawas itu. Apalagi dengan kekuasaan di tangan, maka gampang saja baginda menitahkan perintah dan jika Abu Nawas tak bisa, tinggal menjatuhkan hukuman. Dengan bangga, raja merasa menemukan jalan keluar untuk balas dendam, apalagi setelah raja tahu Abu Nawas takut terhadap beruang, maka dengan cepat mengundang Abu Nawas untuk berburu. Sang raja yakin Abu Nawas nanti akan ketakutan di hutan. Dengan demikian, raja menang karena berhasil menjebak Abu Nawas.
Suatu hari, rencana berburu itu datang. Para prajurit pun sudah berangkat menjemput Abu Nawas. Sontak, saat prajurit tiba di rumah Abu Nawas dan memberitahu perintah raja, Abu Nawas langsung bergidik. Tapi ia tak kuasa menolak titah raja. Dengan kaki gemetaran, terpaksa ia pergi berburu bersama baginda raja.
Tetapi, belum sempat rombongan sampai ke hutan, cuaca tiba-tiba berubah. Langit yang sebelumnya cerah tiba-tiba jadi gelap. Di langit, tampak gumpalan mendung. Saat mengetahui rencana berburu itu akan gagal, raja memanggil Abu Nawas.
“Wahai Abu Nawas, tahukah kamu kenapa aku memanggilmu?” tanya sang raja.
“Tuanku, hamba minta maaf! Hamba benar-benar tak tahu kenapa sang raja memanggil saya,” jawab Abu Nawas gemetar sebab di kepala Abu Nawas masih diliputi bayangan beruang yang akan ditemui jika rombongan sampai ke hutan.
“Kau pasti tahu bahwa sebentar lagi akan turun hujan. Sebab hutan masih jauh dari sini, maka kau kuberi kuda untuk menyelamatkan diri dari hujan. Tapi, sayang kau kebagian kuda lambat. Nanti waktu santap siang, kita berkumpul di tempat peristirahatanku. Jika nanti hujan turun, kita semua harus menghadapi dengan cara masing-masing untuk menyelamatkan diri agar pakaian kita tetap kering. Sekarang kita berpencar,” perintah baginda raja dengan senyum tersungging seakan menghina kuda Abu Nawas yang lamban. Pasalnya, para prajurit dan sang raja menunggang kuda yang gagah dan larinya kencang.
Setelah itu, raja dan para prajuritnya bergerak. Saat Abu Nawas tertinggal di belakang, ia sadar bahwa dirinya sedang dijebak. Maka, tak ada cara lain lagi untuk selamat dari jebakan raja kecuali ia harus mencari akal jitu. Belum sempat dia berpikir, tiba-tiba hujan turun dengan deras.
Raja bersama rombongan berlari menunggang kuda secepat mungkin. Tapi, hujan turun dengan deras dan tak mustahil jika sang raja dan para prajurit basah kuyup diguyur hujan. Saat santap siang tiba, raja pun menuju tempat peristirahatan. Tetapi belum sempat baju raja kering, Abu Nawas tiba menunggangi kuda lambat dan anehnya baju di badan Abu Nawas tidak basah. Jelas, raja terbengong, nyaris tidak percaya karena dengan kuda yang bisa berlari cepat pun, sang raja basah kuyup.
Akhirnya pada hari kedua, sang raja memberi Abu Nawas seekor kuda yang cepat. Sang raja bersama rombongan justru menunggang kuda-kuda lambat. Usai sang raja dan romongan berpencar, hujan kembali turun. Bahkan lebih deras daripada hari kemarin. Wajar, jika pakaian raja dan para prajurit basah kuyup karena kuda yang ditunggangi tidak bisa berlari kencang.
Tatkala santap siang tiba, Abu Nawas sudah tiba lebih awal dan duduk santai di tempat peristirahatan. Beberapa saat disusul baginda dan rombongan dengan pakaian basah kuyup dan bahkan lebih parah dari kemarin. Lagi-lagi sang raja harus terheran melihat pakaian Abu Nawas yang tetap kering. Maka, sang pun raja penasaran.
“Wahai Abu Nawas, terus terang aku heran dengan cara kau menyelamatkan diri dari hujan. Saat aku menunggang kuda kencang maupun lambat, aku tetap saja basah kuyup. Tetapi, kenapa kau tidak basah kuyup walaupun menunggang kuda lambat atau kuda yang kencang?” tanya baginda raja.
“Gampang baginda!”
“Gampang bagaimana? Tatkala aku menunggang kuda yang cepat pun, tidak sanggup mencapai tempat berteduh, lantas bagaimana kamu menunggang kuda yang lambat bisa selamat dari guyuran hujan?”
“Maaf tuanku, sebenarnya hamba tidak menyelamatkan diri. Ketika hujan turun, hamba cepat-cepat melepaskan pakaian, kemudian melipatnya dan menduduki dengan rapat agar tidak basah diguyur hujan. Hamba lakukan semua ini sampai reda,” jawab Abu Nawas memecahkan rasa penasaran baginda.
Sementara itu, sang baginda hanya diam terpaku menatap Abu Nawas yang tersenyum girang karena dia kembali bisa menang melawan jebakan sang raja meski hal itu sulit dan nyaris mustahil. (n. mursid/ dinukil dari Abu Nawas; Cuplikan Kisah 1001 Malam, Rahimsyah, Penerbit Amelia, Surabaya, 2003)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar