
Setiap orang yang ada di dunia ini, pasti tak bisa mengelak dari belitan masalah. Tidak peduli, apakah dia itu seorang presiden, menteri, gubernur, bupati, camat atau lurah sekalipun.
Sebab, hidup ini memang sebuah jalan berliku, penuh batu kerikil dan kelokan, sehingga cobaan, rintangan dan halangan selalu saja mencegah setiap langkah perjuangan umat manusia untuk mencapai suatu tujuan. Hanya saja, mereka mungkin bisa dikatakan cukup beruntung karena memiliki jabatan, kekuasaan, uang, pengalaman hidup dan basic pendidikan yang mumpuni sehingga --sedikit banyak—hal itu bisa memberi kemudahan untuk memecahkan masalah yang dihadapi.
Tapi bagaimana dengan orang kecil (wong cilik), semisal tukang becak, tukang ojek, penjual sayuran, anak jalanan, pengangguran dan pengemis? Hampir bisa dikatakan kalau mereka itu tidak pernah luput dari deraan dan cobaan hidup yang cukup kejam dan tiada henti. Pendek kata, mereka itu sering kali hidup dalam kondisi yang serba susah. Mungkin lepas dari satu masalah, di lain waktu dililit lagi masalah yang lain. Bahkan --bisa jadi-- belum lepas masalah yang satu, di hari yang lain sudah muncul masalah yang baru lagi dan bahkan lebih pelik. Entah itu, soal makan sehari-hari, penggusuran, soal biaya sekolah anak-anaknya, biaya pengobatan, dan masih banyak lagi yang membuat mereka hidup susah dan kepala bisa-bisa pening memikirkannya.
Tak pelak, kalau dari berbagai cobaan, rintangan dan tantangan hidup yang berat seperti itu selain menjadikan sebagian besar dari mereka kemudian sulit untuk mengelak juga kadang-kadang muncul rasa pesimis dalam menghadapi hidup ini. Dengan kondisi seperti itulah, kemudian cukup ada alasan bagi mereka yang tak kuat untuk menanggung derita dan beban hidup itu, lalu mengeluh. Sebab, merasa nasibnya kurang beruntung, sial atau malang. Tak jarang, mereka mengeluhkan pada keluarga dekat, teman dan bisa juga pada orang yang cukup dipercaya. Namun, bisa juga mengeluh kepada orang lain yang barusan dikenal, semisal saat dalam suatu perjalan naik kapal, bis kota atau kereta api saat kebetulan menjadi teman duduk untuk diajak ngobol dan berbagi cerita.
Pada satu sisi, munculnya keluhan semacam itu memang hal yang wajar dan sudah termasuk sifat dasariah dari umat manusia. Karena dalam hal ini, Allah sudah berfirman, “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan, ia berkeluh kesah” (S.Q. al-Ma`aarij [70]: 19-20). Dalam keadaan seperti itu, ketika tak kuat menanggung derita, satu-satunya jalan yang bisa menghibur memang adalah dengan cara berkeluh-kesah. Sebab jika di tinjau dari sisi psikologi, orang yang mengeluhkan suatu derita atau nasib hidupnya –setidaknya-- bisa meringankan beban di dalam pikirannya meskipun yang dikeluhkesahi itu tidak memberikan solusi sekali pun. Dengan kata, bercerita itu sendiri sudah jadi terapi dari rasa pening dalam menanggung beban hidup.
Tetapi pada sisi yang lain, ada dua hal yang perlu dan patut untuk digarisbawahi berkaitan dengan masalah keluhan itu. Pertama, adanya keluhan itu –diakui atau tidak—jelas telah mengusik ketenangan orang lain (yang dikeluhkesahi). Karena itu, bisa-bisa mengganggu pikiran orang. Untung jika orang yang dikeluhkesahi itu bisa membantu, tetapi jika tidak? Atau setidaknya, nasib orang yang dikeluhkesahi itu tak lebih baik. Maka, merasiakannya adalah sebuah langkah yang terpuji dan bijak. Karena hal itu yang dianjurkan agama, meski mengeluhkan beban hidup juga bukan suatu dosa.
Kedua, dengan mengeluh pada orang lain setidaknya si pengeluh merasa dirinya sebagai orang lemah dan memposisikan dirinya sebagai orang yang seolah lebih rendah daripada orang yang dikeluhkesahi. Dengan itulah, mungkin benar saja jika dikatakan ia kehilangan semangat, tidak percaya diri lagi dan butuh orang lain untuk memberikan bantuan.
Memang tidaklah salah jika seseorang harus mengeluh pada orang lain, tetapi lebih bijak jika merahasiakan masalah yang dihadapi dan pada kesempatan yang khusuk kemudian mengeluhkan semua itu kepada Tuhan. Sebab, Tuhan adalah tempat mengadu bagi manusia, tempat berkeluh kesah dan tempat meminta perlindungan bagi umat-Nya. Dengan mengeluh pada Tuhan pada satu sisi dan pada sisi yang lain bersabar, dengan tidak menyerah dan penuh harapan akan masa depan yang lebih baik, sekiranya akan ada selalu jalan keluar. Entah itu, berupa petunjuk, hidayah atau apa pun namanya.
Untuk hal itu, ada sebuah hadis yang patut diperhatikan dengan cermat dan diamalkan, “tidak ada suatu rezki yang Allah berikan kepada seorang hamba yang lebih luas baginya daripada sabar”. (HR. Al-Hakim). Dalam hadis lain juga disebutkan, “Ada tiga hal yang termasuk pusaka kebajikan, yaitu merahasiakan keluhan, merahasiakan musibah dan merahasiakan sodaqoh (yang kita keluarkan). (HR. Athabrani).
Akhirnya, bersabarlah ketika sedang ditimpa suatu kesusahan. Tetapi, kesabaran itu haruslah disertai kemampuan dalam merahasiakan masalah dan setelah itu berjuang keras untuk mengubah jalan hidup. Karena dalam sebuah ayat, Allah telah berfirman, “Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali jika kaum itu berusaha untuk mengubahnya sendiri.” (Nur Mursidi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar