Sabtu, 19 Maret 2005

jaun suhanda: memperlakukan hewan sebagai makhluk

majalah hidayah edisi 44 maret 2005

Tubuhnya masih tampak gempal, kekar dan kuat di usianya yang sudah mencapai 50 tahun. Itulah perawakan sosok Jaun Suhanda, seorang tukang potong hewan yang sudah bertahun-tahun menekuni profesinya di kawasan Jakarta dan Bekasi. Memang, bisa dikata kalau sosok satu ini tak banyak dikenal publik baik di Bakasi maupun di Jakarta, kecuali hanya orang-orang tertentu yang punya hubungan dengan urusan daging dan hewan (sapi dan kerbau). Sebab, Abah Jaun (demikian orang-orang di rumah pemotongan Bekasi memanggilnya) memang bukanlah seorang artis, pejabat atau ulama besar yang sering diekspos media massa. Pendeknya, dia tidak lebih hanya seorang tukang potong hewan (jagal) di rumah potong Kalimalang, Bekasi.

Tetapi, siapa sangka jika dari kedua tangannya hampir sebagain besar penduduk Jakarta dan Bekasi bisa menikmati daging sapi dan kerbau yang halal karena Abah Jaun dalam menyembelih hewan selain menyebut nama Allah juga memperlakukan sebagai makhluk. Karena menghilangkan nyawa hewan bukanlah persoalan ringan. Ada aturan dan ajaran dari agama yang harus dipenuhi.

Tapi, jasa besar sosok ini rupanya terlupakan dan dianggap tidak begitu penting. Seolah Abah Jaun bukanlah siapa-siapa yang memang tak layak untuk diketahui. Karena itu, Hidayah dalam edisi ini memotret kehidupan Abah Jaun dan pengalaman hidupnya selama menjalani profesi sebagai tukang potong hewan. Kepada Hidayah, Abah Jaun bercerita panjang lebar seputar perjalanan hidupnya.

Awalnya cuma Mengantar Nasi
Dilahirkan di Purwokerto, sebuah kota di propinsi Jawa Tengah tahun 1955, latar belakang keluarga Jaun Suhanda bukanlah termasuk dari kalangan berada. Tak salah, jika jalan hidup Jaun kecil kemudian penuh diwarnai dengan duka lara dan perjuangan yang cukup berat. Sebab saat ia berusia 3 tahun, kedua orang tuanya bercerai. Si ibu kemudian menikah lagi dengan seorang lelaki Cikarang dan karena itu, praktis Jaun kecil diboyong sang ibu untuk tinggal bersama ayah tiri, tinggal di Tanjung Priuk (karena ayah tirinya kebetulan bekerja di pelabuhan Tanjung Priuk).

Tak bisa dipungkiri, jika dengan kondisi ayah tiri yang kurang mampu, Jaun pun hanya sempat mengenyam pendidikan Sekolah Dasar. Malahan, yang meprihantinkan lagi, ia tak sampai selesai. Lalu, karena sudah tak sekolah lagi, Jaun kecil pun kemudian berusaha membantu sang ibu. Setiap hari, ia mengantar nasi untuk tukang daging, bernamanya Mang Sanak yang kebetulan masih tetangga. Tapi setelah ia tumbuh besar, tugas itu pun tak dijalaninya lagi, karena setelah itu beralih jadi tukang bungkus daging.

“Pada saat itu belum ada plastik seperti sekarang, masih pakai daun pisang, teratai dan kadang-kadang daun jati”, kenang lelaki yang kini dituakan di rumah jagal Bekasi dengan mata berkaca-kaca mengingat pengalaman di masa kecilnya dulu. .Maklum, jalan hidupnya berliku dan penuh cobaan sehingga mengenangnya kembali akan bisa membuat semangat hidupnya muncul kembali.

Tetapi setelah lama bekerja jadi tukang bungkus, Jaun kecil akhirnya mendapat gaji. Saat itu, gajinya Rp. 25,00. Meskipun demikian, dia masih dapat menabung. Tidak berlebihan jika dari uang tabungannya itu bisa membeli celana pendek dan kaos sendiri. Lalu, seiring dengan berjalannya waktu, Jaun mulai tumbuh besar. Maka, pada tahun 70-an, dengan berbekal kepercayaan dari orang, Jaun muda mengambil dagangan (daging), kemudian jualan di pasar Pindang, Tanjung Priok. Dari situ, ia ingin mulai merintis jadi pedagang daging. “Saat itu harga daging masih 200/kg”, ujar lelaki yang kini sudah beranak sembilan itu. Dengan mantap.

Tetapi, insting dagang dan mental Jaun tampaknya memang belum kuat. Maklum, selain belum berpengalaman, juga karena dalam dunia dagang penuh kompetisi dan ia memang masih belum cukup umur. Karena merasa tak mampu secara mental, maka ia kembali lagi bekerja di tukang daging (Sukara) sebagai kenet tukang potong. Setelah dijalani cukup lama, akhirnya dipercaya bekerja di jagal, bagian cuci perut kotoran sapi. Baru pada 1983, ia dipercaya jadi tukang potong dan diangkat sebagai ketua tukang potong di Tanjung Priok.

Tapi nasib baik itu ternyata tak berlangsung lama karena kemudian rumah potong dipindah dari Tanjung Priok ke rumah potong modern di Cakung. Apalagi saat itu ada kebijakan untuk 5 wilayah Jakarta dijadikan satu, yang sangat beralasan kalau di rumah potong Cakung itu, Jaun tak lagi berperan sebagai jagal namun bekerja sebagai pencatat. Sebab, menurutnya, di sana sudah ada tukang potong khusus dari pemerintah daerah. Di Cakung itu, tugasnya tak lebih mencatat saja hewan yang sudah dipotong.

“Apalagi, saat itu sedang terjadi kerusuhan Tanjung Priok (Amir Biki). Karena kerusuhan itulah, terhambatlah jalan saya untuk melangkah jadi jagal, karena waktu itu kondisi benar-benar mengerikan, sehingga saya terpaksa terhambat karena untuk menuju Cakung juga sulit ditemukan kendaraan umum. Selain kondisi yang tidak menguntungkan, saat itu malah dipecat dari Sukara”, ucap Jaun mantap, meski tahun-tahun itu merupakan satu tamparan dalam perjalanan hidupnya akibat pemecatan itu.

Untung saja dia masih beri uang saku Rp. 100.000 sehingga pada tahun (1983) itu juga dia memulai usaha berdagang perut daging sapi. Namun, usaha itu cuma berjalan sekitar 1 tahun, karena ada kendala perubahan jadwal pemotongan di Cakung yang tidak menentu (kadang terjadi pemotongan di siang hari, juga kadang terjadi di malam hari) sehingga membuatnya kesulitan mengambil dagangan (perut daging sapi).

Jadi Pemotong Hewan di Bekasi
Dengan kondisi seperti itu, akhirnya tahun 1984 Jaun muda bertekat pindah ke Jagal Bekasi (Pekayon). Bersama istri (yang dinikahinya tahun 1979) dan anak-anaknya, Jaun kemudian ngontrak rumah di Pangkalan Bambu dan bekerja sebagai tukang potong hewan di jagal Pekayon, Bekasi. Rupanya, jalan mulus untuk jadi pemotong hewan bisa diraih dengan mudah karena dia sudah lama bekerja dari kenet jagal, tukang cuci perut dan pernah pula jadi pemotong. Dia boleh dikata sudah makan garam. Karena itulah, di rumah potong di Pekayon, ia tidak mengalami kesulitan dalam melaksanakan profesinya sebagai tukang potong hewan.

Setelah pindah ke Bekasi, mungkin sudah tidak terhitung suka dan dukanya dalam menjalani hidup ini. Selain berganti-ganti juragan (bos), dari satu juragan ke juragan lain, ia pun sempat beralih profesi jadi tukang belanja hewan ke Lampung dan Jawa. Tetapi, setelah juragannya bangkrut, dia pun kembali lagi jadi tukang potong (jagal). Kini, bersamaan dengan kepindahan rumah jagal yang baru, dari Pekayon ke Kalimalang, dia juga masih berprofesi sebagai tukang potong.

Meski demikian, karena tuntutan keluarga dan tak tentunya order pemotongan, ia merasa perlu menambah penghasilan dengan cara lain. Ide itu diwujudkan dalam bentuk warung di rumah jagal Bekasi. “Kerja sebagai jagal bukan sesuatu yang bisa dipastikan kalau setiap harinya dapat uang. Kadang ada pemotongan, kadang juga tidak”, tuturnya mantap setelah meminum kopi hangat di sela-sela rasa hausnya setelah banyak bercerita tentang jalan hidupnya yang berliku dan panjang.

Selain sebagai seorang yang hingga kini masih memotong hewan, dan di sela-sela itu membantu istrinya membuka warung, Abah Jaun (panggilan Abah mulai diberikan kepadanya oleh orang-orang di rumah jagal Bekasi) bukanlah orang kemarin sore yang terjun di dunia jagal atau rumah potong. Karena itulah, dengan melihat usianya yang kini sudah mencapai sekitar 50 tahun, tak berlebihan jika orang-orang di rumah potong Bekasi menghormati, menuakan dan sekaligus mengangkatnya jadi pengurus sukarela. “Karena sejak awal memang di rumah potong Bekasi tak ada yang namanya keamanan, melainkan lebih pada kerjasama antar-relasi saja” katanya tanpa sedikitpun terlihat nada sombong yang nampak di raut wajahnya. Semua penghormatan dan jabatan itu, sampai sekarang masih diembannya, selain juga jabatan bergengsi sebagai ketua jagal Bekasi.

Pernah Motong 100 Sapi Sehari
Sebagai jagal yang sudah berpengalaman dan sudah cukup lama terjun di dunia pemotongan hewan, Abah Jaun memiliki pengalaman yang tentunya tidak sedikit untuk diceritakan. Mulai dari hal yang sepele sampai pada sebuah prestasi yang mungkin bisa dianggap sebagai rekor tertinggi yang pernah dicapai. Dengan reputasi dan pengalaman yang sudah ditempa sejak di Jakarta, tak berlebihan jika dalam perjalanan kerjanya, ia bercerita kalau pernah memotong sapi sampai 100 ekor dalam sehari. Kejadian itu, kenangnya, terjadi tahun 1987 (saat hari Idul Adha) karena permintaan para pedagang yang menuntut akan hal itu. “Prestasi yang cukup tinggi dan sangat capek, kerjanya tak ada istrirahat, karena masing-masing (maksudnya pedagang) memerlukan waktu untuk berdagang. Padahal, di hari-hari biasa paling-paling saya hanya memotong 4 sampai 6 ekor hewan,” cerita lelaki kelahiran Purwokerto ini tanpa bermaksud membanggakan diri.

Berbeda dengan para koleganya, Abah Jaun hingga kini masih tetap tegar, sehat dan kuat. Sebab menurut cerita Abah Jaun, ia tidak pernah neko-neko ataupun kurang ajar dalam melaksanakan pemotongan. Dengan kata lain, ia menjalani dengan cara biasa sebagaimana orang yang mengetahui tentang agama dan hukumnya. “Alhamdulillah saya belum pernah mengalami kejadian yang tragis dan memilukan. Itu karena mungkin saya melaksanakan hukum agama dalam memotong hewan. Sebab, meski dia hewan tetaplah juga makhluk Allah. Karena itulah, menghilangkan nyawa hewan pun harus dengan kalimat-kalimat Allah. Dengan cara yang baik, Alhamdulillah saya masih awet. Padahal, ada teman saya diserunduk sapi sampai mental ke tembok kemudian mati, ada juga yang mengalami kejadian kerbaunya mengamuk saat mau dipotong,” lanjutnya.

Abah Jaun bercerita seperti itu, karena nasib tragis pernah dialami rekannya, yang meninggal dengan cukup mengerikan. “Orang itu meninggalnya semacam orang ngamuk, semacam hewan dipotong. Karena pada saat awal dia motong dengan cara kekasaran, semacam sambil merokok, hewannya juga tidak diikat dulu, dan malah sambil berdiri, hewannya dipotong. Pada saat itu, kebetulan yang dipotong kerbau dan kerbaunya mungkin dongkol. Kemudian, setelah motong hewan tersebut, orang itu panas dingin, menggigil dan 3 hari kemudian lehernya merah, setelah itu dalam seminggu lehernya putus dan dari lehernya keluar ulat-ulat. Kira-kira, 15 hari kemudian orang itu meninggal. Jadinya, saat meninggal orang itu kayak orang dipotong.”

Tidak disangkal pula, kalau orang yang sudah berpengalaman, pastilah tak akan menemukan banyak kesulitan dalam mengemban tugas dan profesi yang memang sudah lama digeluti. Demikian hal dengan Abah Jaun ini. Tingkat kerumitan dalam memotong hewan, baginya hanya terletak pada saat mengikat kaki depan. Karena baginya, kadang agak kesulitan sedikit karena hewan bisa-bisa nendang dengan kaki belakangnya. “Untuk itulah, harus hati-hati saat mengikat kaki depan, kepalanya itu ditarik dengan tali kepala ke depan terus diikat kembali kaki yang belakang setelah terikat yang kedua-duanya baru ditarik ekornya dan dia akan jatuh. Sesudah jatuh tidak ada kesulitan lagi karena tinggal motong.”

Mungkin, takdir tak bisa ditolak. Meski Abah Jaun pernah menjadi kenet jagal, pedagang hewan dan juga pedagang daging, namun selalu saja pada akhirnya kembali dan kembali lagi jadi tukang potong hewan. Rupanya, Abah Jaun tak menyesali semua itu dan malah menikmati profesinya serta merasa kalau berdagang daging bukan dunianya. Sebab, selain kurangnya modal juga disebabkan persaingan yang ketat telah membuatnya selalu tidak kuat mental dan tidak berdaya. Yang jelas, selama ini Abah Jaun dengan profesi itu bisa mencukupi keluarga, memliki rumah dan untuk menambah penghasilan Abah Jaun juga membuka warung di rumah jagal Kalimalang, Bekasi.

Demikianlah, sekilas perjalanan Abah Jaun sebagai seorang tukang potong hewan yang cukup disegani dan sudah banyak makan garam di daerah Jakarta dan Bekasi. Dari cerita yang sempat dituturkan, cukup banyak juga suka dan duka yang sempat dicicipinya dalam mengarungi hidup di dunia ini. Tak berlebihan jika ada pelajaran yang bisa diambil hikmahnya. Karena dengan cara seperti itu, hidup ini akan jadi bermakna dan tidak sia-sia. (Nur Mursidi)


Tidak ada komentar: