
Diakui atau tidak, kelahiran tasawuf dalam peta sejarah perkembangan Islam setidaknya sempat memelitikkan bara api sebuah kontroversi. Tak bisa disangkal, karena kelahiran tasawuf memang cukup menyentak dan sebagai jalan hidup untuk merengguh kedamaian hati, ternyata tak terelakkan kalau pada awalnya dipicu dari persoalan politik yang tak terselesaikan. Dengan alasan tak mau terpuruk dalam sebuah perdebatan tentang kekuasaan (politik) dan ketuhanan (teologi), sekelompok orang kemudian menghindari sengketa dan dunia yang membingungkan itu dengan jalan menyingkir ke gua-gua dan masuk ke daerah pedalaman.
Tetapi dengan pilihan tak mau ambil pusing, memikirkan kericuhan dunia politik yang cukup pelik, pilihan hidup dengan mengundurkan diri untuk merengkuh kedamaian hati semacam itu ternyata pada akhirnya juga bukan satu pilihan yang diam-diam kemudian lepas dari serangan. Setidaknya, ada dua serangan yang berupaya menghantam keberadaan tasawuf itu.
Serangan pertama, datang dari umat Islam sendiri (kaum fuqaha) yang berusaha mempertanyakan keberadaan tasawuf di tengah kehidupan umat Islam berkaitan dengan syari`ah. Sebab, bagaimana pun juga dalam perkembangan tasawuf di kemudian hari diakui banyak kalangan telah diwarnai unsur dari agama dan budaya lain. Bahkan dalam tingkat tertentu yang lebih mendalam, dengan adanya faham yang cukup rahasia untuk dikatakan (kepada kaum awam) telah memicu adanya sebuah sengketa. Kematian al-Hallaj di tiang gantungan, setidaknya bisa dijadikan satu contoh akan kerincuhan itu. Belum lagi, soal butir-butir dari buah pemikiran tasawuf yang ditilik dari segi syari`ah kadang memang bertentangan atau malah bertolak belakang.
Adapun serangan yang kedua, justru datang dari kalangan filsuf dan ilmuwan (baik Muslim maupun Barat) yang mengagungkan keberadaan akal . Sebab, sebagai jalan hidup yang ditempuh kaum sufi untuk menemukan kebenaran hakiki, tasawuf secara epistimologi telah dianggap mengesampingkan akal (rasio). Sebaliknya, tasawuf dalam menemukan kebenaran lebih berpihak intuisi (dzauqiyah). Dengan kerangka epistimologi seperti itulah, kalangan ini kemudian mengklaim tasawuf itu antirasionalitas. Bahkan yang lebih ekstrim dan parah lagi adalah adanya satu tuduhan bahwa karena tasawuf-lah, umat Islam kemudian mengalami kemunduran dan yang harus bertanggung jawab atas semua itu tak lain adalah al-Ghazali karena pengaruh ajaran dan pemikiran tasawuf-nya dianut sebagian besar umat Islam.
Dengan berpijak pada konteks di atas, tak pelak kalau kemudian ada beberapa hal dalam tulisan ini yang patut untuk dipertanyakan. Apa benar bahwa tasawuf itu sebuah jalan hidup yang sia-sia? Apa benar pula kalau tasawuf itu (apalagi setelah kemunculan al-Ghazali yang cukup memiliki pengaruh kuat dan disegani dalam dunia Islam) sepi dari penalaran atau rasionalitas? Lebih jauh lagi, benarkah kalau kemunduran umat Islam semata-mata dipicu pengaruh tasawuf Al-Ghazali sehingga ia patut bertanggung jawab?
Bukan Jalan Sia-sia
Harus diakui, bahwa tasawuf bukanlah sekedar jalan hidup untuk mendekatkan diri pada Sang Khalik yang bisa dikatakan sebagai jalan sia-sia. Setidaknya sejarah hidup al-Ghazali sampai dia memilih jalan sufi bisalah dijadikan rujukan dalam hal menimbang keberadaan tasawuf di tengah kehidupan umat Islam.
Al-Ghazali dalam buku Setitik cahaya dalam Kegelapan, secara terang-terangan telah menulis riwayat hidupnya kenapa ia harus memilih jalan hidup sebagai seorang sufi. Perlu diketahui di sini, bahwa sebelum menempuh jalan sebagai seorang sufi, al-Ghazali adalah seorang ahli ilmu kalam, fiqih dan bahkan filsafat. Tetapi apa yang diperoleh al-Ghazali dengan keluasan ilmu dan pengetahuan di semua bidang itu? Bukan diragukan lagi, kemewahan, kekayaan, jabatan dan kehormatan. Tetapi di balik semua itu ternyata hati dan jiwa al-Ghazali dilingkupi kebimbangan dan kegelisahan yang teramatsangat. Bahka sampai-sampai ia diserang sakit fisik yang amat berat dan cukup parah.
Tak pelak, berangkat dari kebimbangan dan sakit fisik itulah al-Ghazali kemudian meninggalkan semua jabatan dan kekayaan yang dimiliki lalu tenggelam ke dalam relung tasawuf hanya ingin memetik kedamaian hati. Ditinggalkan kota Baghdad, kemudian dia melakukan perjalanan jauh dan cukup lama ke Damaskus (menetap selama hampir 2 tahun), ke Makkah (menunaikan haji) dan juga ke Madinah.
Rupanya, dari perjalanan itu ada buah yang bisa dipetik bagi al-Ghazali sendiri dan tentunya orang lain pada umumnya. Sebab, setelah itu terbukti bahwa pilihan al-Ghazali dalam tasawuf tak saja membuatnya memperoleh pencerahan dan ketenangan hati. Lebih dari semua itu, justru dia memiliki peran yang cukup signifikan dalam peta perkembangan tasawuf. Dari situ, tak diragukan lagi kalau ia kemudian dijuluki sebagai “hujjatul Islam”. Sebab, al-Ghazali telah berhasil menggabungkan inti sari dari semua ilmu yang selama ini dipelajari ke bilik tasawuf selain juga mendasarkan pada al-Qur`an dan hadist.
Karena itulah, kalau pada awal pembentukan tasawuf (berupaya menenggelamkan diri pada Tuhan) yang dimeriahkan oleh tokoh-tokohnya seperti Hasan Basri (khauf), Rabi`ah al-Adawiyah (hub al-ilah), Abu Yazaid al-Busthami (fana`), al-Hallaj (hulul), dan kemudian berkembang dengan munculnya tasawuf falsafi dengan tokoh-tokohnya Ibn Arabi (wahdat al-wujud), Ibn Sabi`in (ittihad), dan Ibn Faridl (cinta, fana', dan wahdat at-shuhud) yang menitikberatkan pada hakikat serta terkesan mengenyampingkan syari`ah, kehadiran Al-Ghazali di blantika tasawuf justru telah memberikan warna lain; karena dia mampu melakukan konsolidasi dengan memadukan kalam, fiqih, dan tasawuf yang sebelumnya sempat terjadi baku hantam (ketegangan).
Tak salah, jika sumbangan al-Ghazali dalam tasawuf bisa dikatakan cukup besar dan telah memberikan warna baru, karena merilis satu jalan ruhani menuju Tuhan dengan mendasarkan al-Quran dan hadits, selain secara epistemologi telah berusaha menemukan kebenaran dengan jalan intuisi (dzauqiyah) dan dengan fondasi filsafat Islam, tetap tidak menolak akan keberadaan akal (rasio).
Meski demikian, toh banyak kalangan tetap menganggap kalau tasawuf (termasuk gagasan tasawuf al-Ghazali) antirasionalitas. Bahkan yang lebih parah lagi adalah adanya satu tuduhan yang memojokkan bahwa karena tasawuflah, umat Islam kini mengalami kemunduran. Adanya tuduhan itu, memang tidak bisa dilepaskan dari gencarnya serangan yang dilancarakan al-Ghazali kepada filsuf-filsuf Muslim. Dengan demikian, al-Ghazali dituduh sebagai orang yang harus bertanggung jawab atas kemunduran (umat) Islam.
Tidak Sepi dari Rasio
Amin Syukur dan Masyharuddin dalam bukunya Intelektualisme Tasawuf; Studi Intelektualisme Tasawuf Al-Ghazali secara argumentatif berusaha menepis tuduhan di atas. Dengan argumen yang menyakinkan, kedua penulis mencabik kesadaran kita bahwa rumusan tasawuf yang dikembangkan al-Ghazali bukan suatu rumusan tasawuf yang sepi dari penalaran (rasionalitas).
Adanya segi-segi penalaran dari konsepsi tasawuf al-Ghazali, sebagaimana telah dilacak kedua penulis tersebut dengan mendasarkan pada landasan ontologis setidaknya dilihat adanya pengakuan otoritas jiwa (baca: akal) sebagai substansi yang berdiri sendiri dan juga tempat bersemayamnya pengetahuan intelektual. Selain itu, al-Ghazali juga mengakui metafisika cahaya (nur), dan Allah sebagai asal-usul segala cahaya serta soal hubungannya dengan dunia ciptaan yang menerima cahaya dari-Nya.
Begitu juga tentang moral, dapatlah dikatakan bahwa tasawufnya bersifat religius dan sufistik, mesti tak berarti al-Ghazali menolak prinsip etika yang berasal dari sumber lain, yakni rasio/filsafat. Dari situ, sebenarnya sudah tampak jelas sekali kalau sikap al-Ghazali sama sekali tidak menafikan peranan akal dalam konsepsi tasawufnya.
Lebih jauh, ditinjau dari dimensi rasionalitas, kedua penulis itu melihat konsepsi tasawuf al-Ghazali tetap berdasarkan epistemologi yang dikembangkan dan itu tercermin pada, 1) penggunaan logika yang tetap dalam memahami tasawuf atau perumusannya, sehingga bangunan konsepsi tasawufnya punya segi pemikiran logis dan rasional, 2) penggunaan analog-analog secara tepat dalam mengomunikasikan pemikiran tasawufnya, dan 3) sikap apresiatifnya terhadap akal, sehingga pemikiran tasawufnya tidak menolak akal sama sekali.
Dengan begitu, apa yang diupayakan al-Ghazali dengan rumusan tasawufnya telah menandai satu titik puncaknya dengan keberhasilan gemilang yang telah diraihnya-selain al-Qusyairi dan Al-Hawari (itu karena dia telah mengembalikan tasawuf pada landasan al-Quran dan hadits). Selain itu, al-Ghazali juga menawarkan teori tasawuf baru (ma`rifat) sebagai upaya pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah) tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya yang itu telah mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan tasawuf sesudahnya, sehingga al-Ghazali dikatakan seorang sufi yang bisa meredam perseteruan yang tidak harmonis antara ilmu kalam, fiqih, dan filsafat.
Namun di sisi lain, tidak bisa dipungkiri, ternyata apa yang telah diupayakan oleh al-Ghazali telah melahirkan implikasi dan ekses yang tidak bisa dibendung. Dengan kata lain, pemikiran tasawufnya kemudian mengalami kemandulan dalam periode sesudahnya. Semua itu, tidak lain dikarenakan tasawuf (al-Ghazali) telah didistorsi dalam bentuk tarekat-tarekat yang lebih menyerupai agama dalam agama.
Akibatnya, tasawuf yang sebenarnya sarat dengan muatan dan peran intelektual (sebagaimana yang dirumuskan Al-Ghazali) mengalami pereduksian dimensi kognitif dan berubah menjadi rutinitas ritual di bawah para syeikh/mursyid tarekat dengan segala implikasinya seperti pemujaan wali, pencarian berkah dan lain-lain.
Faktor Kemunduran Umat
Dengan sekelumit uraian di atas, masih layakkah jika ada satu pertanyaan yang memojokkan al-Ghazali sebagai orang yang harus bertanggung jawab (secara penuh) terhadap kemunduran umat Islam? Sekiranya, pereduksian tasawuf sebagaimana yang dikemukan di atas sudah menjadi jawaban yang cukup memuaskan untuk menepis anggapan akan tuduhan terhadap al-Ghazali itu. Dengan begitu, kemunduran umat Islam, bukanlah dikarenakan tasawuf al-Ghazali.
Akan tetapi, lebih tepatnya kalau kita mau berkata jujur dan sedikit kritis bahwa kemunduran umat Islam karena dilatarbelakangi adanya berbagai faktor yang sungguh komplek dan cukup rumit. Setidaknya, salah satu faktor itu adalah tiadanya solidaritas di antara kalangan umat Islam sendiri. Jika ditilik dari rentetan sejarah Islam, tampak nyata adanya perpecahan itu terjadi sudah sejak awal pertikaian politik umat akan perebutan kekuasaan yang berimplikasi pada lahirnya tasawuf di satu pihak dan perbedaan di bidang fiqh dan kalam yang kemudian melahirkan faham/sekte yang antara satu pihak dengan pihak yang lain tidak saling menghargai, melainkan malah saling menyalahkan.
Sebab, sebagaian besar umat tidaklah memaknai perbedaan itu sebagai rahmat, melainkan melihat perbedaan itu sebagai satu pelatuk atau pemicu permusuhan antara umat (Islam) sendiri sehingga semua itu tak membuat Islam mengalami kemajuan seperti kejayaan di masa yang lalu. (Nur Mursidi/dari berbagai sumber)
Tetapi dengan pilihan tak mau ambil pusing, memikirkan kericuhan dunia politik yang cukup pelik, pilihan hidup dengan mengundurkan diri untuk merengkuh kedamaian hati semacam itu ternyata pada akhirnya juga bukan satu pilihan yang diam-diam kemudian lepas dari serangan. Setidaknya, ada dua serangan yang berupaya menghantam keberadaan tasawuf itu.
Serangan pertama, datang dari umat Islam sendiri (kaum fuqaha) yang berusaha mempertanyakan keberadaan tasawuf di tengah kehidupan umat Islam berkaitan dengan syari`ah. Sebab, bagaimana pun juga dalam perkembangan tasawuf di kemudian hari diakui banyak kalangan telah diwarnai unsur dari agama dan budaya lain. Bahkan dalam tingkat tertentu yang lebih mendalam, dengan adanya faham yang cukup rahasia untuk dikatakan (kepada kaum awam) telah memicu adanya sebuah sengketa. Kematian al-Hallaj di tiang gantungan, setidaknya bisa dijadikan satu contoh akan kerincuhan itu. Belum lagi, soal butir-butir dari buah pemikiran tasawuf yang ditilik dari segi syari`ah kadang memang bertentangan atau malah bertolak belakang.
Adapun serangan yang kedua, justru datang dari kalangan filsuf dan ilmuwan (baik Muslim maupun Barat) yang mengagungkan keberadaan akal . Sebab, sebagai jalan hidup yang ditempuh kaum sufi untuk menemukan kebenaran hakiki, tasawuf secara epistimologi telah dianggap mengesampingkan akal (rasio). Sebaliknya, tasawuf dalam menemukan kebenaran lebih berpihak intuisi (dzauqiyah). Dengan kerangka epistimologi seperti itulah, kalangan ini kemudian mengklaim tasawuf itu antirasionalitas. Bahkan yang lebih ekstrim dan parah lagi adalah adanya satu tuduhan bahwa karena tasawuf-lah, umat Islam kemudian mengalami kemunduran dan yang harus bertanggung jawab atas semua itu tak lain adalah al-Ghazali karena pengaruh ajaran dan pemikiran tasawuf-nya dianut sebagian besar umat Islam.
Dengan berpijak pada konteks di atas, tak pelak kalau kemudian ada beberapa hal dalam tulisan ini yang patut untuk dipertanyakan. Apa benar bahwa tasawuf itu sebuah jalan hidup yang sia-sia? Apa benar pula kalau tasawuf itu (apalagi setelah kemunculan al-Ghazali yang cukup memiliki pengaruh kuat dan disegani dalam dunia Islam) sepi dari penalaran atau rasionalitas? Lebih jauh lagi, benarkah kalau kemunduran umat Islam semata-mata dipicu pengaruh tasawuf Al-Ghazali sehingga ia patut bertanggung jawab?
Bukan Jalan Sia-sia
Harus diakui, bahwa tasawuf bukanlah sekedar jalan hidup untuk mendekatkan diri pada Sang Khalik yang bisa dikatakan sebagai jalan sia-sia. Setidaknya sejarah hidup al-Ghazali sampai dia memilih jalan sufi bisalah dijadikan rujukan dalam hal menimbang keberadaan tasawuf di tengah kehidupan umat Islam.
Al-Ghazali dalam buku Setitik cahaya dalam Kegelapan, secara terang-terangan telah menulis riwayat hidupnya kenapa ia harus memilih jalan hidup sebagai seorang sufi. Perlu diketahui di sini, bahwa sebelum menempuh jalan sebagai seorang sufi, al-Ghazali adalah seorang ahli ilmu kalam, fiqih dan bahkan filsafat. Tetapi apa yang diperoleh al-Ghazali dengan keluasan ilmu dan pengetahuan di semua bidang itu? Bukan diragukan lagi, kemewahan, kekayaan, jabatan dan kehormatan. Tetapi di balik semua itu ternyata hati dan jiwa al-Ghazali dilingkupi kebimbangan dan kegelisahan yang teramatsangat. Bahka sampai-sampai ia diserang sakit fisik yang amat berat dan cukup parah.
Tak pelak, berangkat dari kebimbangan dan sakit fisik itulah al-Ghazali kemudian meninggalkan semua jabatan dan kekayaan yang dimiliki lalu tenggelam ke dalam relung tasawuf hanya ingin memetik kedamaian hati. Ditinggalkan kota Baghdad, kemudian dia melakukan perjalanan jauh dan cukup lama ke Damaskus (menetap selama hampir 2 tahun), ke Makkah (menunaikan haji) dan juga ke Madinah.
Rupanya, dari perjalanan itu ada buah yang bisa dipetik bagi al-Ghazali sendiri dan tentunya orang lain pada umumnya. Sebab, setelah itu terbukti bahwa pilihan al-Ghazali dalam tasawuf tak saja membuatnya memperoleh pencerahan dan ketenangan hati. Lebih dari semua itu, justru dia memiliki peran yang cukup signifikan dalam peta perkembangan tasawuf. Dari situ, tak diragukan lagi kalau ia kemudian dijuluki sebagai “hujjatul Islam”. Sebab, al-Ghazali telah berhasil menggabungkan inti sari dari semua ilmu yang selama ini dipelajari ke bilik tasawuf selain juga mendasarkan pada al-Qur`an dan hadist.
Karena itulah, kalau pada awal pembentukan tasawuf (berupaya menenggelamkan diri pada Tuhan) yang dimeriahkan oleh tokoh-tokohnya seperti Hasan Basri (khauf), Rabi`ah al-Adawiyah (hub al-ilah), Abu Yazaid al-Busthami (fana`), al-Hallaj (hulul), dan kemudian berkembang dengan munculnya tasawuf falsafi dengan tokoh-tokohnya Ibn Arabi (wahdat al-wujud), Ibn Sabi`in (ittihad), dan Ibn Faridl (cinta, fana', dan wahdat at-shuhud) yang menitikberatkan pada hakikat serta terkesan mengenyampingkan syari`ah, kehadiran Al-Ghazali di blantika tasawuf justru telah memberikan warna lain; karena dia mampu melakukan konsolidasi dengan memadukan kalam, fiqih, dan tasawuf yang sebelumnya sempat terjadi baku hantam (ketegangan).
Tak salah, jika sumbangan al-Ghazali dalam tasawuf bisa dikatakan cukup besar dan telah memberikan warna baru, karena merilis satu jalan ruhani menuju Tuhan dengan mendasarkan al-Quran dan hadits, selain secara epistemologi telah berusaha menemukan kebenaran dengan jalan intuisi (dzauqiyah) dan dengan fondasi filsafat Islam, tetap tidak menolak akan keberadaan akal (rasio).
Meski demikian, toh banyak kalangan tetap menganggap kalau tasawuf (termasuk gagasan tasawuf al-Ghazali) antirasionalitas. Bahkan yang lebih parah lagi adalah adanya satu tuduhan yang memojokkan bahwa karena tasawuflah, umat Islam kini mengalami kemunduran. Adanya tuduhan itu, memang tidak bisa dilepaskan dari gencarnya serangan yang dilancarakan al-Ghazali kepada filsuf-filsuf Muslim. Dengan demikian, al-Ghazali dituduh sebagai orang yang harus bertanggung jawab atas kemunduran (umat) Islam.
Tidak Sepi dari Rasio
Amin Syukur dan Masyharuddin dalam bukunya Intelektualisme Tasawuf; Studi Intelektualisme Tasawuf Al-Ghazali secara argumentatif berusaha menepis tuduhan di atas. Dengan argumen yang menyakinkan, kedua penulis mencabik kesadaran kita bahwa rumusan tasawuf yang dikembangkan al-Ghazali bukan suatu rumusan tasawuf yang sepi dari penalaran (rasionalitas).
Adanya segi-segi penalaran dari konsepsi tasawuf al-Ghazali, sebagaimana telah dilacak kedua penulis tersebut dengan mendasarkan pada landasan ontologis setidaknya dilihat adanya pengakuan otoritas jiwa (baca: akal) sebagai substansi yang berdiri sendiri dan juga tempat bersemayamnya pengetahuan intelektual. Selain itu, al-Ghazali juga mengakui metafisika cahaya (nur), dan Allah sebagai asal-usul segala cahaya serta soal hubungannya dengan dunia ciptaan yang menerima cahaya dari-Nya.
Begitu juga tentang moral, dapatlah dikatakan bahwa tasawufnya bersifat religius dan sufistik, mesti tak berarti al-Ghazali menolak prinsip etika yang berasal dari sumber lain, yakni rasio/filsafat. Dari situ, sebenarnya sudah tampak jelas sekali kalau sikap al-Ghazali sama sekali tidak menafikan peranan akal dalam konsepsi tasawufnya.
Lebih jauh, ditinjau dari dimensi rasionalitas, kedua penulis itu melihat konsepsi tasawuf al-Ghazali tetap berdasarkan epistemologi yang dikembangkan dan itu tercermin pada, 1) penggunaan logika yang tetap dalam memahami tasawuf atau perumusannya, sehingga bangunan konsepsi tasawufnya punya segi pemikiran logis dan rasional, 2) penggunaan analog-analog secara tepat dalam mengomunikasikan pemikiran tasawufnya, dan 3) sikap apresiatifnya terhadap akal, sehingga pemikiran tasawufnya tidak menolak akal sama sekali.
Dengan begitu, apa yang diupayakan al-Ghazali dengan rumusan tasawufnya telah menandai satu titik puncaknya dengan keberhasilan gemilang yang telah diraihnya-selain al-Qusyairi dan Al-Hawari (itu karena dia telah mengembalikan tasawuf pada landasan al-Quran dan hadits). Selain itu, al-Ghazali juga menawarkan teori tasawuf baru (ma`rifat) sebagai upaya pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah) tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya yang itu telah mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan tasawuf sesudahnya, sehingga al-Ghazali dikatakan seorang sufi yang bisa meredam perseteruan yang tidak harmonis antara ilmu kalam, fiqih, dan filsafat.
Namun di sisi lain, tidak bisa dipungkiri, ternyata apa yang telah diupayakan oleh al-Ghazali telah melahirkan implikasi dan ekses yang tidak bisa dibendung. Dengan kata lain, pemikiran tasawufnya kemudian mengalami kemandulan dalam periode sesudahnya. Semua itu, tidak lain dikarenakan tasawuf (al-Ghazali) telah didistorsi dalam bentuk tarekat-tarekat yang lebih menyerupai agama dalam agama.
Akibatnya, tasawuf yang sebenarnya sarat dengan muatan dan peran intelektual (sebagaimana yang dirumuskan Al-Ghazali) mengalami pereduksian dimensi kognitif dan berubah menjadi rutinitas ritual di bawah para syeikh/mursyid tarekat dengan segala implikasinya seperti pemujaan wali, pencarian berkah dan lain-lain.
Faktor Kemunduran Umat
Dengan sekelumit uraian di atas, masih layakkah jika ada satu pertanyaan yang memojokkan al-Ghazali sebagai orang yang harus bertanggung jawab (secara penuh) terhadap kemunduran umat Islam? Sekiranya, pereduksian tasawuf sebagaimana yang dikemukan di atas sudah menjadi jawaban yang cukup memuaskan untuk menepis anggapan akan tuduhan terhadap al-Ghazali itu. Dengan begitu, kemunduran umat Islam, bukanlah dikarenakan tasawuf al-Ghazali.
Akan tetapi, lebih tepatnya kalau kita mau berkata jujur dan sedikit kritis bahwa kemunduran umat Islam karena dilatarbelakangi adanya berbagai faktor yang sungguh komplek dan cukup rumit. Setidaknya, salah satu faktor itu adalah tiadanya solidaritas di antara kalangan umat Islam sendiri. Jika ditilik dari rentetan sejarah Islam, tampak nyata adanya perpecahan itu terjadi sudah sejak awal pertikaian politik umat akan perebutan kekuasaan yang berimplikasi pada lahirnya tasawuf di satu pihak dan perbedaan di bidang fiqh dan kalam yang kemudian melahirkan faham/sekte yang antara satu pihak dengan pihak yang lain tidak saling menghargai, melainkan malah saling menyalahkan.
Sebab, sebagaian besar umat tidaklah memaknai perbedaan itu sebagai rahmat, melainkan melihat perbedaan itu sebagai satu pelatuk atau pemicu permusuhan antara umat (Islam) sendiri sehingga semua itu tak membuat Islam mengalami kemajuan seperti kejayaan di masa yang lalu. (Nur Mursidi/dari berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar