
Hidup di kota besar memang tidaklah gampang. Malah, mungkin dilingkupi dengan kesusahan dan kerumitan. Sebab tuntutan hidup akan kebutuhan sandang, pangan dan papan terbilang cukup tinggi. Artinya, berbeda dengan kehidupan di kampung yang segalanya murah, hidup di kota dibutuhkan kecukupan ekonomi karena harga-harga yang ada cukuplah tinggi untuk dijangkau. Karena itulah, hanya orang-orang yang bermental kuat dan berjiwa besarlah yang kemudian mampu dan bertahan hidup di kota besar.
Pada sisi yang lain, tak bisa dipungkiri kalau di tengah kehidupan kota tidak sedikit juga kemaksiatan bertebaran di sudut-sudut jalan. Aneka hiburan hampir tidak pernah sepi dari denyut seks dan pornografi. Karena itulah, memegang teguh ajaran agama tak ubahnya memegang bara api. Artinya, berpegang teguh terhadap apa yang diajarkan oleh agama adalah satu perumpamaan seperti memegang bara api yang cukup panas. Tak pelak, jika tidak sedikit dari kita yang kadang tergelincir dalam lubang kemaksiatan dan dosa.
Akan tetapi, hidup di kota besar itu justru satu tantangan. Sebab, di tengah gemuruh kehidupan kota dengan laju modernitas (akibat industrialisasi dan kemajuan teknologi), di situlah letak esensi sebuah keimanan manusia diuji. Karenanya, selain tidak ada alasan untuk menjauhi dan bahkan menentang modernitas, juga tak bisa dihindari kalau modernitas adalah realitas yang tak bisa dibantah.
Meski demikian, ada sisi lain yang biasanya terabaikan dan kerap terbengkalai akibat laju modernitas itu, yakni adanya ketentraman batin. Karena itulah, di tengah kegersangan hidup di kota besar, orang lalu ingin merengkuh kedamain dan ketentraman batin dengan jalan menghidupkan kembali tasawuf. Dalam konteks ini, tak berlebihan jika Buya Hamka menggagas tasawuf modern, Nurcholish Madjid melontarkan ide neosufisme dan bagi kelompok lain lagi menawarkan pemikiran tasawuf positif.
Apapun namanya, yang jelas di tengah gemuruh kota besar, orang pun juga butuh ketenangan batin dan kedamaian jiwa. Pertanyaannya adalah; bagaimana konsep tarekat yang dianut oleh orang kota dalam menjalani kehidupan sufistik? Apa pula doktrin yang dipakai oleh orang kota yang mencoba menghidupkan kembali tasawuf? Bagaimana makna tauhid yang bersifat vertikal kemudian diaplikasikan dalam kehidupan sosial?
Banyak Jalan Menuju Ka`bah
Pada dasarnya, ajaran tasuwuf yang selama ini kita kenal tidaklah sesuatu yang tanpa jalan. Karena itulah, di dalam tasawuf kita mengenal adanya tarekat (tharekat). Sebab, tarekat adalah satu jalan atau cara. Adapun jalan yang ditempuh oleh orang sufi adalah jalan menuju cinta kepada Allah.
Tapi tak diingkari kalau dalam khazanah tasawuf sendiri terdapat pengakuan tentang adanya banyak cara dan strategi yang bisa direngkuh orang agar ia dekat kepada Tuhannya. “Tak tahukah engkau” tanya Maulana Jalaluddin Rumi suatu ketika, “bahwa banyak jalan menuju Ka`bah?” Ungkapan Rumi itu selain menandaskan bahwa jalan untuk menuju Tuhan itu tidaklah tunggal ia juga ingin menggarisbawahi bahwa kelompok tarekat tertentu dengan demikian tidak dapat mengklaim bahwa dirinya sebagai kelompok tarekat yang paling benar.
Annemarie Schimel dalam buku Akulah Angin Engkaulah Api, malah cukup radikal dengan berkata lantang, bukan saja jalan menuju Tuhan itu cukup banyak dan beragam, tapi lebih dari itu, jalan menuju Tuhan adalah sebanyak jumlah manusia. Pendapat Schimel itu jelas-jelas ingin menandaskan bahwa jalan menuju Tuhan demi kedamainan batin tidak cuma satu. Dengan kata lain, banyak jalan yang bisa ditempuh.
Doktrin Tasawuf Positif
Di tengah kegersangan hidup di kota besar, tak bisa diingkari kalau seseorang tetap ingin merengkuh ketentraman batin. Sebab, hal itu sudah menjadi fitrah manusia. Karena itu, orang kota setelah mengalami cukup keresahan, akhirnya merasa perlu tenggelam ke relung ruhani demi mencapai ketenangan batin dengan jalan berusaha menghidupkan kembali tasawuf dengan tetap menghormati dunia, menjunjung tinggi rasionalitas dan intelektualitas, tetap melaksanakan syari`at, peduli terhadap kaum dhu`afa`, memerangi tindakan tirani, diktator dan otoriter.
Setidaknya, itulah yang ditawarkan oleh tasawuf positif, tasawuf model baru yang dipeluk orang kota (urban sufisme). Secara gamblang, tasawuf positif bisalah diartikan sebagai bentuk tasawuf yang tidak meninggalkan capaian-capaian positif dari modernisme. Di sisi lain, tasawuf positif juga berupaya mengisi kekosongan-kekosongan yang terdapat padanya. Hal ini didasarkan dari hikmah dari suatu pepatah klasik, “khudz ma shafa da` ma kadara” (ambil yang baik dan buang yang buruk). Apalagi ada juga sebuah kaidah ushul fiqh yang bisa dijadikan sandaran “al-muhafadhah alal-qadimish-shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah (mengadaptasi hasil-hasil capaian genarasi lama yang baik dan membangun capaian baru yang lebih baik).
Dalam buku Sufisme Kota, Ahmad Najib Burhani menggambarkan delapan doktrin tasawuf positif. Pertama, Allah sebagai perwujudan Jalal dan Jamal. Dengan doktrin ini, diakui bahwa Allah memiliki sifat agung yang saling melengkapi dan dari kedua sifat itu juga diakui tidak berlawanan dan bukan merupakan dua kategori yang berbeda, melainkan dua aspek dari satu kesatuan tunggal. Artinya, Islam sebagai jalan mengandung pula dua aspek dari sifat Allah tersebut yang terwujud dalam syari`at dan tarekat.
Kedua, Insan Kamil sebagai wujud multidimensi dengan menengok pribadi Rasul sebagai tauladan karena beliau adalah pribadi yang dalam al-Qur`an dijelaskan sebagai contoh yang baik. Kenapa? Sebab, nabi mengutamakan kedekatan dan hubungan antara manusia dengan Allah tapi di saat yang sama, juga melakukan transformasi dalam masyarakat di bidang sosial, ekonomi, politik dan sebagainya.
Ketiga, tidak menafikan dunia. Walau bagaimana pun dunia adalah jalan yang harus ditempuh untuk mendapatkan kebahagiaan akherat bukan dengan manjauhkan diri (bahkan menyangkal) kehidupan dunia. Sebab, kehidupan dunia adalah fitrah dari eksistensi manusia sebagai sarana menuju kebahagiaan di akherat. Cara kita hidup di dunia bahkan menentukan kehidupan nanti di akherat.
Keempat, melihat syari`at sebagai unsur integral tasawuf. Interaksi antara tasawuf dan syari`ah tidak ubahnya perwujudan sifat jalal (syari`at) dan jamal (tasawuf) Allah. Sebagaimana sifat jalal dan jamal integral dalam diri Allah, maka syari`at dan tarekat adalah dua unsur ajaran Islam yang tak bisa dipisahkan. Karenanya, tidak ada tasawuf tanpa syari`at dan tidak syari`at tanpa tasawuf.
Kelima, hikmah sebagai alternatif terhadap sufisme antiintelektual. Tak dipungkiri, selama ini tasawuf sering dianggap sebagai jalan untuk mencari kebenaran yang tidak bisa dijelaskan dengan kaidah rasional. Padahal, tak bisa dipungkiri rasionalitas dan intelektualitas adalah sendi pencarian kebenaran, termasuk di dalamnya kebenaran spiritual. Karena itu, hikmah adalah satu aliran pemikiran dalam khazanah intelektual Islam yang menggabungkan rasionalisme filsafat dengan metode pencerahan spiritual. Jika dalam tasawuf konvensional tokoh-tokoh yang menjadi idola adalah Abdul Qadir Jailani, al-Tijani dan sebagianya, dalam aliran ini lebih tertarik pada tokoh-tokoh semisal Ibn `Arabi, Bayazid al-Bustami, Suhrawardi, Mulla Sadra dan Mansur al-Hallaj.
Keenam, membaca alam semesta sebagai tanda akan kekuasaan Allah. Sebab, alam semesta bukanlah cermin yang cacat dari hakekat kebenaran. Alam semesta tak bisa diingkari dipenuhi tanda-tanda atau ayat-ayat Allah dan sains di sini merupakan alat untuk memahami tanda-tanda alam untuk mencapai kebenaran hakiki.
Ketujuh, menjadikan akhlak sebagai sasaran tasawuf. Seorang sufi adalah orang yang bisa mengendalikan diri, karena itu tasawuf dijadikan jalan yang akan mentransformasikan diri dari modus eksistensi manusia kebanyakan menjadi manusia yang dihiasi oleh akhlak yang mulia. Inilah titik tolak bagi individu sufi untuk menjalankan fungsi profetisnya.
Kedelapan, menghiasi diri dengan amal shaleh. Amal shaleh di sini adalah berbuat baik dalam memperbaiki lingkunagn. Sebab melakukan amal shaleh tidak beda jauh dengan melakukan ishlah atau reformasi. Tak pelak, jika amal shaleh menjadi satu-satunya tolok ukur bagi keberhasilan sesorang dalam menjalani tasawuf. Karenanya, tidak ada tasawuf tanpa amal shaleh, menyantuni kaum du`afa, sayang terhadap sesama manusia, menolak tindakan tirani, peduli pada lingkungan dan semacamnya.
Tauhid Sosial
Di sini bisa dicontohkan satu tindakan herois seorang sufi, yang tak lain lagi adalah Ayatullah Imam Khomaeni. Di tengah gundah gulana rakyat Iran yang ditindas penguasa lalim, beliau justru maju ke medan laga untuk memimpin sebuah revolusi. Apakah upaya dari Ayatullah itu tidak satu tindakan yang malah bisa disebut sebagai seorang marxis, mengingat gagasan dari adanya revolusi justru dilancarkan oleh Karl Marx? Justru di sinilah puncak seorang sufi sejati memiliki nilai lebih. Sebab bagi Imam Khomaeni, bentuk tauhid tanpa diwujudkan dalam tindakan nyata dengan menolong kaum dhu`afa` dan kaum yang tertindas akan menjadi kurang bermakna.
Mungkin ada baiknya, di sini penulis kutipkan satu cerita klasik dari buku Perjalanan Rohani Kaum Sufi karya Ibnu Mahali Abdullah Umar yang bisa dijadikan sebagai bahan renungan dari cerita Umar bin Khathab. Pada zaman dahulu ada seorang abid yang selalu memaksakan diri dalam beribadah. Lebih dari itu, ia merasa dirinya paling suci, sedang orang lain bersimbah dosa lantaran maksiat yang mereka lakukan. Tak pelak, jika dalam hati si abid tertanam perasaan, “Rahmat Allah hanya akan dicurahkan kepada orang ahli ibadah, bukan kepada pelaku maksiat.” Perasaan itu membuat sang abid meninggalkan pergaulan umum, mengisolasi diri dengan menjalankan ibadah yang tekun. Ia tidak lagi mengenal sillaturrahmi.
Singkat cerita, si abid kemudian meninggal dunia. Ia mengajukan pertanyaan kepada Allah, “Ya Allah, apa yang Engkau berikan kepadaku sebagai balasan ibadahku sewaktu di dunia?” Jawab Allah, “Balasan buatmu adalah siksa neraka.” Dengan terperanjat si abid lalu meminta penjelasan: “Ya Allah, terus apa arti ibadah yang telah kulakukan?” Jawab Allah, “Sebab sewaktu di dunia kamu telah memutus sillaturrahmi, yang berarti memutuskan rahmat-Ku. Kamu tidak peduli orang-orang yang berada di sekitarmu dan kamu sombong dengan ibadahmu. Karena itulah, pada hari ini Aku putuskan pula rahmat-Ku kepadamu, sehingga siksa neraka yang paling pantas menjadi imbalan ibadahmu sewaktu di dunia.”
Akhirnya, meskipun seseorang hidup di kota besar bukanlah berarti menjadi satu halangan untuk tetap menjalani kehidupan sufistik. Sebab, jalan menuju Tuhan adalah jalan rohani yang selain sudah sepatutnya direngkuh oleh siapapun, juga tak padang bulu apakah seseorang berada di kota ataukah di sebuah desa terpencil. Memang, desa adalah tempat yang menyimpan berkah dan kedamaian, tetapi tak dipungkiri juga kalau kota adalah tempat ilmu bermukim. Tapi dari berlimpahnya ilmu itu, berkah dan kedamaian juga bisa dipetik. (Nur Mursidi/ dari berbagai sumber)
Pada sisi yang lain, tak bisa dipungkiri kalau di tengah kehidupan kota tidak sedikit juga kemaksiatan bertebaran di sudut-sudut jalan. Aneka hiburan hampir tidak pernah sepi dari denyut seks dan pornografi. Karena itulah, memegang teguh ajaran agama tak ubahnya memegang bara api. Artinya, berpegang teguh terhadap apa yang diajarkan oleh agama adalah satu perumpamaan seperti memegang bara api yang cukup panas. Tak pelak, jika tidak sedikit dari kita yang kadang tergelincir dalam lubang kemaksiatan dan dosa.
Akan tetapi, hidup di kota besar itu justru satu tantangan. Sebab, di tengah gemuruh kehidupan kota dengan laju modernitas (akibat industrialisasi dan kemajuan teknologi), di situlah letak esensi sebuah keimanan manusia diuji. Karenanya, selain tidak ada alasan untuk menjauhi dan bahkan menentang modernitas, juga tak bisa dihindari kalau modernitas adalah realitas yang tak bisa dibantah.
Meski demikian, ada sisi lain yang biasanya terabaikan dan kerap terbengkalai akibat laju modernitas itu, yakni adanya ketentraman batin. Karena itulah, di tengah kegersangan hidup di kota besar, orang lalu ingin merengkuh kedamain dan ketentraman batin dengan jalan menghidupkan kembali tasawuf. Dalam konteks ini, tak berlebihan jika Buya Hamka menggagas tasawuf modern, Nurcholish Madjid melontarkan ide neosufisme dan bagi kelompok lain lagi menawarkan pemikiran tasawuf positif.
Apapun namanya, yang jelas di tengah gemuruh kota besar, orang pun juga butuh ketenangan batin dan kedamaian jiwa. Pertanyaannya adalah; bagaimana konsep tarekat yang dianut oleh orang kota dalam menjalani kehidupan sufistik? Apa pula doktrin yang dipakai oleh orang kota yang mencoba menghidupkan kembali tasawuf? Bagaimana makna tauhid yang bersifat vertikal kemudian diaplikasikan dalam kehidupan sosial?
Banyak Jalan Menuju Ka`bah
Pada dasarnya, ajaran tasuwuf yang selama ini kita kenal tidaklah sesuatu yang tanpa jalan. Karena itulah, di dalam tasawuf kita mengenal adanya tarekat (tharekat). Sebab, tarekat adalah satu jalan atau cara. Adapun jalan yang ditempuh oleh orang sufi adalah jalan menuju cinta kepada Allah.
Tapi tak diingkari kalau dalam khazanah tasawuf sendiri terdapat pengakuan tentang adanya banyak cara dan strategi yang bisa direngkuh orang agar ia dekat kepada Tuhannya. “Tak tahukah engkau” tanya Maulana Jalaluddin Rumi suatu ketika, “bahwa banyak jalan menuju Ka`bah?” Ungkapan Rumi itu selain menandaskan bahwa jalan untuk menuju Tuhan itu tidaklah tunggal ia juga ingin menggarisbawahi bahwa kelompok tarekat tertentu dengan demikian tidak dapat mengklaim bahwa dirinya sebagai kelompok tarekat yang paling benar.
Annemarie Schimel dalam buku Akulah Angin Engkaulah Api, malah cukup radikal dengan berkata lantang, bukan saja jalan menuju Tuhan itu cukup banyak dan beragam, tapi lebih dari itu, jalan menuju Tuhan adalah sebanyak jumlah manusia. Pendapat Schimel itu jelas-jelas ingin menandaskan bahwa jalan menuju Tuhan demi kedamainan batin tidak cuma satu. Dengan kata lain, banyak jalan yang bisa ditempuh.
Doktrin Tasawuf Positif
Di tengah kegersangan hidup di kota besar, tak bisa diingkari kalau seseorang tetap ingin merengkuh ketentraman batin. Sebab, hal itu sudah menjadi fitrah manusia. Karena itu, orang kota setelah mengalami cukup keresahan, akhirnya merasa perlu tenggelam ke relung ruhani demi mencapai ketenangan batin dengan jalan berusaha menghidupkan kembali tasawuf dengan tetap menghormati dunia, menjunjung tinggi rasionalitas dan intelektualitas, tetap melaksanakan syari`at, peduli terhadap kaum dhu`afa`, memerangi tindakan tirani, diktator dan otoriter.
Setidaknya, itulah yang ditawarkan oleh tasawuf positif, tasawuf model baru yang dipeluk orang kota (urban sufisme). Secara gamblang, tasawuf positif bisalah diartikan sebagai bentuk tasawuf yang tidak meninggalkan capaian-capaian positif dari modernisme. Di sisi lain, tasawuf positif juga berupaya mengisi kekosongan-kekosongan yang terdapat padanya. Hal ini didasarkan dari hikmah dari suatu pepatah klasik, “khudz ma shafa da` ma kadara” (ambil yang baik dan buang yang buruk). Apalagi ada juga sebuah kaidah ushul fiqh yang bisa dijadikan sandaran “al-muhafadhah alal-qadimish-shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah (mengadaptasi hasil-hasil capaian genarasi lama yang baik dan membangun capaian baru yang lebih baik).
Dalam buku Sufisme Kota, Ahmad Najib Burhani menggambarkan delapan doktrin tasawuf positif. Pertama, Allah sebagai perwujudan Jalal dan Jamal. Dengan doktrin ini, diakui bahwa Allah memiliki sifat agung yang saling melengkapi dan dari kedua sifat itu juga diakui tidak berlawanan dan bukan merupakan dua kategori yang berbeda, melainkan dua aspek dari satu kesatuan tunggal. Artinya, Islam sebagai jalan mengandung pula dua aspek dari sifat Allah tersebut yang terwujud dalam syari`at dan tarekat.
Kedua, Insan Kamil sebagai wujud multidimensi dengan menengok pribadi Rasul sebagai tauladan karena beliau adalah pribadi yang dalam al-Qur`an dijelaskan sebagai contoh yang baik. Kenapa? Sebab, nabi mengutamakan kedekatan dan hubungan antara manusia dengan Allah tapi di saat yang sama, juga melakukan transformasi dalam masyarakat di bidang sosial, ekonomi, politik dan sebagainya.
Ketiga, tidak menafikan dunia. Walau bagaimana pun dunia adalah jalan yang harus ditempuh untuk mendapatkan kebahagiaan akherat bukan dengan manjauhkan diri (bahkan menyangkal) kehidupan dunia. Sebab, kehidupan dunia adalah fitrah dari eksistensi manusia sebagai sarana menuju kebahagiaan di akherat. Cara kita hidup di dunia bahkan menentukan kehidupan nanti di akherat.
Keempat, melihat syari`at sebagai unsur integral tasawuf. Interaksi antara tasawuf dan syari`ah tidak ubahnya perwujudan sifat jalal (syari`at) dan jamal (tasawuf) Allah. Sebagaimana sifat jalal dan jamal integral dalam diri Allah, maka syari`at dan tarekat adalah dua unsur ajaran Islam yang tak bisa dipisahkan. Karenanya, tidak ada tasawuf tanpa syari`at dan tidak syari`at tanpa tasawuf.
Kelima, hikmah sebagai alternatif terhadap sufisme antiintelektual. Tak dipungkiri, selama ini tasawuf sering dianggap sebagai jalan untuk mencari kebenaran yang tidak bisa dijelaskan dengan kaidah rasional. Padahal, tak bisa dipungkiri rasionalitas dan intelektualitas adalah sendi pencarian kebenaran, termasuk di dalamnya kebenaran spiritual. Karena itu, hikmah adalah satu aliran pemikiran dalam khazanah intelektual Islam yang menggabungkan rasionalisme filsafat dengan metode pencerahan spiritual. Jika dalam tasawuf konvensional tokoh-tokoh yang menjadi idola adalah Abdul Qadir Jailani, al-Tijani dan sebagianya, dalam aliran ini lebih tertarik pada tokoh-tokoh semisal Ibn `Arabi, Bayazid al-Bustami, Suhrawardi, Mulla Sadra dan Mansur al-Hallaj.
Keenam, membaca alam semesta sebagai tanda akan kekuasaan Allah. Sebab, alam semesta bukanlah cermin yang cacat dari hakekat kebenaran. Alam semesta tak bisa diingkari dipenuhi tanda-tanda atau ayat-ayat Allah dan sains di sini merupakan alat untuk memahami tanda-tanda alam untuk mencapai kebenaran hakiki.
Ketujuh, menjadikan akhlak sebagai sasaran tasawuf. Seorang sufi adalah orang yang bisa mengendalikan diri, karena itu tasawuf dijadikan jalan yang akan mentransformasikan diri dari modus eksistensi manusia kebanyakan menjadi manusia yang dihiasi oleh akhlak yang mulia. Inilah titik tolak bagi individu sufi untuk menjalankan fungsi profetisnya.
Kedelapan, menghiasi diri dengan amal shaleh. Amal shaleh di sini adalah berbuat baik dalam memperbaiki lingkunagn. Sebab melakukan amal shaleh tidak beda jauh dengan melakukan ishlah atau reformasi. Tak pelak, jika amal shaleh menjadi satu-satunya tolok ukur bagi keberhasilan sesorang dalam menjalani tasawuf. Karenanya, tidak ada tasawuf tanpa amal shaleh, menyantuni kaum du`afa, sayang terhadap sesama manusia, menolak tindakan tirani, peduli pada lingkungan dan semacamnya.
Tauhid Sosial
Di sini bisa dicontohkan satu tindakan herois seorang sufi, yang tak lain lagi adalah Ayatullah Imam Khomaeni. Di tengah gundah gulana rakyat Iran yang ditindas penguasa lalim, beliau justru maju ke medan laga untuk memimpin sebuah revolusi. Apakah upaya dari Ayatullah itu tidak satu tindakan yang malah bisa disebut sebagai seorang marxis, mengingat gagasan dari adanya revolusi justru dilancarkan oleh Karl Marx? Justru di sinilah puncak seorang sufi sejati memiliki nilai lebih. Sebab bagi Imam Khomaeni, bentuk tauhid tanpa diwujudkan dalam tindakan nyata dengan menolong kaum dhu`afa` dan kaum yang tertindas akan menjadi kurang bermakna.
Mungkin ada baiknya, di sini penulis kutipkan satu cerita klasik dari buku Perjalanan Rohani Kaum Sufi karya Ibnu Mahali Abdullah Umar yang bisa dijadikan sebagai bahan renungan dari cerita Umar bin Khathab. Pada zaman dahulu ada seorang abid yang selalu memaksakan diri dalam beribadah. Lebih dari itu, ia merasa dirinya paling suci, sedang orang lain bersimbah dosa lantaran maksiat yang mereka lakukan. Tak pelak, jika dalam hati si abid tertanam perasaan, “Rahmat Allah hanya akan dicurahkan kepada orang ahli ibadah, bukan kepada pelaku maksiat.” Perasaan itu membuat sang abid meninggalkan pergaulan umum, mengisolasi diri dengan menjalankan ibadah yang tekun. Ia tidak lagi mengenal sillaturrahmi.
Singkat cerita, si abid kemudian meninggal dunia. Ia mengajukan pertanyaan kepada Allah, “Ya Allah, apa yang Engkau berikan kepadaku sebagai balasan ibadahku sewaktu di dunia?” Jawab Allah, “Balasan buatmu adalah siksa neraka.” Dengan terperanjat si abid lalu meminta penjelasan: “Ya Allah, terus apa arti ibadah yang telah kulakukan?” Jawab Allah, “Sebab sewaktu di dunia kamu telah memutus sillaturrahmi, yang berarti memutuskan rahmat-Ku. Kamu tidak peduli orang-orang yang berada di sekitarmu dan kamu sombong dengan ibadahmu. Karena itulah, pada hari ini Aku putuskan pula rahmat-Ku kepadamu, sehingga siksa neraka yang paling pantas menjadi imbalan ibadahmu sewaktu di dunia.”
Akhirnya, meskipun seseorang hidup di kota besar bukanlah berarti menjadi satu halangan untuk tetap menjalani kehidupan sufistik. Sebab, jalan menuju Tuhan adalah jalan rohani yang selain sudah sepatutnya direngkuh oleh siapapun, juga tak padang bulu apakah seseorang berada di kota ataukah di sebuah desa terpencil. Memang, desa adalah tempat yang menyimpan berkah dan kedamaian, tetapi tak dipungkiri juga kalau kota adalah tempat ilmu bermukim. Tapi dari berlimpahnya ilmu itu, berkah dan kedamaian juga bisa dipetik. (Nur Mursidi/ dari berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar