Selasa, 19 April 2005

ust asmawi: membekali anak yatim dengan ketrampilan komputer

majalah hidayah edisi 45 april 2005

Anak-anak yatim piatu memang butuh perhatian. Sebab, ditinggal mati salah satu atau kedua orangtua di saat anak belum mencapai usia dewasa adalah satu perjuangan yang penuh duka lara. Selain mereka tak bisa berjumpa lagi untuk mengadu, mengeluh dan menanyakan banyak hal yang dihadapi, ada beberapa hal penting lagi dari semua itu yang menjadi masalah besar, yakni materi untuk biaya hidup, kasih sayang, bimbingan dan pendampingan untuk anak dalam menapaki hidup demi masa depan yang didambakan agar tidak terlantar..

Keprihatian dan kepedulian itulah yang membuat ustadz Asmawi kemudian merasa terpanggil untuk mengabdikan dirinya menjadi staf administrasi dan sekaligus staf pengajar di Yayasan Paguyuban Al-Ihsan, sebuah yayasan yang didirikan untuk mengurusi, menyantuni dan mendidik anak-anak yatim piatu di wilayah Pondok Pinang, Jakarta Selatan. Dengan keahlian yang dikuasainya di bidang komputer, ustadz Asmawi selain mengajar TPA dan mengadakan pengajian untuk anak-anak yatim di malam Jum`at, juga boleh dikata membekali mereka dengan ketrampilan komputer.

Kesadaran Asmawi itu, selain didorong akan perintah agama sebagaimana dianjurkan nabi untuk menyanyangi dan mengurus anak-anak yatim piatu, juga dilatarbelakangi perasaan tidak tega saat melihat anak-anak yatim piatu harus terlantar. Ia kasihan jika hanya lantaran ditinggal oleh orang tua, kemudian mereka harus putus sekolah. Lebih tragis lagi jika sampai menjadi anak jalanan, pengemis atau pengamen di jalanan yang hidup amburadul.

“Saya tak tega melihat anak-anak yatim piatu harus kehilangan masa depan”, tuturnya kalem dalam sebuah wawancara dengan reporter majalah Hidayah.

Atas dasar apa Ustadz Asmawi sampai harus mengabdikan diri jadi staf administrasi dan staf pengajar untuk anak-anak yatim piatu? Bagaimana liku-liku dan pengalaman ustadz satu ini selama mengurus dan mendidik anak-anak yatim piatu? Apa pula harapannya di kemudian hari kepada anak-anak yatim piatu dengan ketrampilan komputer yang diajarkan?

Panggilan di Jalan Allah
Lahir di Jakarta, 18 agustus 1974 sebagai anak ketiga dari delapan bersaudara, lelaki satu ini adalah seorang lulusan SMK. Dengan bekal kecintaannya di bidang komputer setelah ia mengenal dasar-dasarnya di bangku SMK, dia kemudian mengembangkannya sendiri. Jadi, boleh dikata laki-laki yang lahir dari pasangan Aziz dan Amini ini belajar komputer secara otodidak.

“.Awalnya saya mengenal komputer di SMK yang memang diajarkan mulai dari kelas satu sampai kelas tiga. Tapi di sana yang diajarkan cuma dasarnya saja, seperti dos dan lotus. Alhamdulillah karena di rumah kebetulan ada komputer, sehingga saya bisa belajar sendiri dengan mengembangkannya lebih jauh. Dari kecintaan itulah, ilmu saya tentang komputer kemudian bisa berkembang,” cerita lelaki yang lahir tiga puluh satu tahun yang lalu ini.

Latar belakang keluarga, hampir dikata memberikan dukungan, meski hal itu tidaklah seberapa maksimal. Buktinya, ustadz Asmawi dibelikan sebuah komputer oleh ayahnya guna mengembangkan ilmu komputer yang selama ini ia tekuni. Cuma, karena Asmawi memiliki banyak saudara sehingga untuk melanjutkan kuliah tidak ada jalan lempang. Tak salah, usai lulus dari SMK, ia langsung memilih bekerja dan diterima sebagai staf administrasi di PT Indah Mandiri, Lebak Bulus. Di perusahaan tersebut Asmawi bekerja mulai dari tahun 1994-1997. Selepas dari situ, Asmawi kemudian bekerja di Mapalan sebagai staf administradi dan sekaligus staf pengajar pada sebuah Yayasan Al-Falah. Dia mengajar komputer untuk kelas 3 SD sampai kelas 3 SMP.

Lalu, pada tahun 2002, salah satu famili Asmawi menawarkan kepadanya untuk kerja menjadi tenaga sosial di Yayasan Paguyuban Al-Ihsan, untuk menjadi staf administrasi dan sekaligus staf pengajar bagi anak-anak yatim piatu. Mendapat tawaran itu, Asmawi tak bisa menolak. Dalam hati, ia seakan-akan mendapatkan panggilan di jalan Allah untuk bekerja sekaligus beribadah karena di Yayasan Paguyuban Al-Ihsan itu ia mengajar untuk anak-anak yatim piatu yang selama ini membuatnya prihatin di saat menjumpai satu kenyataan bahwa di antara mereka banyak yang masih tak terurus.

Tak membuang-buang waktu, ia langsung menyanggupi dan mulai bekerja di Yayasan Paguyuban Al-Ihsan pada tahun itu juga. Padahal, kalau dibandingkan dengan gaji (materi) yang dia terima di PT Indah Mandiri dan tempat kerjanya yang kedua, di Yayasan Paguyuban Al-Ihsan ia sebagai staf pengajar hanyalah mendapatkan uang lelah.

“Kalau boleh dibilang gaji saya memang tidaklah seberapa. Jika dibandingkan dengan tempat kerja saya sebelumnya, di Yayasan ini lebih kecil. Ya, karena saya bekerja dengan ikhlas dan didorong atas dasar ibadah kepada Allah, jadi saya menerima semua ini sebagai panggilan di jalan Allah.” pengakuan jujur ustadz Asmawi.

Mengajar dengan Suka Cita
Yayasan Paguyuban Al-Ihsan didirikan pada 1998 dan dari tahun ke tahun anak yatim piatu yang menjadi beban yayasan mulai bertambah. “Saat ini, ada sekitar 50-an anak yatim piatu yang disantuni dan dididik Yayasan Paguyuban Al-Ihsan,“ keterangan ustadz Asmawi –demikian anak-anak yatim piatu di Yayasan Paguyuban Al-Ihsan memanggil lelaki kelahiran Jakarta 1974 ini.

Karena boleh dibilang cukup banyak anak-anak yatim piatu yang disantuni dan didik Yayasan Paguyuban Al-Ihsan, makanya ustadz Asmawi benar-benar dibutuhkan Yayasan dan dia pun kemudian mulai bekerja dengan perasaan suka cita. “Setiap pekerjaan yang kita jalani haruslah dilakukan dengan perasaan cinta. Sebab, dengan cinta itulah kita akan bisa menjalani dengan baik dan tidak lagi mengeluh,” demikian ia membeberkan prinsip hidup yang ia jalani untuk bekerja secara sosial di Yayasan Paguyuban Al-Ihsan.

Karena bekerja dengan cinta itulah, Asmawi tak keberatan menjalani kerja dan anak-anak yatim piatu yang ia didik telah dia anggap sebagai adik-adiknya sendiri, atau malah anak-anaknya sendiri. Memang, semula anak-anak yatim piatu diajar TPA dan pengajian malam Jum`at (sebelum yasinan dan tahlilan), lalu dia mengusulkan untuk dibentuk ektra kulikuler komputer dan pelajaran bahasa Inggris. Untuk ekstra kulikuler komputer yang mengajar dia sendiri dan untuk bahasa Inggris yang mengajar adalah staf lain.

Jadinya, untuk TPA anak-anak yatim piatu diajar di sore hari selepas asar mulai dari jam 16-00 sampai maghrib semantara untuk ekstra kulikuler komputer jadwalnya di malam hari pada hari sabtu mulai jam 18.30-20-30. “Alhamdulillah selama diadakan ektra kulikuler komputer, anak-anak yatim piatu di bawah Yayasan Paguyuban Al-Ihsan tidak lagi merasa kesulitan jika ada tugas dari sekolah. Mereka bisa mengerjakan tugas dengan mengetik di Yayasan dengan menyalakan komputer sendiri dan mengetik sendiri,” cerita Asmawi dengan penuh bangga.

Memang, awalnya Asmawi kesulitan mengatur dan membagi kelas. Tetapi hal itu kemudian tidak menjadi halangan setelah ia membagi dalam dua golongan. Kelas satu untuk tingkat SD dan SMP dan kelas dua untuk SMU. Dengan pembagian seperti itu, Asmawi memberikan materi untuk kelas satu (SD-SMP) word start, lotus baru kemudian meningkat ke microsoft word. Adapun untuk kelas dua (tingkat SMU) materi yang diajarkan microsoft exel dan microsoft power point.

“Selama saya mengajar, alhamdulilah tidak mengalami kesulitan. Saya bahkan senang mengajar di sini karena anak-anak seusia mereka memiliki daya ingin tahu tinggi sehingga tidak membuat saya kesulitan. Apalagi, anak-anak di sini tidak bandel, rewel ataupun kurang ajar. Memang, satu dua anak ada yang punya daya tangkap kurang dan kehadiran mereka juga kurang. Tapi, ada juga satu dua anak yang lumayan menonjol. Malah, ia sering membantu temannya sehingga saya setiap kali melihat kejadian seperti itu tidak kehilangan semangat,” cerita Asmawi atas tingkat kecerdasarn anak-anak yatim piatu yang diajarnya.

Mungkin karena yang diajar Asmawi masih tingkat dasar dan anak didiknya masih kecil, maka ia tidak mengalami banyak kesulitan. Setiap pertanyaan anak-anak masih bisa dia jawab dan dia praktekkan. Apalagi, dalam proses belajar mengajar komputer ia lebih dulu memberikan materi, kemudian baru praktek.dan diakhir pelajaran diadakan tanya jawab dari materi yang sudah diajarkan.

Namun yang membuat Asmawi harus tetap bersabar dan harus menjalani semua itu dengan penuh cinta adalah saat-saat mereka datang ke Yayasan ternyata membawa PR yang belum dikerjakan dari sekolah di mana mereka menuntut ilmu. Tak pelak, Asmawi kemudian membantu mereka mengerjakan PR yang sebenarnya bukan menjadi tanggung jawabnya namun tetap ia lakukan dengan penuh cinta.

“Ya, itu karena saya menjalani semua ini didorong atas kerja sosial, ikhlas dan karena ibadah kepada Allah. Jika tak diniatkan demikian, maka saya bisa-bisa akan marah, memukul dan menampar mereka,” demikian pengakuan Asmawi atas pengalamannya mengajar anak-anak yatim piatu.

Tapi itu suatu pengalaman dan tantangan yang membuatnya seakan-akan diuji. Rupa-rupanya, Asmawi adalah seorang lelaki yang sabar dan penuh perhatian terhadap anak-anak yatim piatu yang ada di Yasasan Paguyuban Al-Ihsan. Tak pelak, kalau ia selama tiga tahun ini menjalaninya dengan suka cita.

Harapan di Esok Hari
Saat reporter Hidayah mengutarakan niat untuk melakukan wawancara untuk rubrik potret ini, Asmawi semula merasa keberatan. Alasan yang dikemukannya, “Wah, nanti dikira kami sengaja mempublikasikan Yayasan ini sehingga seolah-olah sengaja cari donatur?” Lalu, reporter Hidayah memberikan sedikit jawaban yang logis, bahwa ini demi tujuan yang baik. Setidaknya, dengan adanya liputan ini, dengan menampilkan ustadz Asmawi yang selama ini terlibat sebagai salah satu staf pengajar di Yayayasan Paguyuban Al-Ihsan, dan kondisi anak-anak yatim piatu yang memang butuh uluran tangan semoga nantinya bisa menarik simpati orang lain untuk ikut memperhatikan anak-anak yatim piatu karena mereka memang butuh diperhatikan, disantuni dan dididik. Akhirnya, Asmawi tidak menolak.

Sebab, walau bagaimana pun ustadz Asmawi dan staf-staf pengajar lainnya memang mengajar anak-anak yatim piatu didasari atas dorongan ibadah dan ikhlas karena Allah. Tak pelak, meski gaji yang diterima Asmawi boleh dikata hanya mengganti ongkos lelah dan itu juga masih kecil dibanding dengan gaji yang diterima sebelumnya sebagai staf pengajar di Al-Falah, toh ia menjalaninya dengan ikhlas.

Tak berlebihan, karena ikhlas itu ia berharap agar nantinya apa yang diajarkan kepada anak-anak yatim piatu yang dididik bisa bermanfaat di kemudian hari. “Saya berharap mereka nanti bisa mahir komputer, karena jika mereka umpama bekerja di kantor pemerintah atau di sebuah perusahaan sebagai staf administrasi, maka komputer menjadi syarat yang tak bisa ditawar lagi. Syukur-syukur jika salah satu dari mereka nanti bisa menjadi teknisi, saya sudah cukup bangga melihat semua itu,” harapan ustadz Asmawi yang tidak muluk-muluk di akhir wawancara dengan majalah Hidayah. (Nur Mursidi)


Tidak ada komentar: