"Dan ingatlah ketika Luth berkata kepada kaumnya, "Sesungguhnya kamu benar-benar mengerjakan perbuatan yang amat keji yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun dari umat-umat sebelum kamu. Apakah kamu sesungguhnya patut mendatangi laki-laki, menyamun dan mengerjakan kemungkaran di tempat-tempat pertemuanmu? Maka jawaban kaumnya tidak lain hanya mengatakan, "Datangkanlah kepada kami azab Allah, jika kamu termasuk orang-orang yang benar." (Al-Ankabuut 28-29)
Janji Allah bagi kaum beriman akan kenikmatan di hari kelak (akhirat) adalah niscaya. Begitu pula dengan azab dan siksaan Allah terhadap kaum yang mungkar, bukanlah omong kosong. Malah, jika kemungkaran itu sudah melampai batas, Allah pun tak perlu menunggu sampai datangnya hari akhir. Di dunia pun, azab itu bisa saja terjadi karena kekuasaan Allah memang tak terbatas dan tak tertandingi oleh siapa pun.
Dalam lembaran sejarah, azab Allah terhadap kaum Luth adalah satu contoh dari sekian bukti kekuasaan Allah. Dalam Al-Qur`an dikisahkan bahwa kaum Luth itu tergolong kaum yang melampai batas karena kufur dan melakukan kejahatan yang tak pernah dilakukan seorang pun dari penduduk bumi ini sebelumnya, yaitu homoseksual (berhubungan seksual antara sesama lelaki). Karena itu, Allah kemudian menurunkan azab yang cukup kejam.
Meski tidak sekejam azab yang dialami kaum Luth, kisah yang menimpa penduduk kampung Sukamaju, di propinsi Kalimantan Timur yang kami ceritakan ini, sekiranya boleh dikata memiliki sedikit kemiripan. Lalu, seperti apa kelakuan penduduk kampung Sukamaju sehingga Allah menurunkan azab-Nya? Apa penduduk kampung Sukamaju seperti kaum Luth? Azab apa pula yang diturunkan Allah terhadap mereka?
Melakukan Homoseksual di Masjid
Malam belum begitu larut. Tapi suasana kampung Sukamaju yang terletak di kaki gunung itu sudah nampak sepi. Apalagi di atas langit hanya ada beberapa bintang dan bulan separuh baya yang murung sehingga seberkas cahayanya tak sampai menerobos gelap malam yang melingkupi kampung Sukamaju. Hanya nampak beberapa lampu pijar di depan rumah yang bersinar redup. Sementara, rumah-rumah penduduk sudah pada tutup. Tidak nampak ada orang berkumpul seperti di sore hari saat petani pulang dari sawah untuk membicarakan sesuatu di warung. Jadi, kampung itu nampak mati dan sunyi ketika malam sudah mulai larut. Maklum, kampung itu terletak di lereng gunung, bukan di wilayah kota besar.
Namun, di antara deretan rumah penduduk itu berdiri sebuah bangunan masjid di tengah kampung. Meskipun kampung Sukamaju bukanlah tergolong kampung santri, tetapi keberadaan masjid itu tetap memiliki peran yang cukup penting. Memang, masjid itu tidaklah cukup besar karena penduduk kampung Sukamaju tidak lebih dari empat ratus jiwa. Juga, tidak cukup bagus untuk ukuran sebuah masjid. Cat putih sudah mengelupas di sana-sini, sehingga menandakan dengan jelas kalau masjid itu tidak lagi terawat dengan baik. Selain itu, tidak ada aktivitas yang meramaikan masjid. "Bahkan di masjid itu tidaklah sering digunakan shalat jama`ah, kecuali hanya maghrib dan isya`," begitu cerita Yunus (24 thn), narasumber kepada Hidayah.
Seperti remaja di kampung-kampung lain, masjid di kampung itu juga digunakan oleh para remaja untuk bermain. Terlebih jika malam tiba, biasanya dipergunakan sebagai tempat untuk tidur. Karena itu, remaja kampung Sukamaju biasa datang ke masjid di tengah malam. Lalu, saat malam sudah larut, mereka akan menggeletakkan tubuh. Mereka merasa senang jika tidur di masjid, meski harus digelayuti kedinginan. Selalu ada kebanggaan bagi remaja di kampung Sukamaju yang berani tidur di masjid.
"Malah bagi seorang remaja yang tak berani tidur di masjid biasanya diledek sebagai anak kecil. Sebab, seusia mereka tidak banyak orang tua yang memberikan ijin. Karena dalam pandangan orang tua, tidaklah baik tidur di masjid. Belum lagi jika sakit. Untuk belajar juga susah", ucap Yunus (24 tahun), warga kampung Sukamaju.
Tapi, berbeda dengan remaja di kampung lain yang menjadikan masjid hanya untuk tempat bermain dan tidur di malam hari, ternyata remaja di kampung Sukamju tidak cuma sebatas itu. Mereka tidur di masjid, selain agar bisa bermain riang dan tidur, juga karena di sana mereka bisa leluasa melakukan homoseksual (hubungan kelamin sesama lelaki). Seperti di malam itu, di tengah larutnya malam dan mimpi penduduk kampung, enam remaja; Suli (17 tahun), Gayus (18 tahun), Minan (17 tahun), Somad (19 tahun) dan Amun (17 tahun, yang kesemuanya bukan nama sebenarnya) sedang asyik-masyuk untuk memadu cinta kasih dengan sesama jenis. Tapi, keenam remaja itu rupanya tidak tahu kalau di antara warga kampung, ada seseorang yang melihat tanpa sengaja atas apa yang telah mereka lakukan.
Dingin malam itu memang terasa menyentuh kulit Yunus, seorang saksi yang sengaja mau datang ke masjid untuk tidur di sana. Setelah ia keluar dari rumah dan menempuh jarak sekitar 1 km, dia menemukan suatu kejanggalan saat berada di depan masjid karena lampunya mati. Karenanya, ia membuka pintu masjid dengan hati-hati. Tapi, apa yang terjadi setelah pintu terkuak? Di matanya, terpampang adegan seru yang membuat perasaannya dijalari ketakutan, kepanikan dan ketidakmenentuan.
Yunus merasa kaget dan tak percaya saat malam itu menjumpai kejadian tak senonoh tersebut. "Saya tahu dengan mata kepala saya sendiri, karena pada malam itu, terpaksa saya memberanikan diri untuk tidur di masjid. Dengan pelan, saya keluar dari rumah karena takut ketahuan orangtua. Saat itu saya memang tak minta ijin. Jarak yang lumayan jauh, membuat saya menempuhnya dengan naik sepeda," cerita Yunus.
"Saat saya sudah berada di depan masjid dan melihat pintu tertutup serta lampu tak lagi menyala, saya merasa ada sesuatu yang aneh. Padahal, biasanya masjid masih ramai meski malam sudah larut. Akhirnya saya memberanikan diri membuka pintu dengan pelan. Masya Allah! Saat saya membuka pintu itulah, saya melihat adegan beberapa remaja yang melakukan homoseksual. Bahkan, ada yang melakukan di depan mighrab (tempat imam)," lanjut Yunus.
Akibat perasaan tak menentu dan digelayuti ketakutan, Yunus akhirnya pulang. Dari situ, dia tahu bahwa cerita yang selama ini dikisahkan oleh enam temannya yang homoseks itu ternyata bukan bualan. Sebab di antara enam homoseks itu pernah bercerita kalau sering melakukan homoseksual di masjid. Kegiatan itu sudah seperti ritual dan sudah merupakan hal biasa. Padahal perbuatan itu dikutuk Allah, sebagaimana diperingatkan dengan adanya azab yang ditimpakan kepada kaum Luth karena mereka homoseks.
Mengusir Ustadz
Selain ulah enam remaja yang melakukan homoseksual, ternyata hati sebagian besar penduduk kampung Sukamaju juga tertutup untuk menerima kebenaran ajaran agama. "Pemahaman penduduk kampung saya tentang agama memang boleh dikata kurang," ucap Yunus dengan perasaan kesal. Tetapi, penduduk kampung juga tidak mau menyadari akan pentingnya agama dalam kehidupan mereka. Karena itulah, selain masjid tidak pernah disemarakkan dengan kegiatan keagamaan juga hanya beberapa orang yang kerapkali pergi ke masjid untuk melaksanakan shalat jama`ah.
Entah apa yang ada dalam benak dan hati penduduk kampung Sukamaju. Sebab, selain enam remajanya berbuat homoseksual di masjid, setiap kali ada kedatangan ustadz dari kota lain yang berdakwah juga ditentang dan diusir dengan kasar. Bukan diterima dengan baik-baik, malah disuruh pergi. Padahal ustadz yang datang itu menyampaikan kebenaran agama dan siapa pun yang menyampaikan kebenaran agama tidak harus dipandang siapa dia, namun haruslah dipandang apa yang disampaikan. Itulah satu ironi penduduk kampung Sukamaju yang tidak mau menerima uztadz dari kota lain karena dianggap tidak memenuhi keinginan mereka.
Atas nama penduduk kampung yang diwakili oleh Wawan (29 tahun, bukan nama sebenarnya) pada suatu malam dengan gagah berani menjumpai ustadz Mukri (30 tahun), seorang ustadz yang datang dari Jawa. Dengan lantang, Wawan mengancam, “Jika Anda tidak pergi dari kampung kami, apa yang nanti terjadi pada diri Anda, kami tidak mau tahu.”
Mau tidak mau, ustadz Mukri kemudian hengkang meninggalkan kampung Sukamaju meski dengan perasaan kecewa. Setelah kepergian ustadz Mukri, setidaknya ada tiga ustadz lagi yang datang dari kota lain ke kampung itu. Tetapi, ketiga ustadz itu diusir dan ditentang dengan kejam. Bahkan untuk terakhir kali malah sempat ada sebuah yayasan dari kota Bogor yang mendidirikan pesantren di kampung Sukamaju dan sempat berdiri sebuah bangunan gedung yang cukup megah. Namun, usia pondok itu pun tak berumur lama. Nasib tragis juga diterima staf pondok karena diusir. Yang jelas, penduduk kampung merasa kalau semua staf dan berdirinya pondok itu dipandang tak sesuai dengan keinginan mereka sehingga kemudian mereka harus mengusirnya.
Hati penduduk kampung Sukamaju seolah memang sudah tertutup. Atau hati mereka sudah beku dari kebenaran agama. Sebab, kenyataannya mereka memang beragama Islam. Juga, ada kiai Nawawi (40 tahun) seorang kiai kampung yang kadang mengajar ngaji anak-anak kecil dan jadi imam di masjid saat shalat jama`ah (meski tak seberapa banyak). Namun, ia tak bisa berkutik dengan keinginan warga kampung.
Kiai Nawawi hanya diam saja ketika mendengar pengusiran ustadz di kampungnya. Perasaan kiai Nawawi, mungkin seperti perasaan Luth yang tak kuat ketika menghadapi ulah umatnya yang sudah melampaui batas. Karena merasa tidak bisa berbuat banyak dengan tangannya, maka dalam satu kesempatan kothbah jum`at di tahun 1996, kiai Nawawi hanya berujar, “Keadaan yang menimpa kampung kita (ketika dilanda kemarau panjang, penduduk sama kudisan serta ternak diserang penyakit kulit --red) adalah satu azab Allah,” tutur Yunus sebagaimana yang dikatakan kiai Nawawi dengan penuh iba.
Datang azab dari Allah
Melihat perbuatan homoseksual yang dilakukan beberapa remaja dan hati penduduk kampung yang tertutup, maka Allah pun murka. Maka, azab pun diturunkan Allah kepada penduduk kampung Sukamaju. Tidak tanggung-tanggung, tiga azab diturunkan Allah supaya mereka merasakan akibat kebejatan tindak homoseksual dan kemungkaran yang dilakukan penduduk dengan mengusir ustadz yang datang dari kota lain.
Azab itu diturunkan Allah dalam bentuk kemarau yang panjang sehingga kampung Sukamaju pada tahun 1996 mengalami musim paceklik. Penduduk dilanda masa kekeringan dan air tak lagi bisa mengalir dari pegunungan yang dulu sempat menjadikan area persawahan subur dan bisa digunakan untuk bercocok tanam.
Tak salah, akibat kemarau itu penduduk harus susah payah mencari air untuk mandi dan minum. Kalau dilihat dari keadaan alam dan curah hujan di kampung Sukamaju yang tinggi, jelas mustahil kampung itu bisa mengalami kemarau yang panjang. Akibatnya, untuk makan saja sulitnya bukan main. Sebab, setiap lahan persawahan yang ditanami padi, selalu mengalami suatu kegagalan. Karena itulah, penduduk merasa kesulitan untuk sekedar makan.
"Saat itu, saya mengalaminya sendiri. Bahkan saya pernah mengumpulkan beras dari jatuhan (jatah pegawai). Dari beras jatuhan itu, saya kumpulkan meskipun sudah bercampur dengan batu kerikil," kenang Yunus, mengenang masa kemarau yang terjadi di tahun 1996 yang membuat kampungnya dilanda paceklik berkepanjangan. Sebab, bentuk pertanian di kampung itu adalah sawah gunung. Jadi, meski tidak ada hujan sekali pun tetap sawah bisa ditanami. Tapi saat itu anehnya setiap petani menanam padi, selalu gagal dan tak bisa tumbuh karena tak ada air.
Bukan sekedar sulitnya petani menanam padi, penduduk pun jika mau mendapatkan air guna memasak dan mandi harus rela antre untuk mendapatkan air yang tersedia dari satu sumur yang digunakan seluruh orang kampung Sukamaju. Dari sumur itu, semua penduduk menggunakan untuk minum, jika lebih barulah digunakan untuk mandi.
Selain kemarau panjang yang membuat penduduk dilanda paceklik, azab berikutnya yang diturunkan Allah adalah terjangkitnya penyakit kudis (gatal-gatal) yang menyerang semua penduduk. Entah apa jenis penyakit itu, menurut Yunus, semacam penyakit gatal. "Penyakit jenis ini, kayaknya penyakit kudis. Penyakit itu menyerang seluruh penduduk. Anak-anak dan juga orang tua. Mengenai rasa gatal yang harus diderita, masya Allah gatalnya. Kalau malam hari tiba, gatalnya bukan main. Mau kita garuk ya berdarah, gak kita garuk ya gatal. Jadi, sampai-sampai yang lelaki tidak bisa memakai celana, harus memakai sarung atau rok karena saking gatalnya. Saya sendiri juga kena. Tanganku sampai keluar air," tutur narasumber mengenang kejadian tersebut kepada Hidayah.
Sudah dilanda kemarau yang mengakibatkan paceklik, juga penyakit gatal, azab lain adalah imbas dari penyakit gatal yang kemudian menyerang hewan ternak, terutama kambing. "Kalau ternak kambing sudah terkena, bulunya akan habis. Badannya pecah-pecah, kemudian mengalami pembusukan. Setelah itu, dari tubuh kambing akan keluar darah sama nanah. Tak lama kemudian, umpamanya kabing itu kena, besoknya sudah murung dan tidak lama setelah itu mati. Saat dikembala tiba-tiba mati terkapar. Benar-benar mengejutkan si pemiliknya. Saya sendiri juga memiliki sekitar 20 ekor, akan tetapi ketika wabah itu menyerang tak berapa lama habis. Ludes." Sesal Yunus, menyesali kematian 20 kambing yang dimilikinya.
Untung saja, Allah tak sampai membabat habis nyawa penduduk kampung Sukamaju. Allah tak membalikkan kampung itu dan menghujani dengan batu seperti azab yang diterima kaum Luth. Azab kemarau, kudis dan berakibat pula menyerang ternak cuma berlangsung 3 tahun. Setelah itu, kehidupan penduduk kampung Sukamaju kembali normal.
Padahal dalam kisah yang diceritakan al-Qur`an, kaum Luth telah melampaui batas dengan berprilaku homoseksual, tertutup imannya untuk menerima kebenaran dan tidak mau melaksanakan apa yang diperintahkan Luth. Karena itu, maka pada suatu malam (sebelum terbitnya fajar) Allah memerintahkan nabi Luth untuk keluar dari kampung beserta pengikut dan keluarganya (kecuali istri nabi Luth karena istrinya tergolong orang kafir). Tidak lama setelah nabi Luth keluar dari kampung itu, Allah menurunkan azab dengan membalikkan kampung tersebut dan menghujaninya dengan batu.
Gambaran azab Allah terhadap kaum Luth itu terdapat dalam sebuah ayat, "Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan) dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi". (S.Q. Huud 82). Itulah sekilas kisah dari kaum Luth yang telah berbuat homoseksual.
Semoga azab yang menimpa kampung Sukamaju ini bisa menjadi pelajaran berharga. Juga, menjadi bahan renungan bahwa hidup ini merupakan suatu perjalanan manusia untuk menemukan kebenaran dan karena itu, berbuat kebaikan bukanlah sesuatu yang sia-sia dan bukan berarti tak berarti. Sementara itu, berbuat kebatilan bisa-bisa akan membuat diri kita celaka, tidak hanya di dunia ini, melainkan juga besok di akherat. (Nur Mursidi)
B O X
Yunus (24 thn), Saksi dan Warga Setempat
"Di kemudian hari saya baru tahu, kalau itu azab"
Saya sebenarnya sudah pernah mendengar cerita dari enam orang homoseks (yang kesemuanya itu teman saya), bahwa mereka sering melakukan homoseksual di masjid. Tetapi saya tidak tahu sendiri, sehingga hampir tak percaya akan ucapan mereka.
Tapi pada suatu malam, saya hendak tidur di masjid dan menjumpai lampu (masjid) mati, padahal biasanya masjid selalu ramai, dengan pelan saya membuka pintu masjid. Masya Allah! Saat membuka pintu, saya melihat adegan enam remaja melakukan homoseksual dan bahkan yang tidak habis kumengerti, ada juga yang melakukan di depan tempat imam.
Saat itu, kampungku sebenarnya sudah dilanda kemarau yang berakibat paceklik. Juga jenis penyakit gatal (kudis) yang menyerang semua penduduk kampung. Malah jenis penyakit ini juga menyerang ternak, terutama kambing. Tak ayal, jika selama itu kehidupan kampung kami benar-benar susah. Apalagi setelah saya sadar, penduduk kampung pernah mengusir empat orang ustadz yang datang dari kota lain guna mendakwahkan agama dan mengajar ngaji, sehingga di kemudian hari saya tahu kalau itu azab Allah. (NM)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar