“Sesungguhnya Allah mewajibkan untuk berbuat baik dalam semua hal. Oleh karena itu, jika kamu membunuh, perbaikilah caramu membunuh dan apabila kamu menyembelih, maka perbaikilah caramu menyembelih dan tajamkanlah pisaunya serta senangkanlah binatang yang disembelih itu.” (HR. Muslim)
Allah tidak saja melarang manusia menyakiti hewan, tetapi juga melarang memakan hewan sembelihan yang tidak disebut nama Allah. Karena itulah, dalam menyembelih hewan agar nantinya halal dimakan, penyembelih harus memenuhi syarat yang ditentukan Allah, menggunakan pisau yang tajam, tak ceroboh dan penuh kasih. Sebab masalah menyembelih hewan adalah soal menghilangkan nyawa. Juga, hewan adalah makhluk Allah yang tak layak disakiti. Karena alasan itulah, seorang penyembelih harus memiliki jiwa kasih terhadap hewan agar ia tak disebut sebagai seorang pembunuh.
Cerita dalam iktibar ini, mengisahkan kematian tragis seorang tukang potong hewan yang karena melakukan pemotongan cukup sembrono, maka kejadian buruk pun menimpa dirinya. Saat ajal tiba, ia mengalami kematian seperti hewan dipotong. Kejadian yang terjadi di wilayah Jakarta, 22 tahun yang lalu ini semoga menjadi pelajaran bagi pembaca.
Awalnya Menggigil Kedinginan
Pagi itu, Sumadi (40 thn, bukan nama sebenarnya) tidak langsung pulang ke rumah sehabis motong hewan (kerbau dan sapi). Ia berkumpul dengan teman-temannya di warung dengan ditemani secangkir kopi untuk menghilangkan rasa dingin yang menyengat kulit.
Hari masih nampak gelap di pagi itu. Maklum, mentari belum muncul di ufuk Timur karena waktu baru menunjukkan pukul 05.00 WIB. Angin pagi yang berhembus semampai seolah menyentil kulit. Tetapi, tidak membuat para pekerja di rumah pemotongan itu merasa kedinginan. Sebab, mereka biasa bekerja di malam hari untuk memotong dan juga menguliti hewan sampai tuntas sebelum diambil oleh para pedagang guna dijual ke pasar.
Tapi, tidak seperti biasanya, pagi itu Sumadi yang berada di sudut ruangan (warung) tiba-tiba merasakan tubuhnya tidak enak. Kali ini, desir angin pagi di rumah pemotongan itu benar-benar dirasakan lain. Angin dirasai berhembus tidak seperti biasanya. Dingin, nyenyat dan menusuk pori-porinya.
Tak kuat menahan rasa dingin, karena badannya dirasa tidak enak, ia lalu berseloroh kepada teman-temannya yang berkumpul di warung. “Eh, badanku kok rasanya panas dingin. Apa kalian juga merasakan kedinginan?” keluh Sumadi sebagaimana ditirukan oleh Jayus (50 tahun) sewaktu diwawancarai oleh reporter majalah Hidayah.
“Tidak itu!” jawab Jayus dengan enteng sambil meraih secangkih kopi miliknya untuk disodorkan kepada Sumadi.
“Aku kok kedinginan ya?”
“Jika merasa kedinginan, hangatkanlah tubuh Kang Sumadi dengan kopi ini!”
Lalu, Sumadi meminum kopi yang masih setengah itu. Harapannya, agar tubuhnya bisa hangat dan tak merasakan kedinginan. Tapi usai meminum kopi Sumadi tetap merasakan tubuhnya masih digelayuti kedinginan. Malah, kali ini dirasa tubuhnya benar-benar diterjang angin pagi sehingga tulangnya seolah-olah tersentuh es atau bongkahan salju.
Tak pelak, Sumadi kemudian menggigil, “Huuuuuh…. Dingin!”
Karena merasa kasihan, maka Jayus –yang selama ini jadi kenetnya (pembantu dalam memotong hewan) lalu menawarkan jasa untuk mengantar pulang. Jasa baik itu, tidak disia-siakan oleh Sumadi. Lalu, keduanya bangkit dan bergegas pergi meninggalkan rumah potong hewan yang selama ini memberikan pekerjaan bagi keduanya untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari meski tidak seberapa besar.
Setelah menempuh jarak cukup lumayan jauh, akhirnya keduanya sampai di rumah Sumadi. Tapi Jayus tidak ikut masuk. Ia hanya mengantar sampai di depan pintu dan setelah muncul Jumilah (30 tahun), istri Sumadi dari balik pintu yang masih nampak mengantuk, Jayus pamit pulang. Sementara Sumadi langsung menerobos ke dalam kamar; membanting tubuhnya di atas kasur. Jumilah yang sebelumnya tidak peduli, karena di kelopak matanya masih digelayuti rasa kantuk setelah melihat gelagat suaminya mendekapkan kedua tangannya di depan dada, sesampai di kamar lalu bertanya pada suaminya, “Apa Mas sedang sakit?”
“Tak tahulah, entah kenapa tiba-tiba tubuhku tarasa menggigil kedinginan.”
“Mau diserang demam barangkali! Apa perlu kubuatkan kopi, Mas?”
“Ah, tidak usah! Aku mau tidur saja!”
Tak berapa lama, Sumadi kemudian bisa tidur meskipun pada awalnya tetap merasa menggigil. Panas dingin dan meriang.
Leher Digerogoti Ulat
Tapi, saat mentari sudah bersinar, ia terbangun karena tubuhnya benar-benar dirasa begitu panas dingin. Ia menggigil kedinginan. Untuk itu, ia kemudian meminta istrinya untuk membelikan obat flu. Setelah Jumilah membelikannya, ia lekas meminumnya dan berusaha tidur kembali.
Setelah melihat Sumadi bisa tidur kembali sehabis meminum obat, Jumilah menduga kalau penyakit yang diderita suaminya itu hanyalah demam biasa. Tak pelak, jika ia sesekali masuk ke kamar dan menyelimuti suaminya agar tak diterjang angin yang berhembus ringan dari celah jendela.
Tapi, sampai tiga hari berlalu, ternyata penyakit yang diderita suaminya itu belum juga sirna. Suaminya masih merasakan tubuhnya kedinginan. Lebih mencengangkan lagi, ternyata setelah tiga hari berlalu malah di bagian leher suaminya memerah. Tidak cuma memerah saja, malahan seminggu kemudian leher itu membengkak. Karena terasa gantal sekali, tak mustahil jika sesekali Sumadi menggaruknya. Karena tak juga kunjung sembuh dan semakin dirasakan gatal, Sumadi menggaruknya terus hingga bengkak di lehernya itu kemudian pecah.
Lebih tragis, luka akibat bengkak di lehernya yang sudah pecah itupun keluar ulat-ulat yang benar-benar menjijikkan. Awalnya cuma satu-dua ulat, tapi kemudian muncul terus dan terus. Melihat kondisi suaminya kian parah dirundung derita dan tak semakin membaik, dan malah dari leher keluar ulat yang cukup banyak, Jumilah kemudian membawanya ke rumah sakit untuk berobat.
Setelah sang dokter memeriksa, akhirnya memberi saran Sumadi untuk menginap di rumah sakit agar nantinya bisa dirawat dengan baik. Sebab, penyakit yang diderita Sumadi oleh sang dokter digolongkan cukup membahayakan, mengingat luka di bagian leher tak bisa dipungkiri bisa mempengaruhi tenggorokan dan pernafasannya. “Entah apa hasil diagnosa dokter pada saat itu, aku lupa!” cerita Jayus, narasumber Hidayah sambil mendongakkan kepala seolah mengingat-ingat kejadian tersebut dari catatan ingatannya.
“Yang jelas, karena kondisi keuangan Sumadi sebagai tukang potong hewan sungguh pas-pasan, maka saran dokter urung dilaksanakan. Dokter, waktu itu hanya membersihkan ulat-ulat yang menggerogoti leher Sumadi dan memberinya obat,” tambahnya.
Sepulang dari rumah sakit, Sumadi lalu dirawat oleh sang istri sendiri. Sang istri yang tak diragukan lagi akan kesetiaannya dalam menemani hidup Sumadi kurang lebih delapan tahun itu, mencoba membuang ulat-ulat yang menggerogoti leher Sumadi dan tak jarang membasuhnya dengan air panas. Sebab, setelah dokter membersihkan ulat-ulat di leher itu, ternyata tak berkurang jumlah ulat yang menggerogoti leher Sumadi, melainkan muncul terus dan terus.
Tak juga kunjung lenyap, malah ulat-ulat di leher Sumadi kian bermunculan banyak, Jumilah pun (karena tak punya biaya lagi) akhirnya urung membawanya ke dokter. Sebagai pilihan terakhir, Jumilah kemudian membawa suaminya pulang ke kampung halaman, di wilayah Banten.
Karena semakin parah penyakit yang diderita Sumadi dan dari lehernya keluar ulat terus menerus dan seolah tiada habisnya, Sumadi pun seperti tak punya kekuatan lagi untuk bertahan hidup. Dan di kampungnya itulah, pada akhirnya (dua minggu kemudian) Sumadi menghembuskan nafas terakhir, meninggalkan istri tercinta dan 2 anak yang masih kecil-kecil (anak pertama berumur 5 tahun dan anak yang kedua berumur 3 tahun).
Tetapi, yang membuat sang istri tercekat dan tak habis mengerti adalah saat ajal mau menjemput. Di kamar, Sumadi meronta-ronta akibat kesakitan yang teramat sangat beberapa saat sebelum ajal. Waktu itu, Jumilah yang sedang memasak mendengar suara suaminya yang meronta sehingga bergegas masuk ke kamar. Ia lalu berusaha memegang tangan dan tubuh Sumadi karena dilihat Sumadi kejang-kejang. Tapi tenaganya tak seberapa kuat sehingga saat Sumadi meronta dan mengamuk, ia terdorong ke kursi yang berada di dekat kasur.
Saat ajal tiba ia melihat suaminya mengejang dengan memegang leher, dan berusaha menjerit namun tak juga keluar suara yang cukup menggegelar. Jadi, yang terlihat olehnya, Sumadi seakan mengamuk dan lebih tragis lagi kematiannya tidak ubahnya seperti hewan yang sedang dipotong; meronta-ronta seperti menahan rasa sakit di bagian leher sebelum nafas di jantungnya benar-benar tak berdegup lagi.
Setelah itu, istri Sumadi memanggil orang-orang desa memberitahu kalau suaminya meninggal. Orang-orang kampung kemudian melayat dan dengan segera mengurus jenazah untuk dimakamkan. Untung, saat pemakaman tiba, tak ada lagi kejadian aneh yang mengikuti kepergian Sumadi ke tempat pembaringan terakhir. Pemakamannya biasa saja, seperti pada umumnya orang kebanyakan.
Tapi, yang membuat kita bertanya-tanya adalah; kenapa Sumadi sampai menemui ajal seperti hewan dipotong? Apakah ia pernah menyakiti hewan mengingat dia adalah seorang tukang potong hewan?
Dibalik Tragedi Kematian
Dua jam sebelum Sumadi merasakan tubuhnya menggigil, di rumah pemotongan hewan itu, ia melakukan tugasnya seperti pada hari-hari biasa. Hari itu, ia mendapat jatah memotong hewan lima ekor (empat ekor sapi dan satu ekor kerbau). Setelah memotong empat ekor sapi, Sumadi --entah kenapa-- merasa perlu untuk istirahat sejenak. Ia duduk-duduk dulu di warung kopi dan memandang ke langit yang nampak hitam kelam. Apalagi di pagi yang masih ranum itu, sekitar pukul 03.00 WIB, di cakrawala tak ada bintang berkedip ringan untuk memberikan cahaya kedamaian.
Setelah beristirahat sejenak, ia kemudian mengasah pisau. Merasa sudah tajam dan bisa digunakan memotong kerbau untuk tugas terakhirnya di pagi itu, ia segera bergegas ke tempat penyembelihan hewan. Tanpa memberi tahu kepada anak buahnya untuk membantu atau bahkan meminta pertolongan guna mengikat kaki dan menjatuhkan hewan yang mau dipotong, Sumadi dengan secepat kilat menggeret seekor kerbau dongkol (kerbau yang tanduknya melengkung --red) untuk diikatkan pada sebuah tiang di tempat penyembelihan.
Secepat Sumadi menggeret kerbau dongkol itu dan mengikatnya di tiang, secepat kilat pula dia menyembelih kerbau yang masih dalam kondisi berdiri itu, tanpa dijatuhkan terlebih dahulu. Kontan saja, orang-orang yang ada di sana tiba-tiba terperanjak ketika melihat kerbau yang sudah terpotong lehernya itu meraung kesakitan dan meronta. Lebih dari itu, kerbau itu malah mengamuk sejadi-jadinya. Hanya saja, karena di lehernya masih terlingkar seutas tali dan juga terikat di tiang, kerbau itu hanya bisa mendepak-depakkan keempat kakinya. Suara lengkuhan tak henti-hentinya terdengar dan mengusik ketenangan orang-orang yang berada di rumah pemotongan itu.
“Setelah saya lihat, kerbaunya tiba-tiba ngamuk. Meski kemudian kerbau itu jatuh dan tersungkur ke tanah tapi sempat pula mengamuk dan mendepak-depakkan kakinya sebelum ajal merenggut,” cerita Jayus yang waktu itu jadi saksi mata.
Tak urung, Jayus yang jadi anak buah Sumadi pun sempat berkomentar. “Waktu ia memotong itu, saya melihat sendiri. Dengan kepala sendiri. Tidak ada yang bantu mengikat. Pendeknya, kerbau itu cuma diikat begitu saja di tiang. Saya yang di rumah jagal itu, ya… bagaimana lagi. Namanya, juga cepat sehingga saya tidak sempat berkomentar apa-apa lagi. Saat itu, saya cuma bisa berkomentar setelah semuanya terjadi, waduh kok gak diikat dulu! Karena ia melakukannya dengan cepat dan tak sempat saya bilang ‘eee’…,” cerita Jayus lebih lanjut.
Orang-orang di rumah potong hewan pun cuma melongo dan ada yang berdiri sebab khawatir akan terjadi apa-apa. Sebab kerbau itu mengamuk sejadi-jadinya. “Tak salah, setelah kerbau itu dipotong, lalu ngamuk sekitar dua puluh menit, kemudian jatuh dan pada akhirnya mati. Padahal memotong itu, mulai dari mengikat sampai membelah, kalau dalam hitungan normal sekitar lima belas menit”, tambahnya lagi.
Entah kenapa, pagi itu Sumadi memotong kerbau dalam keadaan berdiri dan malah di tangannya masih memegang sebatang rokok. Mungkin saja, Sumadi memandang remeh kondisi kerbau yang tak seberapa besar itu dan terlihat diam saat mau dipotong. Sehingga, dia tidak membutuhkan anak buah untuk membantu mengikat dan menjatuhkan kerbau sebelum dipotong.
Padahal pada hari-hari biasanya, Sumadi yang sudah delapan tahun menjalani profesi sebagai tukang potong hewan tak pernah terlihat gegabah dan arogan dalam melakukan tugas pemotongan hewan. Ia sebagaimana diceritakan Jayus, melakukan tugas pemotongan dengan cara biasa, seperti umumnya dan bahkan menuruti aturan dan syari`at Islam.
Tapi pagi itu mungkin pertimbangan Sumadi adalah kerbaunya tidak ganas –namanya juga kerbau dongkol sehingga ia menjadi arogan, lalu meremehkan hewan itu dengan maksud mungkin mau menunjukkan pada teman-temannya jika ia dapat membuat atraksi dengan memotong kerbau dalam keadaan berdiri. Tetapi, rupanya kejadian itu membuat dia harus menerima karma. Di saat ajal tiba, ia justru mengalami nasib tragis karena meninggal seperti hewan di potong.
Pesan Dibalik Kematian
Kematian sudah lebih dari sekedar cukup sebagai sebuah nasehat bagi orang-orang yang masih hidup. Setidaknya, demikian kata nabi dalam sebuah hadits. Untuk itu, peristiwa kematian kadang memberi kita pelajaran berharga bagaimana kelakuan seseorang di dunia bisa menjadi cermin ketika ajal menjemput, seperti halnya kematian Sumadi dalam cerita ini.
Untuk itu, kita harus punya rasa belas kasih kepada hewan. Sebab, meskipun hanya seekor hewan, kita toh tetap butuh bantuan makhluk yang satu ini, seperti untuk membajak sawah, dagingnya untuk gizi tubuh dan lain sebagainya. Karena itulah, Allah melarang kita menyakiti hewan. Abdillah bin Umar, menerangkan bahwa Rasulullah telah bersabda, "Orang-orang yang memiliki belas kasih akan dikasihi oleh Allah. Maka belas kasihanilah makhluk yang berada di bumi, tentu kalian dikasihsayangi makhluk (malaikat) yang berada di langit".
BOX
Jayus (50 tahun), kenet jagal (anak buah)
Kematian Tragis itu Semacam Karma
Selama saya bekerja di rumah pemotongan hewan, saya banyak menemukan hal yang ganjil-ganjil dalam masalah pemotongan, seperti menemukan batu yang ada di dalam perut. Kemudian, saya juga menemukan hal lain yang sifatnya aneh, yang kebetulan itu menimpa teman saya yang melakukan pemotongan dengan cara yang tidak senonoh (sembrono).
Saat itu, kebetulan teman saya (tukang potong hewan) motong kerbau dongkol (red-- tanduknya melengkung). Mungkin karena melihat kerbau yang mau dipotong itu dongkol, ia lalu memotong kerbau itu tanpa diikat lagi. Malah, sambil berdiri dan kerbaunya hanya diikat di tiang, ia langsung memotong begitu saja.
Kemudian, 2 jam setelah peristiwa itu, ia menggigil kedinginan dan 3 hari kemudian lehernya merah. Seminggu kemudian lehernya seperti terpotong dan dari leher itu keluar ulat-ulat. Kira-kira, 15 hari kemudian dia meninggal. Anehnya, saat meninggal ia mengalami nasib seperti hewan dipotong. Mengejang dan mengamuk seperti kerbau. Menurut saya, kematian tragis itu semacam karma, karena ia memotong hewan tak senonoh. (NM)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar