
Petang itu, kiai yang sudah udzur itu berjalan tertatih-tatih ke mushalla pondok yang berada di depan rumah beliau. Langkahnya pendek, namun tidak bisa ditepis kalau setiap ayunan langkahnya cukup bersemangat sehingga dalam hitungan detik, kiai sudah berada di depan mushalla. Para santri lalu berdiri dan dengan takzim juga memberikan penghormatan. Setelah kiai mengangguk, beberapa langkah lagi sampailah beliau di dekat mighrab.
Seorang santri lalu mengumandangkan iqomah, sehingga shalat maghrib berjama`ah pun segera dimulai. Sang kiai lalu mengangkat kedua tangan --sejajar dengan telinga-- sambil mengucap kalimat takbir sebagai tanda bahwa shalat sudah dimulai. Para santri mengikuti gerakan kiai. Shalat maghrib berjama`ah itu nampak dilakukan dengan khusuk dan setelah tiga (3) raka`at ditunaikan, usai sudah shalat maghrib itu begitu kiai mengucapkan salam.
Seperti biasanya, sang kiai kemudian berdzikir dan berdoa. Tapi tak seperti biasanya jika sehabis dzikir dan berdoa beliau langsung berdiri, kali itu kiai masih duduk di tempatnya. Beliau tidak beranjak, melainkan membalikkan tubuh dan setelah itu tiba-tiba melontarkan pertanyaan. “Kenapa dalam shalat seseorang mengangkat kedua tangan dan setelah itu mendekapkan di (depan) dada?”
Kontan, para santri itu tersentak. Sebab hal itu mengagetkan para santri --kebanyakan masih remaja—sehingga mereka diam. Bahkan, hampir semua menundukkan kepada. Tidak ada satu pun dari mereka yang bergeming dan malah seakan-akan tidak berani mengangkat kepada. Apalagi sampai menatap sorot mata kiai yang kharismatik itu.
Tahu kalau para santri gelagapan, sang kiai hanya mangut-mangut seolah menunggu jawaban. Namun tak satu pun dari para santri di pondok itu yang “mengangkat tangan” atau bersuara. Setelah melihat para santri pada menundukkan kepala, sang kiai pun pada akhirnya menunjuk salah seorang santri. Tapi santri yang kebetulan ditunjuk itu hanya diam, tak bisa menjawab. Santri itu hanya memberikan jawaban klasik, “Saya tidak tahu kiai!”
Kiai lalu mengarahkan pertanyaan itu ke semua santri. Anehnya, semua santri hanya diam, tidak memberi jawaban. Akhirnya, sang kiai menjawab sendiri apa yang jadi pertanyaan beliau. “Maksud seseorang saat shalat mengucapkan takbir lalu mengangkat kedua tangan itu adalah ia mengakui kebesaran Allah dan pada saat yang sama ia sebagai hamba betul-betul menyerah di hadapan-Nya. Tidak salah, jika hal itu kemudian menjadi pertanda kalau orang dalam keadaan kalah perang lalu menyerah maka ia akan mengakat kedua tangan. Lalu, untuk masalah mendekapkan kedua tangan di dada merupakan bentuk ketundukan hamba untuk mengikat tubuh dan tidak akan ke mana-mana sampai shalat itu benar-benar usai”.
Semua santri hanya bengong mendengar penjelasan kiai. Mungkin hanya sayalah yang saat itu baru mondok di pesantren tersebut tiga hari sebelumnya merasa ada ganjalan. Dari mana sang kiai menemukan jawaban itu. Tidak salah, jika saya mengingat selalu apa yang diucapkan kiai itu bahkan sampai saya lulus dari pondok dan kemudian kuliah di Yogyakarta.
Sayangnya, sampai tujuh tahun berlalu, saya masih belum menemukan rujukan dalam kitab klasik, hadits maupun buku-buku bertema agama yang menjelaskan tentang hal itu. Tak berlebihan jika saya masih digelayuti rasa penasaran, hingga suatu hari saya pulang ke rumah dan sowan ke rumah kiai di pondok pesantren di kota Lasem (Jateng), namun jawaban yang saya temukan justru lebih membuat saya tercengang dan kaget.
Sebab, tanpa setahu saya kiai yang kukagumi itu ternyata sudah meninggal seminggu sebelumnya. Mendengar kabar itu, saya hanya diam, merasa kehilangan dan kepala rasanya diluputi sejuta pertanyaan yang memang harus saya jawab sendiri. (Nur Mursidi)
Seorang santri lalu mengumandangkan iqomah, sehingga shalat maghrib berjama`ah pun segera dimulai. Sang kiai lalu mengangkat kedua tangan --sejajar dengan telinga-- sambil mengucap kalimat takbir sebagai tanda bahwa shalat sudah dimulai. Para santri mengikuti gerakan kiai. Shalat maghrib berjama`ah itu nampak dilakukan dengan khusuk dan setelah tiga (3) raka`at ditunaikan, usai sudah shalat maghrib itu begitu kiai mengucapkan salam.
Seperti biasanya, sang kiai kemudian berdzikir dan berdoa. Tapi tak seperti biasanya jika sehabis dzikir dan berdoa beliau langsung berdiri, kali itu kiai masih duduk di tempatnya. Beliau tidak beranjak, melainkan membalikkan tubuh dan setelah itu tiba-tiba melontarkan pertanyaan. “Kenapa dalam shalat seseorang mengangkat kedua tangan dan setelah itu mendekapkan di (depan) dada?”
Kontan, para santri itu tersentak. Sebab hal itu mengagetkan para santri --kebanyakan masih remaja—sehingga mereka diam. Bahkan, hampir semua menundukkan kepada. Tidak ada satu pun dari mereka yang bergeming dan malah seakan-akan tidak berani mengangkat kepada. Apalagi sampai menatap sorot mata kiai yang kharismatik itu.
Tahu kalau para santri gelagapan, sang kiai hanya mangut-mangut seolah menunggu jawaban. Namun tak satu pun dari para santri di pondok itu yang “mengangkat tangan” atau bersuara. Setelah melihat para santri pada menundukkan kepala, sang kiai pun pada akhirnya menunjuk salah seorang santri. Tapi santri yang kebetulan ditunjuk itu hanya diam, tak bisa menjawab. Santri itu hanya memberikan jawaban klasik, “Saya tidak tahu kiai!”
Kiai lalu mengarahkan pertanyaan itu ke semua santri. Anehnya, semua santri hanya diam, tidak memberi jawaban. Akhirnya, sang kiai menjawab sendiri apa yang jadi pertanyaan beliau. “Maksud seseorang saat shalat mengucapkan takbir lalu mengangkat kedua tangan itu adalah ia mengakui kebesaran Allah dan pada saat yang sama ia sebagai hamba betul-betul menyerah di hadapan-Nya. Tidak salah, jika hal itu kemudian menjadi pertanda kalau orang dalam keadaan kalah perang lalu menyerah maka ia akan mengakat kedua tangan. Lalu, untuk masalah mendekapkan kedua tangan di dada merupakan bentuk ketundukan hamba untuk mengikat tubuh dan tidak akan ke mana-mana sampai shalat itu benar-benar usai”.
Semua santri hanya bengong mendengar penjelasan kiai. Mungkin hanya sayalah yang saat itu baru mondok di pesantren tersebut tiga hari sebelumnya merasa ada ganjalan. Dari mana sang kiai menemukan jawaban itu. Tidak salah, jika saya mengingat selalu apa yang diucapkan kiai itu bahkan sampai saya lulus dari pondok dan kemudian kuliah di Yogyakarta.
Sayangnya, sampai tujuh tahun berlalu, saya masih belum menemukan rujukan dalam kitab klasik, hadits maupun buku-buku bertema agama yang menjelaskan tentang hal itu. Tak berlebihan jika saya masih digelayuti rasa penasaran, hingga suatu hari saya pulang ke rumah dan sowan ke rumah kiai di pondok pesantren di kota Lasem (Jateng), namun jawaban yang saya temukan justru lebih membuat saya tercengang dan kaget.
Sebab, tanpa setahu saya kiai yang kukagumi itu ternyata sudah meninggal seminggu sebelumnya. Mendengar kabar itu, saya hanya diam, merasa kehilangan dan kepala rasanya diluputi sejuta pertanyaan yang memang harus saya jawab sendiri. (Nur Mursidi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar