Kamis, 19 Mei 2005

mandi junub

majalah hidayah edisi 46 mei 2005

Aktivitas membersihkan badan dengan mandi, bukanlah hal asing dalam kehidupan sehari-hari. Sebab hampir dapat dikata tidak kurang dari 2 kali dalam sehari, orang mandi. Adapun aktivitas itu, biasa dilakukan sehabis bangun tidur atau pada saat hendak berangkat ke kantor. Pada saat yang lain, kegiatan untuk membersihkan badan dilakukan sepulang dari kantor, karena badan yang semula bersih saat itu sudah diliputi dengan debu dan keringat.

Selain aktivitas mandi itu berfungsi untuk menghilangkan bau dan kotoran di tubuh, ditinjau dari segi medis, mandi sebenarnya juga baik untuk kesehatan. Sebab dengan mandi, badan akan tampak segar dan sehat. Apalagi jika air yang digunakan mandi itu air hangat.

Tetapi mandi seperti itu adalah mandi yang sudah umum dilakukan orang setiap hari, di waktu pagi dan sore. Sementara dalam ajaran agama, ada kewajiban mandi dan aturan-aturan tertentu yang tak diketahui orang awan dikarenakan seseorang dalam keadaan hadats besar. Mandi yang dimaksud di sini dalam dunia fiqh disebut dengan mandi wajib (jinabat).

Berkaitan mandi jinabat ini, Allah berfirman, “Apabila kamu berjunub hendaklah bersuci.” (al-Maidah: 6). Dalam ayat lain, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu katakan (jangan pula menghampiri masjid), sedang kamu dalam keadaan junub, kecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.” (QS. An-Nisaa`: 43).

Pertanyaannya, apa yang menjadi penyebab orang melakukan mandi wajib (jinabat)? Apa yang diharamkan bagi orang yang junub (yang terkena hadats besar)? Juga, bagaimana tata cara mandi wajib itu berdasarkan hadits nabi? Apa pula rukun-rukun (fardhu) mandi wajib?

Kenapa Seseorang Melakukan Mandi Wajib?
Yusuf Qardhawi dalam buku Fiqh Taharah, menulis ada tiga sebab yang membuat orang wajib mandi. Pertama karena keluarnya mani dengan nikmat. Dalam hal keluarnya mani itu, baik dalam keadaan terjaga atau tertidur. Baik disebabkan hubungan badan atau mimpi atau bercumbu rayu, menggosok-gosokkan alat vital, melihat lawan jenis, memikirkan sesuatu yang fokus pada sisi-sisi seksual. Baik sebabnya itu halal atau haram.

Dalam hal ini, ada hadits yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim dari Ummu Sulaim. Dia berkata; Wahai rasulullah, sesungguhnyanya Allah tidak akan pernah malu mengutarakan yang hak dan benar. Apakah wajib mandi atas perempuan apabila bermimpi?” Jawab Rasulullah, “Ya (wajib atasnya mandi), apabila ia melihat air.” (Artinya, keluar mani. Sepakat ahli hadits).

Dengan merujuk pada hadits tersebut, maka apabila seorang laki-laki atau perempuan bermimpi, tapi tidak keluar mani atau tidak melihat sesuatu yang membasahi pakaiannya yang menunjukkan bahwa dirinya keluar mani, maka tak diwajibkan baginya untuk mandi. Karena yang dijadikan catatan adalah adanya sesuatu yang basah atau tidak dan hendaknya diketahui pula apa yang keluar itu mani atau madzi.

Kedua, jima` atau tenggelamnya ujung kemaluan ke dalam lubang vagina. Para ahli fiqh sering mengatakan bertemunya dua khitanan, yakni khitan laki-laki dan perempuan. Adapun yang dimaksud dengan hal itu adalah tenggelamnya ujung kemaluan laki-laki ke dalam lubang vagina, walau tidak keluar air mani.

Ada sebuah hadits shahih yang dapat dijadikan pegangan. “Apabila seorang suami telah duduk di antara anggota tubuh (kaki dan tangan) istrinya yang empat, lalu kemaluan keduanya saling bersentuhan, maka wajib atas keduanya mandi.” Dalam riwayat Muslim disebutkan, walaupun tidak keluar mani.

Sedangkan hadits lain, diriwayatkan Abu Hurairah (terdapat dalam Shahih Bukhari dan Muslim), “Apabila seseorang suami telah duduk di antara anggota tubuh (kaki dan tangan) istrinya yang empat dan menjadikannya lelah, maka wajib baginya mandi.” An-Nawawi berpendapat, bahwa makna dari hadits tersebut adalah wajib mandi itu sama sekali tidak tergantung pada keluar atau tidaknya mani.

Ketiga, karena kematian. Ini disepakati umat bahwa mayit hendaknya dimandikan. Baik laki-laki maupun perempuan, besar atau kecil, kecuali seseorang yang mati sahid di jalan Allah. Sebab orang yang mati sahid dianjurkan “dibiarkan” begitu saja dan kain kafan yang dipakaikan hendaknya adalah pakaian yang dipakai saat ia meninggal. Sebab rasulullah dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Ibnu `Abbas, sesungguhnya rasulullah telah berkata tentang orang yang mati karena terlontar dari untanya, kata beliau “Mandikan olehmu akan dia dengan air dan bidara (HR. Bukhari dan Muslim). Sementara untuk orang yang mati sahid, nabi bersabda, “Jangan mandikan mereka.” (HR. Ahmad)

Hukum memandikan mayit adalah fardhu kifayah bagi orang yang hidup, terutama orang setempat. Sebab, Islam mewajibkan untuk memandikan dan mengkafani mayit, juga menyalatkan dan menguburkannya.

Yang Diharamkan bagi Orang Junub
Karena pada dasarnya, orang yang junub itu orang yang sedang dalam keadaan hadats besar, maka ia dilarang melakukan hal-hal tertentu. Adapun larangan bagi mereka yang junub itu, sebagaimana dijelaskan dalam Ensiklopedi Hukum Islam adalah sebagai berikut;

Pertama, melakukan shalat dan semacamnya, seperti sujud tilawah. Ulama fiqh sepakat mengharamkan ibadah khusus bagi orang yang junub berdasarkan firman Allah, “…dan jika kamu junub maka mandilah…” (QS. 5: 6). Kedua, melakukan thawaf di sekeliling Ka`bah, walaupun thawaf sunnah. Karena menurut salah satu hadits, thawaf sama dengan shalat. Dalam kasus ini, nabi bersabda, “Sesungguhnya thawaf di Baitullah adalah shalat.” (HR. Ahmad dan Hanbal). Ketiga, menyentuh al-Qur`an. Hal ini dilarang berdasarkan firman Allah, “Tidak menyentuhnya, kecuali hamba-hamba yang disucikan.” (QS. 56: 79). Dalam hadits juga dikatakan, “Tidaklah menyentuh al-Qur`an, kecuali orang yang suci.” (HR. Nasa`i).

Keempat, membaca al-Qur`an meskipun hanya satu huruf atau kurang dari satu ayat, apabila dimaksudkan membaca al-Qur`an. Tetapi kalau dimaksudkan untuk berdoa, memulai satu pekerjaan, belajar, meminta perlindungan dan berdzikir, hukumnya tidak diharamkan. Kelima, iktikaf di masjid. Secara ijma`, para ahli fiqh melarang iktikaf bagi orang yang junub.

Cara Nabi Melaksanakan Mandi Wajib
Mandi untuk menghilangkan hadats besar adalah dengan niat, kemudian mengalirkan air merata ke seluruh tubuh. Cara ini sama dengan mandi untuk menghilangkan hadats besar lainnya, seperti haid dan nifas, tapi beda dengan mandi yang dilakukan orang pada umunya di setiap hari. Jika memang tidak ada air atau sebab yang membolehkan tayamum, maka untuk menyucikan keadaan junub boleh dengan tayamum.

Adapun lebih detailnya, soal tata cara mandi wajib ada sebuah hadits yang bersumber dari Aisyah, ia berkata, Rasulullah jika mandi jinabat, beliau memulai membasuh kedua tangannya terlebih dulu. Lalu, setelah berwudhu seperti wudhu untuk shalat memasukkan jari-jarinya ke dalam air lalu beliau gunakan untuk menengah-nengahi rambutnya. Kemudian setelah menuangkan air pada kepalanya sebanyak tiga kali dengan tangan, beliau mengguyur sekujur tubuhnya dengan air. (HR. Bukhari dan Muslim).

Dalam riwayat lain oleh Muslim disebutkan, “Beliau memulai dengan membasuh kedua tangan sebelum memasukkannya ke dalam bejana, kemudian menuangkan air dengan tangan kanan ke tangan kiri, lalu membasuh kemaluan, lalu berwudhu.”

Bersumber dari Ibnu Abbas, ia berkata, Maimunah mengatakan, “Aku membuatkan sebuah pembasuh untuk nabi lalu aku tutupi dengan secarik kain. Beliau menuangkan air pada kedua tangannya lalu membasuhnya. Kemudian tangan kanan beliau menuangkan air pada tangan kirinya, lalu beliau membasuh wajahnya. Setelah menepukkan tangannya pada tanah lalu mengusapkan dan membasuhnya, beliau berkumur dan beristintsaq. Selanjutnya beliau membasuh wajah dan lengannya, lalu menuangkan air pada kepalanya, lalu mengguyur tubuhnya, kemudian beliau membungkuk membasuh telapak kakinya. Aku menyerahkan secarik kain kepada beliau tetapi beliau tidak mau menerimanya, kemudian beliau berlalu sambil mengibaskan tangannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Setelah mandi, tak perlu lagi berwudhu. Bersumber dari Aisyah, ia berkata, “Setelah mandi jinabat rasulullah tidak berwudhu.” (HR Abu Dawud., Tirmidzi Nasa`i dan Ibnu Majah). Kata imam Ali, wudhu pada awal mandi jinabat hukumnya sunnat. Semantara ada hadits lain yang bersumber dari Muadzah, ia berkata, Aisyah mengatakan, “Aku biasa mandi jinabat bersama-sama dengan rasulullah dari satu bejana. Beliau memburu-burukan aku, sampai aku berkata, ‘biarkan aku, biarkan aku.” Kata Mu`adzah, “Mereka berdua dalam keadaan junub.” (HR Bukhari dan Muslim).

Bersumber dari Maimunah, ia berkata, “Aku dan rasulullah sama-sama junub. Aku mandi dari sebuah bak dan masih ada sisa airnya. Lalu muncul rasulullah untuk mandi dari bak itu.” Beliau lalu mandi seraya bersabda, “Sesungguhnya air itu tidak bisa dikalahkan oleh jinabat.” (HR. Tirmidzi. Katanya hadits ini hasan dan shahih, seperti yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ahmad. Hadits yang sama diriwayatkan oleh Muslim).

Hadits ini menunjukkan bahwa seseorang lelaki boleh menggunakan air sisa yang dipakai mandi oleh istrinya. Ini adalah pendapat sebagian besar ulama ahli fiqh. Tetapi ada sebagian dari mereka yang menganggap makruh. Di antaranya ialah Imam Ahmad dan Sihak. Mereka berpedoman pada hadits yang menyatakan, bahwa sesungguhnya rasulullah melarang seorang lelaki wudhu dengan sisa air yang dibuat bersuci oleh wanita”. (HR Ahmad, Tirmidzi dan lainnya. Menurut Hafizh Ibnu Hajar isnad hadits ini shahih.

Rukun (Fardhu) Mandi
Sulaiman Rasjid dalam buku Fiqh Islam, mengemukakan bahwa rukun atau fardhu mandi jinabat itu ada dua. Pertama, niat. Dalam hal ini, orang yang junub hendaklah berniat (menyengaja) menghilangkan hadats junub. Karena segala sesuatu haruslah dimulai dengan niat, tak terkecuali dalam mandi jinabat ini.

Kedua, meratai sekujur tubuh dengan air yang suci dan mensucikan. Tak pelak lagi jika dalam mandi jinabat ini diharuskan mengguyur sekujur tubuhnya dari ujung rambut sampai ujung kaki. (Nur Mursidi/ dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar: