Jumat, 19 Agustus 2005

ICAS: mengisi kekosongan aspeks global pelajar islam di indonesia

majalah hidayah edisi 49 agustus 2005

Tak bisa disangkal jika saat ini, umat Islam sedang mengalami keterbelakangan peradaban di ranah perkembangan ilmu dan pengetahuan. Anehnya, hal itu jika dikuak justru sebagai akibat dari kebekuan pemikiran di dunia Islam dan juga cara pandang umat sendiri. Padahal, tidak dapat dimungkiri Islam di masa lalu telah mewariskan peradaban yang tinggi dan Islam sebagai agama juga diturunkan Allah sebagai rahmatan lil alamin.

Apa yang salah dengan semua itu? Sudah bukan satu rahasia lagi, kalau dikata bahwa fakta itu dikarenakan tenggelamnya umat dalam mengenang kejayaan masa lalu Islam di satu sisi, dan kurang optimalnya umat dalam membangkitkan ilmu-ilmu rasional seperti; filsafat, kalam-filosofis, metodologi ilmu dan juga sains. Lebih parah lagi, umat ternyata juga terjebak dalam kotak-kotak kecil (sekte-sekte) yang saling serang dan menghujat. Akibatnya, saling klaim kebenaran (truth claim) sehingga tertinggal di dunia global.

Bertitik tolak dari keprihatian itulah, Islamic College for Advanced Studies (ICAS), Jakarta lahir. Dengan “komitmen kuat” yang digagas sejak awal untuk mengembangkan kajian-kajian keislaman, ICAS selain tetap setia pada teks suci agama (al-Qur`an dan hadits) dan khazanah Islam, juga oleh para penggagasnya berharap menjadikan ICAS sebagai tempat studi Islam yang nanti bisa membawa kemajuan bagi pelajar Islam Indonesia, sekaligus menjadi wadah bergulirnya ide dan gagasan-gagasan segar demi kemajuan peradaban Islam.

Wujud dari ide Cak Nur
Secara legal ICAS (Islamic College Advanced Studies), Jakarta lahir dari satu kerjasama Universitas Paramadina dengan ICAS London. Karenanya, ICAS Jakarta merupakan satu lembaga Islam cabang dari ICAS London. Berdiri pada 1999, kelahiran ICAS yang berlokasi di Pondok Indah Plaza ini pun mendapat bantuan dari ICAS London, termasuk beberapa staff pengajarnya.

Adanya jalinan kerjasama itu, seperti dikatakan Husain Heriyanto, M. Hum (Wakil Direktur/Deputi Rector ICAS) tak lepas dari konsen cendikiawan Indonesia yang sudah tak asing lagi namanya, Nurcholish Madjid. Sebab, saat itu Cak Nur (demikian cendikiawan ini biasa dipanggil) berharap besar di Indonesia ini ada satu lembaga kajian Islam yang bernas, filosofis, rasional, kaya dan bersifat global internasional.

Rupanya, konsen dari Cak Nur itu memang tidak bertepuk sebelah tangan. Sebab, ide dan gagasan Cak Nur itu kemudian mendapat tanggapan dan respon dari kolega Cak Nur di Paramadina, seperti Haidar Baqir, A. Rifa`i Hasan dan kawan-kawan yang akhirnya dapat mendirikan ICAS Jakarta. Karena itu, tegas Husain Heriyanto, “ICAS (Islamic College Advanced Studies), Jakarta adalah buah komitmen Cak Nur.”

Meski, embrionya sudah bergulir sejak tahun 1999, ternyata ICAS Jakarta baru dapat beroperasi pada tahun 2002. Sebab, untuk mewujudkan program kerja dan aktivitasnya, Akta Legalitas yang dikeluarkan Departemen Agama dan diperkuat Sekneg baru keluar pada 2001. “Adanya rentang waktu yang lama itu, karena rencana untuk sebuah ekspansi pendirian ICAS Jakarta juga dilengkapi dengan jalinan kerjasama dosen-dosen luar, untuk aktif di sini (ICAS) dan bisa menjadi staff pengajar dengan segala kemudahan. Dari akta itulah, ICAS kemudian memulai program-program yang sudah menjadi komitmen awalnya,” tuturnya lebih lanjut.

Oleh karena ingin berpartisipasi dalam mengembangkan peradaban dan tradisi ilmiah umat Islam melalui studi keislaman, ICAS Jakarta, juga mencita-citakan turut membangun pendidikan Islam yang didukung analisa filosofis-moral yang tajam. Karena tidak dapat disangkal, salah satu kekurangan yang ada di dunia pendidikan di negeri ini adalah kekurangan analisis, metodologis dan dalam hal ini ICAS melalui studi filosofis yang mendalam berharap bisa membantu untuk melatih ketajaman analisis seseorang, ketajaman berpikir, metodologis dan bersifat logis demi dakwah Islam.

“Jadi, pendidikan Islam -tidak terlepas dari dakwah. Dakwah yang bergerak di dunia intelektual yakni keilmuan. Setidaknya, itulah konsep dasar yang dipegang oleh ICAS dengan ikut berpartisipasi memajukan dan meningkatkan mutu reasoning (penalaran) melalui studi pendidikan filsafat,” kata Husain Heriyanto dengan mantap di ruang kerjanya di lantai tiga Blok F/5 Pondok Indah Plaza, Jakarta.

Dari Program S2 sampai Publising
Sudah menjadi fokus utama sejak awal, jika ICAS Jakarta ingin bergerak di bidang pendidikan. Lewat pendidikan itulah, ICAS Jakarta yang merupakan cabang ICAS London, bekerjasama dengan Universitas Paramadina, kemudian membuka program S2 (master). Awalnya, pada tahun 2003 ICAS cuma membuka S2 (master) dengan program studi Islamic Phylosophy (Filsafat Islam), tetapi satu tahun berikutnya (2004) dibuka program Tasawuf Islam (Islamic Mysticism).

Dengan membuka program S2, ICAS berharap akan lahir sarjana yang tidak bertaraf lokal, melainkan go international. Tidak salah, kalau ICAS selain setia memperkaya khazanah keilmuan, khususnya filsafat Islam juga menjadikan proses belajar mengajar di ICAS dengan menggunakan bahasa Inggris. Karena itu, teks Inggris bukan hal asing bagi mahasiswa S2 ICAS. Semisal, untuk menulis makalah dan tesis, mahasiswa S2 diharuskan menggunakan bahasa Inggris. Program itu dimaksudkan ICAS untuk “mengisi” kekurangan aspeks global pelajar Islam di Indonesia. Untuk itu, ICAS berharap nanti produk atau lulusan yang dihasilkan bisa go internasional, bisa menulis di jurnal internasional.

Seperti diungkapkan oleh Husain Heriyanto M. Hum, yang menjabat Deputi Rector ICAS, “Indonesia kurang dikenal di dunia internasional bukan karena Indonesia kekurangan ilmuwan atau penulis, hanya karena mereka jarang menulis di jurnal-jurnal internasional. Jadi, kita memulainya dengan wacana dunia Islam dulu, khususnya filsafat dan pemikiran Islam,”

Dua program studi S2 itu, sampai sekarang masih berjalan dan tahun 2005 ini ICAS membuka S1 program Islamic Study. “Mungkin ini termasuk program baru dan juga pertama kali di Indonesia dengan menerapkan Islamic Studies untuk S1. Sebab, biasanya program ini hanya diterapkan di S2 (Master), dan S1 biasanya dengan program studi seperti Syariah, Dakwah dan semisalnya,” tegas Husain Hariyanto mengenai program S1 di ICAS.

Dengan proyek Islamic Studies, ICAS nanti akan menerapkan separuh pertama bahasa Indonesia (semester I-IV), paruh kedua (V-terakhir) dengan menggunakan bahasa Inggris; sementara seleksi pendaftaran dibuka bulan Juni-Agustus 2005. Istimewanya, program beasiswa sudah tersedia bagi calon mahasiswa yang lulus seleksi (hanya menerima maksimal 40 mahasiswa).

Selain berkiprah lewat jalur pendidikan, ICAS juga mengembangkan riset. Meski di ICAS hal ini belum menjadi lembaga khusus tapi secara personal hal itu sudah dilaksanakan, misalnya melalui tesis yang dikerjakan mahasiswa. Dengan riset, mahasiswa dituntut untuk melakukan penelitian dengan topik-topik tertentu, yang masih terkait dengan filsafat Islam.

Selain hal di atas, ICAS juga bergerak di ranah Publisingh (penerbitan). Bahkan tidak tanggung-tanggung, karena untuk mendukung bidang penerbitan, ICAS menjalin kerjasama dengan penerbit Mizan. Setidaknya, hingga saat ini sudah ada dua buku yang diterbitkan oleh ICAS bekerjasama MIZAN, yakni buku Perjumpaan Sains dan Agama; Dari Konflik ke Dialog (yang berjudul asli Science and Religion: From Conflik and Conversation) karya John F. Haught dan Manusia Sempurna, karya Dr. Syeyyed Mohsen Miri (Rektor ICAS, Jakarta).

Untuk program lain, ICAS menggelar semacam kursus pendek (short-courses). Program ini memang tak diadakan secara reguler namun sampai sekarang ini ICAS sudah mengadakan kursus pendek kurang lebih enam kali. Juga, aktif mengadakan seminar-seminar (seminars) dan konferensi-konferensi (converencers). Ada yang digelar sendiri, ada juga yang bekerjasama dengan sejumlah perguruan tinggi, seperti Universitas Paramadina, UGM, UIN Jakarta, STF Driyarkara dan lainnya. Dari sekian kali seminar yang pernah diadakan ICAS, di antaranya seminar sehari di UGM dengan tema “Seminar Sehari Pemikiran Murtadha Muthahhari” (Yogyakarta, 15 Mei 2004) dan seminar yang mengundang John F. Haught (seorang Guru Besar Teologi pada Universitas Georgetown, AS) ketika datang ke Indonesia bertepatan terbitnya buku Perjumpaan Sains dan Agama; Dari Konflik ke Dialog.

Membuka Kesadaran Baru
Hingga sekarang ini ICAS Jakarta sudah berkiprah selama 3 tahun. Sebuah perjalanan untuk lembaga studi dan pemikiran yang boleh dikata seumur jagung. Karena itu, ICAS akan tetap mempertajam tujuan dan misi yang sudah digagas sejak awal dengan tetap memperkaya pandangan umat Islam Indonesia dengan khazanah filsafat Islam yang ternyata belum banyak diketahui orang, baik orang Islam sendiri, maupun orang yang bergerak di dunia pendidikan Islam.

Hal itu, karena diyakini karena ada sumbangan besar yang berikan oleh filsafat dalam memandang kehidupan dan itu tidak dimiliki banyak orang. “Karena itu, ICAS berkemauan keras mempopulerkan filsafat Islam di negeri ini sekaligus menjadikan filsafat sebagai pisau, alat analisis yang bisa menjembatani kelompok radikal kiri dan radikal kanan. Dengan itu, kelahiran ICAS dimaksudkan menjadi the third way atau high way melalui pengembangan aspeks rasionalitas dan etos keilmuan,” ucap wakil direktur ICAS dengan mantap.

“Sebab, kalau kita mau menengok sejarah, di masa dahulu itu filsafat sangat berperan cukup penting dalam membangun cara berpikir orang dan budaya sebuah bangsa, termasuk umat Islam dan bahkan juga dunia Barat. Tak salah jika kelahiran renaissance tidak dimungkiri awalnya adalah berkembangnya filsafat, budaya lalu lahirlah sains. Dari situ ada kesadaran dan rasionalitas yang bisa membawa sebuah kemajuan bangsa, dan kita punya harapan-harapan seperti itu. Jadi, ICAS berharap filsafat bisa bermanfaat secara praktis dalam masyarakat kita dalam tataran seperti itu,” katanya kalem saat diwawancarai Hidayah.

Sebab, dengan mengembangkan etos keilmuan tinggi dengan menitikberatkan pada rasionalitas itu, Husain Haryanto yakin kalau itu berdampak praktis dalam memahami Islam. Islam pada akhirnya bisa dilihat lebih bernas, adil dan humanis. Hal itu karena filsafat mengajak orang berpikir dengan nalar, tidak tergesa-gesa mengambil kesimpulan, lebih teliti, tidak mudah melakukan kesimpulan tanpa penelitian, tanpa analisis terlebih dulu. Jadi, semangat filsafat adalah semangat untuk bersandar dalam penelitian, semangat untuk melakukan pencarian terus-menerus dan semangat mencari kebenaran dalam meneliti. (nur mursidi)

Tidak ada komentar: