Jumat, 19 Agustus 2005

pesantren al-maghfirah: rumah sakit ruhani bagi pecandu narkoba

majalah hidayah edisi 49 agustus 2005

Pondok pesantren -harus dicatat- tak selamanya dididirikan untuk sekedar mencetak atau mereproduksi ulama. Pada masa awal (perkembangan pesantren), memang misi itu tidak bisa ditepis. Sebab, pesantren selain dimaksudkan sebagai lembaga alternatif untuk mencetak ulama juga berfungsi sebagai transmisi atau transformasi ilmu keislaman dan pemeliharaan terhadap tradisi muslim. Peran pondok pesantren seperti itu yang dikenal dengan bentuk atau model tradisional (salafiyah), memang hingga kini masih tetap eksis dan tak diingkari menjadi tempat menuntut ilmu yang telah melahirkan sejumlah ulama kharismatik di tanah air ini.

Tetapi sejalan dengan perkembangan zaman, pesantren --mau tidak mau-- memang dituntut untuk terus berubah demi tuntutan dan kebutuhan yang terjadi dan berkembang di masyarakat. Apalagi, laju peradaban yang ditopang dari perkembangan ilmu pengatahuan dan sains tak bisa dimungkiri kalau dalam hidup, manusia dituntut untuk maju dan berwawasan luas. Dalam konteks itulah, kemudian berdiri pesantren modern dengan bentuk kurikulum tertentu dan juga ciri khas tersendiri yang tak hanya mengajarkan ilmu keagamaan belaka, melainkan juga skill (ketrampilan), bahasa dan ilmu-ilmu umum.

Berbeda dengan model pesantren salafiyah dan pesantren modern yang selama ini kita kenal, pesantren satu ini jelas-jelas memiliki banyak perbedaan dengan pesantren yang ada, juga sekaligus menjadi semacam "rumah sakit ruhani" bagi para santri. Sebab, pesantren al-Maghfirah yang berlokasi di kaki Gunung Geulis ini memang dikhususkan bagi para pecandu dan korban narkoba.

Bagaimana sejarah dan perkebangan pesantren yang khusus menampung anak-anak pecandu narkoba ini? Apa pula aktivitas dan kegiatan santri di pesantren yang terletak di kaki Gunung Geulis ini? Berikut ini adalah hasil liputan reporter majalah Hidayah yang sempat berkunjung ke sana dan berkesempatan mewawancarai pendiri pesantren.

Sejarah dan Arti Nama Pesantren
Sejarah berdirinya pesantren al-Maghfirah ini, memang tidak dapat dilepaskan dari pengalaman dan petualangan hidup KH Toto Tasmara sebagai seorang eksekutif. Suatu kali, ketika sedang bermain golf, kiai kelahiran Ciamis, 10 November 1948 itu menjumpai salah satu bawahannya -yang sedang bermain golf- ternyata berjalan semponyongan serta berbicara ngelantur. Tak salah, jika kiai yang saat itu menjabat sebagai eksekutif (asisten operasi di Bank Duta dan salah satu asisten sekretaris PT Humpus) mengorek apa yang terjadi dengan sang anak buah. Setelah dikuak, ternyata perilaku itu akibat dari sabu-sabu.

Berangkat dari keprihatinan itulah, sang kiai kemudian merasa terenyuh dan terusik hatinya untuk membantu. Lantas dengan cara apa? Setelah mempersiapkan segala hal dan belajar seputar masalah yang berkaitan dengan narkoba, akhirnya pada tahun 1999 KH Toto Tasmara mendirikan pesantren yang secara khusus diperuntukkan bagi para pecandu dan korban narkoba. "Pada tahun 1997, saya keluar kerja dan kemudian membuka jasa konsultan sambil mendalami masalah narkoba. Lalu pada tahun 1999, saya mulai membuka pesantren al-Maghfirah," cerita KH Toto Tasmara yang juga dikenal sebagai penulis buku.

Awalnya, sebagaimana dikisahkan oleh KH. Toto Tasmara, pesantren al-Maghfirah yang didirikan itu berlokasi di vila Cibodas. Tapi, karena di villa Cibodas itu udaranya terlalu dingin, sehingga saat santri-santri sedang sakaw menyebabkan mereka menggigil kedinginan, membuat pemimpin pesantren kemudian mencari alternatif. Apalagi, sebagaimana dikatakan ustadz Budiman (asisten KH Toto Tasmara, “Di vila Cibodas itu, kita juga masih menyewa.”

Dari kondisi yang dingin dan kurang kondusif itu, kemudian pesantren al-Maghfirah dipindahkan ke desa Pasir Angin, di Gunung Geulis. "Ya alhamhadulillah di sini sejak tahun 2000, kami sudah meluluskan alumni sekitar 600 alumni. Dari 600, itu sekitar 10 % kembali pakai. Jadi, 90 % bisa dikata sukses, ada yang menjadi pilot, pengusaha, kuliahnya lulus, ada yang juga bekerja di baja dan banyak lagi. Alhamdulilllah, ada yang naik haji, juga menjadi pengusaha,” tutur pemimpin pesantren al-Maghfirah dengan kalem tatkala diwawancarai oleh reporter majalah Hidayah.

Adapun arti Al-Maghfirah, nama pesantren ini adalah pengampunan atau pencerahan (enlightment). Pemilihan akan nama itu, tentunya dimaksudkan agar para santri yang masuk ke pesantren nantinya bisa mendapatkan ampunan atau pencerahan. Tidak salah, seperti ditulis dalam selebaran pesantren, bahwa al-Maghfirah berusaha memberikan pelayanan kepada masyarakat yang bersifat mendesak dan membutuhkan pencerahan batin (tarbiayatul qalbi) di tengah gejolak zaman yang digerus oleh modernisme.

Sebagai lembaga yang bergerak di bidang pelatihan manajemen dan pengembangan mental spiritual, pesantren al-Maghfirah ini juga memberikan pelayanan konsultasi pelatihan yang berangkat dari asumsi bahwa manusia --sebagai khalifah fil ardhi-- haruslah mampu mengemban misi sebagai leader, menjadi sosok manusia yang berakhlakul karimah, mempunyai misi dan visi serta mampu menghadapi badai tantangan terutama dengan cara berpikir positif dalam melihat dunia dengan wawasan yang multidimensional.

Pola dan Metode Pendidikan di Pesantren
a. Keterlibatan Orangtua
Boleh dikata kalau pesantren ini memiliki banyak perbedaan dengan pesantren pada umumnya. Tidak salah jika dalam pola dan metode pendidikan yang diterapkan juga berbeda. Apa pola dan metode pendidikan yang diterapkan di pesantren dengan santri yang semuanya adalah bekas pecandu narkoba?

Pola pendidikan di pesantren al-Maghfirah bagi para korban dimulai dari orang tua dan keluarga, karena seluruh anggota keluarga korban akan menjadi bagian dari terapi. Tak salah jika selama satu hari, seluruh anggota keluarga dewasa; ibu, bapak, kakak dan adik juga diikutsertakan dalam pembinaan rumah tangga keluarga sakinah. Dalam program ini keluarga akan mengikuti penataran singkat yang berkaitan dengan persiapan pendidikan putra-putri (santri) yang menjadi korban narkotik. Seluruh keluarga akan menginap selama kurang lebih satu malam atau lebih untuk mengikuti program-program tersebut dan selama kegiatan yang dimaksudkan mereka mendapat bimbingan spiritual. Teknis penanganan pasca-rehabilitasi dan ibadah praktis untuk mempertemukan hati keluarga satu dengan yang lainnya.

Dalam satu hal, pola pendidikan ini dipandang penting karena tidak jarang terlibatnya anak tenggelam dan mengkonsumsi obat terlarang bernama narkoba bisa juga dikarenakan kurangnya perhatian dari orangtua. Sangat logis, jika pola mempertemukan hati tersebut bisa menjadi jembatan akan tali kasih (sayang) dan rasa cinta orangtua kepada sang anak.

Jelas, pola pendidikan yang diterapkan pesantren al-Maghfirah memiliki perbedaaan dengan pesantren pada umumnya. Karena keterlibatan orangtua sudah menjadi syarat mutlak karena itu dimaksud untuk tujuan mendampingi santri pascarehabilitasi atau setelah keluar dari pesantren.

Pada periode adaptif, orangtua dilatih para mursyid (mentor) untuk berperan sebagai terapi mental. Orangtua akan dilatih untuk memberikan sugesti, mendemonstrasikan cintanya yang batini kepada sang anak (korban narkoba). Orangtua/keluarga dibimbing para mursyid dan akan membuat catatan perkembangan selama 1 hari. Kemudian, di malam hari mendiskusikannya secara bersama dengan para mursyid. Selama periode ini, keluarga akan bersama-sama dengan putra-putrinya melaksanakan doa munajat, dzikir dan wirid dengan mengkonsentrasikan penuh pada satu titik penyembuhan. Dengan demikian, keikutsertaan orangtua pada periode awal adalah syarat mutlak yang tidak bisa dihindari sebagai metode terapi komunikiasi dan penyembuhan batin dari metode yang telah diterapkan pesantren al-Maghfirah.

b. Metode Holistik
Tidak dapat disangkal lagi, jika santri yang menghuni pesantren al-Maghfirah adalah korban narkoba dan karena itulah dikategorikan sebagai orang yang sakit (jiwa). Karena itu, untuk mengatasi penyakit jiwa (depresi, post power syndrom, drug abuse, dan lain-lain), dibutuhkan berbagai metode yang dilaksanakan secara variatif dan dinamis dengan melihat kondisi santri. Untuk itu, pesantren al-Maghfirah melakukan pendekatan holistik dengan sentuhan emosi (emotional touch) atas dasar kasih sayang yang merupakan cerminan agama Islam, yaitu sikap marhamah. Beberapa terapi unik yang dipilih pesantren al-Maghfirah untuk menyembuhkan santri adalah sebagai berikut:

Pertama, metode induksi dan orientasi, yaitu metode untuk mengenal diri, siapa aku di hadapan Tuhanku, siapa aku dihadapan diriku dan siapa aku dihadapan orang lain dan alam. Metode ini akan memberikan sugesti kepercayaan diri dan kebermaknaan (meaningful). Kedua, metode relaksasi produktif, yaitu metode untuk melakukan adaptasi bagi para santri yang baru memasuki kehidupan di pesantren al-Maghfirah. Ketiga, metode psikiatrik, yaitu metode untuk menggali prilaku dan kecenderungan sikap kepribadian, kemudian diberikan terapi sesuai dengan frame of references dan field of experience sehingga mereka mendapatkan masukan pesan-pesan positif secara persuasif melalui metode empatik. Keempat, metode kontemplatif, yaitu sebuah metode yang akan mengajak santri menukik, menyelami kalbunya mengarungi samudra diri untuk menemukan jawaban yang akan mensugesti keyakinan diri jadi kuat.

c. Spritual Healing Ornaba
Selain dengan pengobatan dan pengembangan mental secara empiris dan scientific, pesantren al-Maghfirah menyelenggarakan metode dzikir dengan maksud membuka dimensi qalbu dan membuka serta mengisi “makna hidup” secara mendalam dan mendasar kepada santri-santrinya, sekaligus merupakan metode penyembuhan secara spiritual (comunication teraphy), yang dalam prakteknya langsung dipimpin oleh KH. Toto Tasmara.

Metode ini mendasarkan cinta kasih yang menanamkan kesadaran imani di hati para santri sebagai “subyek”. Salah satu metode penyembuhan mental spiritual, adalah meditasi dzikir yang disebut dengan metode ornaba atau “olah rasa nafas batin”. Dalam melakukan dzikir itu, para santri disugesti dengan penghayatan “kehadiran Allah”.

Dengan pola pendidikan dan metode tersebut, santri diharap bisa membangun jiwa kepemimpinannya, percaya diri dan mandiri sebagai bekal untuk menatap masa depan dan melupakan masa lalunya yang kelabu.

Akomodasi dan Fasilitas di Pesantren
Boleh dikata kalau pesantren ini cukup elite. Tak salah jika bentuk rumah yang dihuni para santri pun tidak ubahnya sebuah vila. Untuk itulah, lokasi dipilih di kaki Gunung Gelius, sebuah daerah yang cukup kondusif dengan udaranya yang cukup segar. Hal itu dimaksudkan untuk membuat santri agar merasa betah tinggal di pesantren. Sehingga nantinya pola belajar dan penyembuhan akan berjalan secara simultan untuk menciptakan suatu kondisi percaya diri sebagai kunci pembuka hati menunju pengembangan dan menata karier kehidupan dan menjadikan hidup penuh arti (meaningful)

Juga, pesantren ini dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang dapat memotivasi untuk betah di lokasi dengan adanya fasilitas, antara lain; mushalla, ruang dzikir, bahkan kolam renang, lapangan badminton, basket, tenis meja dan juga bilyard.

Jadi selain di pesantren para santri di motivasi, juga diberi kebebasan penuh. Karena sebagaimana dikatakan KH Toto Tasmara, “Di pesantren ini, saya bukan melatih anak-anak menjadi ahli agama. Itu tidak mungkin! Apalagi dalam waktu enam bulan. Sebab di pesantren ini ada target yang diterapkan bagi santri selama enam bulan setidaknya sudah bisa sembuh. Kendati demikian, lama waktu itu masih bersifat relatif. Jika memang dalam waktu kurang dari enam bulan, sudah ada kemajuan maka bisa pulang ke rumah.”

Jelasnya, yang ditekankan pesantren adalah penyadaran bahwa mengkonsumsi putaw itu adalah dosa. Karena itulah, di pesantren al-Maghfirah saat reporter Hidayah bertandang ke sana, ada nuansa bebas yang dihirup oleh para santri. Ada yang lagi duduk-duduk dengan santai, ada yang tertawa dengan lepas. Juga canda gurau.

Kenapa motivasi menjadi penting di pesantren satu ini? Sebab bagi pendiri pesantren al-Maghfirah, pakem agama harus dibagi dengan motivasi. Karena itulah, santri tidak disuruh untuk menghafal doa-doa, wirid dan semacamnya. Sebab, hal itu bukan sebuah terapi. Sebab wirid itu –menurut Abi—adalah hafalan dan terapi itu melibatkan hati untuk penghayatan.

Karena itu, KH. Toto Tasmara mencontohkan kalau, “Ada yang sudah naik haji dan umroh, ternyata tetap saja pakai. Bahkan di Jeddah itu tetap pakai, itu dahsyatnya. Shalatnya rajin, putawnya juga rajin, baca Qur`an pinter. Karena baca Qur`an itu kan skill, ketrampilan, asal kita mau. Orang komunis juga bisa membaca Qur’an, tapi apakah orang bisa berbahasa Arab lantas sholeh? Gak-lah. Jadi kesalehan itu dari hatinya. Kita panggil. Merasa aku dilihat oleh Allah….dan hidup itu hanya kedipan mata, sesaat saja.”

Dapat dipahami jika di pesantren al-Maghfirah, penghayatan terhadap hidup benar-benar ditekankan. Memang ada juga doa dan dzikir bersama, namun itu lebih pada upaya untuk melatih santri mendekatkan diri kepada Allah.

Adapun untuk biaya hidup santri di pesantren, sebagaimana diungkapkan sang kiai ternyata tak terlalu mahal. Sebab, dengan target santri yang akan menghuni pesantren selama enam dikenai biaya 2 juta rupiah. Tak salah, jika pesantren ini lebih boleh dikata sebagai wujud sosial akan solidaritas terhadap para korban dan pecandu narkoba.

Apa yang Diharapkan?
Dengan berdirinya pesantren yang mengkhususkan pada penangulangan korban narkoba, boleh dikata jika pesantren ini berharap besar dengan misi yang diemban sejak awal. Tak salah, jika pesantren ini oleh pendirinya --seperti juga dengan keberadaan LABMEND— dijadikan sebagai laboratorium mental development. “Jadi, bagaimana tempat riset meneliti kelemahan dan kelebihan umat. LABMENT itu menggembleng hati umat dengan terukur, karenanya bukan melihat berapa banyak yang ada dan hadir,” ungkap KH Toto

Jadi keberadaan pesantren ini membangun pribadi-pribadi yang berakhlak dan PJKB (profesional jujur kuat dan bertanggung jawab). Karena itu, di pesantren ini yang juga kerap dilakukan pelatihan, bukan hanya menekankan adanya pelatihan normatif agama. Meski tidak diingkari jika diajarkan juga bedah Qur`an. (nur mursidi)






Tidak ada komentar: