Kamis, 03 Mei 2007

kisah wanita yang menyerahkan diri

tulisan "kisah Qur`an" ini dimuat di majalah hidayah edisi 70, mei 2007

"...dan wanita mukminah yang menyerahkan dirinya kepada nabi kalau nabi mau mengawaninya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua kaum mukminin. (QS. Al-Ahzab: 50)

Sudah lama kaum muslimin tidak mengujungi Ka`bah menunaikan ibadah haji atau umrah. Sudah enam tahun, mereka berhijrah meninggalkan Makkah dan menetap di kota Madinah. Selama itu pula, mereka tidak pernah melihat Ka`bah yang suci, tak pernah melihat tanah kelahiran mereka yang menyimpan sejuta kenangan dan tempat pertama kali wahyu diturunkan Allah. Karena itu, ketika kerinduan untuk menjenguk Ka`bah itu sudah mendesak-desak di hati kaum muslimin dan membuat mereka rindu tanah air, maka alangkah senang tatkala Rasulullah mengumumkan untuk pergi ke Makkah guna menunaikan ibadah haji.

Ajakan nabi itu tentu saja segera disambut dengan riang gembira dan perasaan senang oleh kaum muslimin di Madinah. Harapan yang selama ini terpendam seakan terpenuhi. Maka setelah semua siap, di bulan Zulqaidah rombongan kaum muslimin itu akhirnya berangkat ke Makkah. Karena tidak pergi untuk berperang, melainkan untuk menunaikan ibadah haji, maka di tangan kaum muslimin tidak tergenggam sepucuk senjata atau pun tombak, juga tak ada perbekalan perang segala. Hanya niat untuk pergi ke Makkah menunaikan ibadah haji.

Iring-iringan kaum muslimin sepenuhnya pergi menjenguk Ka`bah. Rombongan itu berjalan dengan berduyun-duyun, bukan bak pasukan tentara yang pergi ke medan perang, melainkan rombongan orang yang merindu ingin beribadah ke Ka`bah. Maka, dari kejauhan tampak warna putih yang memancarkan cahaya kemilau tatkala sinar mentari menerpa rombongan kaum muslimin saat keluar Madinah menuju Makkah.

Dalam perjalanan itu, Rasulullah menaiki untanya, al-Qashwa. Di belakang dan di depan rasul, kaum muslimin mengenakan pakaian ihram dan mengucapkan talbiah, "Labbaika Allahumma labbik la syarikalaka labbaika; innal hamda wanni`mata laka wal mulk la syarika laka."

Tetapi, belum sempat kaum muslimin sampai di kota Makkah, kaum Quraisy menghadang. Ketika itu kaum Quraisy telah bersiap untuk perang setelah melihat nabi Muhammad dan pengikutnya akan memasuki pintu gerbang kota Makkah. Rasulullah kemudian mengutus Ustman bin Affan untuk bertemu dengan kaum Quraisy supaya menjelaskan kepada mereka bahwa kepergian Rasulullah dan pengikutnya ke Makkah kali ini adalah untuk melaksanakan ibadah haji, bukan untuk tujuan menyerang atau berperang.

Di luar dugaan kaum muslimin, ternyata kaum Quraisy tidak menyambutnya dengan perang dan justru bersikap lunak. Mereka kemudian menawarkan perdamaian kepada umat Islam --yang dikenal dengan nama perjanjian Hudaibiyah-- yang isi dari perjanjian itu antara lain memutuskan bahwa kaum muslimin baru dapat mengunjungi Bait al-Haram di tahun depan.

Rasulullah dan kaum muslimin terpaksa kembali ke Madinah. Meski kembali ke Madinah dan diliputi rasa kecewa, tapi kaum muslimin memiliki sebuah harapan. Sebab Allah telah menjanjikan sebuah kemenangan, “Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada rasulnya tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (yaitu) bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tiada kamu ketahui dan Dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat.” (QS. Al-Fath: 27)

Umrah Qadha
Setelah setahun kaum muslimin menanti, akhirnya datang tahun yang ditunggu-tunggu itu. Rasulullah dan para sahabat keluar dari Madinah untuk melakukan umrah qadha (umrah pengganti). Dengan hati senang, Rasulullah dan kaum muslimin pergi ke Makkah. Sebagaimana isi dari perjanjian itu, ketika kaum muslimin datang maka kaum musyrikin akan pergi ke sebuah gunung sehingga kaum muslimin akhirnya bisa tinggal di Makkah dengan tanpa gangguan selama tiga hari.

Setiba di Makkah, kaum muslimin segera melakukan tawaf di sekeliling ka`bah agar suara itu bisa didengar mereka yang berada di gunung. Tentu saja, berkumpulnya kaum muslimin untuk menunaikan ibadah umrah itu telah menguncangkan hati kaum musyrikin dan juga menyusupkan cahaya kebenaran, membentangkan “jalan” kepada mereka untuk tersentuh cahaya tauhid yang dibawa rasul sehingga ada kecondongan iman, sebagaimana yang terjadi pada Khalid bin Walid dan Amru bin Ash. Bahkan di Makkah, juga ada sebuah keluarga yang ternyata Allah menghendaki kebaikan bagi mereka, (yaitu) empat wanita bersaudara antara lain Ummu Fudhl, istri Abbas (paman Rasulullah), Asma binti Umais, Salma binti Umais dan Barrah binti al-Harits. Sedang ibu mereka yang bernama Hindun binti Auf sendiri dijuluki sebagai seorang wanita tua yang baik. Mertua Hindun binti Auf sendiri juga mertua Rasulullah dan Abu Bakar. Hamzah dan Abbas adalah putra Abdul Muthalib, sedang Ja`far dan Ali adalah putra dari Abu Thalib.

Barrah sebenarnya sudah menjada sesudah suaminya, yang bernama Abu Rahm al-Amiri wafat. Padahal, Barrah sendiri tergolong wanita yang masih muda usianya, sekitar dua puluh enam tahun. Suami Ummu Fudhl, saudara perempuannya adalah Abbas, paman Rasulullah. Dia kebetulan tidak ikut berhijrah ke Madinah karena sibuk dengan pekerjaannya.

Bagi Rasulullah, Abbas itu bukan saja sekadar paman tetapi sekaligus saudara bahkan tidak ubahnya pula seperti ayah; dialah orang yang dimintai keterangan oleh Rasulullah tentang karakter penduduk Madinah sebelum beliau berhijrah ke sana. Dia pula yang memaksa penduduk Mekkah dan keluarga yang Muslim untuk keluar dalam perang Badr. Selama beberapa tahun, dia hanya bermaksud memenangkan Rasulullah.

Barrah sudah banyak mendengar hadits Rasulullah dari Abbas, suami saudara perempuannya itu. Dari cerita-cerita Abbas itu, hati Barrah dipenuhi kecintaan kepada Rasulullah sehingga tatkala Rasulullah datang di Makkah bersama kaum Muslim guna menunaikan umrah qadha, Barrah mengelilingkan matanya, mencari-cari beliau di antara sekumpulan orang muslim.

Ketika Barrah melihat Rasulullah ada di antara kaum Muslimin, sedang bertawaf di sekeliling ka`bah yang suci serta minum air zamzam dan bersa`i di antara Safa dan Marwa, maka hati Barrah semakin bertambah cinta kepada beliau. Memang sebelum hijrah, Rasulullah belum pernah melihat Barrah sejak beliau menyiarkan agama Islam di Makkah. Tetapi Barrah sudah pernah melihat beliau menyeru agama Allah di tengah –tengah gangguan orang kafir yang datang di sekelilingnya dan dia juga pernah melihat beliau meskipun tidak bertemu; beliau tetap tabah dan sabar terhadap gangguan macam apa pun demi menjalankan perintah Tuhan. Meskipun beliau hijrah, Barrah ternyata tidak lupa dengan nabi Muhammad. Dengan kata lain, jasad Barrah memang tidaklah ikut berhijrah tetapi hatinya berhijrah bersama rasulullah dan orang-orang muslim ke Madinah.

Maka ketika Rasulullah datang ke Makkah bersama kaum Muslimin, Barrah pun merasa semakin cinta kepada beliau dan karena nabi Muhammad yang dicintainya itu kini berada dalam satu kota dengannya, Barrah tidak dapat menyembunyikan rahasia yang ada dalam hatinya itu. Suatu getaran cinta yang membuat Barrah merasa nyaman, tentram dan damai.

Tapi pada siapa Barrah hendak berbicara tentang perasaan cinta itu? Ia berpikir sejenak. Kepada ibunya, Hindun? Ah, itu tidak mungkin. Ia tidak dapat membayangkan apa yang akan dikatakan oleh ibunya itu apabila mendengar ia lagi jatuh cinta. Hatinya bertambah kacau lagi jika mengingat waktu yang ada tidak cukup lama, karena tidak lama lagi Rasulullah dan kaum muslimin harus kembali ke Madinah, sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati dengan kaum musyrikin, yaitu hanya tiga hari tinggal di Makkah.

Waktu terus bergulir, sementara rahasia Barrah itu tetap saja tersimpan di dalam hatinya. Tidak ada seorang pun yang tahu. Malam pertama, terhitung sejak kehadiran rasul dan kaum Muslimin di Makkah, Barrah tidak dapat memejamkan mata. Pada pagi harinya, dia kemudian memanggil saudara perempuannya, Ummu Fadhl (istri Abbas). Ummu Fadhl menghampiri Barrah dan dia melihat sesuatu yang aneh pada diri adiknya itu, "Kenapa kamu tampak kebingungan, Barrah. Ada apa sebenarnya?" tanya Ummu Fadhl dengan penuh kasih.

Wajah Barrah menjadi memerah. Ia kaget, seakan tertusuk tepat di jantungnya. Tenggorokan Barrah terasa kering dan kata-katanya tertahan. Ia diam tidak menjawab pertanyaan saudaranya itu. Ummu Fadhl kemudian berusaha menghibur Barrah dan berusaha menenangkan kegelisahan hatinya, "Aku adalah saudaramu tertua. Apakah kamu akan menyimpan rahasia itu kepadaku, Barrah?"

Kegelisahan Barrah mereda setelah mendengar ucapan saudaranya itu. Yang jelas ada semacam pelindung atau orang yang bisa diajak untuk berbagi, "Tidak!!! Aku akan menjelaskan padamu segala sebab yang membuatku jadi kurus kering dan tidak dapat tidur."

Ummu Fadhl memandang ke arah bukit, dan Barrrah menenangkan hati. Sedang suara kaum Muslimin yang tawaf di sekeliling ka`bah terdengar dengan jelas di telinga Barrah dan Ummu Fadhl. Barrah dan Ummu Fadhl pun berpaling dari suara itu, dan kemudian Ummu Fadhl bertanya, "Apakah rahasia itu?"

Barrah menjawab terbata-bata sambil mendudukkan kepala, "Sesungguhnya aku sangat mencintai Rasulullah dan ingin menikah dengan beliau."

Mendengar kata-kata saudaranya, Ummu Fadhl tersenyum penuh kasih sayang dan berkata, "Insyaallah akan mendatangkan kebaikan..."

Barrah tidak mengerti apakah yang akan diperbuat oleh Ummu Fadhl dengan rahasia itu. Apakah dia akan pergi menemui Rasulullah untuk memberitahukan hal itu kepada beliau? Apakah beliau akan menerimanya sebagai istri atau Barrah akan melihat beliau menolaknya?

Beberapa pertanyaan itu mengepungnya dari segenap penjuru, tetapi ia menjadi tenang ketika melihat saudara perempuannya itu kemudian menemui suaminya, Abbas dan berbicara dengannya. Dalam hati, Barrah dilanda cemas, ada semacam ketakutan. Ia berbicara dengan dirinya sendiri, bahwa pamannya adalah orang yang paling sayang kepadanya; maka pasti akan menyelesaikan masalah itu dengan baik.

Selanjutnya, Barrah melihat Abbas pergi menuju ke arah kaum muslimin dan tentunya Abbas akan membicarakan masalah Barrah itu kepada Rasulullah.

Waktu seperti berhenti. Demikianlah perasaan yang dialami oleh Barrah. Abbas belum juga kembali dari sisi Rasulullah; dan terasa sempitlah bumi di mata Barrah. Ke mana dia akan pergi dan kepada siapa lagi dia akan memberitahukan rahasianya itu? Barrah tidak melihat sesuatu yang lebih baik daripada kembali menemui saudara perempuannya, Ummu Fadhl. Dan ia merasa tenang bila berada di sampingnya. Maka, Barrah menemui Ummu Fadhl kembali. "Nanti Abbas akan kembali kepadamu dengan membawa berita yang menggemberikanmu," hibur Ummu Fadhl.

Barrah kurang percaya, lalu bertanya dengan tidak sabar, "Benarkah apa yang kamu katakan itu?"

"Hatiku telah berbicara padaku bahwa Rasul akan menerimamu," jawab Ummu Fudhl.

Sementara di tempat lain, Abbas telah datang melamar rasul, kemenakannya itu untuk Barrah. Tawaran dari Abbas itu ternyata diterima oleh rasulullah, dan diberinya maskawin 400 dirham.


Menikah di Sarif
Akhirnya, waktu tiga hari yang sudah ditentukan menurut perjanjian Hudaibiah itu telah berakhir. Tetapi, karena ada “rencana perkawinan” Rasul dengan Barrah, maka nabi ingin memperpanjang waktunya untuk tinggal di Makkah dengan harapan supaya dengan pernikahan itu didapat jalan lebih baik dalam membangun hubungan dengan kaum Quraisy, sehingga ada rasa saling pengertian. Tetapi harapan itu ternyata tidak diterima baik oleh pihak Quraisy.

Suhail bin Amr dan Huwaithib bin Abdul-Uzza datang kepada Muhammad dan berkata dengan sengit, “Waktumu sudah habis. Silahkan keluar dari Makkah!’

“Apa salahnya jika kalian membiarkan saya selama melangsungkan pernikahan berada di tengah-tengah kalian? Kami akan membuat jamuan dan kalian ikut hadir,” jawaban nabi Muhammad kepada mereka dengan kesadaran betapa dalamnya umratul qada` itu bisa meninggalkan kesan dalam hati penduduk Makkah, betapa benar jika hal itu memesonakan mereka, membuat sikap permusuhan mereka menjadi reda.

Tetapi, rupanya Suhail dan Huwaithib tahu bahwa jika mereka mau memenuhi undangan untuk perjamuan itu dan saling mengadakan dialog, maka dengan mudah pintu kota Mekkah nantinya akan terbuka bagi kaum muslimin. Hal ini pulalah yang dikhawatirkan oleh mereka. Karena itulah, mereka berkata lagi.

“Kami tidak memerlukan jamuanmu. Keluar sajalah!”

Rasulullah mengalah. Segenap kaum muslimin siap-siap meninggalkan Makkah. Sesudah itu, Rasulullah pun berangkat bersama kaum muslimin. Ketika itu yang tinggal adalah Abu Rafi`, budaknya yang kemudian menyusul membawa Barrah ke Sarif dan perkawinan itu akhirnya dilangsungkan di sana.

Setelah Barrah menikah, namanya kemudian diganti dengan nama Maimunah binti al-Harits. Cerita soal Maimunah binti al-Harits ini, turunlah firman Allah, “…Dan wanita mukminah yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau menikahinya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua kaum mukminin (QS. Al-Ahzab: 50)

Maimunah merupakan istri terakhir Rasulullah (maksudnya di antara wanita yang beliau gauli) dan masih hidup lima puluh tahun kemudian sesudah Rasulullah wafat. Dia meminta dikuburkan di tempat Rasulullah melangsungkan pernikahan itu, yakni di Sarif.


--------
referensi:
1. Istri-istri Para Nabi, Ahmad Khalil Jam`ah dan Syaikh Muhammad bin Yusuf Ad-Dimasyqi, terj. Fadhli Bahri, Lc, Penerbit Darul Falah, Jakarta 2001
2. Sejarah hidup Muhammad, Muhammad husein Haekal, Litera Antar Nusa, Jakarta 2006
3. Profil di Balik Cadar: Kisah Wanita dalam Al-Qur`an, Jabir Asy-Syal, Penerbit Grafiti Pres, Jakarta, 1986

Tidak ada komentar: