Kamis, 03 Mei 2007

meninggal dunia usai memimpin doa yasinan

cerita ini dimuat di majalah hidayah edisi 70, mei 2007

Kematian tidak dapat disangkal merupakan satu misteri yang tak dapat ditebak oleh siapa pun. Tak seorang pun yang tahu, kapan seseorang akan meninggal dunia. Juga, tidak ada yang tahu di mana seseorang nanti akan menemui ajal dan dalam keadaan apa kematian itu nanti akan datang menjemput. Karena itu, orang yang beruntung adalah yang menemui ajal ketika dia sedang menjalankan kebaikan, entah itu ketika sedang ada di majlis taklim atau sedang dalam sebuah pengajian yang mengingat kebesaran Allah, seperti akhir kisah dari orang yang akan kami ceritakan di bawah ini.

Cerita iktibar yang kami ceritakan ini –tepatnya-- terjadi di kampung Murten, Tridadi, kecamatan Sleman, Yogyakarta. Tidak ada keinginan yang pantas atau layak kami harapkan dari sepenggal kisah ini, kecuali harapan bahwa nantinya kisah ini bisa menjadi satu ibrah atau teladan bagi kita semua, agar dalam menjalani hidup ke depan bisa menjadi lebih baik. Selain itu, semoga kisah ini nanti juga selalu menjadi pengingat bagi siapa saja, karena kematian itu bisa datang kapan saja dan juga di mana saja, tanpa pernah bisa diduga!

Setiap orang pasti mendambakan kematian husnul khatiman. Makanya, mujurlah orang yang menemui ajal dalam keadaan husnul khotimah, semisal ketika sedang dalam pengajian sebagaimana kisah seorang yang meninggal usai membaca do`a yasinan yang dialami laki-laki tua bernama Mbah Dulkani (76 tahun) ini. Setelah memimpin doa dalam acara yasinan, beliau tiba-tiba “menutup mata” dengan tenang, tak berapa lama setelah acara pengajian yasinan tersebut berakhir. Awalnya, memang Mbah Dul hanya tersungkur atau jatuh ke pundak salah seorang yang ada di samping almarhum, tetapi tak diduga warga yang hadir di rumah Mbah Iman jika jatuhnya Mbah Dul (panggilan akrabnya) itu ternyata merupakan masa-masa kritis bagi almarhum.

/1/
Malam itu, Jum`at tanggal 04 Februari 2005. Langit gelap. Di cakrawala bahkan nyaris gulita, hanya ada percik cahaya bintang yang bersinar dengan redum. Bulan pun tak sedang purnama. Tapi di bawah kegelapan langit itu, tepatnya di kampung Murten, secercah cahaya terpancar dari sebuah rumah. Rumah itu adalah rumah Mbah Iman (65 tahun). Persis di depan rumah tersebut, tampak lampu neon yang menyala dengan terang benderang di teras. Juga, ada beberapa lampu di dalam rumah yang menjadikan kegelapan malam hari hanya tampak di sudut-sudut pekarangan.

Maklum, jika di rumah Mbah Iman pada malam itu sedikit berbeda dan tampak terang benderang. Karena di rumah tersebut, sedang “dipersiapkan” untuk menyambut kedatangan warga kampung Murten yang akan melantunkan yasin. Pihak keluarga Mbah Iman punya hajat mengundang warga kampung untuk datang ke rumah tersebut guna mendoakan kesehatan Mbah Iman yang sudah lama diserang penyakit.

Memang, sudah menjadi satu kebiasaan di daerah kampung Murten dan juga di daearah-daerah yang lain kalau ada salah seorang dari keluarga yang kebetulan sedang menderita sakit agak parah, pihak keluarga si sakit kemudian mengadakan doa yasinan dengan mengundang kaum laki-laki di kampung tersebut. Dengan acara tersebut, pihak keluarga berharap agar Allah mengampuni segala dosa yang pernah diperbuat Mbah Iman se-masa masih sehat, agar lekas sembuh atau paling tidak penderitaannya bisa berkurang. Atau kalau memang Allah berkehendak lain, semoga segala penderitaan itu bisa lekas berakhir.

Malam itu, pihak keluarga Mbah Iman telah mengundang sejumlah warga untuk mendoakan Mbah Iman yang menderita stroke. Pasalnya, Mbah Iman sudah tidak dapat berbuat apa-apa. Pihak keluarga sudah membawa Mbah Iman berobat ke rumah sakit berkali-kali tetapi tidak ada kemajuan yang berarti sehingga pihak keluarga kemudian memutuskan membawa pulang Mbah Iman dan malamnya meminta “bantuan” warga untuk datang ke rumah guna melantunkan surat yasin, dan juga berdoa bersama, guna kesembuhan Mbah Iman.

Dalam acara yasinan itu, pihak keluarga Mbah Iman pun bahkan sudah meminta bantuan kepada kaum (guru ngaji) di desa tersebut, yang bernama Mbah Dul dan beliau sudah berkenan datang memimpin doa yasinan di malam itu, sebagaimana pada malam sebelumnya.

Malam mulai merambat pelan, kian gelap. Maklum, waktu sudah menunjukkan pukul 19.50 WIB. Satu per satu, warga kampung Murten pun sudah datang ke rumah Mbah Iman untuk memenuhi undangan. Pihak keluarga juga menyambut satu per satu tamu undangan, dengan penuh pengharapan.

Sekitar sepuluh menit kemudian, warga dari kampung itu telah berkumpul di rumah Mbah Iman. Hanya tinggal Mbah Dul saja yang kebetulan belum datang. Warga dengan sabar menunggu, karena kehadiran Mbah Dul itu cukup signifikan. Dengan kata lain, karena memang Mbah Dul sebagai pemimpin. Maka, setelah Mbah Dul datang tepat pukul 20.00 WIB dan tidak ada yang ditunggu lagi, acara itu pun segera dimulai. Mbah Dul datang dan segera memberikan perintah kepada salah seorang agar segera memulai pembacaan yasin.

Sejurus kemudian, acara dibuka dengan sambutan. Lalu, alunan bacaan yasin pun berkumandang dari rumah Mbah Iman. Hingga tak terasa lagi, sekitar setelah jam berlalu pembacaan Yasin itu selesai. Dan akhirnya pengajian ditutup dengan doa yang dibacakan Mbah Dul. Usai Mbah Dul berdoa, acara tersebut diteruskan dengan istirahat. Pihak keluarga Mbah Iman menyuguhkan sejumlah menu makanan. Warga kampung pun tak segan lagi menyantap makanan tersebut.

Usai makan, warga kampung kemudian berpamitan hendak pulang ke rumah masing-masing, termasuk Mbah Dul. Tapi belum sempat keinginan warga itu terpenuhi, ternyata hujan turun. Rintik-rintik hujan, membasahi tanah. Akibatnya, sebagian besar orang yang hendak pulang itu pun kemudian mengurungkan niat, memilih untuk tetap tinggal di tempat dan bercengkrama seraya menunggu hujan reda.

Mbah Dul yang tak jadi pulang pun terpaksa bercengkrama dengan Pak Tris ( 50 tahun) yang kebetulan duduk di sebelahnya, yang tidak lain sebagai pembantu kaum. Tidak dinyana-nyana lagi, antara kedua orang itu pun asyik bercengkrama dan bahkan sempat membicarakan keadaan di Aceh pasca-tsunami. Apalagi, saudara Mbah Dul ada yang berada di Aceh, dan menjadi korban tsunami yang belum lama itu bertandang ke rumah Mbak Dul. Ada juga satu keluarga, keponakan Mbah Dul yang meninggal di sana.

Tetapi di tengah-tengah pembicaraan itu, tiba-tiba Mbah Dul berhenti sejenak. Tubuhnya terlihat lunglai dan tanpa disangka-sangka oleh siapapun, ternyata Mbah Dul menjatuhkan kepalanya ke pundak Pak Tris yang berada di samping Mbah Dul. Tentu saja, Pak Tris terkejut bukan kepalang. Pak Tris juga kaget, terperangah dan nyaris tak mengira kalau kepala Mbah Dul jatuh di pundaknya. Maka, Pak Tris pun dengan sigap memeriksa kondisi Mbah Dul.

Karena Mbah Dul terlihat lunglai, tak berdaya dan tidak berkutik, maka orang-orang yang hadir di pengajian itu bergerak cepat. Tidak dapat disadarkan, Mbah Dul terpaksa derebahkan di lantai. Kedua anak Mbah Dul –yang kebetulan ikut dalam acara pengajian yasinan itu segera mendekat dan membopong Mbah Dul. Dengan dibantu warga kampung yang lain, Mbah Dul segera dibawa ke mobil yang saat itu kebetulan ada salah satu anggota pengajian yasinan itu berinisiatif memanggil tetangga terdekat yang memiliki mobil.

Setelah Mbah Dul dimasukkan ke dalam mobil, dengan cepat mobil itu melaju ke rumah sakit. Dengan cekatan, warga yang mengantar kepergian Mbah Dul itu tidak mau dikejar dengan waktu. Maka setiba di rumah sakit, orang-orang yang membawa Mbah Dul itupun segera meminta Mbah Dul untuk ditangani. Tetapi, malang tak dapat dicegah. Setelah diotopsi, ternyata dokter menyatakan Mbah Dul sudah meninggal, bahkan meninggalnya Mbah Dul itu diperkirakan terjadi saat Mbah Dul masih berada di lokasi pengajian (di rumah Mbah Iman).

Kontan, kesedihan pun menerpa wajah orang-orang yang telah mengantar Mbah Dul ke rumah sakit itu. Wajah-wajah mereka langsung muram, air mata pun menitik di pipi para pengantar. Karena Mbah Dul sudah meninggal, maka tidak ada keinginan lain dari pihak keluarga selain segera membawa pulang Mbah Dul. Maka, pihak keluarga segera mengurus administrasi.

/2/
Setelah semua administrasi rumah sakit diurus, jenazah Mbah Dul bisa dibawa pulang. Setiba di rumah, sontak suara tangis kerabat dekat Mbah Dul yang menyambut kedatangan jenazah seperti tidak bisa terbendung lagi. Tangis mereka semua seakan menjadi bukti sebuah kesedihan yang tidak bisa ditampung. Maka, air mata dari pihak keluarga pun berlinang, derai air mata itu tumpah dan menyiratkan kesedihan yang berat . Karena di mata mereka, Mbah Dul itu orang yang tidak bisa tergantikan. Tidak ada keraguan lagi kalau ditinggal orang yang selama ini dicintai dan disayangi, adalah sebuah kesusahan yang tidak terkira.

Karena hari sudah malam, maka jenazah Mbah Dul belum segera diurus. Pihak keluarga masih berunding, dan akhirnya memutuskan bahwa jenazah Mbah Dul akan disemayamkan pada siang esok hari.

Ketika esok hari tiba, dari pagi warga sudah berdatangan takziyah. Karena Mbah Dul orang yang cukup dipandang di kampung Murten maka warga berduyung-duyung ingin memberikan penghormatan terakhir kepada Mbah Dul. Sampai hari menjelang siang, Mbah Dul pun segera diurus untuk dimandikan, dikafani dan dishalati. Setelah jenazah Mbah Dul siap, maka pihak keluarga melepas kepergian Mbah Dul.

Iringan-iringan para pelayat akhirnya memberangkatkan almarhum ke tempat pemakaman umum yang terletak tidak jauh dari rumah almarhum. Kepergian Mbah Dul yang tidak terduga itu, jelas membuat keluarga dan warga kampung merasa sedih. Dari raut wajah mereka semua, kesusahan itu terlihat dengan jelas. Maklum, karena tak bisa dimungkiri kalau mereka semua merasa kehilangan atas kepergian seorang kaum yang baik. Mbah Dul memang sudah tua, tetapi warga sungguh tidak menduga kalau Mbah Dul akan pergi secepat itu, meninggal dengan tiba-tiba setelah beliau memimpin doa yasinan di rumah Mbah Iman.

Dalam pemakaman itu, tidak ada “aral” yang melintang. Pemakaman berjalan lancar. Mungkin kalau ada satu hal yang membuat mereka harus mengenang dan tak bisa begitu saja lupa adalah rasa kehilangan orang seperti Mbah Dul. Tapi kesedihan itu pasti akan cepat terhapus dan bahkan tergantikan dengan sebuah harapan untuk tidak hanyut di dalam suasana duka yang berlarut-larut karena saat ajal itu menjemput Mbah Dul, beliau usai memimpin doa yasinan, sebagai pertanda sebuah kematian yang husnul khatimah.

Akhirnya, orang-orang yang mengantar kepergian Mbah Dul pulang. Ada rasa sedih, tetapi teladan dan kebaikan Mbah Dul jelas tak bisa mereka lupakan…

/3/
Maklum saja, kalau semua warga Murten, Tridadi dan juga pihak keluarga susah untuk melupakan sosok Mbah Dul. Sebab Mbah Dul itu dikenal baik. Seperti penuturan narasumber Hidayah, sepanjang hidupnya, Mbah Dul dikenal warga kampung sebagai seorang baik, murah senyum dan banyak menolong orang. Apalagi Mbah Dul sebagai kaum kampung Murten.

Selain dikenal baik dalam menjalin hubungan sosial dengan warga kampung, Mbah Dul termasuk religius. Beliau tak diragukan lagi dikenal oleh warga sebagai orang yang rajin beribadah. Bahkan yang membuat banyak orang iri, walau sudah terbilang tua, ternyata Mbah Dul itu tak pernah absen datang ke masjid. Padahal, jarak rumah Mbah Dul dengan masjid lumayan jauh (kira-kira berjarak 300 meter) tetapi jarak itu tak menyurutkan semangat Mbah Dul untuk beribadah ke masjid. Bahkan dalam keadaan sakit, semisal demam, hal itu tak menjadi halangan.

Pernah anaknya menasehati beliau. “Jika memang demam atau sakit lebih baik shalat di rumah!” sebagaimana diceritakan Dwi Istiati menirukan nasehat anak Mbah Dul. Tetapi, Mbah Dul menolak. Mbah Dul selalu berkata, “Jika memang sakit tapi kaki ini masih kuat berjalan, lebih baik shalat di masjid karena itu amalan yang utama.”

Mbah Dul baru shalat di rumah, jika sedang betul-betul sakit. Sempat memang suatu ketika Mbah Dul mendapat serangan gejala stroke. Dalam keadaan itulah, beliau baru mau melaksanakan shalat di rumah.

Satu hal lagi, Mbah Dul dikenal sebagai orang yang tekun bekerja. Sebelum meninggal, beliau masih tekun pergi ke sawah, membantu anaknya mencari rumput dan mengasuh cucu-cucunya. Karena itulah, kepergian Mbah Dul itu membuat warga prihatin.


BOX
Dwi Istiarti (22 tahun), kerabat Mbah Dulkani
“Mbah Dul itu rajin shalat Berjama`ah”

Sebetulnya, pihak keluarga Mbah Dul tidak mempunyai firasat apa-apa. Maka, kepergian beliau itu membuat kami semua sedih. Memang, sebelum meninggal, beliau itu terserang diare, tapi masih dalam taraf yang ringan. Artinya, tidak cukup parah dan mengganggu. Karena itu, saat beliau meninggal tiba-tiba, di rumah Mbah Iman sehabis memimpin yasinan, jelas membuat orang-orang panik.

Orang-orang yang hadir sudah berusaha menolong, dengan cepat membawa ke rumah sakit. Tetapi ternyata Mbah Dul sudah dipanggil oleh Allah. Akhirnya, tidak ada yang kami harapkan selain sebuah doa semoga Allah mengampuni Mbah Dul. Selain itu, semoga sosok Mbah Dul dapat menjadi “teladan” bagi kita semua untuk termotivasi berbuat baik, juga rajin ke masjid dan berjiwa sosial. Semoga kisah ini bermanfaat bagi pembaca semua. (nm)///foto narasumber gak ada, tapi ada foto tokoh yang meninggal


Tidak ada komentar: